I. Surat al baqarah 2 - 5 :Al Kitab ini (Al Quran) adalah petunjuk buat orang yang bertaqwa, dengan ciri sebagai berikut:
1. Beriman pada yang ghaib
2. Mendirikan salat
3. Menafkahkan sebagaian rezeki yang ALlah kurniakan kepadanya
4. Beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad saw) dan sebelum mu.
5. Yakin kepada hari akhirat
Setiap manusia tak kira agama apapun memungkinkan untuk menjadi insan yang taqwa, Mendirikan salat misalnya, Dalam bahasa melayu "salat" disebutnya juga sembahyang.Setiap agama mengajarkan sembahyang, Hanya cara, metoda, waktu dan tempat yang berbeda-beda.
II. Surat Al baqarah 177, Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa dengan ciri-ciri sbb :
1. Beriman kepada Allah(Tuhan YME),hari akhirat,malaikat-malaikat,kitab-kitab,nabi-nabi
2. Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat,anak-anak yatim,orang-orang miskin,musafir (orang dalam perjalanan),orang yang meminta-minta.
3. Membebaskan perbudakan
4. Mendirikan salat
5. Menunaikan zakat
6. Memenuhi janji bila berjanji
7. Bersabar dalam dalam kesengsaraan,penderitaan dan dalam waktu peperangan.
III. Surat Aali 'Imraan 133 - 135, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhan mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu :
1. Orang-orang yang menafkahkan (hartanya) pada waktu lapang maupun sempit
2. Orang-orang yang menahan amarahnya
3. Orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain
4. Dan (juga) orang-orang yang apabila berbuat keji atau zalim terhadap dirinya, mereka ingat kepada ALlah dan memohon ampun atas dosa-dosanya.
5.Dan Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu.
Demikianlah salah satu contoh dari sebagian ayat-ayat al qur'an yang menjelaskan ciri-ciri orang yang bertaqwa.
TANDA-TANDA TAQWA
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali’Imran Ayat 133:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (Allah SWT) dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang taqwa (muttaqin).
Selanjutnya Allah SWT menguraikan tanda-tanda orang yang taqwa, dalam Surat Ali’Imran Ayat 134:
(yaitu) Orang-orang yang berinfaq (karena Allah SWT), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mereka yang pemaaf terhadap (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Marilah terlebih dahulu kita coba memahami apakah itu Taqwa. Taqwa memiliki tiga tingkatan. Ketika seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah, dia disebut orang yang taqwa. Didalam pengertian ini semua orang beriman tergolong taqwa meskipun mereka masih terlibat beberapa dosa. Jika seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai Allah SWT dan RasulNya (SAW), ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi. Yang terakhir, orang yang setiap saat selalu berupaya menggapai cinta Allah SWT, ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi lagi.
Allah SWT menjelaskan dalam Surat Ali’Imran Ayat 102:
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim (beragama Islam)
Allah SWT telah menjabarkan berbagai ciri-ciri orang yang benar-benar taqwa. Mereka menafkahkan rizkinya di jalan Allah SWT dalam keadaan lapang maupun sempit. Dengan kata lain, jika mereka memiliki uang seribu dollar diinfaqkannya paling tidak satu dollar, dan jika hanya memiliki seribu sen mereka infaqkan satu sen. Menafkahkan rizki di jalan Allah SWT adalah jalan-hidup mereka. Allah SWT (atas kehendakNya) menjauhkan mereka dari kesulitan (bala’) kehidupan lantaran kebajikan yang mereka perbuat ini. Lebih dari itu, seseorang yang suka menolong orang lain tidak akan mengambil atau memakan harta orang lain, malahan ia lebih suka berbuat kebaikan bagi sesamanya. ‘Aisyah RA sekali waktu pernah menginfaqkan sebutir anggur karena pada waktu itu ia tidak memiliki apa-apa lagi. Beberapa muhsinin (orang yang selalu berbuat baik) menginfaqkan sebutir bawang. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“ Selamatkanlah dirimu dari api nereka dengan berinfaq, meskipun hanya dengan sebutir kurma. (Bukhari & Muslim)
Didalam “Tafsir Kabir” Imam Razi diceritakan bahwa suatu kali Nabi Muhammad SAW mengajak umatnya untuk berinfaq. Beberapa dari mereka memberikan emas dan perak. Seseorang datang hanya menyerahkan kulit kurma, “Saya tak memiliki selain ini.” Seorang lain lagi mengatakan kepada Nabi Muhammad SAW, “Saya tak punya apapun untuk diinfaqkan. Saya infaqkan harga-diri saya. Jika ada seseorang menganiaya atau mencaci-maki saya, saya tidak akan marah.” Demikianlah, kita dapat mengambil pelajaran bahkan orang miskin pun terbiasa memberikan apapun yang dia miliki untuk menolong orang lain di masa hidup Rasulullah SAW.
Ayat diatas tidak menjelaskan apa yang harus diinfaqkan. Berinfaq tidak hanya berarti sebagian dari hartanya tetapi juga waktu dan keahlian. Ada kebijaksanaan yang besar dalam penjabaran mengenai mukmin yang shaleh yang berinfaq dikala lapang maupun sempit. Kebanyakan orang melupakan Allah SWT ketika berada dalam keadaan sangat lapang. Mereka juga lupa kepada Allah SWT dikala sempit karena terlalu larut dalam kesedihan menanggung kesempitannya.
Seorang penyair berbahasa urdu berujar, “Jangan menganggap seseorang itu terpelajar bilamana ia melupakan Allah SWT diwaktu ia kaya, tidak takut kepada Allah SWT ketika ia sedang marah.”
Allah SWT menyatakan bahwa tanda ketaqwaan mukmin yang ke-dua ialah mereka dapat mengendalikan amarah. Tanda ke-tiga, selain mengendalikan amarah mereka juga memaafkan kesalahan orang lain dengan sepenuh hati. Terakhir (ke-empat), yang tidak kalah pentingnya, mereka bersikap baik terhadap sesama manusia. Ketika Imam Baihaqi RA menjelaskan ayat ini, ia mengisahkan sebuah peristiwa. Dikatakannya, “Suatu ketika Ali bin Hussain RA sedang berwudhu dan pelayannya yang menuangkan air ke tangannya menggunakan bejana. Bejana terlepas dari pegangan pelayan itu dan jatuh mengenai Ali. Sang pelayan menangkap kekecewaan di wajah Ali. Dengan cerdiknya sang pelayan membaca ayat diatas kata demi kata. Ketika sampai pada kalimat ‘orang yang taqwa mengendalikan amarahnya’ Ali RA menelan amarahnya. Ketika sampai pada ‘mereka memaafkan orang lain’ Ali RA berkata, “Aku memaafkanmu” Dan ketika dibacakan bahwa Allah SWT mencintai mereka yang bersikap baik kepada orang yang melakukan kesalahan, Ali memerdekakannya.
Memaafkan orang lain akan mendapatkan pahala yang besar di Hari Pembalasan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah SWT akan memberikan pengumuman di Hari Pembalasan, barang siapa yang memiliki hak atas Allah SWT agar berdiri sekarang. Pada saat itu berdirilah orang-orang yang memaafkan orang-orang kejam yang menganiaya mereka. Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Barang siapa berharap mendapatkan istana yang megah di surga dan berada di tingkatan yang tinggi dari surga, hendaknya mereka mengerjakan hal berikut ini:
• Memaafkan orang-orang yang berbuat aniaya kepada mereka.
• Memberi hadiah kepada orang yang tidak pernah memberi hadiah kepada mereka.
• Jangan menghindari pertemuan dengan orang-orang yang dengan sengaja memutuskan hubungan dengan mereka.
Dalam kesempatan ini tidaklah salah tempat untuk mengingatkan anda bahwa sesama Muslim hendaknya saling memberi hadiah sesering mungkin sesuka mereka. Hal ini hendaklah menjadi kebiasaan, dan janganlah membatasi di hari-hari spesial sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang tidak beriman pada perayaan Natal dan Pernyataan Syukur (thanksgiving).
Allah SWT memberi petunjuk dengan sangat indah bagaimana hendaknya kita berperilaku terhadap musuh-musuh kita yang paling jahat dalam Surat Fushshilat Ayat 34:
Tidaklah sama perbuatan baik dengan perbuatan jahat. Jika kamu membalas perbuatan jahat dengan kebaikan, maka musuh-musuhmu yang paling keras akan menjadi teman karib dan sejawatmu.
Suatu ketika, seseorang berbuat kasar dan mencaci-maki Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membalas dengan sepatah-katapun padanya. Ia pulang ke rumah dan mengumpulkan beberapa hadiah, lalu pergi mengunjungi orang tersebut. Imam Abu Hanifah memberikan hadiah-hadiah itu kepadanya dan berterimakasih atas perlakuan orang itu kepadanya seraya berkata: “Kamu telah berbuat untukku hal yang sangat aku sukai, yaitu memindahkan catatan perbuatan baikmu menjadi catatan perbuatan baikku dengan cara berlaku kasar seperti tadi kepadaku.”
Lebih lanjut Allah SWT berfirman didalam Surat Ali’Imran Ayat 135 dan 136, menambahkan tanda-tanda ketaqwaan orang-orang beriman.
Ketika mereka (orang-orang beriman) itu terlanjur berbuat jahat atau aniaya, mereka ingat kepada Allah dan memohon ampun atas dosa-dosa mereka, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Allah. Dan mereka tidak tetap berbuat aniaya ketika mereka mengetahui.
Untuk mereka balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka, dan surga yang mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal didalamnya. Itulah sebaik-baik pahala atas amal-perbuatan mereka.
Perhatikanlah bahwa dalam ayat ini ampunan Allah SWT mendahului balasan masuk surga. Maka, dari ayat ini jelaslah bahwa untuk masuk surga haruslah melalui ampunan dan kasih-sayang Allah SWT dan bukan tergantung pada amal-perbuatan kita saja. Perlu juga kita garis- bawahi, Allah SWT berfirman bahwa bobot surga itu jauh lebih berharga dari gabungan bumi dan seluruh langit. Hal ini bisa memberikan pengertian lain dari ayat ini. Jika lebar surga sama dengan lebar langit dan bumi, bagaimanakah dengan panjangnya, sedangkan ukuran panjang selalu lebih besar daripada lebar. Singkat kata, ayat ini memberikan pernyataan bahwa surga itu telah dipersiapkan bagi orang-orang beriman yang telah mencapai tingkat taqwa. Menurut beberapa ulama muslim yang termasyhur, surga itu berada diatas langit ke-tujuh dan jiwa para syuhada telah menikmati surga sebagai hasil dari perjuangan mereka.
Saya berdo’a kepada Allah SWT, semoga Dia menjadikan kita mukmin yang bertaqwa dan menerapkan keimanan kita. Amiin

1. Ingat dua perkara
2. Lupa dua perkara
3. Menyukai apa yang Allah suka
4. Membenci apa yang Allah benci
1.Ingat Dua Perkara
Pertama:
Kebaikan, jasa dan budi orang kepada kita perlu diingat selalu dan sekiranya berpeluang, maka eloklah disebut-sebut dan dibalas walaupun balasan itu tidak setimpal
Lebih-lebih lagilah kita perlu ingat dan mensyukuri segala nikmat dan limpah kurnia Allah SWT kepada kita yang tidak terhingga banyaknya.
Firman Allah SWT:
”Waamma bini’matihi rabbika fahaddith’.
Maksudnya:
”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (sebagai tanda bersyukur).” (Adh Dhuha:11)
Ini supaya kita terasa terhutang budi dan berterima kasih kepada orang yang berbuat baik dan berjasa kepada kita.
Tentulah terhadap Allah, lebih-lebih lagi patut kita rasakan sedemikian. Memang patut kita taat dan bersyukur kepada Allah, dengan membuat amal kebajikan biarpun segala amalan itu tidak mungkin setimpal dengan kurniaan Allah.
Kedua:
Kesalahan kita kepada orang lain hendaklah sentiasa kita ingat dan kita minta maaf daripadanya. Ingat selalu tentang kesalahan diri agar kesalahan itu tidak diulangi. Rasa bersalah itu penting kerana rasa itulah yang mendorong kita meminta maaf.
Itu terhadap kesalahan kita terhadap sesama manusia. Lebih-lebih lagilah kita perlu ingat dosa-dosa dan kederhakaan kita kepada Allah. Kita iringi ingatan kepada dosa-dosa itu dengan bertaubat. Kekalkan rasa berdosa itu supaya kita terhindar dari terbuat dosa-dosa yang lain dan hati kita sentiasa takut dan berharap agar Allah ampunkan dosa kita.
2. Lupa Dua Perkara
Pertama:
Lupakan segala budi, jasa dan kebaikan kita kepada orang.Jangan diungkit-ungkit dan dikenang-kenang.
Kembalikan segala kebaikan yang kita buat itu kepada Allah. Rasakan seolah-olah kita tidak pernah berbuat baik kepada orang. Lebih-lebih lagi, kita kena lupakan segala amal ibadah yang telah kita buat kepada Allah. Jangan diungkit-ungkit atau dikenang-kenang.
Rasakan seolah-olah kita tidak beramal. Dengan itu moga-moga hati kita tidak dilintasi oleh rasa ujub, sum’ah atau riyak atau rasa diri baik dan mulia.
Kedua:
Lupakan kejahatan orang terhadap diri kita. Anggaplah seolah-olah tidak ada siapa yang bersalah dengan kita supaya tidak tercetus rasa marah atau dendam terhadap orang.
Lebih-lebih lagi hendaklah kita lupakan segala kesusahan dan ujian, musibah atau mala petaka yang Allah timpakan kepada kita seperti sakit, kematian, kerugian, kemalangan dan kegagalan.
Atau banjir, kemarau, ribut taufan, tsunami, wabak penyakit, kemeseletan ekonomi dan sebagainya. Supaya tidak tercetus perasaan tidak sabar dan tidak redha dengan ketentuan Allah.
3.Menyukai Apa Yang Allah Suka
Yakni kesukaan kita hendaklah selari dengan kesukaan Allah. Kita buat apa sahaja perbuatan dan amalan menurut apa yang disukai Allah. Ini mudah kalau apa sahaja yang Allah suka, kita pun suka.
Bukan soal sesuatu amalan itu kecil atau besar, fardhu, wajib atau sunat tetapi asalkan Allah suka, kita pun suka dan kita pun membuatnya.
Itu manifestasi dari cinta kita yang mendalam kepada Allah. Seseorang itu akan menyukai apa sahaja yang disukai oleh orang yang dicintainya.
Soal amalan fardhu, wajib atau sunat sudah tidak jadi pertimbangan. Semua amalan yang Allah suka akan kita buat. Ia bukan juga soal mendapat pahala atau fadhilat. Ia lebih kepada hasrat untuk menyatakan dan membuktikan cinta dan kehambaan kita kepada Tuhan.
4.Membenci Apa Yang Allah Benci
Yakni kebencian kita hendaklah selari dengan kebencian Allah. Kita tinggalkan apa sahaja perbuatan dan amalan menurut apa yang dibenci oleh Allah. Ini mudah kalau apa yang Allah benci, kita pun benci. Nafsu pasti mendorong untuk berbuat apa yang Allah benci kerana nafsu itu suka kepada apa yang Allah benci dan benci kepada apa yang Allah suka.
Tetapi fitrah tetap kuat dan teguh. Fitrah yang suci murni itu, wataknya berlawanan dengan watak nafsu. Ia suka kepada apa yang Allah suka dan benci kepada apa yang Allah SWT benci. Nafsu tidak dapat mengalahkannya kerana rasa bertuhan dan rasa kehambaannya yang mendalam.
disediakan oleh mantera
Akhlak Islamiyah
Ust Dr Abdullah Yasin
BEBERAPA AKHLAK DALAM SUNAH NABI SALLALLAHU ALAYHI WASALAM
1. Larangan marah atau murka:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أنّ رجلاً قل للنّبيّ صلى الله عليه وسلّم: أو صنى، قال: لا تغضب، فردّد مراراً، قال: لا تغضب (رواه البخارى)
Daripada Abi Hurairah (ra); Sesungguhnya seorang lelaki berkata kepada Nabi (sallallahu alayhi wasalam): Berilah wasiat kepadaku! Baginda (sallallahu alayhi wasalam) bersabda: Jangan marah! Lelaki tersebut mengulangi permintaannya itu berkali-kali, lalu baginda (sallallahu alayhi wasalam) berkata lagi: Jangan Marah!
(HR Bukhari)
2. Larangan mempunyai akhlak orang munafik:
آيـة المنافق ثلاثٌ: إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا ائتمن خان
Tanda orang munafik ada tiga: Jika bercakap ia dusta, jika berjanji ia mungkir, dan jika diberi amanah ia khianat (HR Bukhari)
3. Sifat lemah lembut:
عن عائشة رضى الله عنها أنَّ النَّبيِّ صلّى الله عليه وسلم قال: إنَّ الله رفيقٌ يحب الرِّفق، ويعطى الرِّفق ما لا يعطى، أو ما لا يعطى على ما سواه
Daripada Aisyah (ra) bahawa Nabi (sallallahu alayhi wasalam) bersabda: Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan Dia suka kepada kelembutan. Dia memberi kepada kelembutan apa yang Dia tidak berikan kepada kekasaran, atau apa yang Dia ridak berikan kepada selainnya.
(HR Muslim)
4. Meninggalkan perkara yang tidak berguna:
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه
Daripada Abi Hurairah (ra) katanya: Telah bersabda Rasulullah (sallallahu alayhi wasalam): Di antara kebagusan keislaman seseorang ialah dia meninggalkan perkara yang sia-sia bagi dirinya.
(HR Tarmizi – katanya Hadis Hasan)
5. Mengikuti kebenaran sentiasa, bukan kejahatan:
لا يكن أحدكم إمعة، يقول: أنا مغ النّاس، إن أحسن النّاس أحسنت وإن أساؤو أسأت، ولكن وطنوا أنفسكم إن أحسن النّاس أن تحسنوا، وإن أساؤوا أن تجتنبوا إساءتهم
Janganlah salah seorang kamu jadi Im’ah, iaitu orang yang berkata: Saya bersama orang ramai, jika orang ramai baik maka saya pun baik, jika mereka jahat maka saya pun jahat, tetapi tetapkanlah pendirianmu! Jika orang ramai baik hendaklah kamu baik, jika mereka jahat hendaklah kamu hindarkan kejahatan mereka.
(Hadis Riwayat Tarmizi)
KEDUA: AKHLAK DALAM ISLAM BERSIFAT SYUMUL ATAU MENYELURUH:
Di antara ciri-ciri undang-undang akhlak di dalam Islam ialah menyeluruh (syumul) yakni skop pembahasan akhlak Islam sangat luas mencakupi semua perbuatan manusia, apakah yang bersangkutan dengan dirinya atau yang berkaitan dengan orang lain, apakah pihak yang lain itu bersifat individu atau kelompok ataupun negara.
KETIGA: AKHLAK DIWAJIBKAN PADA TUJUAN DAN JALAN (CARA):
Islam bukan saja memandang kepada baik dan mulianya sesuatu tujuan tetapi jalan atau cara untuk mencapai tujuan tersebut juga mestilah baik dan mulia. Oleh sebab itu Islam tidak memperakui kaedah “Tujuan Menghalalkan Cara”. Kaedah ini adalah kaedah orang kafir yang masuk ke dalam cara berfikir sesetengah umat Islam.
Allah berfirman:
وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka wajib kamu memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
[al-Anfaal 8:72]
Ayat di atas mewajibkan ke atas orang Islam agar menolong saudara-saudara mereka yang dizalimi sebagai memenuhi hak persaudaraan sesama muslim. Tetapi andaikan pertolongan yang kita berikan kepada saudara sesama Islam boleh mengakibatkan pemungkiran janji yang telah dibuat dengan orang-orang kafir yang zalim itu, maka kita dilarang memberi pertolongan terhadap orang Islam tersebut kerana jalan atau cara (wasilah) yang kita ambil itu termasuk khianat dan mungkir janji. Sedangkan Islam mengutuk orang-orang khianat dan mungkir dan mungkir janji.
KEEMPAT: HUBUNGAN AKHLAK DENGAN IMAN DAN TAKWA:
Akhlak dalam berkaitan rapat dengan iman dan takwa. Ini sebagaimana firman Allah:
فَأَتِمُّواْ إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
…maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.
[al-Taubah 9:4]
Ayat di atas menunjukkan bahawa memenuhi janji termasuk ke dalam salah satu ciri-ciri takwa kepada Allah dan sifat yang disukai oleh Allah SWT. Sedangkan iman pula akan mendorong seseorang untuk melakukan apa yang disukai oleh Allah.
Rasulullah (sallallahu alayhi wasalam) bersabda:
لا إيمان لمن لا أمـانة له، ولا دين لمن لا عهد له
Tiada iman bagi orang yang tiada amanah, dan tiada agama bagi orang yang tiada memenuhi janji [HR Ahmad Bin Hanbal]
Hadis di atas menunjukkan bahawa iman mestilah melahirkan akhlak yang mulia. Dan kemuncak akhlak mulia ialah amanah dan menepati janji. Oleh itu siapa yang tidak amanah dan tidak pula menepati janjinya, maka itu bermakna ia bukan orang yang memiliki iman sebagaimana yang dituntut oleh agama, dan tidak pula ia orang yang bertakwa.
Rasulullah (sallallahu alayhi wasalam) juga bersabda:
والله لا يؤمن، والله لا يؤمن، والله لا يؤمن، قيل: من يا رسول الله؟ قال: الّذى لا يأمن جاره بوائقه
Demi Allah tiada beriman, demi Allah tiada beriman, demi Allah tiada beriman. Baginda ditanya: Siapa (yang tuan maksudkan) ya Rasulullah? Baginda menjawab: Orang yang tiada aman jirannya daripada perbuatan jahatnya.
(HR Bukhari dan Muslim)
Hadis ini pula menjelaskan bahawa akhlak yang buruk dapat menafikan atau merosakkan iman seseorang, kerana iman tidak mungkin boelh berhimpun bersama-sama dengan akhlak yang buruk pada masa yang sama.
KELIMA: AKHLAK BERKAITAN RAPAT DENGAN PEMBALASAN (AL-JAZAA’):
Di antara ciri-ciri khas akhlak dalam Islam ialah pembalasan, kerana akhlak dalam Islam kadangkala datangnya dalam bentuk suruhan dan kadangkala dalam bentuk larangan. Oleh itu, jika suruhan agama diabaikan ataupun larangannya dilanggar, maka ia boleh menyebabkan hukuman. Demikian juga sebaliknya, jika perintah agama dilaksanakan atau larangan agama dijauhi, maka ia juga layak mendapat ganjaran pahala daripada Allah SWT.
ADAKAH AKHLAK ITU SESUATU YANG BOLEH DIUSAHAKAN?
Sudah dijelaskan terdahulu tentang kedudukan akhlak di dalam Islam dan kesannya pada amalan yang boleh membawa kepada ganjaran dan hukuman. Sekarang timbul pertanyaan: Adakah akhlak itu sesuatu yang mungkin boleh diusahakan sehingga kita memiliki akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk? Ataukah akhlak itu suatu sifat atau tabiat semulajadi yang tidak mungkin dirubah sebagaimana sifat jasmani seperti tinggi, rendah dan warna kulit?
Jawapannya dapatlah disimpulkan seperti berikut:
Akhlak secara umum adalah sesuatu yang boleh diusahakan. Sebagaimana mungkin kita usahakan agar memiliki akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk, ataupun sebaliknya. Hujjahnya ialah: Agama (Syara’) menyuruh kita agar berakhlak mulia dan melarang kita berakhlak jahat. Sekiranya perkara tersebut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan manusia sudah pasti suruhan dan larangan itu tidak akan wujud. Dan agama tidak mungkin membuat ketetapan yang mustahil. Dalam Ilmu Usul terdapat kaedah:
لا تكليف إلاَّ بمقدور أو لا تكليف بمستحيلٍ
Tiada bebanan kecuali pada batas kemampuan, atau tiada bebanan pada perkara yang mustahil.
Jadi atas dasar itu, maka setiap insan mempunyai kemampuan untuk menghias dirinya dengan akhlak yang mulia dan menjauhkan dirinya daripada akhlak yang jahat. Sebagaimana insan juga mampu melakukan perkara yang sebaliknya iaitu menghias dirinya dengan akhlak yang buruk dan menjauhkan dirinya dari akhlak yang mulia. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا (10)
Dan jiwa serta penyermpurnaannya (ciptaan) (7) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (8) sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (9) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10)
[al-Syams 91:7-10]
Di dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahawa setiap manusia telah diberi oleh Allah dua jalan iaitu jalan kefasikan dan jalan ketakwaan. Lalu selanjutnya Allah menerangkan bahawa akan beruntunglah siapa di antara mereka yang mensucikan jiwanya atau dirinya, dan sebaliknya akan merugilah di antara mereka yang mengotorinya. Cara mensucikan diri atau jiwa menurut pandangan Islam ialah bertaubat dan banyak mengingati Allah serta banyak melakukan amal soleh. Adapun mengotori jiwa pula ialah dengan melakukan dosa atau maksiat.
Keimanan dan ketakwaan kepada Ilahi
Keimanan dan ketakwaan kepada Illahi merupakan prinsip pertama gagasan Islam Hadhari. Ini menunjukkan iman dan
takwa menjadi tunjang dan tulang belakang dalam membentuk tamadun ummah di akhir zaman ini. Ini kerana ketakwaan
adalah kekuatan dalaman yang hebat. Tetapi persoalannya apakah difinisi tepat untuk makna takwa? Sahabat Omar al-
Khattab pernah bertanya maksud takwa kepada sahabat Ubai bin Kaab. Ubai berkata, "Pemahkah kamu berjalan di
sebatang jalan yang dipenuhi onak dan duri?" Jawab Omar, "Ya, pemah." Ubai bertanya lagi, "Apa yang kamu lakukan
ketika itu?" Omar berkata, "Aku berhati-hati dan bersungguh-sungguh." Berkata Ubai, "Itulah takwa." Dari?pada jawapan
Ubai bin Kaab, takwa bermaksud berhati-hati dalam hidup supaya tidak melakukan perkara yang haram serta
bersungguh-sungguh melaksanakan setiap amal ibadah yang dituntut. Tidak semua orang yang beriman bertakwa
kepada Allah. Justeru, dalam surah Ali Imran ayat 102 hingga 103, Allah mengarahkan orang yang beriman bertakwa
melalui firmannya yang bermaksud, "Wahai mereka yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenarbenar
takwa dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Berpegang teguhlah kamu pada tali
Allah dan janganlah kamu berpecah-belah. Ini bermakna sebenar-benar taqwa ialah umat yang bersatu-padu dan
berganding bahu pada agama Allah dan tidak bercakaran sesama sendiri dengan menggunakan platform agama
sebagai topeng kebenaran. Antara ciri-ciri takwa adalah seperti yang difirmankan Allah dalam surah al-Baqarah ayat 3
hingga 5 yang bermaksud, . ?Mereka beriman dengan yang ghaib, mendirikan solat serta menafkahkan sebahagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka beriman kepada kitab (Quran) yang diturunkan kepadamu
dan kitab-kitab yang diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan di akhirat. Merekalah orang
yang mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung." Berhubung dengan ayat ini,
Said Hawa di dalam al-Asas fit Tafsir berkata, "(Berpandukan ayat-ayat ini) takwa mempunyai tiang-tiang asas serta
bangunannya. Tiang-tiang asas itu adalah iman, solat serta menafkahkan harta dan bangunannya adalah kepatuhan
berpaksikan Kitab Allah. Kesemua ini adalah tuntutan takwa. Ramai orang tersilap apabila mereka menganggap
golongan yang meminggirkan Al-quran sebagai golongan yang bertakwa. Sebahagian yang lain pula tersilap apabila
mereka mengkategorikan golongan yang beriman tetapi mengabaikan solat dan nafkah sebagai golongan yang
bertakwa." Apabila diamati ayat 3 hingga 5 daripada surah Al-Baqarah, kita mendapati ciri takwa yang terpenting adalah
beriman kepada perkara ghaib. Sahabat Abdullah bin Masud berkata, "Tidak beriman seseorang dengan sesuatu yang
lebih afdal daripada beriman kepada perkara yang ghaib." Imam Abu Aliyah mentafsirkan perkara yang ghaib sebagai
beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, rasul-rasulnya, hari akhirat, syurga, neraka, kebangkitan selepas
mati serta per?temuan dengan Allah. Imam Zaid bin Aslam mentafsirkannya sebagai beriman kepada qadar. Hal ini
disebutkan di dalam Tafsir al-Quran ai-Azim oleh Ibn Kathir. Percaya kepada alam ghaib menjadikan umat Islam umat
luar biasa kecekalan serta kehebatannya. Kepercayaan ini men?jadikan umat Islam mampu mengharungi penderitaan
semasa diboikot ekonomi selama tiga tahun di Mekah. Ia juga menjadikan mereka sanggup meninggalkan harta benda
di Mekah bagi merentasi padang pasir berhijrah menuju ke Madinah. Ia menjadikan mereka berani menghadapi musuh
walaupun jumlah musuh lebih ramai daripada jumlah mereka. Sebagai contoh, di Badar tentera Islam hanya berjumlah
313 orang berbanding dengan tentera Qp.raisy 1,000 orang. Di perang Khandak, tentera Islam berjumlah 3,000 orang
berbanding dengan tentera Ahzab 10,000 orang. Di Yarmuk, tentera Islam berjumlah 39,000 orang berbanding dengan
tentera Rom 240,000 orang. Di Qadisiyah pula, jumlah tentera Islam adalah 41,000 orang berbanding dengan tentera
Parsi 200,000 orang. Berbekalkan keyakinan kepada Allah, tentera-tentera Islam berjaya mengalahkan musuh-musuh
mereka dalam semua peperangan ini. Kepercayaan ini juga menjadikan khalifah Omar bin Khattab sering menyoal
mereka yang datang menemuinya dari wilayah-wilayah Islam yang jauh berkenaan dengan keadaan golongan orang
bukan Islam kerana tidak mahu umat Islam menzalimi mereka. Ia menyebabkan seorang wanita, pada zaman khalifah
Omar, tidak mahu mencampurkan susu binatang yang dijualnya dengan air walaupun dengan cara itu dia akan
mendapat keuntungan yang lebih. Dia sekadar berkata, "Jika Khalifah Omar tidak nampak perbuatanku, Allah melihat
segala perbuatanku." Begitu besarnya pengaruh kepercayaan kepada Allah dan alam ghaib pada kehidupan umat Islam.
Ia melahirkan amal soleh ,serta sikap positif dalam hidup. Tambahan daripada itu, kepercayaan ini mampu
menghilangkan perasaan kecewa dan putus asa semasa diuji. Hal ini kerana umat Islam yakin, di tengah tengah
ketidakadilan dan kekejaman dunia hari ini wujud keadilan dan pertolongan Ilahi. Oleh itu, kita perlu percaya untuk
menegakkan konsep Islam Hadhari kita akan berdepan dengan sejuta mehnah dan tribulasi, maka ingatlah akan
pertolongan Allah dan para Malaikat akan membantu hambanya yang menegakkan dusturNya. Selain itu, takwa juga
menjamin kejayaan dan kecemerlangan umat Islam. Dalam surah al-Talaq ayat 2 hingga 3 Allah menjelaskan, "Barang
siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan adakan baginya jalan keluar dan (Allah) akan mengurniakan rezeki dari
arah yang tidak disangka-sangka kepadanya." Imam Ahmad meriwayatkan daripada Abu Zar, "Nabi telah membaca ayat
ini kepadaku (Abu Zar), kemudian beliau bersabda, 'Wahai Abu Zar jika manusia berpegang teguh dengan ayat ini ia
sudah mencukupi bagi mereka'." Ayat ini yang dianggap oleh sahabat Abdullah bin Masud ,sebagai 'formula
penyelesaian masalah yang teragung dalam al-quran? menunjukkan mereka yang bertakwa diilhamkan Allah dengan
petunjuk dan petunjuk ini memampukan mereka menyelesaikan masalah yang dihadapi. Lebih daripada itu, takwa juga
memurahkan rezeki di dunia. Justeru, tidak benar apabila ada orang berpendapat Islam hanya memfokuskan
kepentingan akhirat dan tidak mementingkan urusan dunia. Sebenamya, Islam mementingkan kedua-duanya cuma
Islam mahu kedua? duanya dicapai atas landasan takwa. Mengikut Ibn Abi Hatim, ayat ini diturunkan berkaitan dengan
insiden Auf bin Malik ditawan musuh. Ayahnya, Malik al-Asyja'ii, meminta nasihat nabi berhubung dengan perkara ini
dan nabi menyuruh Malik memperbanyakkan zikir dengan kalimat lahaula wala quwwata ilia billah. Tidak berapa lama
selepas itu Auf dapat melepaskan diri dan beliau terus kembali dengan membawa unta-unta musuh bersama-samanya.
Bapanya bersyukur dengan apa yang berlaku dan berita ini terus disampaikan kepada nabi. Nabi juga turut bersyukur
dan mengizinkan unta-unta itu dimanfaatkan. Kisah ini menunjuk?kan takwa berkait rapat dengan pertolongan Allah dan rezeki yang murah. Penonjolan serta manifestasi ayat ini adalah jelas. Antaranya, pada zaman khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Beliau terkenal sebagai pemimpin yang bertakwa lagi adil. Pemerintahannya memakan masa 30 bulan. Dalam
masa itu, kemiskinan berjaya dibanteras dan rakyat pada masa itu hidup dalam kemewahan. Berhubung dengan ini,
Yahya bin Said meriwayatkan, "Khalifah Umar Abdul Aziz mengutus aku untuk mengutip zakat di Afrika. Aku pun
melaksanakan tugas ini dan kemudiannya aku pun mencari golongan fakir miskin untuk diberikan zakat. Namun
golongan ini tidak aku temui. Sesungguhnya khalifah Omar Abdul Aziz telah menjadikan kami manusia yang kaya raya."
Memang benar, takwa menjamin kecemerlangan umat. Hal ini diperkukuhkan lagi dengan pemyataan Allah dalam surah
al-Anfal ayat 29 yang bermaksud, "Wahai mereka yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah Dia akan
memberi?kan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahanmu serta mengampuni dosa-dosamu." Sahabat
Abdullah bin Abbas, Imam Mujahid, Ikrimah, Dahhak, Qatadah dan Muqatil ibn Hayyan mentafsirkan kalimat furqan
dalam ayat ini sebagai 'jalan keluar'. Mengikut sesetengah riwayat, sahabat Abdullah ibn Abbas mentafsirkannya
sebagai kemenangan dan pertolongan (daripada Allah). Imam Ibn Kathir merumuskan pandangan-pandangan ini
dengan berkata, "Sesiapa yang bertakwa kepada Allah dengan melakukan apa yang disuruh dan meninggalkan apa
yang dilarang, akan diberikan petunjuk sehingga dia mengenali hak dan batil. Ini akan menjadi sebab musabab kepada
kebahagiaannya di Akhirat" Tambahan daripada itu, di samping keampunan, furqan dan anugerah-anugerah lain
daripada Allah, orang yang bertakwa serta berpegang teguh pada agarna didapati lebih sihat daripada orang lain.
Mengikut American National Institute of Health Research 75% daripada kajian-kajian sernasa yang berkaitan dengan
agarna dan kesihatan rnenunjukkan agarna dan ibadah mendatangkan kesan positif pada kesihatan individu. Menurut
kajian yang dilakukan oleh Dr. Harold G. Koenig, pengarah Centre for the Study of Religion/Spirituality and Health di
Universiti Duke, orang yang berpegang teguh pada agama mempunyai hormon interleukin-6 yang tinggi dalam darah.
Hormon interleukin-6 berfungsi rneningkatkan sistern daya tahan individu. Justeru, rugi orang yang rnemperkecilkan
takwa dan ber?gelumang dengan rnaksiat. Berhubung dengan ini, nabi berkata,?Sesungguhnya Allah rnenghararnkan
rezeki ke atas seseorang yang melakukan rnaksiat. Dan tidak ada sesuatu yang mampu menolak takdir rnelainkan doa,
dan tidak akan bertarnbah umur melainkan dengan rnelakukan kebaikan." Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-
Nasai dan Ibn Majah. Begitu juga keadaannya dengan kota ataupun negeri yang penduduk-penduduknya mengabaikan
takwa. Allah menimpa?kan bala serta menyempitkan pintu-pintu rezeki bagi penduduk?penduduk itu. Berhubung dengan
ini, Allah berfirman dalam surah an-Nahl ayat 112 yang bermaksud, "Dan Allah membuat satu perumpamaan dengan
sebuah negeri yang dulunya aman lagi tenteram, rezeki datang secara mencurah-curah dari segenap tempat, tetapi
penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah, kerana itu Allah menimpakan pakaian kelaparan dan ketakutan ke atas
mereka, disebabkan apa yang mereka lakukan."
Ciri-ciri TaqwaIngat Dua Perkara
Pertama:
Kebaikan, jasa dan budi orang kepada kita perlu diingat selalu dan sekiranya berpeluang, maka eloklah disebut-sebut dan dibalas walaupun balasan itu tidak setimpal
Lebih-lebih lagilah kita perlu ingat dan mensyukuri segala nikmat dan limpah kurnia Allah SWT kepada kita yang tidak terhingga banyaknya.
Tentulah terhadap Allah, lebih-lebih lagi patut kita rasakan sedemikian. Memang patut kita taat dan bersyukur kepada Allah, dengan membuat amal kebajikan biarpun segala amalan itu tidak mungkin setimpal dengan kurniaan Allah.
Kedua:
Kesalahan kita kepada orang lain hendaklah sentiasa kita ingat dan kita minta maaf daripadanya. Ingat selalu tentang kesalahan diri agar kesalahan itu tidak diulangi. Rasa bersalah itu penting kerana rasa itulah yang mendorong kita meminta maaf.
Itu terhadap kesalahan kita terhadap sesama manusia. Lebih-lebih lagilah kita perlu ingat dosa-dosa dan kederhakaan kita kepada Allah. Kita iringi ingatan kepada dosa-dosa itu dengan bertaubat. Kekalkan rasa berdosa itu supaya kita terhindar dari terbuat dosa-dosa yang lain dan hati kita sentiasa takut dan berharap agar Allah ampunkan dosa kita.
Lupa Dua Perkara
Pertama:
Lupakan segala budi, jasa dan kebaikan kita kepada orang.Jangan diungkit-ungkit dan dikenang-kenang.
Kembalikan segala kebaikan yang kita buat itu kepada Allah. Rasakan seolah-olah kita tidak pernah berbuat baik kepada orang. Lebih-lebih lagi, kita kena lupakan segala amal ibadah yang telah kita buat kepada Allah. Jangan diungkit-ungkit atau dikenang-kenang.
Rasakan seolah-olah kita tidak beramal. Dengan itu moga-moga hati kita tidak dilintasi oleh rasa ujub, sum’ah atau riyak atau rasa diri baik dan mulia.
Kedua:
Lupakan kejahatan orang terhadap diri kita. Anggaplah seolah-olah tidak ada siapa yang bersalah dengan kita supaya tidak tercetus rasa marah atau dendam terhadap orang.
Lebih-lebih lagi hendaklah kita lupakan segala kesusahan dan ujian, musibah atau mala petaka yang Allah timpakan kepada kita seperti sakit, kematian, kerugian, kemalangan dan kegagalan.
Atau banjir, kemarau, ribut taufan, tsunami, wabak penyakit, kemeseletan ekonomi dan sebagainya. Supaya tidak tercetus perasaan tidak sabar dan tidak redha dengan ketentuan Allah swt.
~* Salam…moga bermanfa’at, insyaALLAH
Ciri- ciri Isteri Idaman Lelaki Mukmin
T ~ Taat pada suami
A ~ ALLAH diutamakan
Q ~ Quran dijunjung
W ~ WanitaSholehah
A ~ Amanah tunai tanggungjawab
T ~ Tunjuk kasih sayang
A ~ anak-anak pandai dididik
A ~ Akhlaq mulia
T ~ Tutup keaiban suami
S ~ Solat dijaga
O ~ Orang tua dihormati
P ~ Puasa dikerjakan
A ~ Aurat dipelihara
N ~ Nabi dicontohi
~* MasyaALLAH,betapa istimewa larikan gratis
idea seorang Muslimah, moga ALLAH memberkati
usaha murni ukhti Farizah atas titipan nan indah ini.
~* InsyaALLAH sama-sama usaha capai as sholihah
dan sama-sama do’akan salam dunia dan salam akhirat
buat Muslim Muslimat seantero persada, insyaALLAH,
amiin.
Saamih ni ‘ala kulli hal, wassalamu bilkhair ajma’in.
ustaz Kazim Elias - ciri-ciri taqwa..copy paste tajuk ni search guna google...baru boleh lihat video ni
2 ulasan:
Manusia ni memang malang sebab dia ada tanda2 aje.
Ada tanda2 orang bertakwa. tapi TAKWAnya tak ade.
SEBENARNYA...SEMUA ANUGERAH ALLAH...KITA HANYA BERDOA...BERUSAHA KEMUDIAN BERTAWAKAL....
HANYA GULUNGAN TAKWA YANG ALLAH JAMIN MASUK SYURGA....
SEDANGKAN GULUNGAN MASUK SYURGA DAN BERSYUKUR ADALAH SEDIKIT....
INI SEMUA DALAM ILMU ALLAH SWT...
Catat Ulasan