Sabtu, 22 Oktober 2011

BODEK TAK MENJADI ATAU TERSILAP BODEK......ADAKAH ALLAH MEMBENARKAN WANITA JADI PEMIMPIN....

Timbalan Menteri mahu penggantungan Aziz Bari ditarik balik
Timbalan Menteri Pengajian Tinggi Datuk Saifuddin Abdullah hari ini menasihatkan rektor Universiti Islam Antarabangsa (UIA) untuk menarik balik penggantungan kontroversi ke atas Prof Abdul Aziz Bari.

NONEMalaysiakini ternampak mesej teks beliau kepada Datuk Zaleha Kamaruddin pagi ini, di mana beliau berkata penggantungan itu adalah "memudaratkan".

Menurutnya, apa sahaja (sebab-sebab untuk tindakan itu), ia masih
salah dari segi moral dan intelektual (kerana) Aziz belum didapati bersalah.

"Harap tarik balik penggantungan... harap jangan ambil tindakan terhadap mahasiswa yang demonstrasi (semalam)," katanya.

Kelmarin UIA menggantung tugas Abdul Aziz sebagai pensyarah undang-undang sehingga notis selanjutnya dikeluarkan.

Beliau didakwa "memberikan kenyataan yang bertentangan dengan kepentingan universiti" dan diberi masa sehingga 25 Oktober depan untuk menjawabnya.

Tindakan terhadap pakar itu dipercayai berikutan reaksinya sebelum ini yang mengulas titah Sultan Selangor berhubung isu pemeriksaan sebuah gereja Methodist di Damansara Utama.

Abdul Aziz dipetik berkata, Sultan Selangor sebagai ketua agama negeri mempunyai hak campurtangan tetapi ia perlu selaras dengan ajaran Islam.

Kenyataannya itu mengundang kontroversi apabila beberapa pemimpin Umno termasuk media yang dikuasai mereka mendakwa tindakan itu cuba memburuk-burukkan institusi raja-raja Melayu sehingga tekanan dibuat bagi beliau digantung tugas

Aziz Bari jawab kenyataan rektor UIA

Peguam yang mewakili Prof Abdul Aziz Bari berkata kenyataan Rektor Universiti Islam Antarabangsa (UIA), Prof Datuk Dr Zaleha Kamaruddin berkaitan penggantungan perkhidmatan pensyarah undang-undang itu selama tujuh hari dan bahawa beliau bebas masuk ke dalam premis UIAM adalah tidak tepat.

Sebaliknya, kata peguam Dr Zulqarnain Lukman, berdasar surat tunjuk sebab dari UIA, adalah jelas bahawa penggantungan perkhidmatan Prof Aziz Baru adalah berkuatkuasa serta merta sehingga siasatan selesai dan bukan hanya dalam tempoh tujuh hari.

Dr Zulqarnain berkata, beliau telah mendapat arahan daripada anakguamnya untuk membuat kenyataan berhubung kenyataan yang diberikan oleh rektor UIA itu yang disiarkan oleh akhbar hari ini khususnya oleh Bernama.

Menurutnya, tempoh tujuh hari yang dinyatakan Rektor UIA itu adalah merujuk kepada tempoh menjawab surat tunjuk sebab, bukan tempoh penggantungan. Tempoh penggantungan tidak ditetapkan, ertinya sepanjang yang mungkin selagi tidak ditamatkan secara rasmi oleh UIAM.

"Begitu juga bahawa adalah jelas anakguam tidak dibenarkan masuk ke premis universiti atau berhubung dengan mana-mana staf UIAM melainkan terdapat kebenaran bertulis daripada Dekan Kulliyah Undang-Undang.

"Jika benar terdapat sebarang perubahan kepada notis yang diberikan kepada anakguam, seharusnya pihak universiti mengeluarkan notis baru membatalkan kandungan notis bertarikh 19/10/2011 ini.'

"Akhirnya, anakguam memohon pihak UIAM tidak mengeluarkan kenyataan yang berkonflik dan bercanggah satu sama lain yang membingungkan masyarakat awam," katanya.

Jika Perempuan Menjadi Pemimpin

Alif Magz - detikRamadan
Jika Perempuan Menjadi Pemimpin
Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum wr wb. Izinkan saya bertanya, apakah hukumnya jika perempuan menjadi pemimpin organisasi ataupun menjadi pemimpin negara?

(Amelia)

Jawaban:
Masalah kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan masalah yang senantiasa hangat dibicarakan di kalangan para ulama dan para cendekiawan Muslim. Para ulama salaf tidak bisa menerima kepemimpinan perempuan. Mereka menolak dan melarang perempuan menjadi pemimpin. Mengangkat perempuan menjadi pemimpin hukumnya haram. Mereka berkeyakinan bahwa perempuan secara mutlak tidak berhak menjadi pemimpin, baik secara domestik di kalangan rumah tangga maupun secara publik di tengah-tengah masyarakat. Kaum perempuan hanya berhak dipimpin oleh kaum laki-laki, baik dalam lembaga keuangan, perdagangan, dan bisnis maupun dalam lembaga pendidikan dan profesi; lebih-lebih dalam lembaga peradilan, hukum dan politik.

Ada dua alasan ulama yang mengharamkan perempuan menjadi pemimpin. Pertama, berhujah dengan Surah An-Nisa yang berikut: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya), hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka; tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar. (QS An-Nisa (4): 34).

Kedua, mereka berhujah dengan Hadits yang berasal dari Abi Bakrah dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Ahmad, Nasa'i dan Tirmidzi yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin mereka seorang perempuan". (HR Bukhari, Ahmad, Nasai dan Tirmidzi).

Hadis ini dipahami oleh mereka sebagai bentuk larangan untuk memilih dan mengangkat perempuan sebagai pemimpin. Penegasan dalam hadis tersebut, bahwa suatu kaum yang memilih perempuan untuk menduduki kepemimpinan dalam jabatan politik dan pemerintahan yang bertanggung jawab atas semua aspek kehidupan yang menjadi hajat hidup orang banyak tidak akan pernah meraih kebahagiaan, menurut mereka, mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa perempuan tidak berhak untuk menjadi pemimpin dalam jabatan publik, lebih-lebih dalam kepemimpinan politik dan pemerintahan.

Perempuan, menurut mereka, mempunyai tugas mulia, mendidik anak di rumah guna menyiapkan generasi yang berakhlak mulia. Sementara ulama kiwari berpendapat bahwa Persoalan kepemimpinan dalam Al Qur'an itu bukan soal memilih laki-laki atau perempuan, tetapi siapa di antara mereka yang paling memiliki kesanggupan, kompetensi, dan kredibilitis sebagai pemimpin, maka dialah yang berhak jadi pemimpin.

Adapun ukuran atau kriteria umum tentang kesanggupan, kompetensi, dan kredibilitisa kepemimpinan itu adalah kualifikasi dan syarat-syarat yang tersurat di dalam Surah At-Taubah ayat 71 di atas sebagai berikut:

Pertama, beriman kepada Allah dengan pengamalan agama yang kuat dan mantap sebagaimana pesan Allah kepada Nabi Yahya AS sebagai berikut, "Wahai Yahya, ambillah dan pelajarilah Kitab itu dengan kuat yakni dengan sungguh-sungguh". (QS Maryam (19): 12).

Indikasi atau tanda-tanda pengamalan agama yang kuat dan mantap itu adalah: (1) Beragama dengan dukungan ilmu sehingga beragama itu diperkuat dengan akal budi, nalar dan logika; tetapi akal budi, nalar dan logika itu bukan segalanya dalam beragama. Hal ini, ---akal budi, nalar, logika, ilmu dan teori--- hanya diperlukan untuk memantapkan kita dalam mengamalkan agama.

(2) Meresapkan ajaran agama itu ke dalam hati sehingga beragama itu dengan akal sehat, rasa dan nurani yang jernih dan bersih. Singkatnya, seseorang dikatakan kuat beragama, apabila ia mengamalkan agama itu dengan akal dan hati yang bersih.

(3) Beragama itu dengan akar yang terhujam kuat ke dalam lubuk hati sehingga tidak mudah goyah, karena didukung oleh kekuatan akal sehat dan nurani yang bersih. Tiga penyangga agama ini adalah ilmu, nurani, dan lubuk hati yang kuat. Tiga penyangga agama ini akan memperkuat pengamalan agama dengan mustaqim atau istiqamah yang secara kebahasaan berarti lurus pada bidang yang datar, tegak pada bidang yang berdiri, dan tetap, baik ketika datar (horizontal) maupun ketika tegak (vertikal). Sebab istiqamah mengandung tiga dimensi lurus, tegak dan tetap.

(4) Beragama itu tidak berhenti pada ilmu, konsep, teori dan logika; tetapi juga turun ke dalam rasa, nurani dan emosi; mengakar di dalam lubuk hati; serta berbuah dalam sikap, persepsi dan aksi dalam bentuk amal saleh, baik kesalehan individu maupun kesalehan sosial.

Kedua, memiliki kemampuan untuk mendorong, memotivasi, menggerakkan dan bekerja sama dengan berbagai komponen ummat sehingga potensi ummat yang tercecer dan berserakan itu bisa disatukan menjadi kekuatan yang terpadu secara simponi dengan menyamakan persepsi, visi dan misi sehingga langkah itu terfokus menuju ke arah yang dituju. Hal ini merupakan uraian lebih rinci dari pendapat Prof Muhammad Ali As-Shabuni bahwa ayat yang berbunyi: Mereka, kaum laki-laki yang beriman dan kaum perempuan yang beriman itu, adalah saudara (mitra sejajar) dalam agama. Mereka, satu sama lain saling membantu dan saling menguatkan) sebagaimana disebutkan di atas.

Ketiga, arah dan langkah kepemimpinan itu jelas dan fokus, serta terukur dengan sistematis, bermuara pada perbaikan kualitas moral dan mental ummat; serta menjauhkan ummat dari berbagai penyakit masyarakat (patalogi social) seperti minuman keras, perjudian, perzinahan, perselingkuhan, dan berbuat mesum di tempat umum maupun di tempat yang remang-remang, serta mengikis habis hingga ke akar-akarnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini merupakan perwujudan dari ayat yang berbunyi: Mereka menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar) (QS At-Taubah (9): 71).

Keempat, menunjukkan kesalehan individu dengan istiqamah, terutama dalam melaksanakan salat lima waktu. Sebab keharusan seorang Muslim memperhatikan salat wajib merupakan pesan Al Qur'an yang sangat penting sebagaimana tersurat pada ayat Al Qur'an yang berikut. "Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah salat karena Allah dengan khusyuk (QS al-Baqarah (2): 238).

Adapun yang dimaksud dengan salat wustha secara kebahasaan adalah salat tengah-tengah; namun yang dimaksudkan dalam hadis Nabi SAW adalah salat ashar. Sebab salat ashar itu merupakan tengah-tengah di antara kelompok shalat siang dan salat malam. Kelompok shalat siang itu terdiri atas Shalat dzuhur dan ashar; sedangkan kelompok salat malam itu terdiri dari salat maghrib dan isya.

Bagi seorang pemimpin, tidak cukup dengan hanya melaksnakan salat lima waktu secara istiqamah, tetapi juga dengan salat berjamaah; bahkan mengajak ummat untuk salat berjamaah dan mendukung pendirian masjid yang modern dengan alokasi dana dari pemerintah yang memadai bagi pemberdayaan ummat yang berbasis masjid. Sebab dalam pemberdayaan ummat, masjid merupakan kelembagaan lokal yang cukup efektif untuk menjadi pusat pelayanan pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial bagi jamaah masjid yang tergolong dhuafa seperti fakir-miskin, anak yatim, anak telantar, anak jalanan, pengemis dan gelandangan, serta para lansia yang jompo.

Kelima, menunjukkan kesalehan individu dengan istiqamah melalui kedisiplinan diri untuk membayarkan zakat. Kedisiplinan untuk membayarkan zakat merupakan tanda kesalehan individu yang pokok bagi seorang pemimpin; namun bagi seorang pemimpin tidak cukup dengan hanya patuh membayarkan zakat bagi dirinya sendiri. Kualifikasi seorang pemimpin, menurut Al-Qur`an, mendorong ummat Muslim untuk membayarkan zakat dan menjadikan zakat sebagai sarana untuk pemberdayaan dhu’afa dalam perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan. Lebih-lebih setelah diterbitkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dengan berdirinya Badan Amil Zakat pada setiap tingkatan pemerintahan sejak pemerintah pusat hingga pemerintahan desa.

Keenam, senantiasa menunjukkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam setiap langkah kepemimpinnya di tengah masyarakat. Pemimpin yang baik, menurut Al Qur'an, bukanlah pemimpin yang hanya bertujuan untuk meraih kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, dan menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mendapatkan kekayaan, akan tetapi pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk meneguhkan dirinya dan mengajak masyarakat yang dipimpinnya mentaati Allah dan Rasul-Nya dengan sebaik mungkin.

Jika keenam persyaratan ini dipenuhi dengan sebaik mungkin, maka Allah akan memberikan rahmat, yaitu kasih sayang yang tiada terhingga bagi masyarakat yang memiliki pemimpin yang berjiwa Islami. Pemimpin yang demikian ini, menurut Al Qur'an, tidak menjadi hak dan monopoli kaum laki-laki saja; tetapi boleh jadi muncul dari kalangan kaum perempuan yang cerdas, shalihah, baik kesalehan individu maupun kesalehan sosial, serta memenuhi kualifikasi kepemimpinan yang baik sebagaimana disebutkan di atas.

Di dalam Al Qur'an ada model pemimpin perempuan yang cerdas dan memenuhi kualifikasi kepemimpinan yang baik sebagaimana disebutkan di atas, yaitu pada kisah Ratu Balqis dari Negeri Saba yang memerintah Kerajaan Sabaiyah pada zaman Nabi Sulaiman AS.

Melihat kenyataan atau fakta empiris kepemimpinan politik dewasa ini seperti Gubernur, Bupati dan Walikota yang pada umumnya jauh panggang dari api dari syarat-syarat ideal di atas, baik laki-laki maupun perempuan, saya secara pribadi lebih merasa nyaman mengikuti pandangan ulama yang pertama. Kaum wanita bisa lebih focus menyiapkan generasi Muslim yang berakhlak dan berkarakter positif di rumah, tanpa kehilangan kemungkinan untuk aktif pada kegiatan sosial setelah anak-anak mereka melewati masa kritis, sejak balita hingga usia remaja akhir (18 tahun). Wassalam.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Tiada ulasan: