Jumaat, 10 April 2015

KATA ORANG2 ALIM...SAPE ORANG ALIM ITU...KATA ULAMAK2...SAPE ULAMAK ITU...KATA ULAMAK2 TERSOHOR...BOLEHKAH BERHUJAH BEGINI...SEBUT NAMANYA BARU HUJAH ITU MANTAP...LAGI MANTAP BERNASKAN QURAN DAN HADIS BHG 2










SEJARAH KEHIDUPAN HASAN AL-BANNA


hasan-al-banna

Hasan Al-Banna dilahirkan di kota Mahmudiyah, Distrik Bahirah Mesir pada bulan Oktober 1906 M. Orangtua beliau adalah seorang ulama besar pada masanya, yaitu Syaikh Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, yang banyak berkarya di bidang ulumul…
hadits. Diantara karyanya yang terkenal adalah kitab “Al Fath Ar Rabbany li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad”. Disamping menulis kitab-kitab hadits, beliau juga bekerja memperbaiki jam.
Sejak dini Hasan Al-Banna sudah ditempa oleh keluarganya yang taat beragama untuk meraih dan memperdalam ilmu di berbagai tempat dan majelis ilmu. Pertama kali beliau menggali ilmu di Madrasah Ar Rasyad, kemudian melanjutkan di Madrasah ‘Idadiyah di kota Mahmudiyah tempat beliau dilahirkan.
Pada usianya yang masih muda, Hasan Al-Banna sudah memiliki perhatian yang besar terhadap persoalan da’wah. Ia pun mampu beraktifitas untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Bersama teman-temannya di sekolah, dibentuklah perkumpulan “Akhlaq Adabiyah” dan “Al-Man’il Muharramat”. Nampaknya sejak muda ia memang menginginkan da’wah Islamiyah tegak dan kokoh.
Pada tahun 1920 Hasan Al-Banna melanjutkan pendidikannya di Darul Mu’allimin Damanhur, hingga menyelesaikan hafalan Qur’an diusianya yang belum genap 14 tahun. Beliaupun aktif dalam pergerakan melawan penjajah.
Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum Kairo. Disinilah ia banyak mendapatkan wawasan yang luas dan mendalam. Pendidikannya di Darul Ulum diselesaikan pada tahun 1927 M, dengan hasil yang memuaskan, menduduki rangking pertama di Darul Ulum dan rangking kelima di seluruh Mesir dalam usianya yang baru menginjak 21 tahun.
Semenjak di Darul Ulum Kairo, Hasan Al-Banna mendapatkan cakrawala berfikir lebih luas dan wawasan yang mendalam dan semakin giat dalam amal islami, bersama kawan-kawannya ia melaksanakan da’wah di berbagai tempat, baik di perkumpulan-perkumpulan, kedai kopi ataupun di klab-klab.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Darul Ulum Kairo, ia bekerja sebagai guru Ibtidaiyah (setingkat SD) di Ismailiyah meskipun mendapatkan penawaran untuk melanjutkan pendidikan, namun beliau lebih menyenangi menjadi guru di Ismailiyah hingga 19 tahun beliau berkhidmat mengajar disana.
Hasan Al-Banna menikah dengan putri salah seorang tokoh Ismailiyah Al Haj Husain As Shuly pada malam 27 Ramadhan 1351 H. Ia kemudian dikaruniai 5 ornag anak, 4 orang anak perempuan yaitu Wafa’, Sinai, Raja dan Hajar. Adapun anak lelaki beliau adalah Ahmad Saiful Islam. Hasan Al-Banna memberikan perhatian yang besar pada pendidikan keluarganya dengan adab dan akhlaq Islam. Hasil perhatiannya terhadap keluarga dapat kita lihat pada anak beliau yang sangat dihormati Ahmad Saiful Islam.
Hal-hal yang mendasari berdirinya da’wah.
Perpindahan Al Banna dari tempat kelahirannya Mahmudiyah ke Damanhur kemudian ke Kairo membuatnya banyak mengetahui permasalahan situasi dan kondisi umat Islam.
Dimasa beliau tinggal di Mahmudiyah, daerah yang tenang dan menjaga tradisi Islam dan ajarannya, belum terlintas di benaknya bahwa di ibukota Mesir, Kairo, banyak terjadi penyimpangan dan kerusakan yang menurutnya sangat parah. Belum pernah terbayangkan olehnya bahwa para penulis terkemuka, ulama dan para pakar ada yang bekerja demi kepentingan musuh Islam. Ulama sibuk dengan urusan pribadi dan masyarakat umum dalam keadaan bodoh.
Surat kabar, majalah dan sarana informasi lainnya banyak memuat dan menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam dan pornografi. Ia pun melihat kemungkaran di mimbar politik, masing-masing partai hanya mementingkan golongannya dan cenderung menjadi ajang permusuhan dan perpecahan ummat.
Masyarakat cenderung tergiring menjauhi nilai-nilai luhur, merasa asing dengan nilai-nilai Islam. Begitupun di Perguruan Tinggi yang tadinya disiapkan untuk menjadi lampu penerang, pusat kebangkitan dan mimbar peradaban, malah menjadi sumber malapetaka, pusat kerusakan dan alat penghancur sehingga banyak orang memahami bahwa Perguruan Tinggi dan Universitas adalah tempat revolusi perlawanan terhadap akhlaq, menentang agama dan memusuhi tradisi yang baik.
Kondisi muslimin di luar Mesir pun sangat mengelisahkannya. Turki yang tadinya menjadi pusat Khilafah Islamiyah, pada tahun 1924 M sudah berubah menjadi negara sekuler. Selain Mesir, negeri-negeri Islam di seluruh penjuru bumi saat ini kebanyakan dalam keadaan terjajah, walhasil perekonomian ummat Islam pun dikuasai oleh orang-orang asing kaum penjajah.
Semua itu disaksikan oleh Hasan Al-Banna, sementara kondisi dan situasi semakin memburuk sehingga menyusahkannya dan ia menjadi gelisah. Sampai beliau tidak dapat tidur selama 15 hari di bulan Ramadhan. Akan tetapi ia tidak putus asa, tidak menyerah bahkan semakin bersemangat dan bertekad untuk berbuat sesuatu agar bisa mengembalikan Khilafah Islamiyah, mengusir penjajah dan mengangkat martabat. Dengan kesungguhan, kerja yang tak mengenal lelah dan gerakan yang berkesinambungan, ia yakin cita-cita luhur itu dapat tercapai.
Hasan Al-Banna mulai melakukan aktifitasnya dengan menghubungi para pemimpin, tokoh masyarakat dan para ulama. Ia ajak mereka untuk membendung arus kerusakan itu. Ia mendatangi Syeik Ad Dajawi salah seorang ulama Mesir terkemuka, lalu dijelaskannya permasalahan umat kepada Syeikh tersebut. Namun Syeikh ternyata hanya memperlihatkan keprihatinannya saja, menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan saat ini dengan alasan bahwa Mesir sedang dijajah Inggris yang memiliki kekuatan dan persenjataan yang dapat menghadapi gerakan apapun yang menentangnya.
Hasan Al Banna tidak ridho dan tidak puas dengan jawaban Ad Dajawi itu dan membuatnya nyaris lemah semangat. Kemudian Syeikh Ad Dajawi mengajaknya berziarah ke rumah Syeikh Muhammad Saad yang merupakan salah satu ulama terkemuka juga, disana banyak yang hadir selain Syeikh Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Saad dan Hasan Al-Banna. Kemudian Al Banna menjelaskan lagi permasalahan ummat namun Syeikh Ad Dajawi memintanya untuk berfikir, tapi Hasan Al Banna seorang pemuda yang bersemangat tinggi berpendapat waktu itu bukan saatnya untuk berfikir tapi untuk berbuat.
Syeikh Muhammad Saad pada waktu itu menjamu para tamunya dengan kue-kue khas yang dibuat untuk bulan Ramadhan. Para tamu asyik menikmati makan dan minuman yang disuguhkan. Pemandangan ini membuat Hasan Al-Banna semakin bersedih dan prihatin. Ia memahami bahwa mereka dalam keadaan lalai dari kondisi Islam, maka ia berusaha menyadarkan mereka seraya berkata : “Wahai Syeikh! Islam sedang diperangi dengan dahsyat, sementara para tokoh, pelindung dan para pemimpin ummat sedang menghabiskan waktunya dengan kenikmatan seperti ini, apakah kalian mengira bahwa Allah tidak akan menghisab apa yang kalian sedang lakukan? Jika kalian tahu disana ada pemimpin Islam dan pelindungnya selain kalian, tunjukilah saya kepada mereka agar saya mendatangi mereka, mudah-mudahan saya dapati apa yang tidak ada pada kalian”.
Perkataan Hasan Al-Banna menyentuh hati Syeikh Muhammad Saad, sehingga membuatnya menangis, hadirin yang lainpun turut menangis. Lalu Syeikh bertanya : “Apa yang mesti saya lakukan wahai Hasan …?”
Hasan Al-Banna kemudian mengusulkan agar Syeikh mengumpulkan nama-nama para ulama dan zuama serta para pemuka, lalu mereka diundang untuk suatu pertemuan dalam rangka memikirkan dan memusyawarahkan apa-apa saja yang harus mereka lakukan. Sekalipun hanya menerbitkan majalah mingguan untuk mengimbangi majalah-majalah yang ada atau membentuk perkumpulan yang dapat menampung para pemuda.
Syeikh setuju atas usulan Hasan Al-Banna itu dan ia mencatat sebagian nama ulama terkemuka seperti : Syeikh Yusuf Ad Dajawi, Syeikh Muhammad Khudlori Husain, Syeikh Abdul Aziz Jawis, Syeikh Abdul Wahab Najjar, Syeikh Muhammad Khudlori, Syeikh Muhammad Ahmad Ibrahim, Syeikh Abdul Aziz Khuli, dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridho.
Sementara dari kalangan tokoh terkemuka, seperti : Ahmad Taimur Pasya, Nasim Pasya, Abu Bakar Yahya Pasya, Abdul Aziz Muhammad Pasya, Mutawalli Ghonim Bik, dan Abdul Hamid Said Bik.
Mereka semua diundang untuk suatu pertemuan dan terlaksanalah pertemuan demi pertemuan, sehingga dapat menerbitkan majalah “Al-Fath” yang dipimpin oleh As-Sayid Muhibuddin Khattib dengan pimpinan redaksinya Syeikh Abdul Baki Surur. Perkumpulan dan kegiatan ini terus berlangsung sampai Hasan Al Banna lulus kuliah dari Darul Ulum dan terus menggerakkan beberapa orang pemuda sehingga terbentuklah Jam’iyyah Syubanul Muslimin.
Hasan Al Banna juga berhasil mengumpulkan beberapa ulama dan tokoh masyarakat terkemuka, dan terbentuklah Jama’ah Islamiyah yang menyeru untuk menghadapi arus gelombang kehidupan materialis, membatasi kegiatan maksiat dan kekufuran.
Akan tetapi Hasan Al Banna melihat aktifitas jama’ah itu tidak cukup, dimana kegiatannya terbatas pada menyampaikan ceramah atau nasehat di masjid-masjid dan menulis artikel di majalah-majalah, akan tetapi siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak ke masjid yang sebenarnya mereka lebih berhak dari pada orang-orang yang aktif ke masjid. Siapa yang menyampaikan da’wah kepada orang-orang yang tidak membaca koran dan majalah. Dengan demikian harus adanya kader yang siap berda’wah ke berbagai lapisan masyarakat.
Hasan AlBanna melihat bahwa yang dapat melaksanakan tugas berat itu adalah para mahasiswa AlAzhar dan Darul Ulum. Ia kemudian mengumpulkan beberapa orang rekannya untuk berlatih berpidato, khotbah di masjid, berda’wah di warung-warung kopi dan tempat-tempat umum, kemudian pergi ke kampung-kampung. Diantara mereka yg terlibat dalam aktivitas ini adalah Syeikh Muhammad Madkur, Syeikh Hamid Askari dan Syeikh Ahmad Abdul Hamid.
Setelah mereka berlatih dan siap terjun ke lapangan, Al Banna mengajak rekan-rekannya untuk berda’wah ke warung-warung kopi dengan memperhatikan tiga hal : Memilih tema yang sesuai; Sistem penyajian yang menarik; Memperhatikan waktu dan jangan sampai membosankan.
Peristiwa berdirinya Jama’ah Al-Ikhwanul Muslimin.
Pada bulan September tahun 1927 M, Hasan Al Banna diangkat menjadi guru SD di Kota Isma’iliyah, disanalah beliau memulai da’wahnya, di warung-warung kopi kemudian pindah ke masjid. Da’wah yang dilakukannya di warung-warung kopi ini bukan pengalaman yang pertama baginya, tapi beliau sudah terbiasa da’wah di tempat-tempat seperti ini, ketika beliau masih mahasiswa di Darul Ulum, Kairo.
Da’wah Hasan Al Banna mendapat sambutan dari para pengunjung warung-warung kopi, sehingga sebagian diantara mereka bertanya kepadanya tentang apa yang harus dilakukan demi agama dan tanah air.
Setelah beberapa lama berda’wah di warung-warung kopi kemudian Hasan Al Banna pindah dari warung kopi ke mushalla (Zawiyah). Di Zawiyah inilah beliau berbicara dan mengajarkan praktek ibadah, dan meminta kepada mereka agar meninggalkan kebiasaan hidup boros bermewah-mewahan. Para pendengar menyambutnya dengan baik.
Hasan Al Banna juga memperluas interaksinya kepada seluruh unsur yang berpengaruh terhadap masyarakat, yaitu para ulama, Syaikh kelompok sufi, tokoh masyarakat (wujaha), dan berbagai perkumpulan-perkumpulan.
Pada bulan Dzul Qo’dah tahun 1347 H atau bulan Maret 1928 M, datanglah 6 orang laki-laki yang tertarik dengan da’wah Hasan Al-Banna, mereka adalah: Hafiz Abdul Hamid (tukang bangunan), Ahmad Al Hushor (tukang cukur), Fuad Ibrahim (tukang gosok pakaian), Ismail Izz (penjaga kebun), Zaki Al Maghribi (tukang rental dan bengkel sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir).
Mereka berbicara kepada Hasan Al-Banna tentang apa yang harus mereka lakukan demi agama dan mereka menawarkan sebagian harta milik mereka yang sedikit. Mereka pun meminta Hasan Al-Banna menjadi pimpinan mereka. Lalu mereka berbai’at kepadanya untuk bekerja demi Islam dan mereka bermusyawarah tentang nama perkumpulan mereka. Imam Al Banna berkata : “Kita ikhwah dalam berkhidmat untuk Islam, dengan demikian kita Al Ikhwanul Muslimin”.
Kemudian mereka menjadikan kamar di suatu rumah sewaan yang sangat sederhana sebagai “Kantor Jama’ah” dengan mengambil nama Madrosah At Tahzab. Disanalah Hasan Al-Banna mulai meletakkan manhaj tarbawi bersama pengikut-pengikutnya, manhaj tarbawi pada waktu itu adalah :
1. Al-Qur’anul Karim (tilawah dan hafalan).
2. As Sunnah An Nabawiyah (menghafal sejumlah hadits).
3. Pelatihan khutbah.
4. Pelatihan mengajar untuk umum.
Setelah beberapa bulan jumlah pengikut jama’ah menjadi 76 orang, kemudian terus bertambah.Dan mereka mendermakan harta mereka untuk da’wah sampai dapat membeli sebidang tanah untuk dibangun diatasnya markas jama’ah: Darul Ikhwanul Muslimin, terdiri dari 1 masjid, 1 sekolah untuk putra, 1 sekolah untuk putri, dan nadi (tempat pertemuan) ikhwan.
Pertumbuhan pesat da’wah ikhwan sejak awal.
Pada bulan Oktober tahun 1932 M, Hasan Al-Banna dimutasi kerja oleh Pemerintah ke Kairo sebagai guru di Madrasah Abbas I, Distrik Sabtiah. Perpindahan kerja ini menjadi peluang baginya untuk membawa da’wah ke Kairo ibukota Mesir.
Di Kairo Hasan Al Banna dan ikhwan memilih rumah di jalan Nafi No.24 sebagai Markaz Amm, dan ia tinggal bertempat di lantai atas selama 7 tahun da’wah di Kairo dari tahun 1932 sampai 1939 M.
Markaz Amm mengalami beberapa kali pindah :
1. Di jalan Nafi No.24
2. Di rumah di Suqus Silah
3. Di jalan Syamasyiji No.5
4. Di jalan Nashiriyah No.13
5. Di jalan Medan Atobah No.5 di perumahan wakaf
6. Di jalan Ahmad Bik Umar di Hilmiyah
Di Kairo disamping banyaknya partai politik yang bersaing untuk menjadi partai yang berkuasa, didapati pula banyak organisasi Islam dan non Islam.
Di tengah-tengah kehidupan Kairo, da’wah ikhwan terus meluncur membuktikan keberadaannya, efektifitasnya dan menarik banyak pengikut dan pendukungnya serta membuka syu’bah-syu’bah baru.
Da’wah di Kairo belum sampai satu tahun Hasan Al-Banna telah mampu menyebarkan da’wah di seluruh kota Kairo dan telah membuka syu’bah-syu’bah baru lebih dari 50 kabupaten, dimana Ia mendatangi perkampungan negeri Mesir untuk berda’wah tidak mengenal letih, apalagi malas, hal itu dilakukannya disaat-saat musim liburan sekolah.

Sekilas pintas pribadi Mursyid

Profesi dan pekerjaannya.
Hasan Al-Banna adalah guru SD (Ibtidaiyah), beliau disiplin melaksanakan tugasnya dengan optimal dan maksimal, Ia belum pernah terlambat datang ke sekolah (tempat kerja), karena merasakan ni’mat dan kebahagiaan dalam bekerja. Ia meyakini bahwa Allah telah menciptakannya menjadi pendidik.
Hasan Al-Banna disenangi dan dihormati oleh murid-murid, para guru, kepala sekolah dan karyawan. Mereka pun mencintai da’wah Al Banna. Mereka berkeinginan membantunya, agar mempunyai banyak waktu untuk mengemban tugas da’wah, akan tetapi beliau bersikeras melaksanakan tugasnya dengan sempurna tanpa membebani orang lain.
Bila ada ikhwan yang menelponnya ketika dia sedang mengajar di kelas, kemudian petugas memberitahukannya ada orang yang menelponnya, lalu ia berpesan kepada petugas tersebut : “Katakan kepadanya, saya sedang mengajar dan tidak dapat meninggalkan kelas sebelum selesai jam pelajaran”.
Tugas Rumah.
Hasan Al Banna melaksanakan tugasnya di rumah sebagai kepala keluarga, suami, ayah dengan baik, tidak pernah terjadi pertengkaran dalam rumahnya. Ia memberikan perhatian yang penuh kepada anak-anaknya, juga membantu pekerjaan istrinya di rumah sekalipun dengan kesibukan da’wahnya. Ia mengetahui kebutuhan rumah, dan tiap hari mencatat kebutuhan rumah tangga, sehingga ia mengetahui kapan disimpan barang seperti bawang, minyak dan lain-lain.
Aktifitas Da’wah.
Da’wah bagi Hasan Al Banna menjadi alasan hidupnya, dan semua kehidupannya da’wah, siang dan malam kesibukannya adalah da’wah. Da’wah memenuhi hati dan pikirannya, sehingga da’wah terlihat jelas pada pribadinya, bila berbicara, berbicara dengan da’wah dan untuk da’wah. Dan bila diam, diamnya da’wah, bila bergerak demi da’wah, cinta dan bencinya karena da’wah dan bila tertawa atau menangis karena da’wah.
Hasan Al Banna tidak hidup untuk dirinya sendiri, tidak menyimpan uang, tenaga waktu dan kesehatannya kecuali untuk da’wah, semua gajinya dijadikan untuk da’wah, tidak dikurangi kecuali untuk kepentingan keluarga yang pokok, Ia mengambil standar minimal/terendah untuk hidupnya. Hasan Al Banna menjadikan hidupnya untuk da’wah, ucapan, diam, gerak, bangun, tidur, suka, benci, tulisan, bacaan, pikirannya semua untuk Islam.
Ranjau-Ranjau Sepanjang Perjalanan Da’wah Imam Hasan Al-Banna.
Ketika dua aktifis Ikhwan di Thontho, Muhammad Abdussalam dan Jamaluddin Fakih dituduh oleh rezim sebagai pelopor gerakan subversib dan ini adalah awal mihnah yang menimpa jamaah maka Hasan Al-Banna segera mengadakan lobi dengan lembaga bantuan hukum untuk mengadakan pembelaan secara maksimal dan mengerahkan seluruh ikhwan agar memiliki perhatian serta mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung bahkan Ia sendiripun selalu mengikuti persidangan-persidangan yang berlangsung dan sekaligus membantah tuduhan yang ditujukan kepada dua aktifis maupun kepada jamaah dengan lewat mass media internal maupun external.
Dengan upaya yang maksimal dan dukungan seluruh fihak akhirnya kedua aktifis dinyatakan bersih dari tuduhan. Keprihatinan Hasan Al Banna terhadap peristiwa itu terungkap: “Sesungguhnya masalah ini membikin aku gelisah untuk tidur, karena aku tahu bahwa hal ini benar-benar telah dipersiapkan secara matang, mereka memiliki dan menguasai seluruh perangkatnya, mulai dari birokrasi, hakim, hingga saksi-saksi palsu dan apabila mereka berhasil meringkus kedua aktifis kita kedalam penjara dengan tuduhan subversif, maka da’wah al ikhwan akan punah dimata masyarakat”.
Memang Hasan Al Banna mengajarkan kepada Al-Ikhwan untuk menjadi generasi yang pemberani dalam kebenaran, menganggap para penjajah adalah musuh dan bentuk perbudakan yang paling buruk sepanjang sejarah manusia, mereka begitu semangat dan berebut untuk mendapatkan izin menuju Palestina untuk meraih syahadah ketika DK PBB pada tahun 1948 secara resmi membagi tanah Palestina menjadi dua. Hasan Al-Banna sendiri dalam pidatonya dimuka khalayak ramai di hotel intercontinental mengatakan, “Pembagian Palestina menjadi dua adalah tanda bahwa dunia telah tidak waras”. Hal serupa juga pernah disampaikan kepada pemerintah Inggris lewat perwakilannya di Kairo tahun 1939 M, bahwa ummat Islam akan mempertahankan Palestina hingga titik darah terakhir.
Hasan Al-Banna juga seorang yang lembut hati, hidupnya hanya untuk perhatian da’wah dan para ikhwannya, ketika seorang akhwat menderita sakit, beliau sendiri menghubungi dokter dan ketika sang dokter sedang menulis resep obat lalu beliau mencolek kepada Mahmud Abdul Halim untuk meminjam uang untuk menebus obat karena tak sepeser junaihpun ada ditangannya.
Perlawanan para ikhwan menghadapi penjajah Inggris atas intervensinya terhadap kota Isma’iliyah awal perang dunia kedua 1939 M merupakan bukti keberanian mereka. Melihat keberhasilan Hasan Al Banna dengan jamaahnya yang cukup gemilang, dimana pada waktu yang relatif singkat fikroh ikhwan telah mampu mempengaruhi dan mewarnai di berbagai bidang ekonomi, sosial politik dan keagamaan, khususnya sikap masyarakat luas terhadap Palestina dan penjajah, maka Inggrispun sangat gerah terhadap Hasan Al Banna dan sangat berkepentingan untuk membunuhnya dan membubarkan jamaahnya.
Untuk merealisasikan mimpi Inggris itu pada tanggal 10 Nopember 1948 M tiga segitiga setan mengadakan pertemuan secara rahasia, mereka adalah Inggris, Amerika dan Perancis di Paid, memutuskan agar Al-Ikhwan Al-Muslimun segera dibubarkan. Sebulan kemudian tepat pada tanggal 8 Desember 1948 datang SK militer yang berisikan pembubaran terhadap jamaah.
Rupanya pembubaran jamaah tidak berdampak terhadap aktifitas dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat, justru pembelaan dari masyarakat luas semakin kentara dari hari ke hari, kewibawaan dan kemampuan Hasan Al Banna merekrut masyarakat luas sangat diakui lawannya, kemampuan membangkitkan semangat ummat, membuka hati yang tertutup, menghimpun kekuatan arus bawah sangat ditakuti lawan. Maka tidak ada lagi pilihan lain, kecuali harus merencanakan sebuah makar yang lebih besar yang belum pernah terpikir di benak mereka yaitu dengan membunuh pendirinya.
Sejak itu rezim Faruq benar-benar memperhitungkan langkah untuk menguasai Hasan Al Banna :
1. Dengan memenjarakan seluruh anggota Al-Ikhwan dan membiarkan Hasan Al Banna seorang diri agar masyarakat luas menganggap bahwa rezim masih memiliki rasa tolerir terhadapnya, padahal itu sebuah siksaan batin, setiap harinya hanya tangisan ribuan anak kecil dan rintihan ibu-ibu yang didengarnya, menengok kanan dan kiri tidak ada yang peduli seakan-akan seluruh rakyat telah diintimidasi oleh rezim, takut untuk melakukan sebuah kebaikan, siapa bersedekah akan mati, siapa menolong orang yang kelaparan dianggap pemberontak. Hasan Al-Banna hanya mampu mengumpulkan sebesar 150 junaih Mesir (+ $.140) setelah upaya sana sini dan itupun hasil hutang dari salah seorang teman.
2. Setelah perasaan yang mencekam benar-benar menyelimuti seluruh rakyat Mesir, polisi intel segera memenjarakan adik kandung Hasan Al Banna, Abdul Basith yang merupakan anggota polisi, padahal adiknya ini bukan anggota Al-Ikhwan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penangkapan terhadap Hasan Al-Banna kapan mereka menginginkannya. Sebenarnya Hasan Al-Banna telah mencium makar terhadap dirinya. Namun justru keberanian dan perasaan tidak takut mati semakin lebih nampak lagi, terutama setelah di suatu malam ia mimpi bertemu dengan Sayyidina Umar bin Khattab yang berkata padanya: “Wahai Hasan, kau akan dibunuh!”. Ketika Hasan Al-Banna mengajukan untuk tinggal di luar kota Kairo bersama saudaranyapun tidak diizinkan, hal itu semakin memperjelas makar yang dirancang oleh rezim untuk meringkusnya secara perlahan.
3. Setelah seluruh persenjataan ikhwan, dan kekayaannya termasuk pistol dan mobil pribadi Hasan Al-Banna yang statusnya pinjaman itu disita oleh penguasa yang serakah, maka tinggal episode yang terakhir. Mereka merekayasa sebuah pertemuan antara Hasan Al-Banna dengan Mohammad An Naqhi (salah satu pengurus Dar Asy-Syubban) pada hari Jum’at tanggal 11 Desember 1949 M pukul 17.00. Namun hingga pukul 20.00 masalah yang diagendakan belum ada kejelasan yaitu salah seorang menteri yang diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah Ikhwan, lalu pulanglah ia dengan menantunya Ustadz Mansur dengan komitmen akan datang kembali esok harinya, namun tiba-tiba ia dapati suasana yang sungguh lain, di jalan protokol “Quin Ramses” yang biasanya ramai dengan hiruk pikuk lalu lintas lalu lalang manusia saat itu tak sebuah mobil dan seorangpun yang lewat kecuali sebuah taxi yang menongkrong di depan gerbang pintu Dar Asy Syubban. Toko-toko dan rumah-rumah makan yang berdekatan juga sudah tutup. Kecurigaan semakin tinggi ketika baru akan melangkahkan kaki menuju jalan raya tiba-tiba seluruh lampu penerang jalan mati, saat itulah peluru api meluncur sebagian mengenainya dan peluru yang lain mengenai Ustadz Mansur. Namun Hasan Al-Banna masih kuat untuk naik sendiri menuju gedung Dar Asy Syubban memutar telepon untuk meminta pertolongan ambulance, meskipun demikian ia kemudian terlantar di salah satu kamar Rumah Sakit “Qosr Aini” karena tak seorangpun dari perawat atau dokter yang berani menolongnya sekalipun banyak dokter muslim yang ingin merawatnya, namun kepala RS tidak mengizinkan atas perintah kerajaan. Dering telepon tak henti-hentinya untuk meyakinkan kematian Hasan Al-Banna hingga ia menemui robbul izzah dengan kepahlawanannya.
Tepat hari Sabtu malam Minggu tanggal 12 Desember 1949 beliau pulang ke Rahmatullah. Terselimutilah di hari itu langit dunia dengan kesedihan yang mendalam karena kematiannya berarti hilangnya seorang pembela kebenaran penegak keadilan di tengah-tengah kelaliman.
Pagi harinya hari Minggu tanggal 12 Desember 1949 sampailah berita kematian kepada orang tuanya Syaikh Ahmad Al Banna. Yang lebih menyedihkan rezimpun tidak mengizinkan ummat Islam untuk merawat jenazahnya dan berta’ziyah ke rumah shohibul musibah. Untuk menunjukkan keangkuhan serta kedengkiannya terhadap Hasan Al-Banna mereka susun penjagaan militer secara ketat yang siap untuk bertempur dan tank-tank yang seakan-akan menghadapi sebuah pertempuran yang dahsyat. Tidak seorangpun diizinkan membawa jenazahnya menuju makam kecuali orang tuanya beserta kedua saudari perempuannya.
Jamaah Al-Ikhwan yang telah didirikan diatas genangan darah Hasan Al-Banna dan di ukir dengan darah para syuhada akankah ditunggu oleh ummat seluruh dunia sebagai pahlawan penegak kebenaran, pendobrak kebatilan dan pembawa bendera Khilafah Islamiyah? Jawabannya tentu tergantung kepada kualitas nilai dan pengorbanan para penerusnya.









Abul A’la Al-Maududi Dalam Kenangan

maududi25/9/1903Abul A’la Al-Maududi dilahirkan di Aurangaad, Hyderabad, Deccan, India. Ayahnya
Ahmad Hassan al-Maududi seorang peguam Merut.
Mempelajari bahasa Arab, Urdu, Farsi, Inggeris, sastera dan ilmu-ilmu lain dari guru-
guru yang dijemput oleh ayahnya. Beliau tidak dihantar ke sekolah Inggeris kerana
kebencian ayahnya yang tinggi terhadap Inggeris.
1920
Ayahnya kembali ke rahmatullah.
Beliau dilantik menjadi pengarang Al-Taj, sebuah akhbar harian di Jabalipor.
Kemudiannya beliau berpindah ke New Delhi dan bekerja sebagai pengarang akhbar
Al-Jami’at.
Tidak lama kemudian beliau meninggalkan Al-Jamiat kerana mendapati badan yang
menjadi tulang belakang akhbar tersebut mempunyai kefahaman yang dipegang oleh
Kongres Kebangsaan India.
1929
Menerbitkan buku pertamanya, Jihad Di Dalam Islam. Karya yang dihasilkan oleh
beliau ini masih lagi menjadi rujukan penting di dalam masalah jihad sehingga ke hari
ini.
1932
Kembali semula ke Hyderabad, Deccan.
Menerbitkan majalah bulanan, Tarjuman Al-Qur’an. Fokus utama majalah ini
adalah membangkitkan kesedaran semula di kalangan golongan terpelajar muslim di
kalangan golongan terpelajar Muslim India. Majalah ini terus diterbitkan sehingga
tahun 1942.
1937
Surat menyurat di antara Muhammad Iqbal dan Maududi, berakhir dengan pertemuan
antara kedua-dua tokoh tersebut.
Mac 1938
Berpindah ke Panthankot yang terletak di wilayah Punjab. Menjadi ketua Darul
Islam, sebuah pusat penyelidikan yang melakukan kajian dan penyusunan semula
undang-undang Islam. Tugas ini adalah tugas yang telah dipersetujui bersama antara
beliau dan Muhammad Iqbal.
Sempat bertugas di sini bersama-sama Muhammad Iqbal selama sebulan sebelum
Muhammad Iqbal kembali ke rahmatullah.
1938
Bertugas sebagai Dekan Fakulti Usuluddin di Kolej Islam Lahore dari 1938-1941.
Ogos 1941
Menubuhkan Jami’at Islami bersama dengan beberapa orang sahabatnya yang lain.
Tindakan ini dilakukannya setelah menyedari kepentingan penubuhan sebuah jemaah
Islam untuk membina semula masyarakat yang telah rosak. Beliau dilantik sebagai
Amir pertama Jami’at Islami. Bermula dari penubuhan tersebut, beliau mula menulis
dan berceramah menentang penjajahan Inggeris dan semangat nasionalisme yan
diperjuankanoleh Kongres Kebangsaan India.
Feb 1942
Mula menulis tafsir Al-Qur’an yang diberi nama Tafhim Al-Qur’an. Tafsir tersebut
akhirnya berjaya disiapkan oleh beliau pada 7 Jun 1972 setelah menulisnya selama
30 tahun 4 bulan. Tafsir tersebut dibukukan setebal enam jilid yang kesemuanya
berjumlah 3000 muka surat.
1947
Berpindah ke Pakistan setelah berlaku pemisahan India-Pakistan. Menjadi pengkritik
kepada dasar-dasar kerajaan yang bertentangan dengan Islam. Disebabkan
penglibatannya yang aktif di dalam bidang politik dan pendidikan, beliau sentiasa
diekori oleh pihak Inggeris.
4/10/1948
Ditangkap dan dipenjarakan tanpa bicara selama 20 bulan sehingga Mei 1950.
Penangkapan ini dibuat sejurus sesudah beliau mengemukakan empat tuntutan kepada
kerajaan Pakistan. Tuntutan-tuntutan tersebut berkisar sekitar undang-undang dan
perlembagaan Islam. Inggeris memandang tindakannya itu sebagai mengancam dan
menghalang cita-cita mereka.
12/3/1949
Kerajaan Pakistan meluluskan tuntutan beliau dan ianya mula dijadikan asas
penggubalan undang-undang Pakistan pada 1950, 1962, 1972 dan 1973. Walaupun
begitu dari segi perlaksanaannya masih lagi tidak berlaku dengan pelbagai alasan
yang diberikan oleh pihak pemerintah.
Mac 1953
Diberkas oleh Inggeris kerana bukunya, Masalah Qadiani. Buku tersebut menjelaskan
kesesatan yang terdapat dalam ajaran Qadiani, satu ajaran baru yang sebenarnya
dirancang oleh Inggeris melalui Mirza Ghulam Ahmad. Beliau diadili di Mahkamah
Tentera, di dalam satu perbicaraan yang cukup singkat. Mahkamah menjatuhkan
hukuman mati ke atas beliau dan memberi beliau peluang untuk merayu.Tetapi beliau
berkata:
“Adalah lebih baik aku menyerahkan nyawaku kepada Allah daripada aku mengemis
merayu kasih belas dari pemerintah yang zalim. Jika kematianku sudah menjadi
ketetapan Allah, aku redha dan rela untuk menyerahkan nyawaku. Tetapi jika Allah
tidak menetapkan kematianku, mereka tidak akan mampu untukberbuat sesuatu ke
atas diriku.”
28/4/1955
Dibebaskan semula setelah dipenjara selama 26 bulan disebabkan oleh tekanan rakyat
ke atas pemerintah.
1956
Pemansuhan perlembagaan dan penguatkuasaan undang-undang tentera oleh
Presiden Ayub Khan. Maududi sekali lagi bangun menentang kejadian tersebut.
Ketika Suruhanjaya Perlembagaan meminta pendapatnya berkenaan kebebasan dan
demokrasi di Pakistan, beliau berkata:
“Kewujudan Pakistan di alam nyata adalah hasil perjuangan orang Islam. Di
samping pertolongan Allah dan restuNya, hanya orang-orang Islam sahajalah yang
menjamin hidup mati dan kekuatan negara ini. Golongan bukan Islam tidak pernah
sama sekali memberi saham di dalam penubuhan Pakistan.”
6/1/1964
Dia ditangkap untuk kali ketiga oleh Presiden Ayub Khan.
Jami’at Islami diharamkan oleh kerajaan.
9/10/1964
Dibebaskan kembali oleh Mahkamah Tinggi Punjab.
29/1/1967
Ditangkap semula buat kali keempat kerana menyanggah tindakan Presiden Ayub
khan yang mengisytiharkan Hari Raya Aidil Fitri sehari sebelum kelihatan anak
bulan.
15/5/1967
Dibebaskan semula setelah dipenjara selama dua bulan setengah. Setelah itu beliau
terus menerus berjuang menegak kalimah Allah di bumi Pakistan.
23/9/1979
Kembali ke rahmatullah ketika usianya mencecah 76 tahun.









Mengenang Perjuangan Syaikh Fathi Yakan

Umat Islam kembali kehilangan pejuangnya, Syaikh Fathi Yakan. Beliau meninggal pada hari Sabtu (13/06) karena kondisi kesehatannya yang sudah menurun. Pemimpin Front Amal Islam di Lebanon ini merupakan tokoh pergerakan Islam yang karyanya banyak menjadi referensi para aktivisSyaikh Fathi Yakan lahir di Tripoli pada 9 Februari 1933 dan di tempat kelahirannya pula jasadnya dimakamkan. Pria yang sudah mengarang lebih dari 35 buku yang diterbitkan ke berbagai bahasa tersebut meninggalkan empat orang putri dan satu orang putra.

Selain dikenal sebagai aktivis yang memiliki hubungan dekat dengan Ikhwanul Muslimin Mesir, pemegang gelar doktor ini juga terlibat aktif dalam beberapa misi perdamaian. Diantaranya adalah pada 1998-1999 dia bertindak sebagai mediator dalam proses perdamaian antara Syiria dengan Turki.
Ia sempat bekerja di Libanon pada pertengahan tahun 1950-an dan kemudian menjadi pelopor dalam pembentukan gerakan Islam. Ulama yang produktif menulis ini sempat terpilih menjadi anggota pada tahun 1992. Bukunya ‘Ihdzarû Al-Aids Al-Harakî (1989), menulis secara khusus kehancuran harakah (gerakan dakwah) di Libanon yang fenomenanya dirasakan hampir sama di beberapa negeri Muslim.
Buku-bukunya yang juga menjadi rujukan para aktivis. Diantaranya; Asas-Asas Islam, Komitmen Muslim Sejati, Robohnya Dakwah di Tangan Dai, Yang Berjatuhan di Jalan Da’wah, Membentuk Fikrah dan Visi Gerakan Islam, Prinsip-prinsip Gerakan Islam, Bahtera Penyelamat dalam Kehidupan Pendakwah, Islamic Movement: Problems and Prospectives, Ke Arah Kesatuan Gerakan Islam dan Komitmen Muslim Sejati.
Pendiri majalah al-Aman ini pernah memimpin demo besar-besaran untuk menjatuhkan PM Fuad Siniora yang menjadi “kaki tangan” Amerika. Ia juga memberi dukungan pada Gerakan Hizbullah, Libanon untuk melawan Israel. Pada 8 Desember 2006, Syaikh Yakan mengimami jamaah shalat Jumat Sunni dan Syiah sebagai simbol persatuan melawan PM Siniora.
Dalam kunjungannya ke Iran pada tahun 2007 dalam pakta pertahanan Arab dan Iran, Syaikh Yakan mengatakan, “Umat Islam seluruh dunia harus bersatu untuk melawan ancaman, agresi dan rencana jahat rezim Amerika Serikat dan Israel.” Dalam pertemuan itu, pejabat Lebanon juga memandang pentingnya pembentukkan gerakan perlawanan Islam yang anggotanya terdiri dari Syiah dan Sunni serta memperkuat perlawanan Islam di Irak.
Dalam karyanya yang berjudul Madzâ Ya’nî Intimâ`i lil Islâm, beliau menguraikan mengenai tiga jenis manusia: Pertama, manusia yang hidup hanya untuk dunia semata-mata. Kedua, manusia yang dalam hidupnya kehilangan pedoman, lalu kemudian melakukan penyimpangan dan kesesatan. Ketiga, manusia yang menganggap dunia ini sebagai ladang amal untuk di akhirat kelak.
Semoga kita semua masuk ke dalam golongan yang ketiga dan semoga Allah membalas segala amal Syaikh Fathi Yakan. Ilâhi Âmîn.


Sejarah Singkat Imam Bukhari

Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.
Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam Bukhari
Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.
Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam Bukhari
Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.
Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.
Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Wafatnya Imam Bukhari
Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

Sejarah Singkat Imam Muslim


Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan periwayatan hadits.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.
Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.
Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.
Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab Shahih Muslim
Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara al-Bukhari dan Muslim
Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.
Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya Imam Muslim
Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya Imam Muslim
Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.


Biografi Buya HAMKA

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
buya-hamka

Biografi Buya HAMKA dari Biografi Web

Hamka juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.

RIWAYAT PENDIDIKAN HAMKA

HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.

RIWAYAT KARIER HAMKA

HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

RIWAYAT ORGANISASI HAMKA

HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.

AKTIVITAS POLITIK HAMKA

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.

AKTIVITAS SASTRA HAMKA

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

AKTIVITAS KEAGAMAAN

Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.
HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

WAFATNYA HAMKA

Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

PENGHARGAAN

Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia

PANDANGAN HAMKA TENTANG KESASTRAAN

Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

BUAH PENA BUYA HAMKA

Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.
HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).

Mengenal Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani

Posted by infokito™ pada 2 Oktober 2007
Syeikh Abdush Shamad al-Palimbani
triyono-infokito
Dalam percaturan intelektualisme Islam Nusantara –atau biasa juga disebut dunia Melayu– khususnya di era abad 18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdush Shamad Al-Palimbani tak bisa dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut banyak kalangan, merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.
Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral berkaitan dengan dinamika Islam. Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekkah.
Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la sendiri hampir tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan setiap selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad pada 1968.
Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu.
Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah.
Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.
Sejauh yang tercatat dalam sejarah, memang ada tiga versi nama yang dikaitkan dengan nama lengkap Al-Palimbani. Yang pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor UIN Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad Jiwa ke Palembang, ia bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kedah telah mangkat.
Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil) pulang bersamanya ke negeri Kedah. Ia dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kedah dan dinikahkan dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa, Sultan Kedah.
Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116 H/1704 M.
Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani. Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan ‘al-Jawi‘ dan ‘al-Palimbani‘ di ujung namanya.
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia menginjak dewasa dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf) Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.
Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil-Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah (Anugerah yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M) ia belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.
Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar rnurid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui Al-Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam proses peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri. Juga tercatat ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam ‘komunitas Jawi’ yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.
Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.
Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.
Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar – seperti dikutip Azyumardi Azra – menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.
Karya Tulis Al-Palimbani
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali, dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani selain empat buah yang telah disebutkan di atas adalah:
  1. Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.
  2. Al-‘Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
  3. Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
  4. Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-‘Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Tetapi di samping menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat Al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma’rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.
Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan Ta’if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta.***
Wallahua’lam
BIOGRAFI SYEIKH ABDUL SAMAD AL-FALEMBANI
Syeikh Abdul Samad Al-Falembani dilahirkan pada
1116 H/1704 M, di Palembang. Tentang nama lengkap Syeikh Al-Falimbani,
yang tercatat dalam sejarah, ada tiga versi nama. Yang pertama, seperti
yang diungkapkan dalam Ensiklopedia Islam, beliau bernama Abdus Samad
Al-Jawi Al-Falembani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu,
sebagaimana ditulis oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994),
ulama besar ini memiliki nama asli Abdul Samad bin Abdullah Al-Jawi
Al-Falembani. Sementara versi terakhir, tulisan Rektor UIN Jakarta itu,
bahawa apabila merujuk pada sumber-sumber Arab, nama lengkap Syeikh
Al-Falembani ialah Sayyid Abdus Al-Samad bin Abdurrahman Al-Jawi. Dari
ketiga nama itu yang diyakini sebagai nama Abdul Samad, Azyumardi
berpendapat bahawa nama terakhirlah yang disebut Syeikh Abdul Samad.
Perbedaan pendapat mengenai nama ulama ini dapat difahami mengingat
sejarah panjangnya sebagai pengembara, baik di dalam negeri maupun luar
negeri, dalam menuntut ilmu. Apabila dilihat latar belakangnya,
ketokohan Al-Falembani sebenarnya tidak jauh berbeda dari ulama-ulama
Nusantara lainnya, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Abdul
rauf Singkel, Yusuf Al-Maqassari.
Dari segi silsilah, nasab Syeikh Al-Falembani berketurunan Arab,
dari sebelah ayah. Syeikh Abdul Jalil bin Syeikh Abdul Wahhab bin Syeikh
Ahmad Al-Mahdani, ayah Al-Falembani, adalah ulama yang berasal dari
Yaman yang dilantikmenjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18.
Sementara ibunya, Radin Ranti, adalah wanita Palembang yang
diperisterikan oleh Syeikh Abdul Jalil, setelah sebelumnya menikahi Wan
Zainab, puteri Dato´ Sri Maharaja Dewa di Kedah.
Pendidikan
Syeikh Abdus Shamad mendapat pendidikan dasar dari ayahnya sendiri,
Syeikh Abdul Jalil, di Kedah. Kemudian Syeikh Abdul Jalil mengantar
semua anaknya ke pondok di negeri Patani. Zaman itu memang di Patani lah
tempat menempa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang lebih mendalam
lagi.
Mungkin Abdus Shamad dan saudara-saudaranya Wan Abdullah dan Wan
Abdul Qadir telah memasuki pondok-pondok yang terkenal, antaranya ialah
Pondok Bendang Gucil di Kerisik, atau Pondok Kuala Bekah atau Pondok
Semala yang semuanya terletak di Patani.
Di antara para gurunya di Patani, yang dapat diketahui dengan jelas
hanyalah Syeikh Abdur Rahman bin Abdul Mubin Pauh Bok. Demikianlah yang
diceritakan oleh beberapa orang tokoh terkemuka Kampung Pauh Bok itu
(1989), serta sedikit catatan dalam salah satu manuskrip terjemahan
Al-‘Urwatul Wutsqa, versi Syeikh Abdus Shamad bin Qunbul al-Fathani yang
ada. Kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok itulah sehingga membolehkan
pelajaran Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani dilanjutkan ke Mekah dan
Madinah. Walau bagaimana pun mengenai Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani
belajar kepada Syeikh Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani itu belum pernah
ditulis oleh siapa pun, namun sumber asli didengar di Kampung Pauh Bok
sendiri.
Sistem pengajian pondok di Patani pada zaman itu sangat terikat
dengan hafalan matan ilmu-ilmu Arabiyah yang terkenal dengan ‘llmu Alat
Dua Belas’. Dalam bidang syariat Islam dimulai dengan matan-matan fiqh
menurut Mazhab Imam Syafi’i. Di bidang tauhid dimulai dengan menghafal
matan-matan ilmu kalam/usuluddin menurut faham Ahlus Sunah wal Jamaah
yang bersumber dari Imam Syeikh Abul Hasan al-Asy’ari dan Syeikh Abu
Mansur al-Maturidi.
Beliau juga mempelajari ilmu sufi daripada Syeikh Muhammad bin
Samman, selain mendalami kitab-kitab tasawuf daripada Syeikh Abdul Rauf
Singkel dan Samsuddin Al-Sumaterani, kedua-duanya dari Aceh. Oleh sebab
dari kecil beliau lebih banyak mempelajari ilmu tasawuf, maka dalam
sejarah telah tercatat bahawa beliau adalah ulama yang memiliki
kepakaran dan keistimewaan dalam cabang ilmu tersebut.
Setelah Syeikh Abdus Shamad banyak hafal matan lalu dilanjutkan
pula dengan penerapan pengertian yang lebih mendalam lagi. Sewaktu masih
di Patani lagi, Syeikh Abdus Shamad telah dipandang alim, kerana beliau
adalah sebagai kepala thalaah (tutor), menurut istilah pengajian
pondok. Namun ayahnya berusaha mengantar anak-anaknya melanjutkan
pelajarannya ke Makkah. Memang merupakan satu tradisi pada zaman itu
walau bagaimana banyak ilmu pengetahuan seseorang belumlah di pandang
memadai, jika tak sempat mengambil barakah di Mekah dan Madinah kepada
para ulama yang dipandang Wali Allah di tempat pertama lahirnya agama
Islam itu.
Belajar Di Makkah
Orang tua Al-Falembani kemudian menghantar anaknya itu ke Arab
yaitu Makkah, dan Madinah. Tidak jelas, bilakah beliau diantar ke salah
satu pusat ilmu Islam pada waktu itu. Setakat yang terakam dalam
sejarah, beliau dikatakan menganjak dewasa ketika ´berhijrah´ ke tanah
Arab. Di negeri barunya ini, beliau terlibat dalam masyarakat Jawa, dan
menjadi teman seperguruan, menuntut ilmu dengan ulama Nusantara lainnya
seperti Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Wahhab Bugis, Abdul Rahman
Al-Batawi, dan Daud Al-Fatani. Walaupun beliau menetap di Mekah, tidka
bermakna beliau melupakan negeri leluhurnya. Syeikh Al-Falembani,
menurut Azyumardi, tetap memberikan perhatian besar pada perkembangan
sosial, politik, dan keagamaan di Nusantara.
Sejak perpindahannya ke tanah Arab itu, Syeikh Al-Palembani
mengalami perubahan besar berkaitan dengan intelektualitas dan
spiritual. Perkembangan dan perubahan ini tidak terlepas dari proses
´pencerahan´ yang diberikan para gurunya. Beberapa gurunya yang masyhur
dan berwibawa dalam proses tersebut, antara lain Muhammad bin Abdul
Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun´im
Al-Damanhuri. Selain itu, tercatat juga dalam sejarah Al-Palembani
berguru kepada ulama besar, antaranya Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad,
Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri. Tidak sia-sia,
perjuangannya menuntut ilmu di Masjidil Haram dan tempat-tempat lainnya,
´mengangkat´ dirinya menjadi salah seorang ulama Nusantara yang
disegani dan dihormati di kalangan ulama Arab, juga Nusantara.
Mengkritik Tarekat yang Berlebihan
Meskipun mendalami tasawuf, tidak bermakna Syeikh Al-Palembani
tidak kritis. Beliau dikatakan kerap mengkritik kalangan yang
mempraktikkan tarekat secara berlebihan. Beliau selalu mengingatkan akan
bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut,
khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak
kesesatan di Aceh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh
Al-Palembani menulis intisari dua kitab karangan ulama dan ahli
falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu kitab Lubab
Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin), dan Bidayah Al-Hidayah
(Awal Bagi Suatu Hidayah). Dua karya Imam Al-Ghazali ini dinilainya
secara ´moderat´ dan membantu membimbing mereka yang mempraktikkan
aliran sufi.
Berkaitan dengan ajaran tasawufnya, Syeikh Al-Palembani mengambil
jalan tengah antara doktrin tasawuf Imam Al-Ghazali dan ajaran ´wahdatul
wujud´ Ibnu Arabi; bahwa manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia
yang memandang hakikat Yang Maha Esa itu dalam fenomena alam yang serba
aneka dengan tingkat makrifat tertinggi, sehingga mampu ´melihat´ Allah
s.w.t sebagai ´penguasa´ mutlak.
Di Nusantara, khususnya di Indonesia, pengaruh Al-Palembani dianggap cukup besar, khususnya berkaitan dengan ajaran tasawuf.
Banyak meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad
berada di negerinya Palembang. Oleh karena rasa bencinya kepada Belanda,
ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah
kecewa karena melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang
pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi
Sultan.
Maka beliau merasa tidak betah untuk tinggal di Palembang walaupun
beliau kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan
sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk
Allah dengan melakukan sholat istikharah. Keputusannya, beliau mesti
meninggalkan Palembang, kembali ke Mekah.
Lantaran anti Belanda, beliau tidak mau menaiki kapal Belanda
sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu
bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun
sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu,
namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya
ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan
membuat perahu seperti itu.
Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan
keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak
dapat dilupakan.
Penulis Produktif dan Karya-Karyanya
Karya
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tidak sebanyak karya sahabatnya,
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Ini karena Sheikh Daud bin Abdullah
al-Fathani memperoleh ilmu pengetahuan dalam usia muda dan umurnya juga
panjang. Sedangkan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, maupun Sheikh
Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari umumnya jauh lebih tua daripada
Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani bahkan boleh dijadikan ayahnya.
Walau bagaimanapun, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh
Muhammad Arsyad al-Banjari termasuk dalam klasifikasi pengarang yang
produktif. Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari terkenal dengan fiqhnya
yang berjudul Sabilul Muhtadin.
Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani adalah yang paling menonjol di
bidang tasawuf dengan dua buah karyanya yang paling terkenal dan masih
beredar di pasaran kitab sampai sekarang Hidayatus Salikin dan Siyarus
Salikin.
Beberapa kitab karangan Sheikh Abdush Shamad al-Falimbani
1. Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid, 1178 H/1764 M.
2. Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah, 1179 H/1765 M.
3. Hidayatus Salikin fi Suluki MaslakilMuttaqin, 1192 H/1778 M.
4. Siyarus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin, 1194 H/1780 M-1203 H/1788 M.
5. Al-‘Urwatul Wutsqa wa Silsiltu Waliyil Atqa.
6. Ratib Sheikh ‘Abdus Shamad al-Falimbani.
7. Nashihatul Muslimina wa Tazkiratul Mu’minina fi Fadhailil Jihadi wa Karaamatil Mujtahidina fi Sabilillah.
8. Ar-Risalatu fi Kaifiyatir Ratib Lailatil Jum’ah
9. Mulhiqun fi Bayani Fawaidin Nafi’ah fi Jihadi fi Sabilillah
10. Zatul Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin
11. ‘Ilmut Tasawuf
12. Mulkhishut Tuhbatil Mafdhah minar Rahmatil Mahdah ‘Alaihis Shalatu was Salam
13. Kitab Mi’raj, 1201 H/1786 M.
14. Anisul Muttaqin
15. Puisi Kemenangan Kedah.
Pulang ke nusantara untuk kedua kalinya
Setelah perahu siap dan kelengkapan berlayar cukup, maka
berangkatlah Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang menuju
Mekah dengan beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, beliau bergiat
dalam pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang
pengetahuan keislaman, terutamanya tentang tasauf, fikah, usuluddin dan
lain-lain.
Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah
buku tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin
wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul
Mujtahidin fi Sabilillah.
Kegiatan-kegiatannya di bidang penulisan akan dibicarakan pada bagian lain.
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan beliau ke nusantara.
Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani kali ini tidak ke Palembang
tetapi ke Kedah. Saudara kandungnya Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh
Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang
lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar
Seri Maharaja Putera Dewa.
Meskipun Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani lama menetap di Mekah,
namun hubungan antara mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya
mereka berkirim surat setahun sekali, yaitu melalui mereka yang pulang
setelah melaksanakan ibadah haji.
Selain hubungan beliau dengan adik-beradik di Kedah, Sheikh Abdus
Shamad al-Falimbani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di
seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat
mendalami ilmu tasawuf terutama Tarekat Sammaniyah, Tarekat Anfasiyah
dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada beliau.
Beliau sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu)
dengan menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung
Tanah Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan
Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).
Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan
Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau
Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke
tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah lama bercita-cita untuk ikut
serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun
setelah dipertimbangkan, beliau lebih tertarik membantu umat Islam di
Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.
Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul
Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Sheikh
Abdus Shamad di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada
kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Pattani dan
Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan
(tanah air) mereka.
Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang
peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan
menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya
tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa
berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang
dan malam.
Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud
yang tidak menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi
ulama sufi, termasuk Sheikh Abdus Shamad yang diriwayat ini adalah
orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah
air dari hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.
Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad
fi sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material
duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata
mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.
Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada
awalnya bertekad demi jihad, bukan karena mengajar masyarakat mengenai
hukum-hukum keislaman walaupun beliau pernah mengajar di Mekah. Akhirnya
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan rombongan pun berangkat menuju ke
Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’.
Sayangnya kedatangan beliau agak terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.
Sementara itu, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan
pengikut-pengikutnya telah mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu
untuk menyusun semula langkah perjuangan.
Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Sheikh Abdus Shamad
pun berkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan
beliau berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu Gerbang
Hang Tuah’ itu.
Para pengikut tasawuf percaya di sanalah beliau menghilang diri
tetapi bagi kalangan bukan tasawuf, perkara ini adalah mustahil dan
mereka lebih percaya bahawa beliau telah mati dibunuh oleh musuh-musuh
Islam.
Wafatnya
Dr
M. Chatib Quzwain menulis dalam kertas kerja dan bukunya berjudul
Mengenal Allah Suatu Studi Mengenal Ajaran Tasawuf Sheikh Abdus Shamad
al-Palimbani, halaman 180-181: Bahwa dalam tahun 1244 H/1828 M dikatakan
umur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 124 tahun. Baik pendapat Dr. M
Chatib Quzwain maupun pendapat Dr. Azyumardi Azra perlu disanggah
berdasarkan fakta sejarah.
Azra menulis, “Meskipun saya tidak dapat menentukan secara pasti
angka-angka tahun di seputar kehidupannya, semua sumber bersatu kata
bahwa rentang masa hidup Al-Palimbani adalah dari dasawarsa pertama
hingga akhir abad kedelapan belas.
Al-Baythar menyatakan, Al-Palimbani meninggal setelah 1200/1785.
Tetapi kemungkinan besar dia meninggal setelah 1203/1789,tahun ketika
dia menyelesaikan karyanya yang terakhir dan paling masyhur, Sayr
Al-Salikin. Ketika dia menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah
85 tahun.
“Dalam Tarikh Salasilah Negeri Kedah diriwayatkan, dia terbunuh
dalam perang melawan Thai pada 1244/1828. Tetapi saya sukar menerima
penjelasan ini, sebab tidak ada bukti dari sumber-sumber lain yang
menunjukkan Al-Palimbani pernah kembali ke Nusantara. Lebih jauh lagi,
waktu itu mestinya umurnya telah 124 tahun terlalu tua untuk pergi ke
medan perang.
“Walaupun Al-Baythar tidak menyebutkan tempat di mana Al-Palimbani meninggal, ada kesan kuat dia meninggal di Arabia”.
Menurut Ustaz Wan Mohd Shaghir, sumber dari Al-Baythar yang
menyebut tahun kewafatan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani 1200 H/1785 M,
seperti yang disebut oleh Dr. Azyumardi Azra itu adalah ditolak.
Dengan disebutkannya bahawa Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani wafat
tahun 1200 H/1785 M adalah sebagai bukti bahawa Al-Baythar tidak banyak
tahu tentang Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani. Bahkan tulisannya sendiri
bertentangan antara satu sama lainnya.
Coba perhatikan kalimat Dr. Azyumardi Azra dalam buku yang sama
halaman 250, “Al-Baythar meriwayatkan, pada 1201/1787 Al-Palimbani
mengadakan perjalanan ke Zabid di mana dia mengajar murid-murid terutama
dari keluarga Ahdal dan Al-Mizjadi”.
Bagaimana bisa terjadi, pada tempat lain Al-Baythar mengatakan
Al-Palimbani wafat setelah 1200 H/1785 M. Di tempat yang lain disebutnya
Al-Palimbani ke Zabid tahun 1201 H/1787 M. Oleh itu persoalan-persoalan
lain yang bersumber dari Al-Baythar mengenai Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani yang menyalahi sumber-sumber yang telah dianggap benar oleh
tradisi/mutawatir dunia Melayu ditolak juga.
Sumber wafat 1200/1785 M menurut Ustaz Wan Shaghir adalah tidak
tepat karena menyalahi dengan tulisan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani
sendiri. Kitab-kitab yang dikarang/diselesaikan oleh Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani sesudah tahun 1200 H/1785 M itu ialah Risalah Isra’ wa
Mi’raj, yang dicatat oleh Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani sendiri
selesai menulisnya pada tahun 1201 H, kira-kira bersamaan 1786/87 M.
Umumnya, juga diketahui ialah Siyarus Salikin jilid ke-IV, diselesaikan
pada malam Ahad, 20 Ramadhan 1203 H di Taif, kira-kira bersamaan tahun
1789 M.
Pendapat Dr. Azyumardi Azra pada kalimatnya, “Ketika dia
menyelesaikan karya ini, mestinya umurnya adalah 85 tahun”, tertolak
karena tahun kelahiran Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang dikemukakan
oleh kedua sarjana tersebut ternyata salah seperti yang telah
disebutkan sebelum ini.
Banyak yang menduga kewafatan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani tahun 1203 H/1789 M.
Malah menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, beliau tetap yakin bahawa
Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memang terlibat langsung dalam
peperangan di antara Kedah-Patani melawan Siam yang terjadi jauh sesudah
tahun 1203 H/1789 M itu. Ini berdasarkan cerita yang mutawatir,
dikuatkan sebuah manuskrip salinan Haji Mahmud bin Muhammad Yusuf
Terengganu murid Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, telah diketemukan
kubur beliau dan lain-lain yang perlu dikaji dengan lebih teliti.
Dr. M. Chatib Quzwain menyebut bahawa kubur Sheikh Abdus Samad
al-Falimbani di Palembang, Dr. Azyumardi Azra pula menyebut, “ada kesan
kuat dia meninggal di Arabia”, kedua-dua pendapat tersebut bertentangan
dengan Al-Tarikh Silsilah Negeri Kedah. Juga bertentangan dengan cerita
populer masyarakat Islam di Kedah, di Patani, Banjar, Mempawah/Pontianak
dan tempat-tempat lain yang ada hubungan pertalian penurunan keilmuan
tradisional Islam dunia Melayu.
Selain itu, bertentangan pula dengan manuskrip Al-Urwatul Wutsqa
karya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani yang disalin oleh Haji Mahmud bin
Muhammad Yusuf Terengganu, salah seorang murid Sheikh Abdus Shamad
al-Falimbani. Bertentangan pula dengan pembuktian bahawa diketemukan
kubur Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani di perantaraan Kampung Sekom
dengan Cenak termasuk dalam kawasan Tiba, yaitu di Utara Patani.
Menurut Ustaz Wan Shaghir lagi, tidak dipastikan sumber manakah
yang digunakan oleh Dr. Azyumardi Azra yang menyebut, “ada kesan kuat
dia meninggal di Arabia” itu.


ulasan komen...maksud sya macam ni...xbole sebut ulamak tapi nama ulamak xsebut...hujjah macam xboleh la...






2 ulasan:

Abootarbus berkata...

Mana dia syeikh al hadi al nelayang? Jangan la buat suspen, kita tertunggu2 ni?. Kurang2 bagi lah perihal syeikh al stopa ali al UG sebagai mukadimah. Ramai org Pas akan berasa bangga tau! Ulamak ulung selalu kena penjara dan intimidation, tapi ulamak Pas termasyuk mursyid terkini dapat lepas, ini kira hebat tersangat yg perlu di war warkan.

fendi isa berkata...

JAWAPAN DIATAS..SERTA VIDEO...NI MAKSUD SAYA