Khamis, 5 Ogos 2010

Hukum Allah dan Sifat Kafir, Fasik, Zhalim

Hukum Allah dan Sifat Kafir, Fasik, Zalim Aqidah, Tata Cara Ibadah, Perdagangan,Syariah Online, Hukum Islam, Fiqih Ekonomi Islam dan Muamalat, Fiqih Wanita, Haji, Ibadah, Masalah Umum, Mumalat, Nikah dan Keluarga, Nikah dan Pranikah, Puasa, Shalat. Hukum Allah dan Sifat Kafir, Fasik, Zhalim -- , , Syariat Islam adalah ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.'

Asas Syara' Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits.

Baca Hukum Allah dan Sifat Kafir, Fasik, Zhalim berdasarkan Kategori , , :
Hukum Allah dan Sifat Kafir, Fasik, Zhalim

Rabu, 16/12/2009 10:58 WIB

Assalaamu 'alaikum wr.wb

Ustad ana mau menanyakan tentang kriteria Kafir, Dhalim dan Fasik karena tidak mau berhukum dengan Syariat Allah seperti yang tertulis dalam surat yang menentukan seseorang itu Kafir, Dhalim dan Fasik. Mohon penjelasannya Ustad. Jazakallaku khair.

abu shabir

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah swt bukanlah terbatas hanya untuk para hakim akan tetapi mencakup seluruh manusia yang menghukum (mengadili) terhadap perkara apa pun dengan selain yang diturunkan Allah swt, baik fatwa, putusan pengadilan atau lainnya seperti terhadap orang yang meminum khamr lalu dia mengatakan bahwa ini halal atau terhadap orang yang melakukan praktek riba lalu dia mengatakan ini halal, dan lainnya.

Apabila hukum terhadap orang yang tidak mengadili dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir atau zhalim atau fasiq maka ini adalah hukum yang tepat karena kefasikan adalah keluar dari apa yang disyariatkan, kezhaliman adalah melampaui batas yang telah disyariatkan sedangkan kekufuran adalah tidak mengimaninya.

Sesungguhnya pendapat sebagian mufasir bahwa menghukum dengan kafir adalah terhadap orang yang mengingkari hukum Allah atau menghinakannya, ini seperti pada ayat pertama berupa penolakan orang-orang Yahudi terhadap hukum Allah swt yang ada didalam taurat.

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al maidah : 44)

Dan menghukum dengan zhalim adalah terhadap mereka yang melanggar hukum qishash yang disebutkan didalam ayatnya :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45) Didalam ayat itu jelas disebutkan kezhaliman.

Sedangkan menghukum fasiq orang-orang yang memiliki kitab injil itu mencakup kekufuran karena mengingkari hukum Allah dan mencakup juga kezhaliman karena melampaui batas.

Namun demikian, sesungguhnya para ahli tafsir telah banyak memberikan pendapatnya dan pendapat mereka semua bermuara kepada bahwa pengingkaran terhadap hukum Allah atau penghinaan terhadapnya adalah kufur dan jika tidak mengingkari atau menghinakannya tetapi melampaui batas atau kurang didalam penerapannya maka hal itu bukanlah kekufuran akan tetapi ia adalah kezhaliman dan kefasikan.

Maka tidaklah dibenarkan untuk bersegera menghukum dengan kafir terhadap yang tidak menerapkan syariah Allah swt baik terhadap seseorang, jama’ah atau negara kecuali jika mereka meninggalkan hukum Allah dikarenakan pengingakaran atau penghinaan terhadapnya.

Permasalahan seperti ini pada umumnya adalah permasalahan yang tersembunyi dan tidak tampak secara jelas dan jika pun tampak secara jelas yang tidak memungkinkan adanya suatu tawil lain maka dibolehkan menghukumnya dengan kafir. Jika hal tersebut tidak diketahui dengan suatu keyakinan maka wajib baginya untuk tidak menghukumnya dengan kekafiran berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya.’Wahai Kafir’ maka hal itu akan kembali diantara mereka berdua. Bisa (kekafiran) itu menimpa dia (orang yang dituduh) dan jika tidak maka (kekafiran) itu akan kembali kepada dirinya (orang yang menuduh).” (HR. Muslim)

Berikut beberapa pendapat para mufasir klasik dan kontemporer.. :

Al Fakhrurozi (wafat 606 H) menyebutkan lima jawaban, diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ikrimah, yaitu : bahwa hukum kafir adalah untuk orang yang mengkufuri dan mengingkari. Adapun seorang mukmin yang menghukum dengan hukum Allah akan tetapi orang itu melanggarnya maka ia telah berbuat maksiat. Dia mengatakan bahwa kufur adalah mengurangi hak Allah swt sedangkan zhalim adalah mengurangi hak jiwa.

Al Baidhowi (wafat. 685 H) menyebutkan bahwa kekufuran mereka adalah karena pengingkaran mereka, kezhaliman mereka adalah karena menghukum dengan menyalahinya sedangkan kefasikan mereka adalah karena keluar darinya.

Az Zamakhsyari (wafat 528 H) mengatakan bahwa barangsiapa yang mengingkari hukum Allah adalah kafir, barangsiapa yang tidak menghukum dengannya sedangkan dirinya meyakini—hukum tersebut—maka ia adalah zhalim fasik.

Al Alusiy (wafat 1270 H) mengatakan bahwa bisa jadi disifatkannya mereka dengan tiga sifat yang berbeda-beda itu adalah bahwa barangsiapa yang mengingkarinya maka mereka disifatkan dengan orang-orang kafir, jika mereka meletakkan hukum Allah bukan pada tempat yang sebenarnya maka mereka disifatkan dengan orang-orang zhalim sedangkan jika mereka keluar dari kebenaran maka mereka disifatkan dengan orang-orang fasiq. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 2)

Wallahu A’lam




Awan Ule Setiawan Apakah hukumnya orang Islam (yg berkuasa pada suatu pengadilan) dan oleh pemerintah ia diberi kuasa menghukum menurut agama Islam, tetapi ia tidak menghukum menurut aturan Islam, padahal yang dihukum itu orang Islam juga?

Menurut ayat2 Qur'an, bahwa seseorang yang tidak menghukum sebagaimana aturan Allah, maka dikatakan oleh Allah dengan :

"Dan barangsiapa tidak menghukum dengan (hukuman) yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu ialah orang-orang yang fasik" (Al-Maidah, 47)

"Dan barangsiapa tidak menghukum dengan (hukuman) yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu ialah orang-orang yang zhalim" (Al-Maidah, 45)

"Dan barangsiapa tidak menghukum dengan (hukuman) yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu ialah orang-orang yang kafir" (Al-Maidah, 44)

Pertama, dinamakan fasik, zhalim (aniaya) lalu kafir. Tentang orang yang menghukum dengan hukuman yang lain daripada hukum Allah itu, paling tidak orang tersebut dapat dikatakan:

1) Kalau ia menghukum dengan kebodohannya, yakni tidak tahu bahwa ia tidak boleh menjalankan selain hukum Allah, maka orang tersebut dikatakan fasik, yaitu tidak menurut perintah Allah. Orang ini berdosa lantaran tidak belajar hukum2 Allah yang wajib ia pelajari.

2) Kalau ia menghukum dengan sengaja serta mengaku di dalam hatinya kesalahan hukum yang bukan dari Allah itu, maka orang ini dinamakan zhalim alias penganiaya, karena ia menganiaya orang lain dengan menjatuhkan hukum yang bukan disukai oleh Allah dan juga menganiaya dirinya lantaran durhaka kepada Allah dengan menjalankan hukum yang tidak disukai Allah.

3) Kalau ia menghukum dengan sengaja serta merasa hukum ini adalah lebih baik daripada hukum Allah, maka orang itu tidak syak lagi tentang kekufurannya.

Masalahnya, bisakah hukum Islam diterapkan di negeri kita, sedangkan Indonesia adalah bukan negara Islam..?.

Jawabannya adalah... BISA..!!! dan HARUS BISA..!!!. Tinggal ada kemauan dari kita semua.

Karena bangsa ini mayoritas beragama ISLAM, jadi sepatutnya hukum Islamlah yang harus ada di negeri ini. Saya tidak menganjurkan jadi negara Islam, karena hal itu belum/tidak memungkinkan.

Saya menilai dari segi hukum, bangsa kita merasa punya hukum yang lebih hebat dari hukum Allah SWT, itupun cuma warisan kolonial.

Karena di negeri kita terdiri dari berbagai suku, agama dan kebudayaan, maka solusi yang ingin saya kemukakan di bidang hukum adalah;

Adopsi hukum2 Islam (Hukum Syariat Islam), baik pidana maupun perdata… terapkan khusus bagi orang WNI yang beragama Islam dan/atau kepada orang2 yang berhubungan dengan orang Islam itu sendiri, misalnya karena hubungan pernikahan, pekerjaan dan lain sebagainya. Bagi orang2 yang beragama Non-Islam, bilamana antar mereka berperkara, maka dikenakan Hukum Nasional.

Jadi kesimpulannya, negara kita menganut hukum ganda, yaitu HUKUM SYARIAT ISLAM dan HUKUM NASIONAL. Dengan cara ini, diharapkan dan pasti tercipta keadilan dan kebenaran bagi seluruh rakyat dan Insya Allah dapat menjadi bangsa yang diridhai serta dirakhmati oleh Allah SWT. Amin.

Saya jadi sungguh2 merenung, mungkin karena kita sudah berani menyepelekan hukum tuhan, jadi benar2 bangsa ini seperti dikutuk. Coba kita ingat2…. Krismon akut, bencana bertubi-tubi, keributan dimana-mana serta banyak orang tolol yang berusaha hidup dengan korup. Ya Allah…. Hanya kepadaMU kami berlindung dan berserah diri.




5:44
Sahih International
Indeed, We sent down the Torah, in which was guidance and light. The prophets who submitted [to Allah ] judged by it for the Jews, as did the rabbis and scholars by that with which they were entrusted of the Scripture of Allah , and they were witnesses thereto. So do not fear the people but fear Me, and do not exchange My verses for a small price. And whoever does not judge by what Allah has revealed - then it is those who are the disbelievers.
Tafsir al-Jalalayn
Surely We revealed the Torah, wherein is guidance, from error, and light, that is, an exposition of the rulings, by which the prophets, from the Children of Israel, who had submitted, [who] had been compliant before God, judged for those of Jewry, as did the rabbis, the scholars among them, and the priests, the jurists, according to, because of, that which they were bidden to observe, [that which] was entrusted to them, that is to say, [that which] God bid them to observe, of God’s Scripture, lest they change it, and were witnesses to, its truth. So do not fear men, O Jews, in disclosing what you have pertaining to the descriptions of Muhammad (s), the ‘stoning’ verse and otherwise; but fear Me, when you conceal it; and do not sell, do not exchange, My signs for a small price, of this world, which you take in return for concealing them. Whoever does not judge according to what God has revealed — such are the disbelievers, in it.
5:45
Sahih International
And We ordained for them therein a life for a life, an eye for an eye, a nose for a nose, an ear for an ear, a tooth for a tooth, and for wounds is legal retribution. But whoever gives [up his right as] charity, it is an expiation for him. And whoever does not judge by what Allah has revealed - then it is those who are the wrongdoers.
Tafsir al-Jalalayn
And therein, in the Torah, We prescribed, We made obligatory, for them that a life, be slain in return, for a life, if it has slain one; and an eye, should be gouged out, for an eye, and a nose, is to be cut off, for a nose, and an ear, is to be amputated, for an ear, and a tooth, should be pulled out, for a tooth (a variant reading has the last four [nouns] in the nominative); and for wounds (read wa’l-jurūhu or wa’l-jurūha) retaliation, that is, the person is entitled to retaliate if this is feasible, as in the case of a hand or a leg; but in cases where one is not able to [retaliate], this is left to arbitration. Although this stipulation was prescribed for them, it is established in our Law; but whoever forgoes it, that is, retaliation, out of charity, able to restrain himself, then that shall be an expiation for him, of what he has done [of other sins]. Whoever does not judge according to what God has revealed, in the matter of retaliation and otherwise, those are the evildoers.
5:46
Sahih International
And We sent, following in their footsteps, Jesus, the son of Mary, confirming that which came before him in the Torah; and We gave him the Gospel, in which was guidance and light and confirming that which preceded it of the Torah as guidance and instruction for the righteous.
Tafsir al-Jalalayn
And We caused Jesus son of Mary to follow in their, that is, the prophets’, footsteps, confirming the Torah before him; and We gave to him the Gospel, wherein is guidance, from error, and light, an exposition of the rulings, confirming (musaddiqan is a circumstantial qualifier) the Torah before it, the rulings contained therein, and as a guidance and an admonition to the God-fearing.
5:47
Sahih International
And let the People of the Gospel judge by what Allah has revealed therein. And whoever does not judge by what Allah has revealed - then it is those who are the defiantly disobedient.
Tafsir al-Jalalayn
We said: So let the People of the Gospel judge according to what God has revealed therein, of rulings (a variant reading of wa’l-yahkum, ‘let [them] judge’, is wa-li-yahkuma, making it a supplement to that which is governed by the previous verb [ātaynāhu, ‘We gave to him’]). Whoever does not judge according to what God has revealed — those are the wicked.


HUKUM ALLAH DIHINA ‘ULAMA’

[SN124]
Kita sudah tidak dapat menutup mata lagi dengan peningkatan kadar jenayah yang berlaku sekarang. Manusia
sudah hilang sifat kemanusiaannya dan sistem yang ada terus gagal membendung segala masalah. Jenayah terhadap
harta terjadi di mana-mana, dari wang yang di simpan di bank-bank, sehingga kepada motosikal yang di letak di kaki
lima. Anggapan bahawa hanya orang yang tak berpelajaran sahaja yang melakukan jenayah sudah tiada lagi
kebenarannya. Golongan profesional pun nampaknya tidak mahu alah di dalam perbuatan laknat ini. Kes pagar makan
padi sudah menjadi kebiasaan. Mereka yang diamanahkan untuk menjaga wang/harta orang lain sudah tidak segan
silu lagi menggelapkannya. Sejak 1995 hingga sekarang, polis menerima 249 aduan mengenai kegiatan pecah amanah
membabitkan peguam dan 32 daripadanya berjaya diselesaikan. Tuntutan tertinggi ialah RM20 juta pada 2004 dengan
120 aduan diterima pada tahun yang sama dan 29 orang peguam digantung, manakala 51 orang dibuang dan terkini, 25
orang lagi dikehendaki untuk membantu 217 kes pecah amanah [UM 29/01/07].

Kita tidak dapat lagi menafikan hakikat bahawa segala keburukan dan kezaliman sedang membelit kita. Selain kecurian
dan pecah amanah, pembunuhan, rogol, rompakan, samun, ragut dan sebagainya sudah menjadi sajian utama beritaberita.
Apa yang kita saksikan ini merupakan manifestasi yang jelas dari kegagalan dan kerosakan sistem sekular yang
ada sekarang walaupun dibaluti oleh Islam Hadhari. Dengan segala keburukan yang ada, kita lalu mengharapkan
golongan cendekiawan Islam khususnya golongan alim-ulama untuk membawa kita keluar dari kegelapan Jahiliyah ini
menuju cahaya Ilahi.

Ke mana lagi kita akan menggantung harapan jika tidak dengan Islam? Pemerintah kaum Muslimin
pun menyedari akan hakikat ini, tetapi malangnya hawa nafsu mempengaruhi mereka. Mereka lalu menjadikan golongan
yang mereka gelar dan iktiraf sebagai ulama bagi mengabui mata umat Islam. Para ‘ulama’ ini pula, kerana dilantik oleh
pemerintah, maka mereka pun tidak akan bercakap kecuali demi kepentingan pemerintah dan mereka tidak akan
berkhidmat kecuali semata-mata kepada tuan mereka, bukannya kepada Tuhan mereka. Justeru, tenggelamlah mereka
dan umat ke dalam kesesatan. Na’uzubillah min zalik.

HUKUM ALLAH DIHINA ‘ULAMA’

Penguasa Dan ‘Ulama’ Menghina Hukum Allah
Walaupun kita amat marah jika orang kafir menghina
hukum-hukum Allah, tetapi ini adalah sifat semula jadi
mereka sebagai musuh Allah. Tetapi jika orang yang diberi
pengiktirafan sebagai ulama menghina hukum Allah, maka
hal ini sudah tentu akan membuak-buakkan lagi perasaan
amarah semua orang, kecuali para pengikut setia sekular
yang memang bencikan hukum Allah. Sebagai seorang
yang beriman, kita sekali-kali tidak boleh berdiam diri,
walaupun sedikit sahaja hukum Allah itu dipermainkan
oleh sesiapa sahaja. Wahai para pembaca yang ikhlas!
Perhatikanlah akan hal ini dan perhatikanlah apa yang
diucapkan oleh salah seorang tokoh agama ini:-
“Orang tu mencuri, adakah kerja kita nak buat hudud
potong tangan dia saja. Takpelah! dia mencuri tangan
kanan, potong tangan kanan, dok esok dia mencuri lagi,
potong tangan kiri, lepas tu dia mencuri lagi, nak potong
apa pun tak tau, potong kaki pulak, (lepas tu) mencuri
lagi, curi dengan mulut la dah takde tangan! Adakah
kita nak melaksanakan hukum potong tangan tu ke
ataupun kita nak bawa dia, bagi kerja kat dia? Kita
bagi kat dia ruang macam mana dia boleh berniaga,
bila dia sudah ada ruang-ruang kebaikan, maka dia
tak mencuri la, macam tu lah...” [Datuk Dr. Mashitah
Ibrahim, Setiausaha Parlimen di Jabatan Perdana
M e n t e r i ( h t t p : / / w w w . y o u t u b e . c o m /
watch?v=SmGoTY4TB2g)].

Kata-kata ini cukup jelas
menggambarkan bagaimana Dr. Mashitah telah menghina
hukum Allah dengan mempersoalkan hukum potong
tangan bagi pencuri (sariqah) secara terang-terangan.
Versi Islam apakah yang hendak diperjuangkan oleh ahli
parlimen kawasan P16 Baling ini?
Sebenarnya, petikan kata-kata Dr Mashitah yang
mempertikaikan dengan jelas hukum yang qat’ie ini
hanyalah satu dari banyak lontaran dan tuduhan negatif
ke atas hukum-hakam Islam khususnya hudud. Antara
kata-kata sinis seperti ini pernah dikeluarkan oleh mantan
Perdana Menteri, Tun Dr Mahathir pada 14 Julai 1992
kepada wartawan: “Apabila hukum rejam dengan batu
sampai mati kepada penzina dan potong tangan kepada
pencuri, nescaya ramailah rakyat Islam yang mati dan
kudung tangan.

Ini sangat memalukan umat Islam
kerana orang bukan Islam akan sempurna sifatnya dan
boleh meneruskan kerja”. Tidak sekadar itu sahaja, malah
kerajaan Kelantan yang ingin melaksanakan hukuman
hudud turut dilempar dengan kata-kata seperti: “Kerajaan
Kelantan harus dipertanggungjawab jika berlaku huru
hara, ketidakstabilan politik, perpecahan di kalangan
umat Islam dan kegelisahan rakyat apabila hukum
hudud dilaksanakan di negeri itu. Rakyat harus menyoal
perlaksanaan hukum itu menguntungkan atau
menyebabkan perpecahan, pertentangan dan
ketidakstabilan politik.

Tidak semua negara Islam
mengamalkan hukum hudud, bahkan ada negara Islam
lebih makmur tanpa hukum itu.” (Dato’ Seri Najib Tun
Razak, 20 April 1992).

Dahulu, media Barat pernah menuduh hukum Islam
sebagai ‘barbaric’ apabila seorang wanita di Nigeria
dikenakan hukuman rejam sampai mati di atas kesalahan
zina. Seperti yang telah dinyatakan, jika yang menghina
Islam itu adalah Barat, ini bukanlah sesuatu yang pelik,
tetapi jika yang menghina itu adalah dari kalangan umat
Islam sendiri, maka ini merupakan bukti betapa pemikiran
kufur Barat telah mendominasi pemikiran umat Islam. Di
antara pemikiran Barat yang didewa-dewakan oleh
sebahagian dari kaum Muslimin sehingga membinasakan
mereka sendiri adalah:-

(i) Kebebasan Bersuara: Kebebasan bersuara (freedom
of speech) yang terbit dari idea Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah antara intipati ajaran sekular-demokrasi. Idea yang
dipelopori oleh ahli falsafah tersohor Perancis pada abad
ke 18 iaitu Voltaire ini bukan sahaja dianuti oleh orang
kafir, malah umat Islam sendiri turut mengagungkannya
sehingga meyakini bahawa seseorang Muslim itu bebas
berkata apa sahaja hatta walaupun perkara yang
diperkatakan itu jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Mereka bersuara atas dasar adanya ‘kebebasan’ ini,
bukannya bersuara atas dasar mematuhi perintah dan
larangan Allah dan untuk mendapat redhaNya.

(ii) Menjadikan ‘realiti’ sebagai piawai: Sebahagian umat
Islam meletakkan realiti (waqi’) sebagai tolok-ukur atau
piawaian (miqyas) dalam menentukan sama ada sesuatu
hukum itu boleh dilaksanakan atau tidak. Contoh paling
ketara adalah isu poligami. Kewujudan individu yang
terlibat dalam salah laku rumah tangga seperti pengabaian
tanggungjawab terhadap isteri dan anak-anak telah
dijadikan penyebab ‘hukum’ ini mesti dihapuskan,
sedangkan salah laku seumpama ini tetap terjadi di
kalangan mereka yang mengamalkan monogami. Mereka
turut meyakini bahawa hukum berubah mengikut zaman,
justeru ia wajar dipinda sesuai dengan keperluan semasa.
Mereka ini jahil bahawa yang berubah adalah realiti,
bukannya hukum, dan realitilah yang perlu mengikut
hukum, bukan sebaliknya.

(iii) Akal diletakkan di atas (lebih tinggi dari) hukum
syarak: Kita mendapati tidak sedikit dari kalangan umat
Islam sendiri yang meletakkan akal di atas hukum syarak.
Mereka menggunakan logik akal untuk tidak menerapkan
hukum Allah. Contohnya ucapan Tun Dr Mahathir pada
2 Mei 1992 di Papar Sabah,

“Bagaimana kita boleh maju
kalau orang Islam sudah tidak ada tangan dan kaki.
Bagaimana mereka mahu bersaing dengan bangsabangsa
lain kalau sifatnya sudah tidak cukup. Hukum
hudud tidak sesuai dilaksanakan di negara ini yang
mempunyai rakyat berbilang kaum dan agama”. Di sini
akal mengatakan bahawa kewujudan masyarakat majmuk
adalah penghalang kepada pelaksanaan hudud,
sedangkan sewaktu Junjungan Besar Muhammad
Sallallahu ‘alaihi wa Sallam mendirikan Negara Islam
pertama di Madinah dan seterusnya di dalam Daulah Islam
yang gah berdiri lebih dari 1300 tahun, hukuman hudud
tetap berjalan sungguhpun Daulah Islam didiami oleh
masyarakat majmuk. Tidak pula mereka menggunakan akal
untuk memahami hal ini!

(iv) Meletakkan Islam sebagai masalah, bukan
penyelesaian: Gejala negatif dan salah laku membabitkan
individu tertentu dan kelompok masyarakat dari kalangan
umat Islam sering kali menjadikan umat Islam terkeliru.
Islam diukur dari kaca mata ‘penganut/pengamalnya’,
bukan dari ‘agama Islam’ itu sendiri. Contohnya, apabila
‘pengamal poligami’ gagal memenuhi tuntutan dan
tanggungjawab, bukan ‘pesalah’ yang dihukum
sebaliknya ‘hukum poligami’ yang dipersalahkan. Poligami
dianggap sebagai satu masalah dan penyumbang kepada
penderitaan yang dialami kaum hawa.


Walhal setiap hukum Islam itu adalah penyelesai kepada setiap masalah.
Jadi, sebagai salah satu dari hukum Islam, poligami juga
sebenarnya adalah penyelesai atau jalan keluar kepada
masalah. Dari sudut inilah hukum Islam itu sepatutnya
dipandang, bukannya dari kaca mata Barat yang
sememangnya sentiasa mencari jalan menyerang pemikiran
Islam.

Contoh lain, mereka yang memandang Islam sebagai
masalah adalah seperti ungkapan “Kalau hukum potong
tangan dilaksanakan maka macam mana mereka hendak
bekerja untuk menyara keluarganya nanti?. Kan lebih
baik diberi mereka kerja dari potong tangan mereka?”
Hukum pencurian (sariqah) dalam Islam
Hukum mencuri di dalam Islam adalah termasuk di dalam
hukum yang ma’lum minaddin bi dharurah. Hukuman
bagi pencuri adalah dipotong tangannya, iaitu sampai
batas pergelangan tangan kanan.

Dalilnya adalah firman
Allah, “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
seksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” [TMQ Al-Maidah (5):38] ‘Curi’ yang
ditakrifkan dalam ayat di atas secara perundangan Islam
adalah pengambilan harta secara sembunyi dari pemiliknya
atau wakilnya, dengan syarat mencukupi nisab potong
tangan, dan mengeluarkan dari tempat penjagaan atau
seumpamanya, dan tidak ada unsur syubahat terhadap
harta tersebut [Nizham Al-‘Uqubat, Abd Rahman Maaliki,
hal. 60].

Hukum potong tangan tidak akan dijatuhkan
kecuali memenuhi 7 syarat utama:-
Pertama: Menepati definisi mencuri: makna mencuri di
sini adalah mengambil harta secara sembunyi-sembunyi
dan sorok-sorok. Tidak dikatakan mencuri jika merompak,
menggelap wang (pecah amanah), merampas dan meragut.
Oleh sebab itu peguam yang menggelapkan wang kliennya
tidak termasuk dalam jenayah pencurian yang kena
potong tangan.

Walaupun mereka ini tidak dikenakan
hukuman potong tangan, namun mereka akan dikenakan
hukuman takzir, yang mungkin lebih berat dari potong
tangan. Kesalahan ini tidak dikategorikan sebagai curi
kerana ada hadis dari Jabir bahawa Rasulullah Sallallahu‘alaihi wa Sallam bersabda “Tidak dipotong tangan orang
yang pecah amanah, orang yang menipu dan perampas”
[HR Abu Daud]


Kedua: Barang yang dicuri mencukupi nisab: Cukup
nisab adalah syarat minima nilai harta yang dicuri. Jumhur
ulama di antaranya Al-Malikiyah, Asy-Syafi‘iyah dan Al-
Hanabilah sepakat bahawa nisab pencurian itu adalah
seperempat dinar atau 3 dirham. Satu dinar adalah setara
dengan 4.25 gram emas (24 karat).

Dalilnya adalah sabda
Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dari Aisyah ra.
“Tangan pencuri dipotong untuk seperempat dinar atau
lebih.” [HR Bukhari & Muslim]. Dari hadis ini dapat
dibuat kesimpulan bahawa perkiraan nisabnya adalah ¼ x
4.25g = 1.0625g. Mengikut kiraan, harga semasa emas ialah
RM86/g. Jadi, 1.0625g x RM86 = RM91.38. Oleh itu, nisab
kecurian sekarang adalah RM91.38. Sekiranya seorang
itu mencuri barangan berharga RM90.50 maka tangannya
tidak dipotong kerana belum cukup nisab lagi, tetapi dia
tetap akan dikenakan hukuman takzir.

Ketiga: Harta yang dicuri adalah harta yang layak
dimiliki: Layak (ihtiram) adalah di sisi hukum syarak.
Jika seseorang Muslim menyimpan khamar atau khinzir di
rumahnya kemudian dicuri, hal ini tidak akan menyebabkan
pencuri dihukum potong tangan kerana harta tersebut
bukanlah satu pemilikan yang layak untuk orang Islam.
Sebaliknya jika dia mencuri harta tersebut dari orang kafir,
maka pencuri akan dikenakan potong tangan.

Keempat: Harta dicuri dari tempat penjagaan:
Maksudnya barang yang dicuri itu mesti berada di dalam
penjagaan, penyimpanan atau pengawasan pemiliknya.
Bentuk penjagaan ini terdiri dari dua kategori, iaitu yang
pertama, ia dibuat khas untuk menyimpan seperti peti
besi untuk perhiasan dan wang, kandang untuk binatang,
jelapang untuk padi dan sebagainya yang dimaklumi oleh
masyarakat.

Yang kedua, memang bukan media
penyimpanan khusus namun termasuk cara umum di mana
seseorang berada di situ dan orang lain tidak boleh
menguasainya kecuali atas izinnya. Contohnya adalah
seseorang yang duduk/tidur di masjid dan meletakkan
beg di sisinya.

Ini termasuk dalam penjagaan. Konsep
‘pengawasan’ terhadap harta ini adalah berbeza antara
satu harta dengan harta lain. Ulama fiqih bersepakat
mengatakan jika satu pintu stor atau kandang terbuka,
atau bahagian dindingnya rosak maka ini akan
menghilangkan sifat penjagaan, maka pencuri itu tidak
dipotong tangan, namun mereka akan dikenakan hukuman
lain.

Dari Amru bin Syuaib dari bapanya dan dari datuknya
berkata “Aku mendengar seorang lelaki dari Bani
Muzainah bertanya kepada Rasulullah tentang sangkar
yang ada lubang: Maka Rasulullah Sallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda: Pencuri itu kena bayar 2 kali
ganda harganya dan dipukul sebagai teladan balasan
seksa, namun jika dia mencuri unta atau kambing dalam
pengawasan untuk minum air maka tangannya akan
dipotong jika harganya menyamai 8 mijan” [HR Abu
Daud]

Begitu juga dalam hadis lain yang menceritakan
perihal orang yang mencuri buah semasa berada ditangkai,
maka mereka ditakzir dengan nilai dua kali ganda, tapi jika
mereka mencuri dari stor maka mereka akan dipotong
tangan jika cukup nisabnya.

Kelima: Bukan harta syubahat: Dalam harta yang dicuri
tidak ada bahagian hak pencuri atau yang membolehkan
pencuri itu memakannya. Ini bermakna tidak dikenakan
hukuman potong tangan sekiranya siayah mencuri harta
anaknya atau sebaliknya kerana Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda “Kamu dan harta kamu adalah
milik bapa kamu” Rasululah juga bersabda “Sebaik-baik
orang itu adalah orang yang memakan hasil usahanya
sendiri, dan anaknya juga memakan hasil usahanya.”

Seorang yang mencuri harta dari Baitul Mal juga tidak
dipotong tangan kerana Baitul Mal adalah harta bersama
di mana di dalamnya terdapat hak si pencuri sebagai rakyat
meskipun kecil bahagiannya. Sebagaimana dijelaskan oleh
Rasulullah bila seseorang ditangkap kerana mencuri
khumus (1/5 dari rampasan perang yang dikhaskan kepada
Rasulullah).

Ibn Abbas menceritakan bahawa kes ini
dibawa kepada Rasulullah, tetapi baginda tidak memotong
tangannya, sebaliknya bersabda “Harta Allah dicuri di
kalangan sendiri” [HR Ibn Majah]. Semasa pemerintahan
Umar dan Ali juga terjadi kecurian di Baitul Mal namun
mereka tidak memotong tangan, kerana kaum Muslimin
bersyarikat (berkongsi) di atas harta itu. Begitu juga kalau
salah seorang suami-isteri mencuri harta pasangannya,
maka hukum potong tangan tidak dijalankan kerana mereka
saling berkongsi di dalam pemilikan harta.

Keenam: Pencuri itu akil-baligh dan terikat hukuman
dalam Islam. Taklif ini terkena kepada semua orang
termasuk kafir zimmi. Ini kerana hadis Nabi Sallallahu
‘alaihi wa Sallam menyebut dengan jelas bahawa,
“Diangkat pena (dosa) dari 3 pihak, orang yang tidur
sehingga dia bangun, kanak-kanak sehingga dia
baligh, dan orang yang gila sehingga dia berakal”[HR
Muslim]. Ini bermakna taklif hukum terkena kepada orang
yang berakal dan baligh.

Pencuri kanak-kanak atau orang
gila tidak akan dipotong tangan. Adapun kafir zimmi maka
tangan mereka dipotong sebagaimana Muslim juga.
Ketujuh: Sabit kesalahan mencuri dengan pengakuan
atau disaksikan oleh saksi yang adil: Pengakuan mencuri
dalam sidang penghakiman akan menyebabkan seseorang
itu boleh disabit dengan pencurian.

Dari Abu Umaiyah
Makhzumi menceritakan bahawa Rasulullah Sallallahu
‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan potong tangan
seorang yang datang mengaku mencuri walaupun benda
yang dicurinya tidak ada ditangannya. [HR Ahmad].
Manakala jika kes dibawa dan bayyinah (pembuktian)
diperlukan, nisab saksi mata untuk kes pencurian adalah
2 orang lelaki atau 1 lelaki dan 2 wanita berasaskan nas
umum saksi dalam surah 2:286.

Inilah tujuh syarat hukum potong tangan di dalam Islam.
Walaupun hukum potong tangan dijalankan, terdapat
syarat lain bahawa si pencuri perlu mengembalikan semula
harta yang dicurinya kepada pemiliknya Ini berasaskan
hadis Nabi Sallallahu ‘alaihi wa Sallam “Apabila dicuri
dari seseorang bekalannya, maka harta itu ditemui pada
orang lain (pembeli), maka dia berhak mengambilnya,manakala penjual akan mengembalikan wang
harganya kepada pembeli itu” Ini menunjukkan wajib
harta yang dicuri dikembalikan kepada tuannya. Jika
barangan itu binasa atau hilang maka kewajipan keatasnya
membayar harga yang setimpal. Dan apa-apa kerugian
yang diakibatkan oleh kecurian itu akan dikira dan pencuri
wajib menggantikannya.
Mematahkan Logika Lapuk Sekularis
Menurut pemuja sekular, apabila undang-undang yang
wujud dianggap dapat menyelesaikan masalah, ia tidak
perlu dipinda, jauh sekali untuk dihapuskan. Jika ia gagal,
barulah pindaan akan dibuat. Datuk Dr.Yusuf Nor di dalam
temubualnya dengan Radio Tiga Ibu Kota, 6 Mac 1994
pernah mengatakan bahawa “Sebarang undang-undang
yang dilaksanakan di Malaysia sekarang yang selaras
dengan undang-undang Islam boleh dianggap sebagai
undang-undang Islam.” Pihak sekularis juga sering
mengetengahkan hujah dangkal mereka bahawa jika
dipotong tangan pencuri, ini akan menyebabkan kita rugi
dari segi ekonomi kerana orang yang kudung tidak dapat
bekerja dengan sempurna dan tidak dapat menyara
keluarga mereka.
Sampai bilakah golongan yang mengagung-agungkan
undang-undang buatan manusia (man-made laws) ini
akan sedar dari pemikiran kufur dan kejahilan yang ada
pada mereka? Kami bentangkan di sini sedikit fakta agar
terbukalah tempurung pemikiran mereka. Berdasarkan
statistik pada tahun 2006, perbelanjaan yang ditanggung
oleh kerajaan untuk mengurus banduan adalah sebanyak
RM1,274,490 (RM1.27 juta). Berdasarkan jumlah banduan
pada ketika itu yang seramai 42,483 ribu orang [Bernama
14/09/06], dari sini kita dapat mengira kos purata untuk
setiap banduan iaitu 1,274,490 x 30 / 42,483 = RM900
sebulan seorang. Katakan seseorang dijatuhkan hukuman
atas kesalahan mencuri besi paip bernilai RM300 dan
dipenjarakan selama 3 tahun (mengikut Seksyen 380
Kanun Keseksaan), maka selama tempoh hukuman di
penjara, secara purata, kerajaan terpaksa mengeluarkan
belanja sebanyak RM32,400 (RM900 x 12 x 3). Jika diukur
dengan ‘nilai’, ini adalah tidak memadai kerana kerugian
barangan sebanyak RM300 terpaksa ditanggung dengan
kerugian wang rakyat sebanyak RM32,400, lebih kurang
100 kali ganda. Manakala jika hukum Allahlah yang
dijalankan, tiada langsung wang rakyat yang akan
dibazirkan dan yang lebih utama, pemerintah itu akan
dikasihi oleh Allah dan juga rakyatnya. Maha Suci Allah!
Alangkah jahilnya pemikiran mereka yang menolak
hukumMu.
Para penganut sekular dan juga Dr Mashitah beranggapan
bahawa penyelesaian bagi kes mencuri adalah dengan
memberi peluang pekerjaan kepada si pencuri dan
bukannya menjatuhkan hukuman potong tangan.
Logiknya, jika si kudung mencuri lagi, maka akan
kudunglah kedua-dua tangannya yang membawa natijah
dia tidak akan dapat bekerja untuk menyara keluarga. Yang
anehnya, tidakkah mereka ini memikirkan bahawa jika si
pencuri masuk penjara, siapakah yang akan memberikan
nafkah kepada keluarganya sepanjang dia di penjara?
Tidakkah mereka juga terfikir bahawa tempoh penjara
yang lama di samping pergaulan dengan ‘rakan sejawat’
yang lebih ‘senior’ dan berpengalaman memburukkan lagi
keadaan. Buktinya, terdapat banyak kes di mana sejurus
selepas dibebaskan, mereka menjadi pencuri yang semakin
‘expert’ dan profesional. Rompakan dilakukan dalam skala
lebih besar dan rangkaian mereka juga yang semakin
melebar.
Apa pun alasannya, sebagai seorang ‘ulama’ dan seorang
Islam, Dr Mashitah sepatutnya sedar dan insaf bahawa
hukum Allah tidak boleh dipandang dari segi logik. Hukum
Allah bukan diterapkan berdasarkan logik atau tidak logik,
hukum Allah diterapkan kerana ia adalah wajib! Kewajipan
menerapkan hukum potong tangan datangnya dari Al-
Quran dan ia lahir dari akidah Islam itu sendiri. Haram
bagi umat Islam untuk mempertikaikannya, apatah lagi
menukar ganti dengan yang lain. Hanya mereka yang
berpemikiran sekular sahaja yang akan sanggup
mempertikaikan hukum yang datang dari Zat Yang Maha
Kuasa ini.
Khatimah
Wahai kaum Muslimin! Sedar dan bangkitlah dari segala
kehinaan ini. Sampai bilakah kalian akan berdiam diri
dengan apa yang kalian dengar dan saksikan? Jika benar
kalian adalah golongan yang membaca Al-Quran, maka
sanggupkah kalian hanya berpeluk tubuh mendengar
Kalamullah ini dipermainkan? Apakah kalian ingin
bersama dengan mereka yang mempersoalkan hukum
Allah yang mana kalian nanti akan dipersoalkan oleh Allah
kerananya?

Atau apakah kalian ingin memilih untuk
bersama-sama dengan golongan yang berjuang
menegakkan hukum Allah dan kalian akan meraih
kemuliaan dengannya? Ya Allah, Engkau adalah Rab yang
Maha Mendengar dan Maha Berkuasa! Berikanlah
kemuliaan kepada orang yang memuliakan agamaMu dan
Berikanlah kehinaan kepada orang yang menghina
hukumMu.

Ya Rabbul Izati! Berilah kekuatan kepada kami
di dalam menegakkan agamaMu sebagaimana Engkau
telah memberi kekuatan kepada kekasihMu Muhammad
dan pengikut-pengikut baginda dari kalangan sahabat
yang mulia. Ya Allah! Engkau telah kurniakan kepada para
sahabat baginda akan Daulah Khilafah ‘ala minhaj
nubuwwah yang dengannya Engkau telah memuliakan
orang-orang yang terdahulu dari kami. Wahai Zat Yang
Maha Mendengar! Kami memohon kepadaMu agar
Engkau memuliakan kami dengan kembalinya Daulah
Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah ke pangkuan kaum
Muslimin buat kedua kalinya, yang dengan ini tertegaklah
semula segala hukum-hukumMu dan tidak ada lagi yang
berani menghinanya.

Amin ya Rabbal ‘alamin.



Hilang keyakinan kepada hukum Allah

Satu perkara yang mendukacitakan berlaku di tengah-tengah masyarakat Islam ialah hilangnya keyakinan kepada hukum Allah SWT.

Adalah satu perkara yang tidak munasabah dan haram berlaku di kalangan umat Islam bahawa orang-orang yang mengaku Islam, tidak yakin kepada hukum Allah bermakna juga tidak yakin kepada Allah dan tidak yakin kepada Rasulullah s.a.w.

Ini menyebabkan seseorang itu tidak yakin kepada Islam di mana dia mengaku dirinya sebagai seorang Islam.

Tidak terkumpul di dalam hati orang yang beriman dengan keraguan dan syak wasangka kepada ajaran Islam kerana syak wasangka kepada ajaran Islam dan tidak yakin kepada hukum itu adalah perkara yang boleh membatalkan iman.
Firman Allah SWT dalam ayat 65 surah an-Nisa' yang bermaksud: "Maka demi Tuhanmu (Wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan, dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya."

Di tengah-tengah masyarakat Islam hari ini terkeluar kata-kata dan tulisan-tulisan yang berani mencabar hukum Allah, ada yang berani mengatakan hukum Allah itu sudah lapuk, hukum 'hudud' yang ada dalam al-Quran itu tidak lebih daripada hukum yang diamalkan oleh kabilah-kabilah Arab pada zaman dahulu yang dipanjangkan oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Mereka yang tidak menyedari bahawa kedatangan Rasulullah s.a.w adalah untuk menentang hukum-hukum kabilah yang zalim. Mengapa dinyatakan al-Quran itu adalah berpanjangan daripada apa yang diamalkan oleh kabilah-kabilah Arab? Ini adalah satu tuduhan jahat terhadap al-Quran al-Karim dan hukum Islam.

Dan apa yang mendukacitakan, umat Islam yang begitu ramai di dalam negera ini tidak terasa apa-apa orang menghina Islam dan mengejek hukum Islam di hadapan mereka. Di manakah kasih mereka terhadap Islam sehingga tidak ada perasaan cemburu sedikit pun di dalam hati mereka terhadap Allah.

Mereka akan melenting sekiranya harta dan kepunyaan mereka daripada harta benda dunia diganggu-gagat, tetapi merka tidak melenting sekiranya agama mereka dihina dan diperlakukan oleh musuh-musuh Islam.
lihatlah bagaimana Islam dihina..

Inilah jiwa umat Islam hari ini. Beginilah rendahnya maruah umat islam hari ini. Di manakah letaknya kemanisan iman yang dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w yang bermaksud: "Tiga perkara yang sesiapa ada padanya, maka dia mempunyai kemanisan iman. Pertama bahawa Allah dan Rasul-Nya terlebih kasih kepadanya daripada yang lain. Kedua dia tidak kasih kepada seseorang melainkan kerana Allah. Ketiga dia benci kalau dicampak di dalam kekufuran sebagaimana dia benci kalau dicampak ke dalam api neraka."
melampau - ayat suci al-quran pada kasut!
Di mana kemanisan iman? Di mana ketiga-tiga perkara ini di dalam hati umat Islam hari ini? Adakah di dalam hati merka perasaan kasih kepada Allah dan kasih kepada Rasulullah? Sekiranya mereka kasih kepada Allah dan Rasulullah, sudah tentu mereka kasih kepada hukum Allah dan kasih kepada ajaran yang ditinggalkan oleh baginda Rasulullah s.a.w.

KASIH DUNIA

Di manakah pergi kasih mereka kepada Allah? Kasih mereka tidak lain kerana dunia. Di manakah perginya benci mereka kepada kekufuran? Bahkan mereka berlumba-lumba untk menuju kepada kekufuran sekiranya kekufuran itu mengenyangkan mereka dan menambahkan keseronokakn di dalam hidup mereka.

Adakah mereka tidak sedar dalam perkara seperti ini, Allah telah mewajibkan kepada Nabi Muhammad s.a.w dan kepada umat Islam supaya menegakkan hukum Allah di atas muka bumi ini.

Allah berfirman menerusi ayat 105 daripada surah an-Nisa' yang bermaskud : "Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab (al-Quran) dengan membawa kebenaran, supaya engkau menghukum anatar manusia menurut apa yang Allah telah tunjukkan kepadamu (melalui wahyu-Nya); dan janganlah engkau menjadi pembela bagi orang-orang yang khianat.

Manusia hari ini terlalu suka menjad penolong dan penyokong kepada orang-orang yang khianat kepada hukum Allah. Di manakah kasih mereka kepada Allah dan Rasulullah s.a.w?

Dan Allah menamakan hukum yang lain daripada hukum-Nya adalah jahiliah sebagaimana yang disebut dalam ayat 50 surah al-Maidah yang bermaksud : "Sesudah itu, patutkah mereka berkehendak lagi kepada hukum-hukum jahiliyah? padahal - kepada orang-orang yang penuh keyakinan - tidak ada sesiapa yang boleh membuat hukum yang lebih baik daripada Allah."

Orang-orang yang yakin ialah orang-orang yang yakin kepada Allah dan Rasulullah s.a.w, iaitu yakin kepada Islam mestilah yakin juga kepada hukum Allah dan tidak yakin kepada yang lain daripada hukum Islam.

Allah juga menamakan hukum yang lain daripada Islam sebagai jahiliyah atau hukum yang menurut hawa nafsu. Dan yakin kepada hukum yang lain bermakna tidak yakin kepada Allah.

Allah menjanjikan kelebihan, kurniaan, pahala dan syurga serta kebahagiaan di dunia dan akhirat kepada sesiapa yang beriman dan beramal soleh. Antaranya mereka yang menegakkan hukum Allah.

Sementara syaitan pula menjanjikan kemiskinan, kepapaan, kesusahan dan kemunduran kepada siapa yang beramal dengan hukum Allah. Yang mana kamu lebih percaya? Kamu percaya kepada janji Allah atau kepada jamji syaitan? Tepuklah dada kamu dan tanyalah iman yang ada di dalam hati kamu itu. Sekiranya kamu bertanya iman yang sebenar, sudah tentu iman yang sebenar akan meneri hukum Allah.

~ Buku penghujung Kehidupan bab 20, halaman 118-122, terbitan Dewan Muslimat Sdn Bhd, April 1977. ~



Hukum Allah Dan Hukum Buatan Manusia



Mengapa ummat Islam selalu saja mempermasalahkan hukum apa yang diberlakukan di tengah masyarakat? Mengapa ummat Islam tidak bisa menerima saja hukum apapun yang diberlakukan tanpa peduli apakah itu hukum Allah ataukah hukum buatan manusia? Bukankah yang penting adalah law and order alias penegakkan hukum? Apalah artinya jika dalam suatu masyarakat Islam diberlakukan secara formal hukum Allah sebagai hukum negara namun ternyata secara aplikasi tidak terjadi penegakkan hukumnya? Bukankah keadilan bisa dirasakan masyarakat luas bila penegakkan hukum berlaku secara murni dan konsekuen, meskipun hukumnya bukan hukum Allah alias hukum buatan manusia?

Saudaraku, disinilah letaknya komitmen seorang mukmin. Seorang mukmin harus menjawab dengan jujur dan penuh kesadaran. Masyarakat seperti apakah yang ia inginkan? Masyarakat kumpulan hamba-hamba Allah yang beriman dan patuh berserah-diri kepada Allah? Ataukah ia puas dengan berdirinya suatu masyarakat yang terdiri atas kumpulan manusia yang tidak peduli taat atau tidaknya mereka kepada Allah asalkan yang penting masyarakat itu berjalan dengan harmoni tidak saling mengganggu dan menzalimi sehingga semua merasa happy hidup bersama berdampingan dengan damai di dunia?

Saudaraku, seorang mukmin tidak pernah berpendapat sebelum ia bertanya kepada Allah dan RasulNya. Terutama bila pertanyaannya menyangkut urusan yang fundamental dalam kehidupannya. Oleh karenanya marilah kita melihat bagaimana Allah menyuruh kita bersikap bilamana menyangkut urusan hukum. Di dalam Kitabullah Al-Qur’an Al-Karim terdapat banyak ayat yang memberikan panduan bagaimana seorang mukmin mesti bersikap dalam urusan hukum. Di antaranya sebagai berikut:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ


“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)

Dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” Muhammad Nasib Ar-Rifa’i mengomentari potongan ayat yang berbunyi “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah...” dengan catatan sebagai berikut: ”Hai Muhammad, putuskanlah perkara di antara seluruh manusia dengan apa yang diturunkan Allah kepadamu dalam kitab yang agung ini (yaitu Al-Qur’an)...”

Sedangkan firman Allah:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)

Mengomentari ayat di atas, maka dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” penulis mencatat: ”Allah mengingkari orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan. Berhukum kepada selain hukum Allah berarti beralih kepada hukum selain-Nya, seperti kepada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep yang disusun oleh para tokoh tanpa bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang disusun berdasarkan penalaran dan seleranya sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?” dan berpaling dari hukum Allah.”


Sedangkan bagian akhir dari ayat di atas yang berbunyi ”...siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” maka penulisbuku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” mengomentari ayat tersebut dengan mencatat: ”siapakah yang hukumnya lebih adil daripada Allah bagi orang yang memahami syriat Allah dan beriman kepada-Nya serta meyakini bahwa Allah adalah yang Maha Adil di antara para hakim? Al-Hasan berkata ”Barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah maka hukum itu merupakan hukum jahiliyah.” Al—Hafidz Abul-Qasim Ath-Thabrani meriwayatkan dari ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّه َمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ

الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ

“Manusia yang paling dibenci Allah ialah orang yang menghendaki tradisi jahiliyah dalam Islam dan menuntut darah orang lain tanpa hak untuk menumpahkan darahnya.” (HR Bukhary)


Jadi, barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah maka hukum itu merupakan hukum jahiliyah. Sedangkan dalam sistem kehidupan bermasyarakat dewasa ini seluruh negara di seluruh penjuru dunia berhukum dengan selain hukum Allah. Dalam sistem demokrasi sumber hukumnya adalah rakyat, berarti ia bukan hukum Allah alias hukum jahiliyah...! Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi ituserupadengan ajaran Islam atau bahkan memang bersumber dari ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah. Ia tidak disebut hukum Allah karena ia sudah dicampur dengan hukum buatan manusia. Sedangkan sudah cukup jelas apa yang diutarakan penulis di atas ”Allah mengingkari orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan.” Apakah mungkin ada hukum buatan manusia yang lebih mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan daripada hukum Pencipta manusia, Allah Subhanahu wa ta’aala?

Saudaraku, menjadi jelaslah kepada kita mengapa ummat Islam senantiasa mempersoalkan hukum apa yang diberlakukan di dalam masyarakat. Karena sesungguhnya urusan ini menyangkut permasalahan paling mendasar yaitu aqidah. Seorang muslim tidak merasa hidup dalam ketenteraman ketika ia diharuskan mematuhi hukum buatan manusia sedangkan keyakinan Iman-Islamnya menyuruh dirinya agar hanya tunduk kepada hukum dan peraturan yang bersumber dari Allah semata. Bahkan keyakinannya memerintahkan dirinya untuk mengingkari dan tidak memandang hukum buatan manusia sebagai layak dipatuhi. Karena ia menyadari bahwa tidak ada manusia sempurna yang dapat dan sanggup merumuskan hukum yang adil bagi segenap jenis manusia. Hanya Sang Pencipta manusia yang pasti Maha Adil dan tidak punya kepentingan apapun terhadap hukum yang dibuatnya untuk kemaslahatan segenap umat manusia.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ

وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ

فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا

فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS Al-Maidah ayat 48)


Mengomentari bagian ayat yang berbunyi ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu...” penulis buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” mencatat: ”Allah mencanangkan aneka syariat yang bervariasi untuk menguji hamba-hambaNya dengan apa yang telah disyariatkan kepada mereka. Dan Allah mengganjar atau menyiksa mereka karena mentaati atau mendurhakaiNya. Barangsiapa yang mentaati hukum Allah berarti bakal diganjar dengan pahala di dunia dan di akhirat. Sedangkan mereka yang menolak pemberlakuan hukum Allah bakal disiksa karena penolakannya untuk mematuhi hukum Allah dan lebih ridha dengan hukum buatan manusia. Wallahu a’lam.

Tiada ulasan: