Selasa, 21 April 2015

SOLAT JUMAAT








Kutbah Jum'at Kekurangan Satu Rukun

Assalamu’alaikum wr. Wb
Pak ustad, apabila salah satu rukun khutbah jum’atditinggalkan contohnya khotib lupa/tidak membaca sholawat nabi:
1. Apakah sah khutbah & sholat jum’atnya
2. Apayanghrs saya lakukan dengan hal tersebut di atas
Mohon penjelasannya atas jawabannya kami ucapkan terima kasih.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,



Setiap ibadah punya rukun yang harus dipenuhi. Dan yang disebut dengan istilah rukun adalah kerangka atau batang tubuh. Bila salah satu di antara rukun itu hilang atau tidak terpenuhi, yah apa boleh buat, maka ibadah itu gagal alias batal dengan sendirinya. Ibadah itu menjadi tidak sah untuk dilakukan.
Khusus dalam khutbah Jumat, ada beberapa rukun yang telah disepakati oleh para ulama. Jumlahnya ada lima perkara. Jangan sampai satu dari lima perkara itu sampai tidak dikerjakan, akibatnya nanti bisa fatal. Shalat jumatnya menjadi tidak sah juga.
Maka sebagai khatib jumat, seseoang perlu belajar fiqih terlebih dahulu, tidak asal naik mimbar seenaknya. Jangan asal mentang-mentang pandai ceramah, lalu disamakan saja antara ceramah biasa dengan khutbah Jumat.
Demikian juga dengan takmir masjid, harus pilih-pilih khatib dengan cermat dan teliti. Pastikan khatib yang diundang adalah khatib yang setidaknya menguasai ilmu syariah, minimal dia mengetahui fiqih shalat jumat.
Juga jangan lupa untuk selalu siap memasang khatib cadangan yang siap untuk menggantikan, bila terjadi apa-apa yang tidak diinginkan, misalnya khatib undangan malah tidak memenuhi rukun khutbah jumat.
Rukun Khutbah Jumat
Khutbah Jumat itu terdiri dari khutbah, yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua. Di antara keduanya, ada duduk sejenak.
Di dalam kedua khutbah itu, setidaknya harus ada lima rukun yang harus terpenuhi, yaitu:
1. Mengucapkan hamdalah
2. Mengucapkan shalawat kepada nabi Muhammad SAW
3. Berwashiyat
4. Membaca sepotong ayat Al-Quran Al-Kareim
5. Mendoakan atau memintakan ampunan buat umat Islam.
Jadi kalau merunut pertayaan anda, ada khatib yang tidak membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW, maka jelas sekali bahwa khutbah Jumat itu kurang satu dari lima rukunnya. Akibatnya, khutbah itu menjadi tidak sah.
Konsekuensinya, khutbah itu harus diulang lagi dari awal, sebelum shalat jumat dilaksanakan.
Yang mengulanginya bisa saja sang khatib sendiri, di mana setelah dia turun dari mimbar, harus ada yang mengingatkan bahwa dia lupa membaca salah satu rukunnya, maka kalau dia elegan, dia akan naik lagi dan khusus membaca shalawat kepada nabi SAW.
Tapi dalam kondisi tertentu, boleh saja takmir masjid naik mimbar menyelamatkan shalat jumat itu agar menjadi sah. Cukup naik mimbar dan waktunya tidak lebih dari 30 detik saja. Karena hanya mengucapkan alhamdulillah, wasshashalatu wassalamu ‘ala rasulillah, ittaqullah, qul huwallahu ahad dan allahummaghfir lilmukminina wal mukminat.
Itu saja dan selamatlah shalat jumatnya orang satu masjid penuh. Tentu ini hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang paham ilmu fiqih, khususnya fiqih shalat jumat.
Tidak terbayang seandainya khatib, imam atau takmir masjid, semua adalah orang awam yang tidak mengerti hal-hal seperti itu. Apa jadinya hukum shalat jumat mereka.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

5 Rukun Khutbah Jumat yang Wajib Dipenuhi

assalamualaikum

tata cara khutbah jumat

Sebagai umat muslim yang taat pasti selalu melakukan ibadah sholat jumat, hukumnya sholat jumat itu wajib atau fardlu ain yang hanya bisa tidak dilaksanakan jika ada udhur, sakit, perjalanaan jauh untuk kebaikan dan lainya sebagainya. Diantara rukunnya sholat jumat adanya khutbah yang dilaksanakan 2 kali dalam sholat jumat. Khutbah ini berisi pesan-pesan yang bisa meningkatkan keimanan kita yang disampaikan oleh khotib, khotib adalah orang yang menyampaikan khutbah. Khutbah juga menjadi rukun dalam sholat ied baik idul fitri maupun idul adha, tata cara pelaksanaan khutbahnya juga sama.

Rukun khutbah sholat jumat sebetulnya ada banyak,namun penulis hanya menulis lima saja. Kelima rukun khutbah ini di dasarkan pada dalil yang sudah di kumpulkan oleh ulama. Sebelum membahas ke rukun sholat jumat ada baiknya kita membaca dulu atau mengetahui dulu tata cara khutbah sholat jumat, jika di bedakan dengan khutbah sholat idul fitri dan sholat idul adha.

Tata Cara Khutbah Jumat, yang paling pokok untuk di ketahui yaitu bahwa sholat jumat terdiri dari dua kali khutbah, diantara khutbah pertama dengan khutbah kedua memiliki jeda yang dipisahkan dengan duduk diantara keduanya. selain itu juga harus di perhatikan bahwa khotbah jumat dilakukan sebelum sholat jumat sedangkan sholat ied dilakukan setelah sholatnya.

Rukun khutbah sholat jumat

1. rukun pertama: hamdalah
rukun pertaman dalam khotbah yang wajib di penuhi adalah dimulai dengan bacaan hamdalah. yaitu lafadz memuji ALLAH SWT.

2. rukun kedua: sholawat kepada Nabi SAW
rukun selanjutnya yaitu membaca sholawat atas nabi muhammad SAW, bisa singkat tetapi dianjurkan dengan yang panjang.

3.  Rukun ketiga: wasiat untuk taqwa
ini disampaikan khotib kepada dirinya dan jamaah jumat yaitu berwasiat untuk taqwa.

4. rukun keempat: mebaca alquran
membaca alquran ini tidak boleh terlalu singkat maksudnya tidak boleh membaca satu kata aja seperti  (ثم نظر) tsumma nazhar jadi membacanya harus dilengkapi. untuk temanya bebas.

5. rukun kelimat:  doa untuk umat
rukun yang terakhir yaitu rukun membaca doa untuk umat Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat (Ya Allah, ampunilah orang-orang muslim laki dan wanita). Atau kalimat Allahumma ajirna minannar (Ya Allah, selamatkan kami dari api neraka).

Begitulah sahabat rukunnya khutbah yang harus kita ketahui sebagai umat muslim, jadi jika kita sewaktu waktu menjadi khotib kita bisa menjalnkan dengan rukunnya sehingga khutbah kita bisa sah. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Rukun Khutbah

RUKUN- RUKUN KHUTBAH

1. Memuji Allah Taala



Tertentu dengan lafaz الحمد لله atau احمد الله atau نحمد الله atau الله احمد atau الله الحمد atau انا حامد الله .



Tidak memadai dengan lafaz الحمد للرحمن atau الشكر لله dan sebagainya.



2. Membaca Selawat



Tertentu dengan lafaz اللهم صل على محمد atau نصلى على محمد

atau diganti lafaz محمد dengan lafaz النبي / احمد / العاقب / حاشر / الماحي / البشير / النذير .



Tidak memadai dengan سلم الله على محمد atau رحم الله محمد





3.  Wasiat dengan takut kepada Allah



Walaupun tidak dengan lafaz wasiat sekalipun



Memadai dengan lafaz اطيعوا الله atau اتقوا الله .



Tidak memadai dengan semata menakuti daripada perhiasan dunia kerana itu adalah sedia maklum walaupun oleh kafir maksiat.



4.  Membaca satu ayat Al-Quran yang difahami.



Tidak memadai membaca setengah ayat walaupun panjang.



Tidak memadai satu ayat yang tidak memberi faham seperti ن



Memadai ayat itu dibaca di dalam salah satu daripada 2 khutbah.



Sunat dibaca pada akhir khutbah pertama.



Sunat dibaca Surah Qaf pada akhir khutbah pertama setiap Jumaat kerana mengikut Nabi tetapi berhasil pahala sunat dengan membaca setengah surah tersebut.



 5.  Membaca doa berkenaan urusan akhirat untuk orang Islam dalam khutbah kedua.



Memadai menentukan doa bagi segala yang mendengar seperti katanya رحمكم الله



Tiada memadai menentukan doa itu bagi mereka

yang ghaib.



Tidak mengapa membaca doa bagi Sultan dengan tentunya jika tidak berlebih-lebihan dalam menyatakan sifatnya.



Kata Sheikh Ibnu Abdus Salam tidak harus memuji Sultan dengan sifat yang dusta kecuali kerana dharurat.



Sunat membaca doa bagi segala Sultan yang Islam dan tentera mereka dengan kebaikan dan kemenangan.





Peringatan – Rukun yang 3 di atas mesti ada di dalam khutbah

                      pertama dan khutbah kedua.



SYARAT SAH KHUTBAH



Khatib berdiri jika berkuasa kerana mengikut Nabi.



Jika tak mampu hendaklah duduk. Jika tak mampu maka baring dan harus mengikutnya walaupun tak diketahui uzurnya ia pada zahirnya ma’zur.



Rukun Khutbah Dalam Bahasa Arab.



Jika tiada yang tahu dan tak sempat belajar sebelum habis waktu maka boleh dengan bahasa sendiri.



Wajib belajar bagi semua orang, maka jika ada yang sempat belajar tetapi tak belajar maka berdosa kesemuanya sekali dan tidak harus Jumaat ketika itu tetapi hendaklah diganti dengan Zohor.



Yang disyaratkan hanya mendengar khutbah bukan

faham.









3. Khatib Duduk Antara Dua Khutbah Serta Tama’ninah.



Jika tak mampu duduk maka hendaklah diam

seketika.



Begitu juga yang tak mampu berdiri maka hendaklah

diam seketika.



Sunat duduk sekadar membaca ( قل هو الله احد) hingga

akhir.





4.  Dua Khutbah dibaca selepas gelincir matahari.



5.  Kesemua Rukun Didengari Oleh 39 Orang Makmum Dari Kalangan Ahli Jumaat Walaupun Tak Faham.



Khatib tak disyaratkan mendengar dan memahami maka sah walaupun ia tuli dan termasuk dalam bilangan 40 orang itu.





6.  Berturut-turut tiap-tiap kalimah daripada 2 khutbah dan antara 2 khutbah dan solat.



7.   Khatib Suci daripada hadas kecil dan besar.



Makmum tidak disyaratkan suci dari hadas.



8.  Khatib suci daripada najis yang tak dimaafkan pada badan, pakaian dan tempat.



Jika berhadas ketika khutbah hendaklah bersuci dan memulai semula dan tak boleh disambung walaupun singkat masa perceraiannya.



Jika berhadas antara khutbah dan solat maka bersuci dengan segera maka tiada mengapa.



Makmum tidak disyaratkan suci dari najis.





9.  Khatib Menutup Aurat.



Makmum tidak disyaratkan menutup aurat.





Peringatan



Tidak disyaratkan tertib antara rukun-rukun khutbah.

Tidak disyaratkan niat pada khutbah dan tidak disyaratkan meniatkan Fardhunya.



SUNAT – SUNAT KHUTBAH



Sunat berkhutbah di atas mimbar dan sunat mimbar di kanan mehrab.



Jika tiada mimbar maka hendaklah berkhutbah di atas tempat tinggi supaya sampai suara Khatib kepada sekelian manusia.



Sunat khatib memberi salam kepada semua yang hadir di sisi pintu masjid sebelum masuk ke masjid kemudian bila sampai ke mimbar maka sunat memberi salam kepada mereka yang di sisi mimbar dan bila naik ke atas mimbar dan berada di kedudukan tertinggi di bawah tempat berkhutbah maka sunat menghadap kepada orang ramai dan memberi salam dan kemudian sunat duduk di tempat berkhutbah ketika orang Azan agar dapat merehatkan diri dari penat naik ke mimbar.



Sunat Azan di hadapan Khatib dan setelah selesai Azan maka Khatib berdiri membelakang kiblat dan berkhutbah dengan nyaring.



Sunat Khatib tidak berpaling ke kanan, ke kiri dan ke belakang kerana itu semua bid’ah.



Makruh menumbuk anak tangga mimbar ketika naik dengan kaki atau tongkat atau pedang.



Makruh membaca doa tatkala sampai kepada anak tangga tempat berhentinya.



Makruh berhenti pada tiap anak tangga mimbar.



Makruh menyegerakan khutbah yang kedua dan memperlahankan suara padanya.



Makruh berlebihan memuji raja ketika berdoa.



Hendaklah khutbah itu sederhana tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.



Sunat Khatib memegang pedang atau panah atau tongkat dengan tangan kirinya dan diletakkan tangan kanan di tepi mimbar.



Selesai khutbah hendaklah segera turun daripada mimbar supaya sampai ia ke mehrab sebaik selesai Iqamah supaya terpelihara muwalat antara khutbah dan solat.



Sunat membaca dalam raakat pertama Surah Al-A’la dan rakaat kedua Surah Al-Munafiqun atau Surah al-Ghasyiah.



Membaca Surah Al-Jumuah dan Surah Al-Munafiqun lebih utama daripada membaca Surah Al-A’la dan Surah al-Ghasyiah .



Jika ditinggalkan Surah Al-Jumuah atau Surah Al-A’la pada rakaat pertama kerana lupa atau sengaja dan digantikan dengan Surah Al-Munafiqun atau Surah al-Ghasyiah maka hendaklah dibaca pada rakaat kedua Surah Al-Jumuah atau Surah Al-A’la dan jangan diulangi lagi Surah al-Munafiqun atau Surah al-Ghasyiah yang telah dibaca pada rakaat pertama.



Jika tidak dibaca pada rakaat pertama salah satu dari Surah Al-Jumuah atau Surah Al-A’la dan tidak juga Surah Al-Munafiqun dan Al-Ghasyiah maka hendaklah dihimpunkannya kedua surah itu pada rakaat kedua iaitu Surah Al-Jumuah dan Surah Al-Munafiqun atau Surah Al-A’la dan Surah Al-Ghasyiah dalam rakaat kedua.



Tersebut dalam hadis :

من قرأ عقب سلامه من الجمعة قبل أن يثنى رجله وقيتكلمالفاتحة والاخلاص والمعوذتين سبعا سبعا غفر له ما تقدم من ذنبه وما تأخر واعطى من اللأجر بعدد من امن بالله ورسوله وحفظ له دينه ودنياه واهله وولده

Ertinya :



Sesiapa yang membaca Surah Al-Fatihah, Surah Al-Ikhlas, Surah Al-Falaq dan Surah An-Nas 7 kali setiap satu selepas salam Solat Jumaatnya sebelum dia mengubah kakinya dan sebelum berkata-kata, nescaya diampunkan Allah segala dosanya dahulu dan akan datang dan dianugerahkan pahala dengan bilangan orang yang beriman dengan Allah dan RasulNya, dan di pelihara oleh Allah agamanya, dunianya, isi rumahnya dan anaknya.





PENYEDIAAN DAN PENYAMPAIAN KHUTBAH



MUQADDIMAH



    Penyediaan dan penyampaian khutbah tidaklah semudah yang difikirkan. Ia bukan sekadar menyampaikan mesej kepada makmum tetapi juga memerlukan mesej tersebut disampaikan dengan cara yang teratur, menarik dan berkesan. Penyampaian yang berkesan ialah penyampaian yang memberi keyakinan kepada pendengar, dapat mempengaruhi pendengar dan menyebabkan pendengar boleh menerima malah sanggup menurut saranan dan gesaan yang diutarakan. Walaubagaimanapun terdapat berbagai kelemahan yang menjejaskan penyampaian mesej tersebut dalam kebanyakan khutbah pada hari ini. Antara kelemahan yang ketara adalah :



Bahasa yang tidak dapat difahami.

Terlalu banyak membuat kesalahan sebutan.



Menggunakan perkataan yang tidak tepat dan tidak sesuai.



Menggunakan istilah yang salah dan mengelirukan.



Menggunakan bahasa yang terlalu tinggi dan

berbelit-belit.



Menggunakan ungkapan yang tidak betul.



Menyampaikan mesej dalam bentuk ayat-ayat yang janggal dan salah yang boleh mengelirukan pendengar



Menggunakan bahasa yang longgar, tidak tepat dan

tidak sesuai.



Menggunakan intonasi yang tidak betul.



Menggunakan intonasi yang mendatar dan tiada

tinggi rendah.



Teragak-agak dan gagap.





2.   Suara yang tidak jelas.

Apabila suatu khutbah di sampaikan dengan suara yang perlahan atau tidak jelas, maka makmum tidak dapat mendengar dengan jelas dan ini boleh menjejaskan minat makmum, lalu membuat tafsiran yang salah terhadap isi khutbah.



3.  Gerak-geri yang tidak sesuai.

Gerak badan, tangan dan muka yang tidak sesuai dengan isi dan maksud khutbah mengurangkan kesan baik terhadap makmum yang mendengar.



4.  Penampilan yang tidak menarik.

Penampilan yang kurang menarik menyebabkan pendengar hilang minat dan keyakinan terhadap isi khutbah yang disampaikan.



5.  Kesihatan yang tidak baik.

Keadaan kesihatan khatib dan makmum yang terganggu boleh menyebabkan tumpuan tidak dapat diberikan sepenuhnya.



6. Persekitaran yang tidak menarik.

Persekitaran yang tidak menarik juga seperti cuaca yang panas dan hingar bingar juga boleh mengganggu keberkesanan khutbah yang disampaikan.





7.  Perbezaan Taraf.

Perbezaan taraf hidup, taraf pendidikan dan taraf ekonomi boleh menyebabkan beberapa pemasalahan

Panduan Ringkas I’tikaf


Definisi I’tikaf: Dari segi bahasa: I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik mahupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.
Dari segi istilah: I’tikaf bermaksud duduk di masjid dalam rangka ibadah yang dilakukan oleh orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)
Dalil-Dalil Pensyariatan I’tikaf:

Dalil al-Quran:
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ البقرة : 187
“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(Al Baqarah : 187)
Dalil-dalil As-Sunnah:
Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, beliau berkata:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِى قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Baginda beri’tikaf selama dua puluh hari”.[HR. al-Bukhari no. 2044 ]
‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan sehingga Allah mengambil nyawanya, setelah kewafatan baginda isteri-isteri baginda pun beri’tikaf .”[HR. al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172]
Hukum I’tikaf
Al-Imam Ibn al-Munzir berkata: Para ulama’ telah bersepakat/ijma’ bahawa I’tikaf adalah sunat, dan bukan kewajipan kecuali jika seseorang bernazar mewajibkan dirinya untuk melakukan I’tikaf [Al Mughni, 4/456 ]
Al-Imam Ibn Arabi al-Maliki dan Ibn Batthal rahimahumallah menyatakan bahawa I’tikaf merupakan sunnah muakkadah/sunat yang sangat dituntut kerana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam tidak pernah meninggalkannya.
Waktu I’tikaf
I’tikaf boleh dilakukan pada bila-bila masa, dan ia sangat ditekankan pada 10 hari akhir Ramadhan kerana Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wassalam sentiasa melakukannya.
Batasan Waktu:
Ulama’ bersepakat bahawa I’tikaf tidak mempunyai had masa maksima, akan tetapi mereka berbeza pendapat tentang minimum waktu I’tikaf.
Majoriti ulama’ berpendapat bahawa tiada masa minima untuk I’tikaf. I’tikaf sah walau hanya duduk seketika di dalam masjid. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Adapun tentang minima tempoh I’tikaf, pendapat yang benar yang diputuskan oleh jumhur ulama’ ialah disyaratkan berada di dalam masjid, dan dibenarkan melakukannya dalam tempoh yang panjang mahupun pendek, hatta walau satu jam mahupun seketika” [al-Majmu’, 6/514]
Shaikh Ibn Bazz menyatakan bahawa Imam Ab Hanifah dan sebahagian ulama’ Maliki berpendapat tempoh minima ialah satu hari. [Majmu’ al-Fatawa 15/441]
Di Manakah Lokasi I’tikaf?
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahawa disyaratkan melakukan i’tikaf di masjid.”[Fathul Bari, 4/271 ]
Ini berdalilkan ayat berikut ayat 187 surah al-Baqarah: “….. Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”.
Para ulama’ berbeza pendapat apakah ia sah dilakukan di semua masjid yang mendirikan solat lima waktu berjemaah, atau hanya untuk masjid jami’/masjid yang dilakukan solat fardhu Jumaat.?
Imam Malik Rahimahullah berpendapat ia sah dilakukan di mana-mana masjid yang didirikan solat fardhu lima waktu secara berjemaah [di dalam istilah di Malaysia, dipanggil surau/musolla]
Al-Imam asy-Syafie Rahimahullah pula mensyaratkan agar ia dilakukan di masjid jami’/masjid yang melakukan solat fardhu Jumaat [Al Mughni, 4/462 ] agar orang tersebut tidak perlu ke tempat lain untuk mendirikan solat Jumaat.
Bilakah bermulanya waktu I’tikaf 10 akhir Ramadhan?
Pendapat pertama: Masuk ke masjid sebelum masuk waktu Maghrib 20 Ramadhan. Ini merupakan pendapat jumhur empat mazhab.
Pendapat kedua: Selepas Solat Subuh 21 Ramadhan. Ini merupakan pendapat Al-ImamAl Auza’ie, Al-Laits dan At-Tsauri, Al Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani dan Al-Imam As-Son’ani Rahimahumullah. Mereka berdalilkan hadis berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesai solat Subuh, baginda masuk ke tempat I’tikaf baginda. [HR. al-Bukhari no. 2041 ].
Untuk lebih berhati-hati dicadangkan agar mengambil pendapat pertama agar tidak terlepas malam Lailatulqadar seandainya ia berlaku pada malam 21 Ramadhan.
Ulama jua berbeza pendapat pada waktu bilakah kita perlu keluar daripada masjid, pada Maghrib hari terakhir Ramadhan, atau selepas solat Aidilfitri.
Bolehkah wanita melakukan I’tikaf?
Ini berdasarkan dalil berikut: ‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ فِى كُلِّ رَمَضَانَ ، وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِى اعْتَكَفَ فِيهِ – قَالَ – فَاسْتَأْذَنَتْهُ عَائِشَةُ فَأَذِنَ لَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan. Apabila selesaiSolat Subuh, baginda masuk ke tempat I’tikaf baginda. Dia (Yahya bin Sa’id) berkata: Kemudian ‘Aisyah radiallahu ‘anha meminta izin untuk beri’tikaf , maka baginda mengizinkannya. ” [HR. al-Bukhari no. 2041]
‘Aisyah radiallahu ‘anha berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir dari Ramadhan sehingga Allah mengambil nyawanya, setelah kewafatan baginda isteri-isteri baginda pun beri’tikaf .”[HR. Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172]
Akan tetapi wanita tersebut hendaklah mendapat keizinan daripada suami, keadaan yang aman daripada fitnah, serta tidak melakukan perkara yang melanggar syara’ seperti berwangi-wangian, berhias-hias dan sebagainya.
Perkara-Perkara Yang Membatalkan I’tikaf
1) Keluar masjid tanpa alasan syar’i dan tanpa ada keperluaan yang mendesak.
2) Jima’ (bersetubuh) -Ibn al-Munzir telah menukil ijma’/kesepakatan ulama’ bahawa yang dimaksudkan dengan mubasyaroh dalam surat Al Baqarah ayat 187 adalah jima’ (hubungan intim) [Fathul Bari, 4/272 ].
Adab-adab I’tikaf
Seseorang hendaklah menyibukkan diri dengan melakukan ketaatan seperti berdoa, zikir, berselawat pada Nabi, mempelajari Al-Quran dan mengkaji Al-Hadis. Dimakruhkan menyibukkan diri dengan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat. [Shahih Fiqh Sunnah, 2/150-158]
Seseorang hendaklah sentiasa menjaga kebersihan diri ketika beri’tikaf. Dia hendaklah memakai wangi-wangian, berpakai yang elok, mandi, bersikat rambut. Ini terbukti pada kisah ‘Aisyah menyikatkan rambut Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wassalam ketika baginda sedang beri’tikaf.
Kebersihan masjid juga hendaklah dijaga. Peralatan yang dibawa hendaklah dikemaskan agar tidak mengganggu orang yang solat.
Yang Dibolehkan Ketika I’tikaf
1) Keluar masjid disebabkan ada hajat yang mesti ditunaikan seperti keluar untuk makan, minum, dan hajat lain yang tidak mampu dilakukan di dalam masjid.
2) Melakukan hal-hal harus seperti bercakap-cakap dengan orang lain.
3) Isteri mengunjungi suami yang beri’tikaf dan berdua-duaan dengannya.
4) Mandi dan berwudhu di masjid.
5) Membawa kelengkapan tidur seperti tilam, bantal untuk tidur di masjid.
Faedah-Faedah I’tikaf
1. I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi Salllahu ‘Alaihi Wassalam untuk mendapatkan malam Lailatulqadar
2. Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan solat fardhu berjamaah berterusan bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan saf pertama
3. I’tikaf membiasakan jiwa untuk suka berlama-lama tinggal di dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid
4. I’tikaf akan menjaga puasa seseorang daripada perbuatan-perbuatan dosa. Ia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga daripada hal-hal yang diharamkan
5. I’tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuatkan ramai manusia tenggelam dalam kenikmatannya.
Memburu Lailatulqadar
Dalil al-Quran:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (3
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada lailatul qadar . Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Al-Qadr: 1-3).
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
”Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan: 3). Yang dimaksud malam yang diberkati di sini adalah malam lailatul qadr. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah [Tafsir At-Thabari, 21/6 ]. Inilah yang menjadi pendapat majoriti ulama di antaranya Ibnu ‘Abbas radiallahu ‘anhuma.[Zaadul Masiir, 7/336-337 ]
Hadis-hadis berkaitan Lailatulqadar:
Dari Abu Hurairah Radiallahu ‘anhu, Nabi Sallallahu ’alaihi wassalam bersabda: “ Sesiapa yang menghidupkan malam lailatulqadar dengan penuh keimanan dan mengharap, nescaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [al-Bukhari:1901 dan Muslim: 760]
Aisyah Radiallahu ’anha berkata, Rasulullah Sallallahu ’alaihi wassalam mengasingkan diri (di dalam masjid; beri’tikaf) pada sepuluh (malam) terakhir di dalam Ramadhan. Dan Rasulullah SAW berkata: “Carilah malam al-Qadr pada sepuluh malam terakhir dari Ramadhan.” [al-Bukhari:2020 dan Muslim:219].
Aisyah RA berkata lagi, bahawa Rasulullah SAW berkata: “Carilah malam al-Qadr pada (malam-malam) yang ganjil daripada sepuluh malam yang akhir di bulan Ramadhan.” [al-Bukhari]
Ibn Umar Radiallahu ’anhu berkata: “Beberapa orang daripada sahabat Nabi saw telah melihat malam al-Qadr di dalam tidur pada tujuh (malam) yang terakhir. Maka berkata Rasulullah SAW: “Aku melihat mimpi kamu bertepatan dengan tujuh (malam) yang terakhir. Sesiapa yang benar-benar mencarinya (malam al-Qadr), maka carilah ia di tujuh (malam) yang terakhir. [al-Bukhari:2015 dan Muslim:1165].
Doa di Malam al-Qadar
Daripada ‘Aisyah Radiallahu ‘Anhu:
قلت يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اَلْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, jika aku berkesempatan bertemu Malam Al-Qadar, apakah yang perlu aku katakan (doa) ?” Bersabda Nabi : disebutlah doa: “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, dan amat suka memberi ampun, maka berikanlah daku keampunan”
[HR at-Tirmizi: 3513, Ibn Majah: 3119, Imam at-Tirmizi rahimahullah menyatakan ia hadis Hasan Sahih.]
Rujukan:
http://islamqa.com/en/cat/469
http://muslim.or.id/ramadhan/panduan-itikaf-ramadhan.html
http://belajarislam.com/panduan-ilmu/702-itikaf

Hukum Berbicara Ketika Khutbah Jum’at


Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketika menghadiri shalat Jum’at di masjid, tentu terdapat adab yang mesti diperhatikan. Di antara adab tersebut adalah diam ketika imam berkhutbah.
Berbagai Hadits yang Menunjukkan Larangan
Dalam hadits riwayat Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela) ” (HR. Muslim no. 857)
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَ كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَاراً وَالَّذِى يَقُولُ لَهُ أَنْصِتْ لَيْسَ لَهُ جُمُعَةٌ
Barangsiapa yang berbicara pada saat imam khutbah Jum’at, maka ia seperti keledai yang memikul lembaran-lembaran (artinya: ibadahnya sia-sia, tidak ada manfaat, pen). Siapa yang diperintahkan untuk diam (lalu tidak diam), maka tidak ada Jum’at baginya (artinya: ibadah Jum’atnya tidak sempurna, pen).” (HR. Ahmad 1: 230. Hadits ini dho’if kata Syaikh Al Albani)
Dari Salman Al Farisi, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى
Apabila seseorang mandi pada hari Jum’at, dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak dan harum-haruman dari rumahnya kemudian ia keluar rumah, lantas ia tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian ia mengerjakan shalat yang diwajibkan, dan ketika imam berkhutbah, ia pun diam, maka ia akan mendapatkan ampunan antara Jum’at yang satu dan Jum’at lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).
Kalam Ulama
An Nadhr bin Syumail berkata, “Laghowta bermakna luput dari pahala.” Ada pula ulama yang berpendapat, maksudnya adalah tidak mendapatkan keutamaan ibadah jum’at. Ulama lain berpendapat bahwa yang dimaksud adalah ibadah jum’atnya menjadi shalat Zhuhur biasa (Lihat Fathul Bari, 2: 414).
Ibnu Battol berkata, “Para ulama yang biasa memberi fatwa menyatakan wajibnya diam kala khutbah Jum’at.” (Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)
Yang dimaksudkan “tidak ada jum’at baginya” adalah tidak ada pahala sempurna seperti yang didapatkan oleh orang yang diam. Karena para fuqoha bersepakat bahwa shalat Jum’at orang yang berbicara itu sah, dan tidak perlu diganti dengan Zhuhur empat raka’at. (Lihat penjelasan Ibnu Battol dalam Syarh Al Bukhari, 4: 138, Asy Syamilah)
“Ngobrol” Ketika Imam Berkhutbah, Haram ataukah Makruh?
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan larangan berbicara dengan berbagai macam bentuknya ketika imam berkhutbah. Begitu juga dengan perkataan untuk menyuruh orang diam, padahal asalnya ingin melakukan amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan), itu pun tetap disebut ‘laghwu’ (perkataan yang sia-sia). Jika seperti itu saja demikian, maka perkataan yang lainnya tentu jelas terlarang. Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.
Mengenai hukum berbicara di sini apakah haram ataukah makruh, para ulama berbeda pendapat. Imam Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal ini. Al Qadhi berkata bahwa Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i serta kebanyakan berpendapat wajibnya diam saat khutbah. …
Dalam hadits disebutkan, “Ketika imam berkhutbah”. Ini menunjukkan bahwa wajibnya diam dan larangan berbicara adalah ketika imam berkhutbah saja. Inilah pendapat madzhab Syafi’i, Imam Malik dan mayoritas ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan wajib diam sampai imam keluar.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 138-139)
Memperingatkan Orang Lain Saat Khutbah Cukup dengan Isyarat
Sebagaimana kata Imam Nawawi rahimahullah di atas, “Jika kita ingin beramar ma’ruf kala itu, maka cukuplah sambil diam dengan berisyarat yang membuat orang lain paham. Jika tidak bisa dipahami, cukup dengan sedikit perkataan dan tidak boleh lebih dari itu.”
Pernyataan di atas didukung dengan hadits Anas bin Malik. Ia berkata, “Tatkala Rasulullahh shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, berdirilah seseorang dan bertanya, “Kapan hari kiamat terjadi, wahai Nabi Allah?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diam, tidak mau menjawab. Para sahabat lalu berisyarat pada orang tadi untuk duduk, namun ia enggan.” (HR. Bukhari no. 6167, Ibnul Mundzir no. 1807, dan Ibnu Khuzaimah no. 1796).  Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat melakukan amar ma’ruf ketika imam berkhutbah hanya dengan isyarat.
Menjawab Salam Orang Lain Saat Khutbah
Termasuk dalam larangan adalah menjawab salam orang lain ketika imam berkhutbah. Balasannya cukup dengan isyarat (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz berkata, “Menjawab salam saat khutbah tidaklah diperintahkan. Bahkan kita hendaknya shalat tahiyyatul masjid, duduk dan tidak mengucapkan salam pada yang lain hingga selesai khutbah. Jika ada yang memberi salam padamu, maka cukuplah balas dengan isyarat sebagaimana halnya jika engkau diberi salam ketika shalat, yaitu membalasnya cukup dengan isyarat. … Jika ada di antara saudaranya yang memberi salam sedangkan saat itu imam sedang berkhutbah, maka balaslah salamnya dengan isyarat, bisa dengan tangan atau kepalanya. Itu sudah cukup, alhamdulillah.” (Jawaban pertanyaan di website resmi Syaikh Ibnu Baz di sini)
Menjawab Salam Khotib
Jika imam mengucapkan salam ketika ia naik mimbar, hukum menjawabnya adalah fardhu kifayah (artinya: jika sebagian sudah mengucapkan, yang lain gugur kewajibannya).
Dalam kitab Al Inshof (4: 56, Asy Syamilah), salah satu kitab fikih madzhab Hambali disebutkan,
رَدُّ هَذَا السَّلَامِ وَكُلِّ سَلَامٍ مَشْرُوعٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الْجَمَاعَةِ الْمُسَلَّمِ عَلَيْهِمْ
“Menjawab salam imam (ketika ia masuk dan menghadap jama’ah) dan juga menjawab setiap salam adalah sesuatu yang diperintahkan dan hukumnya fardhu kifayah bagi para jama’ah kaum muslimin.”
Jika menjawab salam kala itu diperintahkan, maka jawabannya pun dengan suara jaher, dengan suara yang didengar oleh imam. Mula ‘Ali Al Qori berkata,
أن رد السلام من غير إسماع لا يقوم مقام الفرض
“Menjawab salam dan tidak terdengar (di telinga orang yang memberi salam), itu belum menggugurkan kewajiban.” (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobil, 13: 6, Asy Syamilah)
Menjawab Kumandang Adzan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
Jika kalian mendengar kumandang adzan dari muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” (HR. Muslim no. 384).
Dalam Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Jika imam telah  memberi salam kepada jama’ah, ia disunnahkan duduk hingga selesai kumandang adzan. Ketika itu, hendaklah menjawab seruan muadzin (dengan mengucapkan yang semisal) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan.” Hadits ini adalah umum. Jika imam berada di mimbar, hendaklah ia menjawab adzan, begitu pula makmum. Hendaklah mereka mengucapkan seperti yang diucapkan muadzin kecuali pada lafazh ‘hayya ‘alash sholaah’ dan ‘hayya ‘alal falaah’, hendaklah mereka ucapkan ‘laa hawla wa laa quwwata illa billah’.”
Adapun menjawab adzan kala itu, cukup dengan suara lirih sebagaimana asal do’a dan dzikir adalah demikian. Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل
Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara.” (QS. Al A’rof: 205)
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’rof: 55)
Menjawab Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari ‘Ali bin Abi Tholib, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad 1: 201. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).
Dalam Asnal Matholib salah satu fikih Syafi’iyah disebutkan, “Bagi yang mendengar khotib bershalawat, hendaklah ia mengeraskan suaranya ketika membalas shalawat tersebut.” Ulama Syafi’iyah lainnya menyatakan sunnah untuk diam dan tidak wajib menjawab shalawat.
Ulama Hambali menyatakan bolehnya menjawab shalawat ketika diucapkan, namun jawabnya dengan suara sirr (lirih) sebagaimana do’a.
Intinya, ada dua dalil dalam masalah ini yaitu dalil yang memerintahkan untuk menjawab shalawat dan dalil yang memerintahkan untuk diam saat imam berkhutbah. Jika kita kompromikan dua dalil tersebut, yang lebih afdhol adalah menjawab shalawat dengan suara sirr (lirih). (Lihat bahasan islamweb.net)
Menjawab Orang yang Bersin
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin ditanya, “Apa hukum menjawab salam dan menjawab bersin saat khutbah Jum’at? Apa juga hukum menyodorkan tangan pada orang yang ingin bersalaman ketika imam berkhutbah?”
Jawaban beliau rahimahullah, “Menjawab salam orang lain dan menjawab bersin saat imam berkhutbah tidak diperbolehkan, karena hal itu termasuk berbicara yang terlarang dan hukumnya haram. Karena seorang muslim (yaitu jama’ah) tidaklah diperintahkan untuk mengucapkan salam kala itu. Dikarenakan salamnya tidak diperintahkan, maka demikian pula dengan balasannya.
Orang yang bersin pun tidak diperintahkan mengeraskan bacaan ‘alhamdulillah’ tatkala imam berkhutbah. Oleh karenanya, ucapannya tidak perlu dibalas dengan ucapan ‘yarhamukallah’.
Sedangkan menyamput jabatan tangan orang yang ingin bersalaman, sebaiknya tidak dilakukan karena termasuk membuat lalai. Kecuali jika dikhawatirkan terdapat mafsadat, maka ketika itu tidaklah mengapa menyambut sodoran tangannya, akan tetapi tidak boleh ditambah dengan obrolan. Dan jelaskan padanya setelah shalat bahwa pembicaraan saat khutbah itu haram. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16: 94, Asy Syamilah)
Berbicara dengan Khotib
Berbicara dengan khotib saat khutbah diperbolehkan jika ada hajat, baik ketika khotib memulai pembicaraan atau memulai bertanya, atau ketika menjawab pembicaraannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,
أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ
Ada seorang Arab badui mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau sedang berkhutbah Jum’at. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, hewan ternak pada binasa …” (HR. Bukhari no. 1029). Arab badui mengucapkan demikian karena hujan tidak kunjung berhenti setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta hujan lewat shalat istisqo’ sehingga hewan-hewan ternak pun mati. Ia meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berdo’a agar hujan dihentikan.
Begitu pula dalam kisah Sulaik. Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِىُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَخْطُبُ فَجَلَسَ فَقَالَ لَهُ « يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا – ثُمَّ قَالَ – إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ».
Sulaik Al Ghothofani datang pada hari Jum’at dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Ia masuk dan langsung duduk. Beliau pun berkata pada Sulaik, “Wahai Sulaik, berdirilah dan kerjakan shalat dua raka’at (tahiyyatul masjid), persingkat shalatmu (agar bisa mendengar khutbah, pen).” Lantas beliau bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at dan imam berkhutbah, tetaplah kerjakan shalat sunnah dua raka’at dan persingkatlah.” (HR. Bukhari no. 930 dan Muslim no. 875) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 589).
Demikian bahasan rumaysho.com tentang berbagai masalah seputar obrolan atau pembicaraan saat imam berkhutbah Jum’at. Intinya, asal obrolan saat khutbah adalah haram kecuali jika ada hajat atau maslahat. Semoga bermanfaat.
Wallahu waliyyut taufiq.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 6 Muharram 1433 H
www.rumaysho.com


SOLAT JUMAAT
 


Solat Jumaat ialah solat 2 rakaat dalam waktu Zohor pada hari Jumaat didahului dgn 2 khutbah dgn syarat-syarat yang tertentu. Solat Jumaat adalah Fardhu Ain kepada setiap lelaki Islam yang cukup syarat-syaratnya.

Firman Allah SWT ;
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru azan untuk mengerjakan solat pada hari Jumaat, maka segeralah kamu pergi (masjid), untuk mengingati Allah (solat Jumaat), dan tinggalkanlah jualbeli. Demikian itu adalah lebih baik, jika kamu mengetahuinya" ayat 9 : Surah al-Jumaat

SYARAT-SYARAT WAJIB SOLAT JUMAAT
1. Islam
2. Baligh
3. Lelaki
4. Berakal
5. Berkemampuan
6. Merdeka
7. Bermukim

BERMUKIM, BERMASTAUTIN, DAN BERMUSAFIR
1.  Bermusafir ialah orang yang dalam perjalanan lebih daripada dua marhalah (lebih kurang 98 km). Solat Jumaat yang dikerjakan adalah sunat dan tidak dikira dalam bilangan 40 orang ahli Jumaat.
2.  Bermastautin ialah orang yang tinggal menetap di sesuatu tempat dan tidak berhajat untuk berpindah ke tempat lain. Solat Jumaat adalah wajib kepadanya dan termasuk dalain bilangan 40 orang ahli Jumaat.
3.  Bermukim ialah orang yang tinggal di sesuatu tempat dan tidak berhajat untuk menetap di situ selama-lamanya. Solat Jumaat adalah wajib baginya tetapi tidak termasuk dalam bilangan 40 orang ahli Jumaat.
SYARAT-SYARAT SAH SOLAT JUMAAT
1. Ditunaikan pada tempat khas.
2. Dituniakan dalam waktu Zohor.
3.  Secara berjemaah.
4. Sekurang-kurangnya mengandungi 40 orang jemaah tidak termasuk imam.
5. Didahului 2 khutbah sebelum solat  Jumaat.
 
HUKUM MENINGGALKAN SOLAT JUMAAT

عَنْ أَبِي الْجَعْدِ الضَّمْرِيِّ وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَرَكَ ثَلَاث َ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
"Dari Abu Jakdi ad-Dhamri bahawa Rasulullah SAW bersabda : Sesiapa yang meninggalkan solat Jumaat 3 kali dengan sengaja, maka Allah SWT akan menutup hatinya drp menerima petunjuk Hadith riwayat Abu Daud
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Orang ramai hendaklah berhenti drp melupakan solat Jumaat atau Allah menutup hati mereka, kemudian mereka termasuk dalam golongan yang lupa. Hadis riwayat Muslim, Ahmad dan Nasaie.

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ ثُمَّ أُحَرِّقَ عَلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْ الْجُمُعَةِ بُيُوتَهُمْ
Aku bercadang untuk memerintahkan orang lain mengimamkan solat, kemudian membakar rumah-rumah mereka yang meninggalkan solat Jumaat. Hadis riwayat Muslim dan Ahmad.

KHUTBAH JUMAAT

Khutbah Jumaat adalah ucapan atau syarahan yang disampaikan oleh khatib sebelum solat Jumaat yang mengandungi nasihat, peringatan, pengajaran kepada jemaah Jumaat.
Khutbah Jumaat adalah salah satu drp syarat sah solat Jumaat, tanpanya, solat Jumaat tidak sah. Jadi, khutbah Jumaat itu adalah WAJIB.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَة ِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُوم
Dari Ibnu Umar RA meriyatkan bahawa Rasulullah SAW berkhutbah pada hari Jumaat secara berdiri, kemudian baginda duduk, kemudian baginda berdiri" Hadis riwayat Muslim

RUKUN KHUTBAH JUMAAT

1. Memuji Allah spt Alhamdulillah
2. Membaca selawat ke atas Nabi SAW
3. Mengingatkan para jemaah supaya bertaqwa kepada Allah spt Ittaqullah (
إتق الله
4. Membaca sekurang-kurangnya satu ayat al-Quran dengan lengkap
5. Mendoakan kesejahteraan kaum muslimin sekurang-kurangnya
 
اللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُســلِمِينَ وَالْمُسْـلِمَاتِ وَالْمُؤمِنِينَ وَالْمُؤمِنَات

SYARAT-SYARAT SAH KHUTBAH JUMAAT
 
1. Telah masuk waktu Zohor
2. Didahulukan bacaan Kutbah drp Solat Jumaat
3. Membaca rukun Khutbah dalam bahasa Arab
4. Dilakukan berturut-turut antara 2 khutbah dan antara khutbah  dgn solat Jumaat
5. Khatib hendaklah seorang lelaki
6. Khatib hendaklah berdiri jika mampu
7. Khatib hendaklah duduk sebentar antara 2 khutbah
8. Khatib hendaklah menutup aurat
9. Khutbah hendaklah disampaikan dgn jelas dan terang sehingga dapat didengar dan difahami oleh sekurang-kurangnya 40 orang jemaah.
10. Khatib hendaklah suci badan, pakaian dan tempat drp najis.
11. Khatib hendaklah suci drp hadas besar dan hadas kecil (berwudhuk)


:)أن ‏ ‏أبا هريرة ‏ ‏أخبره ‏‏أن رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏قال ‏ ‏إذا قلت لصاحبك يوم الجمعة أنصت والإمام يخطب فقد ‏ ‏لغوت

Hadith di atas bermaksud:
Sesungguhnya Abu Hurayrah r.a. telah memberitahu bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila kamu mengatakan "Diamlah" kepada sahabat kamu pada ketika imam berkhutbah pada hari jumaat, sesungguhnya kamu sendiri telah lagha.

Hadith ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa'ie dan lain-lain.

Daripada hadith ini, para ulama' berpendapat bahawa semasa khutbah Jumaat berlangsung, seseorang itu tidak boleh melakukan semua perkara lain, kecuali jika seseorang itu masuk baru masjid dan dia lebih sunat menunaikan solat penghormatan masjid kerana wujud hadith lain tentang itu (walaupun begitu perkara solat sunat ketika khatib membaca khutbah masih khilaf kerana ada ulama' mengharamkan atau makruh, seperti ibn 'arabi yg mengharamkan solat sunat ketika khutbah kerana mendengar khutbah itu wajib) . Selain itu, semua perkara walaupun pada zahirnya baik, tetapi ia tetap menjejaskan pahala jumaat.

perkata Lagha dalam hadith tersebut mendapat perhatian para ulama'. Ada yang mengatakan pahala jumaat itu sia-sia, tetapi jumaat itu tetap sah (apa guna sah kalau sia-sia) seperti mazhab kita sekarang dan majoriti, dan ada juga yang mengatakan jumaat kita tidak sah dan perlu qadha sembahyang zohor.

Dalam hadith tersebut, andainya anda menegur sahabat anda yang bising atau bercakap2... pahala anda pula yang sia-sia. Apatah lagi mereka yang bercakap. Dapat juga difahami bahawa, perkara yang baik pun tidak boleh dilakukan.

Saya dapati beberapa amalan yang merosakkan pahala seluruh jemaah:
- Amalan mengutip derma semasa imam sedang berkhutbah. Kutip derma bukan tak baik, tapi mengapa perlu masa khutbah. Walau sebaik mana pun amalan, kalau tidak ada nas menyokong, maka pahala jumaat adalah sia-sia, bahkan kalau semua sia2, jumaat satu kawasan tidak sah.
Banyak masjid2 di sekitar KL saya temui mengutip derma semasa khutbah. Mungkin kejahilan imam2 dan khatib yang tidak menegur. Nak tegur pun susah sebab Imam2 ni takkan makan teguran.
- Amalan bersalam selepas sembahyang sunat. Amalan bersalam ini adalah adat yang baik, tetapi ia tidak ada dalam nas hadith. Nabi tak pernah buat bersalam2 selepas sembahyang sunat mahupu wajib. ADa sesetengah orang tu, mungkin dengan niat baik nak dapat pahala, sudah lah dia datang lewat, sembahyang sunat masa khutbah, lepas sembahyang dihulurnya tangan kepada orang sebelah kiri dan kanan. Dia yang menghulur pun tersia-sia pahala jumaat, yang dihulurkan pun tersia-sia jugak.

Justeru, kalau anda dapat sebarkan benda ni... amatlah baik sekali. Kerana dengan ini sahaja kesilapan besar umat Islam mesti diperbetulkan. Bayangkan kalau satu kampung itu satu masjid tidak sah pahala jumaatnya...... sekali jumaat, sepuluh kali jumaat....


Saya tidak tahu andainya ada ulama' yang mengharuskan kutip derma masa khutbah. Ia jelas mengganggu jemaah

RUKUN DAN ADAB KHUTBAH JUMAAT

بِسۡـــــــــمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡـمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّد وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ

Khutbah Jumaat.
Khutbah Jumaat adalah ucapan atau syarahan yang dibaca dan disampaikan sebanyak dua kali berturut-turut oleh khatib yang biasanya dilakukan oleh seseorang imam atau oleh orang yang berkelayakan sebelum menunaikan solat Jumaat.
Dua Khutbah Jumaat adalah sebahagian daripada syarat sah solat Jumaat dan ianya dianggap sebagai pengganti 2 rakaat lagi solat Zuhur, tanpanya solat Jumaat rosak dan tidak sah. Maka, khutbah Jumaat itu adalah WAJIB. Khutbah Jumaat yang dilaksanakan sebelum mendirikan solat Jumaat ini, mengandungi kata-kata pujian, nasihat, peringatan, ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada jemaah Jumaat.
.
RUKUN KHUTBAH JUMAAT
.
Khutbah terbahagi dua iaitu khutbah pertama dan khutbah ke dua. Sebelum menunaikan solat Jumaat, biasanya Imam atau Khatib membacakan duakhutbah yang mana kedua-dua khutbah ini dipisah dengan Khatib duduk sebentar.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَة ِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ ثُمَّ يَقُوم

Dari Ibnu Umar RA meriwayatkan bahawa, “Rasulullah berkhutbah pada hari Jumaat secara berdiri, kemudian baginda duduk, kemudian baginda berdiri.” (Hadis riwayat Muslim)
.
.
  1. Khutbah Pertama
.
Khutbah pertama mengandungi:
  1. Pujian kepada Allah سبحانه وتعالى.
  2. Mengucapkan dua kalimah syahadah
  3. Selawat kepada Nabi Muhammad ﷺ.
  4. Nasihat taqwa; kata pujian, pengajaran dan ilmu pengetahuan.
  5. Membaca sekurang-kurangnya satu ayat dari petikan Al-Quran.
  6. Memohon doa dan keampunan bagi kaum muslimin dan muslimat.
  .
.
  1. Khutbah Ke Dua
.
Khutbah kedua sekadar membaca:
  1. Lafaz ‘Hamdalah’ (Alhamdulillah).
  2. Selawat ke atas Nabi Muhammad ﷺ.
  3. Nasihat ringkas supaya jemaah bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى.
  4. Berdoa untuk orang-orang mukmin pada khutbah ke-dua.
.
.
PENGISIAN KHUTBAH JUMAAT
.
Pada prinsip dan rukunnya, isi khutbah perlu mengandungi lima perkara berikut:
.
1. Pertama: Ucapan ‘Innalhamda Lillah’
Memuji Allah SWT pada kedua-dua khutbah dalam Bahasa Arab dengan mengucapkan ‘Hamdalah’ (Alhamdulillah) dan disertai lafaz ‘Jalalah’ (lafaz Allah) seperti:
Rukun Khutbah Jumaat 1a
.
2. Kedua: Selawat kepada Nabi SAW
Membaca selawat ke atas Nabi Muhammad SAW pada kedua-dua khutbah, contohnya:
Rukun Khutbah Jumaat 2
“Allahuma salli ala Saidina Muhammad waala ali Saidina Muhammad….”
Selawatkanlah ke atas Nabi Muhammad dan ke atas keluarganya.
.
Atau :
 Rukun Khutbah Jumaat 2a
.
3. Ketiga: Wasiat Taqwa
Mengingatkan, berpesan dan menyampaikan nasihat kepada para jemaah supaya bertakwa kepada Allah SWT seperti:

 (إتّقُوا الله)

Ittaqullah
“Bertaqwalah kamu kepada Allah…”
 .
Atau:
Rukun Khutbah Jumaat 3
“Wahai orang-orang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah…”
.
4. Keempat: Membaca Ayat Al-Quran
Membaca sekurang-kurangnya satu ayat Al-Quran yang lengkap pada salah satu dari dua khutbah, tetapi paling afdal pada khutbah pertama.
 Rukun Khutbah Jumaat 4
.
5. Kelima: Doa Untuk Umat Islam Di Khutbah Kedua
Mendoakan setiap Muslim dengan segala perkara yang bersifat ukhrawi (keakhiratan) pada khutbah kedua, sekurang-kurangnya dengan ucapan: “Rahima-kumullah.” atau:
 Rukun Khutbah Jumaat 5
“Ya Allah! Ampunkanlah dosa golongan muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat,  sama ada yang masih hidup atau yang telah mati.……”
.
.
SYARAT SAH KHUTBAH JUMAAT
.
Syarat-Syarat sah Khutbah Jumaat
  1. Khutbah disampaikan setelah masuk waktu Zuhur.
  2. Dibacakan khutbah dahulu sebelum bersolat Jumaat.
  3. Rukun-rukun khutbah hendaklah dibaca dalam ntara Arab.
  4. Seseorang Khatib hendaklah duduk sebentar di ntara dua khutbah.
  5. Khutbah dibaca dengan suara yang jelas, terang dan nyata.
  6. Mu’alat (dilakukan berturut-turut) di ntara 2 khutbah.
  7. Mu’alat di ntara dua khutbah dan solat Jumaat.
  8. Makmum mencukupi bilangan 40 orang dari mula khutbah hingga akhir solat.
.
.
SYARAT SAH KHATIB
.
Syarat-syarat khatib (penyampai khutbah) ketika membaca khutbah:
  1. Khatib hendaklah berpakaian bersih dan menutup aurat.
  2. Khatib hendaklah suci daripada hadas besar dan hadas kecil.
  3. Khatib hendaklah suci badan, pakaian dan tempat daripada najis.
  4. Khatib mestilah lelaki, tidak sah jika dilakukan orang perempuan.
  5. Khatib hendaklah berdiri pada kedua-dua khutbah itu, jika mampu.
.
.
PERMASALAHAN
.
  1. Rukun-rukun khutbah hendaklah dibaca dalam Bahasa Arab, tidak boleh di baca dalam ntara ibunda seperti membaca salawat Nabi dalam Bahasa Melayu.
  1. Khatib duduk sebentar setelah selesai khutbah pertama sebelum memulakan khutbah kedua. Jika Khatib tidak mampu berdiri dan dalam keadaan duduk, maka ia boleh pisahkan di antara dua khutbah itu dengan diam sebentar.
  1. Khutbah didengar oleh 40 orang yang bermukim sekalipun tidak memahami Bahasa yang digunakan untuk menyampaikan khutbah.
  1. Mualat bukan hanya antara 2 khutbah sahaja, ia juga perlu dilakukan secara berturut-turut di antara segala rukunnya dan antara khutbah dengan solat Jumaat.
.
.
SUNAT-SUNAT KHUTBAH
.
Perkara sunat khutbah yang perlu dilakukan oleh khatib ialah;
  1. Berdiri di atas mimbar atau tempat tinggi.
  2. Memandang dan menghadap ke arah jemaah.
  3. Memberi salam kepada jamaah pada permulaan khutbah.
  4. Memegang tongkat, tombak, pedang atau seumpamanya.
  5. Duduk sebentar di atas mimbar selepas mengucapkan salam.
  6. Membaca Surah Al-Ikhlas ketika duduk di antara dua khutbah.
  7. Memendekkan penyampaian khutbah daripada tempoh melakukan solat.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Panjangnya solat seseorang serta pendek khutbahnya, menunjukkan tanda kefakihannya (kefahaman terhadap okum agama).” (Hadis Riwayat Ahmad dan Muslim r.a.)
.
.
PERHATIAN
  1. Khatib perlu berupaya melahirkan rangsangan para jemaah untuk memberi tumpuan, suara yang jelas, membaca dengan betul dan tepat pada setiap baris ayat-ayat al-Quran dan hadis.
  1. Sistem pembesar suara yang baik, kandungan khutbah perlu mantap, sesuai dan terkini.
  1. Teks khutbah hendaklah disediakan terlebih awal bagi tujuan kelancaran dan tidak menyentuh kehormatan, perasaan dan sesitiviti orang lain.
.
.

AMARAN BERCAKAP KETIKA KHUTBAH

.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Sesiapa yang bercakap-cakap ketika imam sedang membaca khutbah (solat Jumaat), maka dia bagaikan seekor keldai yang membawa kitab-kitab dan sesiapa yang berkata ‘diam’ (kepada rakannya yang bercakap), sia-sialah pahala Jumaatnya, maka tiadalah Jumaat baginya.” (Hadis riwayat Imam Ahmad)
.
Berbual dan sikap tidak menumpukan perhatian ketika khatib membaca khutbah adalah sikap buruk yang menyerupai sikap orang kafir Quraisy pada zaman dulu.
Firman Allah سبحانه وتعالى.:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَـٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ ﴿٢٦﴾ فَلَنُذِيقَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا عَذَابًا شَدِيدًا وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَسْوَأَ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿٢٧

“Dan orang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar akan al-Quran ini dan tentanglah dia (dengan nyanyian dan jeritan riuh rendah serta tepuk sorak) supaya kamu berjaya (mengganggu bacaan atau menenggelamkan suara pembacanya. Maka demi sesungguhnya, kami akan merasakan kepada orang yang kafir itu azab seksa yang seberat-beratnya, dan kami akan membalas mereka dengan seburuk-buruk balasan bagi apa yang mereka telah kerjakan.”  (Surah Fussilat, ayat 26 dan 27.)
.
Amalan tidak memberi tumpuan terhadap khutbah adalah kesalahan yang menyerupai pengabaian terhadap bacaan al-Quran apabila ia dibaca. Hal ini kerana salah satu daripada rukun khutbah adalah membaca al-Quran.
.
.
HIKMAT KHUTBAH JUMAAT
.
  1. Menambahkan pengetahuan umat Islam.
  2. Menerima nasihat dan tunjuk ajar berguna.
  3. Menyedari dan menginsafi kekhilafan diri.
  4. Meningkatkan rasa ketaqwaan kepada Allah سبحانه وتعالى.
  5. Dapat mendengar dan mengambil pengajaran daripada khutbah.

Rasulullah ﷺ: “Sesiapa berwuduk lalu memperelokkan wuduknya, kemudian mendatangi solat Jumaat, terus mendengar dan berdiam diri, tidak berbicara sama sekali, maka diberi tambahan tiga hari lagi. Sesiapa yang memegang kerikil untuk dimainkan sehingga tidak memperhatikan isi khutbah, sesungguhnya dia telah melakukan kelalaian, yakni bersalah.” (Hadis Riwayat Muslim r.a.)
.
.
والله أعلم بالصواب
Wallahu A’lam Bish Shawab
(Hanya Allah Maha Mengetahui apa yang benar)
.
.
Artikel Berkaitan:
  1. Ganjaran Amalan Sunat Hari Jumaat Digandakan  (Klik Di Sini)
  2. 15 Keutamaan Dan Keistimewaan Hari Jumaat  (Klik Di Sini)
  3. Ganjaran Hadir Awal Solat Jumaat  (Klik Di Sini)


.
.

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكَمْ وَرَحْمَةُ اللهُ وَبَرَكَاتُه





Solat Sunat Tahiyatul Masjid


بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

 .
  Solat Sunat Tahiyatul Masjid ialah solat sunat mu’akkad ‘selamat datang’ bagi menghormati masjid yang dilakukan sebanyak dua rakaat sebaik sahaja memasuki masjid, iaitu sebelum seseorang itu duduk atau melakukan sesuatu yang lain.
.
  Sabda Rasulullah SAW: “Apabila salah seorang di antara kamu mendatangi/memasuki masjid, maka janganlah duduk sebelum mengerjakan solat dua rakaat.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, Muslim)
.
Dalam sebuah riwayat yang lain disebutkan, “Jika salah seorang di antara kamu memasuki masjid, hendaklah dia tidak duduk hingga mengerjakan solat dua rakaat.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
.
Sekiranya sampai ke masjid hanya beberapa minit sahaja akan didirikan solat fardhu, maka memadailah seseorang itu mendirikan solat sunat sebelum fardu dan ia sudah dikira sebagai memenuhi tuntutan Solat Sunat Tahiyatul Masjid. Boleh juga untuk menyatukan dua niat antara mana-mana solat sunat qabliyah dan Solat Tahiyatul Masjid.
.
Jika seseorang itu meninggalkan Solat Sunat Tahiyatul Masjid tetapi terus menunaikan solat sunat qabliyah atau solat wuduk, maka ia juga memadai kerana hadis di atas berbentuk umum, iaitu ‘mendirikan solat dua rakaat’.
.
Apabila berkelapangan dan ada kesempatan, maka adalah sewajarnya seseorang itu melakukan Solat Sunat Tahiyatul Masjid berasingan yang natijahnya akan memberatkan lagi timbangan amal di akhirat.
.
.

Tujuan

1.  Sebagai cara memuliakan masjid yang merupakan rumah Allah.
2.  Memupuk sifat rendah diri dan beradab semasa berada di dalam masjid.
3.  Menggalakkan umat Islam mendapat pahala berganda ketika di masjid.
.
.
Tertib
Sebaik-baik sahaja sampai di dalam masjid hendaklah lakukan pekara2 berikut:
 .
1.   Bila seseorang jemaah hendak masuk sesebuah masjid disunatkan membaca doa:
.
.
2.   Berniat iktikaf.
.
.
3.   Dan apabila sampai di tempat hendak duduk, bagi menambahkan kecekalan hati dalam menghadapi syaitan eloklah dibaca:
.
.
.

 Cara Melakukan Solat Tahiyatul Masjid

Sebelum duduk, boleh terus mengerjakan Solat Sunat Tahiyatul Masjid dua raka’at. Caranya sama dengan solat sunat yang lain, hanya niatnya saja yang berbeza.
.
1.  Niatnya :
.
.
2.  Bacaan surah selepas Al-Fatihah:
      Raka’at pertama – Al-Kafirun.
      Raka’at kedua – Al-Ikhlas.
.
.
3.  Zikir Selepas Solat Sunat Tahiyatul Masjid
a.  Kemudian selepas selesai Solat Sunat Tahiyatul Masjid itu bacalah 100 kali;
.
 .
b.  Selepas itu berzikirlah lagi dengan lain-lain Istighfar, tasbih, tahmid, tahlil atau sesuatu zikir sehingga sampai mendengar azan.
.
.
.

Fadhilat Solat Sunat Tahiyatul Masjid

1.  Melatih masyarakat ke arah meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
2.  Menyuburkan perasaan menghormati segala makhluk Allah SWT.
3.  Dapat meningkatkan ketenangan jiwa dan perasaan.
4.  Mendidik diri lebih berperatuan dan berdisplin.
5.  Memperolehi pahala yang berlipat kali ganda.
.
Ulama hadis terkemuka, Sufyan at-Tsauri menyatakan, di antara perkara yang termasuk dalam pekara sia-sia ialah apabila seseorang itu masuk ke dalam masjid, kemudian dia keluar kembali dari masjid tanpa mengerjakan Solat Sunat Tahiyatul Masjid.
.
.
.

Permasalahan Solat Sunat Tahiyatul Masjid

.
1. Jika seseorang itu telah masuk masjid dan terus duduk dengan sengaja, maka tiada lagi Solat Sunat Tahiyatul Masjid baginya.
.
2. Jika duduk itu dengan terlupa ada 2 keadaan.
a. Terlupa yang sekejap kemudian ingat kembali, maka dibolehkan bangun dan terus solat.
b.  Jika terlupa yang panjang waktunya, kemudian teringat, tiadalah lagi dibolehkan bangun bersolat.
.
3  Sekiranya masuk masjid dan didapati azan sedang berkumandang, maka perlulah menjawab azan tersebut sambil berdiri, kemudian melakukan solat sunat Rawatib yang  dikira sudah memadai sebagai memenuhi tuntutan Solat Sunat Tahiyatul Masjid.
.
4. Apabila masuk masjid, khatib sedang berkhutbah atau majlis ilmu sedang dijalankan, hendaklah mengerjakan solat Tahiyatul Masjid dua rakaat, sebelum duduk. Solat tersebut hendaklah dilakukan secara ringkas dengan mengambil yang wajib sahaja. Malah Rasulullah SAW pernah menegur orang yang masuk ke masjid kerana tidak Solat Sunat Tahiyatul Masjid sewaktu khutbah Jumaat dijalankan.
.
Dari Jabir bin ‘Abdillah r.a., dia menyatakan: Sulaik al-Ghifani pernah datang pada hari Jumaat ketika Rasulullah SAW sedang menyampaikan khutbah lalu dia terus duduk. Beliau SAW pun berkata kepadanya:
“Wahai Sulaik, berdiri dan ruku’lah dua rakaat serta pendekkanlah dalam melaksanakannya.” Kemudian beliau bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu datang pada hari Jumaat ketika imam sedang berkhutbah, hendaklah dia mengerjakan solat dua rakaat dengan seringkasnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)
.
5. Orang yang tidak dapat mengerjakan Solat Sunat Tahiyatul Masjid disebabkan sudah dimulakan solat jemaah atau dia telah duduk atau dia sekadar masuk sebentar untuk sesuatu keperluan, maka dianjurkan membaca 3 kali:  ‘Subhanallah Walhamdulillah Walailahailallah Wallahu Akbar.’
Dari Abu Hurairah r.a., Nabi SAWbersabda: “Jika iqamah solat sudah dikumandangkan, tidak ada solat lagi, kecuali solat wajib.” (Hadis Riwayat Muslim)
.
6.  Sekiranya seseorang itu sedang dalam rakaat pertama Solat Sunat Tahiyatul Masjid dan para jemaah pun mendirikan solat fardhu, maka wajib baginya membatalkan solat tersebut dan menyertai solat fardhu kerana ada tegahan daripada Rasulullah SAW: “Apabia didirikan solat fardhu, maka tiada solat ketika itu melainkan solat fardhu.” (Hadis Riwayat Muslim)
Tetapi jika dia berada di rakaat kedua, maka hendaklah dia mempercepatkan dan sempurnakan rukun-rukun yang berbaki sehingga salam sebelum menyertai jemaah solat fardhu.
.
7. Tiada tuntutan untuk Solat Sunat Tahiyatul Masjid di luar masjid, contohnya di padang atau kaki lima.  Sekiranya datang sewaktu imam berkhutbah, kena duduk diam mendengar khutbah. Jika tiba sebelum imam memberi khutbah dan selepas azan pertama, maka boleh Solat Sunat Qabliyah Jumaat.
.
8.  Bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah, apabila memasuki Masjidilharam hendaklah melakukan Tawaf sebagaimana yang diamalkan Rasulullah SAW dan bukannya Solat Tahiyatul Masjid. Kata Ibn Abbas r.a. “Tahiyat Kaabah ialah Tawaf”.
.
9.  Mereka yang telah bermukim di Makkah dan datang ke masjid untuk solat, menuntut ilmu dan seumpamanya, sebaik-baiknya mereka hendaklah melaksanakan Solat Sunat Tahiyatul Masjid bukannya mengerjakan Tawaf.
.
.

والله أعلم بالصواب

 (Hanya Allah Maha Mengetahui apa yang benar)
.
والسلام علبكم و رحمة الله و بركاته

Blog Fatwa Malaysia

Hukum Meninggalkan Sembahyang Jumaat Pegawai-Pegawai Bertugas Di Airport Mengendalikan Pesawat



Apakah hukum meninggalkan sembahyang Jumaat oleh pegawai-pegawai yang ditugaskan di airport mengendalikan pesawat, bekerja pada waktu sembahyang Jumaat dan kerja tersebut tidak boleh ditinggalkan, kerana tidak ada orang lain yang akan mengendalikannya

 

PENJELASAN:


Sembahyang Jumaat adalah fardhu 'ain ke atas setiap lelaki yang cukup syarat. Pegawai yang cukup syarat wajib melakukan sembahyang Jumaat, tetapi tidak dapat menunaikannya kerana tidak boleh meninggalkan tugas yang penting tersebut, maka ia termasuk dalam salah satu keuzuran yang membenarkan pegawai itu menggantikannya dengan Sembahyang Zohor.

 

Namun, Ketua Jabatan perlu menyusun jadual agar seseorang pegawai lelaki itu tidak secara berturut-turut meninggalkan sembahyang Jumaat.

 

Disertakan fatwa yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei berkaitan isu ini untuk perhatian dan rujukan.


"Meninggalkan Sembahyang Fardhu Jumaat Soalan: Dengan sukacita dipohonkan fatwa berhubung dengan perkara meninggalkan sembahyang fardhu Jumaat. Apa hukumnya meninggalkan sembahyang fardhu Jumaat kerana tidak dibenarkan ketua dengan alasan tidak boleh meninggalkan kerja? Apakah senarai uzur atau halangan yang membolehkan seseorang meninggalkan sembahyang fardhu Jumaat? Apa tindakan yang patut dilakukan oleh seseorang yang dilarang meninggalkan kerja bershif pada saat tibanya waktu menunaikan sembahyang fardhu Jumaat, dengan catitan bahawa kerja bersyif itu boleh diambil alih oleh orang yang tidak wajib bersembahyang Jumaat, seperti perempuan dan orang yang bukan Islam? Dan bagaimana pula tindakannya jika tidak ada orang yang mahu mengambil alih kerja itu? Apa hukumnya seseorang ketua tidak membenarkan pegawainya yang sedang bekerja untuk pergi menunaikan sembahyang fardhu Jumaat, sedangkan ketua itu boleh mengambil kebijaksanaan dengan menugaskan atau mencari (mengambil pekerja baru) orang yang tidak wajib bersembahyang Jumaat untuk melakukan kerja berkenaan? Untuk makluman, kerja berkenaan berlaku ketika keadaan aman dan jika tidak dikerjakan tidak akan menjejaskan keselamatan Negara, misalnya: Kerja berjual beli, kerja di kilang, kerja menjaga peralatan penyiaran televisyen dan yang berhubungkait dengannya dan sebagainya. Sekian dipohonkan dan kaola berharap akan mendapat fatwa berkenaan dengan seberapa segeranya.

 

Jawapan: الحمدلله رب العالمين, والصلاة والسلام على أشرف المرسالين وعلى آله وصحبه أجمعين, اللهم هداية للصواب, وبعد.. Hukum sembahyang fardhu Jumaat ialah fardhu ‘ain apabila berhimpun syarat-syarat sah sembahyang Jumaat itu. Dalil yang menjelaskan kefardhuan sembahyang Jumaat itu sebagaimana firman Allah Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (سورة الجمعة:9)

 

Tafsirnya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diserukan azan (bang) untuk mengerjakan sembahyang pada hari jumaat, maka segeralah kamu pergi (ke masjid) untuk mengingati Allah (dengan mengerjakan sembahyang Jumaat) dan tinggalkanlah berjual beli (pada saat itu); yang demikian adalah baik bagi kamu, jika kamu mengetahui (hakikat yang sebenarnya).” (Surah al-Jumu’ah:9)

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan akan kewajipan sembahyang Jumaat itu sebagaimana sabdanya: ((رواح الجمعة واجب على كل محتلم)) رواه النسائي Maksudnya: “Menyegerakan Jumaat itu wajib ke atas setiap orang yang bermimpi (baligh).” (Hadis riwayat an-Nasa’i)

 

Tersebut di dalam Kitab Mughni al-Muhtaj: Bahawa syara’ telah menentukan syarat-syarat wajib sembahyang Jumaat itu ke atas setiap orang yang Mukallaf iaitu baligh, berakal, merdeka, lelaki, orang yang muqim, yang tidak sakit dan lain-lain lagi seperti takut, tidak mempunyai pakaian, lapar dan dahaga. Dan tidak wajib Jumaat itu bagi kanak-kanak dan orang gila sebagaimana pada sembahyang yang lain. Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitab ar-Raudhah: “Tidak wajib Jumaat bagi orang yang pitam kerana pitam itu seperti orang gila, dan tidak wajib bagi hamba, perempuan dan orang musafir yang diharuskan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: ((الجمعة حق واجب على كل مسلم الا أربعة: عبد مملوك أو امرأة أو صبى أو مريض)) رواه ابو داود وغيره Maksudnya: “Sembahyang Jumaat itu hak yang wajib ke atas setiap orang Islam kecuali empat: Hamba yang dimiliki atau perempuan atau kanak-kanak atau orang sakit.” (Hadis riwayat Abu Daud dan lain-lain) Sabda Baginda lagi: ((لا جمعة على مسافر ولا على مريض)) رواه البيهقي Maksudnya: “Tidaklah (wajib) sembahyang Jumaat itu bagi orang yang musafir dan orang yang sakit.” (Hadis riwayat al-Baihaqi) Berkata Imam an-Nawawi di dalam kitab yang sama: “Dan tidak wajib sembahyang Jumaat itu ke atas mereka yang berkeuzuran yang diberikan kelonggaran (rukhshah) pada meninggalkan sembahyang berjemaah.” (Kitab Mughni al-Muhtaj:1/376)

 

Dan berkata Ibnu ‘Abbas bahawa: “Sembahyang Jumaat itu adalah seperti sembahyang berjemaah..” Di antara keuzuran-keuzuran yang boleh seseorang itu meninggalkan sembahyang Jumaat ialah sibuk kerana menguruskan mayat yang ditakuti jika dilambatkan akan menyebabkan mayat menjadi busuk, dan orang yang menghidap penyakit cirit-birit dan takut akan mencemarkan kebersihan masjid. Imam ar-Rafi’e juga menyebut di dalam kitab at-Tatimmah mengenai sembahyang berjemaah bahawa orang yang dipenjara (dikurung) itu juga adalah dianggap sebagai keuzuran. (Kitab Mughni al-Muhtaj:1/376)

 

Berkata asy-Syirazi di dalam kitab al-Muhadzdzab: “Bahawa tidak wajib sembahyang Jumaat itu bagi orang yang takut akan berlaku suatu yang tidak baik pada dirinya atau hartanya sebagaimana hadis yang diriwayatkan daripada Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ((من سمع النداء فلم يجبه فلا صلاة له الا من عذر: قالوا: يا رسول الله وما العذر؟ قال: خوف أو مرض)) رواه أبو داود Maksudnya: “Barang siapa yang mendengar seruan azan dan dia tidak pergi kepadanya untuk bersembahyang, maka tiada sembahyang baginya kecuali orang-orang yang mempunyai keuzuran”. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apakah keuzuran itu?” Baginda menjawab (bersabda): “Takut dan sakit.” (Hadis riwayat Abu Daud) Tidak wajib sembahyang Jumaat itu bagi orang yang terkena hujan di dalam perjalanan menuju ke masjid menyebabkan pakaiannya basah dan terhalang tujuannya untuk bersembahyang, dan tidak wajib ke atas orang yang menunggu orang sakit yang tidak boleh ditinggalkan dan tidak wajib pula ke atas orang yang mempunyai keluarga (kerabat) atau menantu/ipar lelaki atau orang yang dikasihi yang hampir mati (nazak). (Al-Muhadzdzab:1/152)

 

Beliau (asy-Syirazi) juga menyebutkan, di antara keuzuran-keuzuran yang boleh seseorang itu meninggalkan sembahyang berjemaah ialah kerana hujan lebat, berlumpur dan angin yang kuat di waktu malam yang sangat gelap, makanan yang terhidang sedang dia merasa lapar atau menahan daripada kentut, berak dan kencing. Daripada keuzuran berjemaah yang lain ialah orang yang takut akan berlaku sesuatu yang tidak baik (mudharat) pada dirinya atau hartanya atau dia sakit.(Al-Muhadzdzab:1/131)

 

Imam an-Nawawi menyebutkan, di antara yang dikatakan keuzuran itu ialah apabila dia takut daripada orang yang akan membuat zalim ke atas dirinya daripada sultan atau orang lain yang akan menzaliminya atau dia takut daripada pemiutang yang akan memenjarakannya atau dia mesti membayarnya sedangkan dia tidak berdaya. Dan termasuk takut tentang sesuatu yang mengenai harta itu ialah jika sekiranya roti sudah dibakar di dapur dan periuknya sudah di atas api sedang tidak ada orang yang menjaga di tempat itu. (Kitab al-Majmu’: 4/100)

 

Maka daripada penjelasan terhadap kelonggaran (rukhshah) yang diharuskan bagi meninggalkan sembahyang Jumaat itu, pegawai-pegawai yang ditugaskan bekerja pada waktu sembahyang Jumaat dan kerja tersebut tidak boleh ditinggalkan, kerana tidak ada orang lain yang akan mengendalikannya, adalah keadaan tersebut termasuk dalam keuzuran yang diharuskan syara’, sebagaimana juga orang yang menunggu orang sakit yang tidak boleh ditinggalkan, atau kerja tersebut tidak boleh ditinggalkan kerana mentaati ketua. Di dalam Islam mentaati ketua itu adalah wajib pada perkara yang bukan maksiat dan bukan menderhaka kepada Allah dan RasulNya. Hal ini telah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ...(سورة النسأ:59) Tafsirnya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada uli al-amri (orang-orang yang berkuasa) daripada kalangan kamu.” (Surah an-Nisa’:59) Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan di dalam hadis daripada Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ((على المرء المسلم السمع والطاعة, فيما أحب وكره, الا أن يؤمر بمعصية, فان أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة)) رواه مسلم Maksudnya: “Bagi seorang Muslim itu adalah wajib mendengar dan taat kepada orang yang berkuasa, sama ada dia menyukai atau sebaliknya, kecuali dia diperintahkan melakukan perkara maksiat. Jika dia disuruh melakukan perkara maksiat, maka tidak wajib mendengar dan mentaati (perkara itu).” (Hadis riwayat Muslim)

 

Hendaklah diingat, bahawa pegawai yang ditugaskan itu janganlah dia bercita-cita atau mengharapkan supaya bertugas pada waktu sembahyang Jumaat agar dia terlepas daripada pergi menunaikan sembahyang Jumaat.

 

Demikian juga menjadi kewajipan ketua untuk memerhatikan dan mencari jalan dengan bijaksana bagi mengaturkan jadual pekerjaan untuk pegawai-pegawai dan kakitangannya yang bertugas pada hari Jumaat sehingga tidaklah terhalang orang-orang yang wajib Jumaat untuk menunaikannya. Umpamanya dengan cara yang bijaksana, jika mungkin, kita mengaturkan orang-orang yang tidak wajib jumaat seperti pegawai-pegawai dan kakitangan yang bukan beragama Islam untuk menjalankan tugas-tugas itu pada hari jumaat, ataupun memadai pegawai-pegawai dan kakitangan yang beragama Islam itu hadir ke masjid dan selepas itu mereka akan mengambil alih semula tugas-tugas daripada pegawai-pegawai perempuan atau mereka yang bukan beragama Islam tadi.

 

Sekiranya tidak terdapat orang-orang yang bertugas itu mereka yang tidak wajib Jumaat, yakni semuanya wajib Jumaat belaka, maka hendaklah dipastikan serta dielakkan supaya pegawai-pegawai yang berkenaan itu, jangan sampai ada yang tidak menunaikan sembahyang Jumaat secara berterusan atau berturut-turut, dalam makna, mereka hendaklah digilir-gilir, umpamanya: Jumaat ini si A yang bertugas sementara si B menunaikan Jumaat. Untuk Jumaat yang lain, si A pula menunaikan sembahyang Jumaat sementara si B bertugas. Begitulah seterusnya.

 

Perlu diingat, bahawa amaran kerana meninggalkan fardhu Jumaat secara berturut-turut tanpa uzur itu adalah sangat keras dan berat. Banyak hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang memberi amaran sekeras-kerasnya kepada orang yang meninggalkan sembahyang Jumaat tanpa keuzuran kerana perbuatan tersebut adalah tanda bagi orang-orang munafiq dan menjadi sebab turunnya kebinasaan di dunia dan di akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ((من ترك الجمعة ثلاثا من غير عذر فقد تبد الاسلام وراء ظهره)) رواه البيهقي Maksudnya: “Barangsiapa yang meninggalkan sembahyang Jumaat tiga kali dengan tiada keuzuran maka dia telah meletakkan Islam itu di belakangnya (meninggalkannya).” (Hadis riwayat al-Baihaqi) Di dalam hadis yang lain pula Baginda bersabda: ((من ترك الجمعة من ترك الجمعة ثلاثا من غير عذر فهو منافق)) رواه ابن حبان Maksudnya: “Barangsiapa yang meninggalkan sembahyang Jumaat tiga kali dengan tiada keuzuran maka dia adalah seorang munafiq.” (Hadis riwayat Ibnu Hibban) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada satu kaum, yang tidak bersembahyang Jumaat: أن النبى صلى الله عليه وسلم قال لقوم يتخلفون عن الجمعة: ((لقد هممت أن آمر رجلا يصلى بالناس, ثم أحرق على رجال يتخلفون عن الجمعة بيوتهم)) رواه مسلم Maksudnya: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada satu kaum yang meninggalkan sembahyang Jumaat: “Aku menitikberatkan (memerintahkan) supaya lelaki itu bersembahyang dengan beramai-ramai (berjemaah), kemudian aku berazam membakar rumah-rumah mereka (lelaki) yang meninggalkan sembahyang Jumaat.” (Hadis riwayat Muslim)

 

Badan yang mengisu fatwa: Jabatan Mufti Kerajaan, Negara Brunei Darussalam Penulis/Ulama : Pehin Datu Seri Maharaja Dato’ Paduka Seri Setia Ustaz Haji Awang Abdul Aziz bin Juned. Tarikh Diisu : 1996

Tiada ulasan: