Isnin, 20 April 2015

HUKUM MENGUMPAT










4.4.2.6 Ghibah (Mengumpat)

 Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah: "Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12) Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini: "Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i) Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini: "Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi) Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya. Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca. Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan. Firman Allah: "Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12) Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia. Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai? Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu. Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari) Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata: "Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan) 4.4.2.6.1 Batas Perkenan Ghibah Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat. Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya. Firman Allah: "Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148) Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya. Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua. Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan." Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu. Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32 Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua: Karena ada suatu kepentingan. Karena suatu niat. 4.4.2.6.1.1 Karena suatu kepentingan Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut. Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu." Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram. 4.4.2.6.1.2 Karena suatu niat Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil. Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.: "Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan) "Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan) Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah: "Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140) 4.4.2.7 Mengadu Domba Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan. Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah: "Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11) Dan sabda Rasulullah s.a.w.: "Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim) Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama orang banyak yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka. Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: "Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad) Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya: "Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik." Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena senang adanya kehancuran dan kerusakan. Manusia semacam ini tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta. Kata seorang penyair: Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta. Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membicarakan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat ini: "Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah." (al-Hujurat: 6) Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat: "Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 11) Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Ketahuilah bahawa batas mengumpat (ghibah) itu, ialah apabila anda menyebut sesuatu yang boleh menimbulkan kebencian atau kemarahan saudaramu, bila ia mendengarnya, sama ada yang disebutkan oleh anda sebagai kekurangan-kekurangan pada anggota badannya, atau keturunannya, atau bentuk kejadiannya, atau perbuatannya, atau perkataannya, atau agamanya, atau dunianya ataupun pada pakaiannya, rumahnya dan binatang kenderaannya sekalipun.
Yang dikatakan kekurangan-kekurangan dalam anggota badan, ialah seperti anda mengatakan dia itu rabun, juling, botak, pendek, panjang, hitam, kuning dan lain-lain sifat yang boleh menjadikan ia merasa benci dan marah jika mendengarnya.
Mengenai kekurangan-kekurangan dalam nasab keturunan pula, ialah seperti anda mengatakan, bahawa bapanya seorang fasik, jahat dan rendah kelakuannya, ataupun bapanya tukang pikul air, atau sebagainya yang boleh menyebabkan ia marah dan benci.
Mengenai kekurangan-kekurangan dalam bentuk dan rupa, ialah seperti anda mengatakan, bahawa ia itu buruk atau hodoh bentuk kejadiannya, kikir, sombong, bongkak, suka bermegah diri, pemanas, pengecut, degil atau seumpamanya.
Adapun tentang kekurangan-kekurangan dalam perbuatannya mengenai urusan keduniaan ialah seperti anda mengatakan, bahawa iaitu seorang pencuri, penipu, pembohong, taik arak, pengkhianat, zalim suka cuaikan sembahyang, tidak keluarkan zakat, tidak mengambil berat tentang perkara-perkara najis, menderhaka kepada ibu bapa atau seumpamanya.
Manakala perbuatannya yang mengenai urusan keagamaan pula, seperti anda mengatakan, iaitu kurang ajar orangnya, tidak mengendahkan orang, banyak mulut, besar temboloknya, suka tidur banyak, tak tahu meletakkan diri pada tempatnya.
Yang mengenai pakaian pula ialah seperti anda mengatakan bahawa lengan bajunya terlalu panjang, seluarnya terlalu labuh ke bawah, bajunya kotor dan seumpamanya.
Walhasil kata yang menyeluruh dalam pengertian ghibah atau mengumpat, iaitu seperti yang terkandung di dalam Hadis Rasulullah s.a.w. berikut:
“Ghibah (mengumpat) itu adalah anda menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.”
Yang dilarang pula, ialah menyebut perihal saudaramu dengan lidah, sebab dengan sebutan itu anda dapat menyampaikan kekurangan-kekurangan saudaramu dan mendedahkan perkara-perkara yang dibencinya kepada orang lain. Oleh yang demikian, maka membuat sindiran itu samalah seperti berkata terang-terangan, perbuatan samalah seperti perkataan, mengisyarat samalah seperti mengangguk, berkelip mata samalah seperti menunjuk gerak laku. Pendek kata apa saja yang dilakukan olehmu boleh menunjukkan kepada maksud ghibah atau mengumpat, maka ia adalah dilarang dan dihukumkan haram.
Jadi orang yang mengisyaratkan dengan tangannya perihal pendek atau panjangnya seseorang, ataupun ia meniru-niru tentang gaya perjalanan orang itu, maka itu juga adalah ghibah yang dilarang. Menulis mengenai keaiban diri seseorang adalah ghibah juga, sebab qalam atau pena itu ganti lisan.


Benarkah Dosa Mengumpat Itu Lebih Besar Daripada Berzina??? Benarkah Ada Hukum Harus Dalam Mengumpat???


Assalamualaikum, ketika ingin menulis artikel ini saya berasa berat hati ingin menulisnya kerana ditakuti ada sekolompok golongan yang sensitif namu saya terpaksa menyuarakan kebenaran dari sudut pandangan fiqh Al-Aulawiyyat. Kita melihat masyarakat kita menjadikan isu tidak bertudung atau buka tudung sebagai suatu isu besar dalam agama sehingga meletakkannya lebih teruk dari perkara lain yang seharusnya kita letakkan lebih teruk dari itu. Adalah disepakati oleh sebahagian besar fuqaha (walaupun ada yang membangkangnya seperti pengasas kitab agung Al-Maqassid Assyariah iaitu ibn Asyur RH) bahawa rambut termasuk dalam aurat yang wajib ditutup. Namun, tidak terdapat hadith atau ayat Quran mencela atau melaknat wanita yang tidak bertudung tetapi lebih kepada arahan wajib sahaja dan tidak diterangkan tentang kadar dosanya. Saya ingin bertanya kepada pembaca, dosa tidak bertudung dengan berzina yang mana lebih besar? Sudah tentu 100% akan menjawab berzina dosanya lebih besar dari tidak bertudung. 

Baik, jika semua bersepakat berzina lebih besar dosanya dari tidak bertudung, apakah dosa yang lebih besar dari berzina tetapi menjadi asam garam biasa dalam masyarakat termasuk dilakukan oleh mereka yang bertudung ataupun bertudung labuh? Mari kita merenungi hadith berikut: Sabda Rasulullah saw bermaksud: "Awaslah daripada mengumpat kerana mengumpat itu lebih berdosa daripada zina. Sesungguhnya orang melakukan zina apabila dia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya. Dan, sesungguhnya orang melakukan umpat tidak akan diampunkan dosanya sebelum diampun oleh orang diumpat." (Hadis riwayat Ibnu Abib Dunya dan Ibnu Hibbad) Firman Allah bermaksud: "Dan janganlah sesetengah kamu mengumpat setengah daripada kamu. Adakah seorang daripada kamu suka makan daging bangkai saudaranya, tentunya kamu semua membenci memakannya "" (Surah al-Hujurat, ayat 12). Rasulullah Bersabda "Tidak akan masuk syurga Al-Nammam (kaki umpat)" (Riwayat Muslim) Ingin saya bertanya semua, jika mengumpat itu lebih besar dari berzina, maka adakah mengumpat itu jauh lebih berdosa dari tidak bertudung bagi wanita? Sudah pasti jawapannya YA tanpa khilaf. MENGUMPAT ADALAH SUATU YANG SANGAT ZALIM KERANA ORANG YANG DIKATA ITU TIDAK BOLEH MEMPERTAHANKAN DIRI KERANA TIDAK TAHU DIA DIUMPAT. MAKA WAJARLAH HADITH DALAM RIWAYAT MUSLIM MEMBERI AMARAN TIDAK MASUK SYURGA BAGI KAKI UMPAT. 

Namun mengapa Isu tidak bertudung itu dibincang melebihi isu keharaman mengumpat sehingga isu mengumpat diabaikan? Sesetengah manusia apabila ditanya mengapa dia mengata? Dia menjawab: saya katakan hal yang betul bukannya fitnah. Kita jawab kembali agar dia membuka kamus dan mencari maksud mengumpat itu. Mengumpat bermaksud menceritakan keburukan yang dilakukan oleh saudara kita dan mengumpat bererti menceritakan keburukannya yang kita ketahui. Sesetangah manusia menjawab: itu untuk pengajaran bagi yang mendengarnya. 

Kita menjawab bahawa kekejian manusia lain boleh disingkap hanya jika keburukan itu melibatkan orang ketiga dan memudaratkan orang lain seperti mencuri, merompak, membuat kisah tipu secara terbuka. Jadi saya berasa sangat aneh mengapa mengumpat menjadi kebiasaan malahan hal tidak bertudung menjadi topik lebih utama. Ada juga golongan pelampau yang menyebut: "setiap helai rambut tu satu dosa Allah kira" Demi Allah ini adalah dakwaan bohong kerana tidak ada satu hadith pun menyebutnya. Saya menyetujui ia haram didedahkan tetapi mendakwa sehelai rambut 1 dosa adalah satu pembohongan kepada syariat kerana tidak disebut oleh Allah dan Rasul. 

Adakah kita ingin mengambil alih hal mengira dosa? Oleh itu marilah kita mengukur taraf keharaman dan taraf besarnya dosa itu berdasarkan Qalam Allah dan Sabda Rasulullah bukannya berdasarkan fikiran manusia dan emosi sendiri. Baik buruk itu ditentukan oleh dalil bukannya emosi manusia. Contohnya dari segi hukum halal menyetubuhi hamba sahaya seberapa ramai pun tanpa nikah dan halal mengambil harta rampasan perang dan menjadikan tawanan perang sebagai hamba dan halal disetubuhi. 

Adakah itu baik pada pemikiran manusia? Jadi ukurlah sesuatu itu berdasar pada Quran dan hadith bukan syok sendiri. Tidaklah saya menyeru supaya isu tudung itu dipinggirkan tetapi meletakkan sesuatu yang lebih besar menjadi kecil adalah tidak wajar. 

Marilah sama-sama kita lihat Hukum-hukum mengumpat dan perkara yang menjadikan mengumpat itu harus...jangan terkejut jika saya katakan mengumpat itu juga ada yang harus...

Hukum Mengumpat

Apakah yang dimaksudkan dengan mengumpat?

Maksud mengumpat dapatlah didefinisikan sebagai bercerita tentang perihal keburukan dan kelemahan seseorang kepada orang lain di mana akan diumpat merasa marah dan benci dengan perkara yang didengari tentang dirinya. Bercerita tentang keburukan dan kelemahan seseorang samalah juga seperti membuka aib seseorang itu kepada orang lain.

Rasulullah S.A.W pernah bersabda :

" mengumpat itu ialah apabila kamu menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu perkara yang dibencinya."
(Hadis Riwayat Muslim)

 Dan hukumnya adalah haram di sisi Allah SWT. 

Firman Allah s.w.t yang bermaksud;
"Wahai orang yang beriman ! Jauhilah kebanyakan daripada sangkaan ( supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang ) kerana sesungguhnya sebahagian daripada sangkaan itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari - cari kesalahan dan keaiban orang lain dan jangan sesetengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang daripada kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati ? ( Jika demikian keadaan mengumpat ) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. ( Oleh itu, patuhilah larangan yang tersebut ) dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Penerima Taubat lagi Maha Mengasihani "
(Surah al-Hujurat atat 12) ?
Sesungguhnya pengharaman mengumpat itu jelas di dalam Al-Quran kerana ianya boleh menjatuhkan maruah seseorang (orang yang diumpat) di samping boleh membawa kepada kemudharatan yang besar iaitu boleh membawa kepada bahaya fitnah dan merupakan suatu pembohongan sekiranya perkara yang menjadi umpatan itu sedikit pun tidak ada kebenarannya atau tidak ada pada orang yang diumpat. 
Bersabda Rasulullah S.A.W yang bermaksud;
" sesiapa yang melakukan kezaliman terhadap saudaranya melibatkan maruah ( penghormatan ) atau sebagainya, maka lebih baik dia memohon kemaafan kepada orang itu sebelum tiba hari di mana dinar dan dirham tidak lagi diperlukan. Jika dia mempunyai apa - apa kebaikan, perkara itu akan ditarik daripadanya sebagai balasan ke atas kejahatan yang dibuat. Jika dia tidak ada sebarang amalan kebaikan, maka kejahatan orang yang diumpat itu akan diletakkan kepadanya "
(Hadis Riwayat Bukhari) ?
Sabda bagindaa lagi di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ­radhiyallahu 'anhu;
"Rasulullah bertanya, "Adakah kamu tahu apa itu ghibah?", mereka berkata : Allah dan RasulNya lebih mengetahui. Baginda berkata : "Engkau menyebut sesuatu mengenai saudaramu dengan perkara yang tidak disukainya". Dikatakan : Beritahukanlah kepadaku, bagaimana sekiranya ada pada saudaraku itu apa yang aku katakan? Baginda berkata : "Sekiranya ada padanya apa yang kamu katakan, maka kamu telah mengumpatnya, jika tiada padanya apa yang kamu katakan maka kamu telah memfitnahnya"
(Hadis Riwayat Muslim, Abu Daud, al-Tirmizi, al-Darimi, Ahmad dan Ibn Hibban)
Keharusan Mengumpat
Walaupun pada asal hukum mengumpat adalah haram, namun ianya juga menjadi harus bagi kita dalam keadaan yang tertentu. Di dalam kitab Riyadus Solihin iaitu karangan kitab oleh Imam Nawawi, terdapat 6 keuzuran yang diharuskan padanya mengumpat.
1- Kes Penganiayaan.
Apabila seseorang dizalimi sebagai contohnya seorang isteri yang dizalimi oleh suaminya, maka menjadi keharusan kepada si isteri untuk menceritakan keaiban dan keburukan yang dilakukan oleh suaminya ke atas dirinya kepada pihak pemerintah. Hal ini adalah bertujuan untuk menyelesaikan masalah dan sebagai bukti bahawa kezaliman itu memang berlaku
2- Mohon Bantuan Mencegah Kemungkaran.
Apabila di dapati berlakunya kemungkaran, kemudian melaporkannya kepada pihak yang berkuasa dengan tujuan/ niat untuk mencegah kemungkaran yang ada, maka diharuskan untuk orang yang mengadu menceritakan kemungkaran yang dilakukan. Sebagai contoh dia mengatakan " Si polan telah melakukan maksiat begitu begini, maka tegahlah dia agar tidak berlaku kemudaratan yang berpanjangan".
3- Minta Fatwa.
Diharuskan juga menceritakan keaiban orang dengan tujuan meminta fatwa sepertimana Hindun meminta fatwa kepada Rasulullah SAW perihal suaminya yang kedekut. 
4- Mengajak Muslimin Agar Bersikap Berhati-hati.
Tujuan menceritakan keburukan orang yang tertentu adalah semata-mata untuk kemaslahatan orang lain agar berhati-hati dan tidak mudah terpedaya contohnya seperti mendedahkan kepalsuan seorang yang pura-pura alim atau pembawa ajaran sesat supaya orang ramai mengetahui hakikat dirinya yang sebenar. Begitu juga, mendedahkan penyelewengan seorang pemimpin dalam mentadbir rakyat kepada orang yang berkuasa melantiknya agar mereka tidak tertipu untuk terus memberi kuasa kepadanya.
5- Jika Melakukan Maksiat dan Bid'ah Secara Terang-terangan.
Jika seseorang itu melakukan maksita dan bid'ah secara terang-terangan, maka menjadi harus hukum mengumpat tentangnya. Dengan syarat diniatkan keharusan mengumpat itu agar tidak mudah tertipu dan supaya kaum muslimin yang lain sentiasa berwaspada dengannya. Walau bagaimana pun tidak boleh menceritakan keburukannya yang tersembunyi.
6- Sebagai Tanda Pengenalan.
Dibolehkan dengan syarat tidak bertujuan untuk menghina dan merendahkan orang yang dinyatakan seperti mila jongang, mamat tempang. Andaikata hanya dengan gelaran-gelaran tersebut menjadikan orang lebih mengenalinya, maka diharuskan menceritakan kekurangannya. 
Kesimpulannya, walaupun terdapat beberapa situasi yang dibolehkan mengumpat, namun perlulah kita ingat ianya juga bersandarkan kepada niat kita. Sekirannya niat kita lebih cenderung kepada menceritakan keaiban dan kekurangan orang lain, boleh jadi ianya jatuh kepada mengumpat. Dan ketahuilah sesungguhnya mengumpat itu adalah haram dan setiap yang haram itu padanya dosa.
Jauhilah mengumpat wahai umat Islam, kerana realitinya kita hanyalah hamba yang lemah untuk lari daripada melakukan perbuatan terkutuk itu. Jangan sampai amalan kita terlepas kepada orang yang diumpat. Tidak  pernah merugi bagi mereka yang menutup keaiban orang lain. Cukuplah sekadar mendengar jika memang keadaan tidak mengizinkan untuk kita lari dari tempat mengumpat itu.
Sesiapa yang memelihara lidahnya ( tidak menceritakan keburukan orang lain ), Allah akan menutup kecelaannya di akhirat nanti, Sesiapa yang menahan kemarahannya, Allah akan lindungi daripada seksaanNya. Bersama - samalah kita hindari perbuatan mengumpat ini dari masa ke semasa kerana
Rasulullah pernah bersabda :
"Wahai orang yang beriman dengan lidahnya tetapi belum beriman dengan hatinya ! Janganlah kamu mengumpat kaum muslimin dan janganlah kamu mengintip - intip keaibannya. Sesungguhnya, sesiapa yang mengintip keaiban saudaranya, Allah akan mengintip keaibannya dan Dia akan mendedahkannya, meskipun berada dalam rumah sendiri "
(Hadis Riwayat Abu Daud, Ahmad dan al - Tarmizi)
Wallahu Anta A'lam

Ghibah ( Mengumpat ) Yang Dibenarkan Oleh Islam !!!


Assalamualaikum & Salam Sejahtera. Post kali ini sebagai panduan kita bersama. Sekadar memperingati diri sendiri juga yang sentiasa alpa dengan hasutan nafsu & syaitan.Fenomena ini sentiasa ada di sekeliling kita di mana jua kita berada. Memang sudah menjadi lumrah, di kalangan masyarakat kita yang masing- masing mempunyai (P.h.D) PERASAAN HASAD DENGKI, pantang melihat kelebihan mahu pun kejayaan orang lain, maka wujudlah konspirasi untuk menjatuhkan orang. Pelbagai agenda disusun rapi, salah satu ‘peluru’ yang paling popular digunakan ialah melalui hasutan. Tidak kurang juga bagi yang terlalu banyak mempunyai masa terluang dengan mengisikan aktiviti jaringan kemasyarakatan dengan bergossip sambil bercicah mangga bersama kicap belacan.Tetapi tahukah kita??????
Ghibah (Mengumpat)
Apakah ghibah atau mengumpat ? Iaitu mengucapkan perkataan (atau dengan gerak badan, mata, tulisan dan sebagainya) sesuatu yang tidak disukai pada diri orang lain. Tidak kira samada yang tidak disenangi itu ada pada tubuh badannya, gerak lakunya, agamanya dan sebagainya.
Menurut Imam al-Ghazali, definasi ini adalah yang telah diijma’kan oleh kaum muslimin (tiada seorang pun membangkang). Maksudnya, mereka bersepakat mengatakan bahawa inilah dia definasi ghibah. Ghibah, dalam bahasa Melayu kita disebut mengumpat. Iaitu menceritakan keburukan orang lain di belakangnya.
Hukum Ghibah (Mengumpat)
Umat Islam seluruhnya juga telah ijma’ mengatakan bahawa hukum ghibah adalah haram. Namun Imam Al-Ghazali telah menggariskan beberapa jenis Ghibah yang dibenarkan dalam Islam. Atas alasan-alasan syarak ia diperbolehkan. Apakah alasan syarak itu. Iaitu mahu mencapai satu-satu tujuan yang benar menurut pertimbangan syarak, di mana jika tidak melalui cara itu tujuan itu tak mungkin akan tercapai. Walaubagaimanapun, jika ada cara lain seboleh-bolehnya gunakan cara berkenaan. Elakkan ghibah.
Untuk membela diri. Adalah dibenarkan jika:
  • Atas tujuan yang dibenarkan oleh syarak
  • Jika tiada jalan lain melainkan dengan membuka aib orang lain.
Contohnya, anda telah dituduh mencuri, sedangkan anda tahu siapa yang mencuri. Anda terpaksa mempertahankan diri dengan berkata benar. Ini biasa berlaku di mahkamah. Mahkamah terpaksa membuka aib mereka yang terbabit untuk tujuan yang dibenarkan oleh syarak, iaitu membuktikan benar atau salahnya orang yang dituduh (mencari penjenayah).

Di senaraikan enam tempat yang dibenarkan Ghibah.

Pertama: Mahu mengadu kepada qadhi, polis, imam, ketua kampung & sebagainyanya kerana teraniaya. Ketika mengadu tidak boleh tidak kita terpaksa membuka kezaliman yang telah dilakukan terhadap kita. Dengan membuka keburukan orang berkenaan, barulah pengadilan dapat dilaksanakan.

Kedua: Mahu mencegah kemungkaran dan kemaksiatan yang berlaku. Keburukan pelaku maksiat itu boleh diceritakan kepada seseorang yang dapat diharapkan boleh menghindarkan kemungkaran itu. Seperti kita melihat sebahagian anak-anak muda di kawasan kita membawa perempuan ajnabi balik ke rumahnya (berkhalwat).Kita hendaklah mencari seseorang yang boleh diharapkan dapat menghalang perkara berkenaan. Kita dibenarkan menceritakan perihal anak-anak muda itu kepadanya.

Ketiga: Meminta fatwa dari alim-ulamak. Contohnya dalam masalah rumahtangga, jika si suami melakukan sesuatu yang tidak baik kepada isterinya (contoh: tidak beri nafkah), dia boleh mengadu hal kepada ulamak/mufti meminta fatwa. “Suami saya tidak memberi saya nafkah selama sekian lama. Apa hukumnya dia melakukan demikian. Apakah yang harus saya lakukan?”

Keempat: Memberi peringatan (agar berhati-hati) dan nasihat kepada kaum muslimin tentang kejahatan seseorang. Bahkan jika dapat memberi mudarat kepada seseorang, wajib kita jelaskan keburukannya. Contoh, apabila seseorang datang kepada kita meminta nasihat tentang perkahwinan anak perempuannya. Apakah wajar dikahwinkan dengan si fulan? Sedangkan kita  tahu bahawa si fulan itu adalah seorang yang buruk akhlaknya dan lemah agamanya. Jika memadai dengan kata ‘JANGAN’, hendaklah kita mengatakan begitu sahaja. Jika dirasakan tidak cukup, wajiblah kita  membuka aibnya.

Kelima: Mencela orang yang secara terang-terangan melakukan kefasikan, bid’ah dan kezaliman. Contoh, seorang yang secara terang-terangan meminum arak, atau berjudi, atau melaksanakan projek-projek batil. Yang dibenarkan hanyalah menyebutkan kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan itu sahaja. Dan diharamkan menyebutkan aib-aib lain.

Keenam: Untuk mengenalkan seseorang. Jika seseorang itu memang dikenali dengan julukkan si tempang, si buta dan sebagainya, boleh saudara menyebutkan jolokkan itu dengan niat mengenalkan. Haram jika dengan niat mencemuh. Walaubagaimanapun selagi boleh mengelakkan menyebut julukkan itu, elakkan..

Dalil:
Firman Allah Taala:
“Allah tidak suka kepada perkataan yang tidak baik diperdengarkan, kecuali dari orang-orang yang teraniaya…” (al-Nisaa’, ayat 148)
Hadis:
“Aisyah r.a. berkata: Seseorang datang minta izin kepada nabi s.a.w. (masuk ke rumah). Lalu nabi s.a.w. bersabda: Izinkanlah. Dia adalah sejahat-jahat orang di kalangan kaumnya.” (riwayat Bukhari & Muslim)
Hadis:
“Aisyah r.a. berkata: Hindun binti Uthbah (isteri Abu Sufian) berkata kepada nabi s.a.w.: Sesungguhnya Abu Sufian seorang yang kedekut dan tidak memberi cukup belanja kepada ku dan anak-anakku, kecuali kalau saya ambil di luar pengetahuannya. Nabi s.a.w. menjawab: Ambillah secukupmu dan ank-anakmu dengan sederhana.” (Riwayat Bukhari & Muslim)

Hadis:
“Fatimah binti Qais berkata: Saya datang kepada Nabi s.a.w. bertanya tentang dua orang yang meminang saya, iaitu Abu Jahm dan Muawiyah. Maka Nabi s.a.w. bersabda: Adapun Muawiyah, dia adalah seorang yang miskin, manakala Abu Jahm, dia adalah seorang yang suka memukul isteri.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
Hadis di atas menunjukkan bahawa Nabi s.a.w. ada menceritakan keburukan orang lain untuk mencapai maksud yang dibenarkan oleh syarak. Dan tiada pilihan lain melainkan memberitahu aib orang berkenaan.
Wallahu’alam..

Rujukan:
Untuk mengetahui lebih lanjut dan terprinci lagi mengenai ghibah sila rujuk al-Ihya’ Ulumuddin – al-Ghazali & al-Azkar – Imam al-Nawawi. Untuk mereka yang tidak dapat membaca kitab asalnya yang berbahasa Arab, bolehlah dapatkan terjemahan kedua-duanya.
p/s: Renungan bersama untuk mencapai kesejahteraan sejagat..

6 Tempat Boleh Mengumpat

October 18th, 2011 | 1:58 pm | Akidah,
Firman Allah dalam ayat 12 surah al-Hujurat :
…..وَلاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ……..
Maksudnya : …dan janganlah setengah kamu mengumpat setengahnya yang lain. Adakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? (Jika demikian keadaan mengumpat) maka sudah tentu kamu jijik kepadanya….
قال الرسول e : إِيَّاكُمْ وَالغِيْبَةَ فَإِن َّالغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا. قِيْلَ لَهُ كَيْفَ؟ قَالَ : إِنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَزْنِي وَ يَتُوْبُ فَيَتُوْبُ اللهُ عَلَيْهِ وَإِنَّ صَاحِبَ الغِيْبَةِ لاَ يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ
Maksudnya: Jauhkan oleh kamu akan dirimu dan takut oleh kamu akan mengumpat kerana bahawasanya mengumpat itu lebih bersangatan daripada zina. Dikatakan bagi Rasulullah s.a.w : Betapa? Ertinya, kerana apa mengumpat itu lebih besar daripada zina?. Bersabda baginda : Bahawasanya seorang lelaki itu terkadang dia berzina dan lantas bertaubat maka Allah menerima akan taubatnya. Dan bahawasanya orang yang mengumpat itu tiada diampuni baginya sehingga memaaf baginya oleh orang yang diumpatnya. ( Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dan Abu Asy-Syeikh dari Jabir dan Abi Sa’id )
Hukum mengumpat itu haram dengan ijma’ melainkan pada 6 tempat yang diharuskan mengumpat padanya iaitu :



  1. Orang yang mengadu pada penguasa tentang kezaliman seseorang dengan menyebut nama orang zalim itu dan perbuatannya bertujuan untuk menghentikan kezalimannya
  2. Orang meminta tolong bagi menghilang maksiat pada sesuatu tempat kepada yang berkemampuan dengan menyebut nama pelaku maksiat dan kesalahannya bertujuan untuk menghentikan maksiat itu
  3. Orang yang meminta fatwa daripada yang berkelayakan tentang sesuatu masalah yang terpaksa menyebut nama dan kelakuan seperti seorang isteri bertanya tentang hal suaminya dan sikapnya yang buruk
  4. Orang yang menakutkan orang Islam lain tentang kejahatan seseorang supaya terselamat daripada keburukan orang itu seperti menyebut kelakuan jahat seseorang perempuan yang diingini untuk dikahwini bila ditanya agar bakal suaminya tidak tertipu dan selamat
  5. Menyebut nama seseorang yang masyhur dengan nama buruk seperti Amin Tempang dan sebagainya
  6. Menyebut nama orang yang menzahirkan kejahatannya bertujuan supaya orang lain berhati-hati dengannya dan juga agar dia menghentikan kesalahannya itu



Mengata dan Mengumpat

Cuba kita fikir dan renung, dalam sehari, berapa kali kita mengumpat dan mengata?
Apakah maksud mengumpat?
Mengumpat ialah menceritakan atau menyebut keburukan atau kekurangan seseorang kepada orang lain. Rasulullah S.A. W. menjelaskan mengenai mengumpat separti sabda baginda bermaksud “Mengumpat itu ialah apabila kamu menyebut perihal saudaramu dengan sesuatu perkara yang dibencinya” (Hadis Riwayat Muslim)
Mengumpat berlaku sama ada disedari atau tidak. Perbuatan itu termasuk apabila menyebut atau menceritakan keburukan. Biarpun tanpa menyebut nama pelakunya tetapi diketahui oleh orang yang mendengarnya. Memandangkan betapa buruk dan hinanya mengumpat, ia disamakan seperti memakan daging saudara seagama. Manusia waras tidak sanggup memakan daging manusia, inikan pula daging saudara sendiri.Dosa mengumpat bukan saja besar, malah antara dosa yang tidak akan diampunkan oleh Allah biarpun pelakunya benar-benar bertaubat.

WARNINGDosa mengumpat hanya layak diampunkan oleh orang yang diumpatkan. Selagi orang yang diumpatnya tidak mengampunkan, maka dosa itu akan kekal dan menerima pembalasannya di akhirat.
Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud: Awaslah daripada mengumpat kerana mengumpat itu lebih berdosa daripada zina. Sesungguhnya orang melakukan zina, apabila dia bertaubat, Allah akan menerima taubatnya.”Dan sesungguhnya orang yang melakukan umpat tidak akan diampunkan dosanya sebelum diampun oleh orang yang diumpat” (Hadis riwayat Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Hibban)
Disebabkan mengumpat terlalu biasa dilakukan, maka ia tidak dirasakan lagi sebagai satu perbuatan dosa. Hakikat inilah perlu direnungkan oleh semua. Mengumpat dan mencari kesalahan orang lain akan mendedahkan diri pelakunya diperlakukan perkara yang sama oleh orang lain.
Allah akan membalas perbuatan itu dengan mendedahkan keburukan pada dirinya. Sabda Rasulullah S.A.W. “wahai orang beriman dengan lidahnya tetapi belum beriman dengan hatinya! Janganlah kamu mengumpat kaum muslim, dan jangan lah kamu mengintip-intip keaibannya. Sesungguhnya, sesiapa yang mengintip keaiban saudaranya, maka Allahakan mengintip keaibannya,dan dia akan mendedahkannya, meskipun dia berada dalam rumahnya sendiri” (Hadis Riwayat Abu Daud)
Imam al-Ghazali ada menyebut enam perkara yang mendorong seseorang itu mengumpat;
  1. Ingin memuaskan hati disebabkan kemarahan yang memuncak hingga sanggup mendedahkan keaiban dan kesalahan orang lain. Jika kemarahan tidak dapat dikawal, ia boleh menimbulkan hasad dan dendam;
  2. Suka mendengar dan mengikuti perbualan orang yang menyerang peribadi dan kehormatan seseorang;
  3. Mahu bersaing dan menonjolkan diri dengan menganggap orang lain bodoh dan rendah;
  4. Disebabkan dengki, dia iri hati dengan orang lain yang lebih beruntung dan berjaya, seperti dinaikkan gaji dan pangkat;
  5. Bergurau dan suka melawak untuk mencela dan mengatakan kelemahan dan kecacatan hingga mengaibkan orang lain;
  6. Sikap suka mengejek dan mencela disebabkan rasa bongkak dan sombong kerana memandang rendah orang lain.
Imam al-Ghazali menyarankan perkara yang wajib kita ikuti untuk menghentikan sikap suka mengumpat, antaranya ialah;
  • Harus sedar dan insaf mengumpat dan memburuk-burukkan orang lain itu berdosa besar;
  • Sedar dan membetulkan kesalahan sendiri daripada menyalahkan orang;
  • Hendaklah berasa malu apabila memperli kecacatan orang lain. Ini kerana mencela kecacatan fizikal seolah-olah mencerca Tuhan yang menciptakan.
MARI KITA PERBAIKI AKHLAK KITA KEPADA YANG LEBIH BAIK…

Tiada ulasan: