Jangan Merusak Rumah Tangga Orang
oleh: Muhammad Muafa
Assalamu’alaikum ustadz,
Dengan segala hormat, saya mohon bantuan ustadz untuk membantu saya memberikan solusi permasalahan rumah tangga saya saat ini,
Saya wanita, 28 tahun, memiliki anak 3tahun. saya bekerja di sebuah perusahaan swasta di Surabaya, sebenarnya saya ingin sekali menjadi ibu rumah tangga seperti wanita lainnya, namun suami saya melarang saya berhenti karena adik-adik saya masih kuliah sehingga sewaktu-waktu adik-adik butuh biaya saya bisa membantu, karena penghasilan suami saya saat itu juga tidak besar.
Dalam perjalanan waktu kami mengarungi kehidupan rumah tangga yang bahagia, namun saat pernikahan adik saya permasalahan ini akhirnya muncul, saat itu ketika pernikahan, adik saya menolak ucapan selamat dari suami saya dengan berjabatan tangan, hal itu dilakukan di depan keluarga kami, akhirnya suami saya merasa malu dan langsung pulang, keesokan harinya saya juga di telepon disuruh pulang juga, sayapun akhirnya menuruti permintaan suami saya.
Dengan segala hormat, saya mohon bantuan ustadz untuk membantu saya memberikan solusi permasalahan rumah tangga saya saat ini,
Saya wanita, 28 tahun, memiliki anak 3tahun. saya bekerja di sebuah perusahaan swasta di Surabaya, sebenarnya saya ingin sekali menjadi ibu rumah tangga seperti wanita lainnya, namun suami saya melarang saya berhenti karena adik-adik saya masih kuliah sehingga sewaktu-waktu adik-adik butuh biaya saya bisa membantu, karena penghasilan suami saya saat itu juga tidak besar.
Dalam perjalanan waktu kami mengarungi kehidupan rumah tangga yang bahagia, namun saat pernikahan adik saya permasalahan ini akhirnya muncul, saat itu ketika pernikahan, adik saya menolak ucapan selamat dari suami saya dengan berjabatan tangan, hal itu dilakukan di depan keluarga kami, akhirnya suami saya merasa malu dan langsung pulang, keesokan harinya saya juga di telepon disuruh pulang juga, sayapun akhirnya menuruti permintaan suami saya.
Setelah itu kamipun akhirnya bertengkar masalah itu, karena saya juga
menghormati sikap adik (I) saya mengenai prinsipnya haram berjabat
tangan meskipun dengan ipar, akhirnya kamipun rukun setelah berhari-hari
tidak bertegur sapa, namun tidak ada solusi mengenai permasalahan ini,
dan sayapun tidak mengungkit-ungkit juga karena takut kami akan
bertengkar lagi.
Namun suatu saat pada acara selamatan dirumah Ibu saya di desa, suami
saya tidak mau datang ke rumah,dia hanya mengantarkan ( naik Bis)
sampai di ujung jalan rumah, alasannya karena dijika pulang maka akan
bertemu adik 1 saya suami saya akan malah marah dan takut malah menambah
dosa, karena sikapnya. Sayapun berusaha memahaminya, karena saya kira
dia akan datang pas acaranya, namun ternyata juga tidak datang, dia
hanya mengirimkan sms dengan isi permohonan maaf tidak bisa datang
karena berat melangkah ke rumah saya di desa, dia juga meminta saya
pulangnya minta antar saja sama adik ke 2 saya.
Karena musim liburan Bis sangat penuh, akhirnya oleh adik @ saya, saya
dipesankan tiket kereta, ternyata juga habis, sayapun akhirnya ditawari
sepupu( wanita) saya yang juga akan berangkat ke Surabaya bersama
menggunakan sepeda motor. Dan sayapun tidak meminta adik saya
mengantarkan saya karena dia juga akan kembali ke Malang, saya kasihan
karena transportasi bis sangat ramai.
Sebelum saya berangkat sayapun memberi kabar kepada suami saya bahwa
saya berangakat bareng sepupu saya, namun mendengar kabar saya suami
saya malah marah dan menelfon adik saya, karena tahu suami saya sedang
marah saya melarang adik saya mengangkat telepon tersebut, namun
berungkali suami saya tetap menelpon, akhirnya diangkat juga oleh adik
saya, dengan marah serta memaki adik saya dengan mengatakan adik saya
tidak memiliki etika, karena sudah dibantu biaya kuliah diminta bantuan
mengantarkan saja adik saya tidak mau, tidak tahu terima kasih.
Mendengar makian itu saya juga sangat marah, dan sayapun mebela adik
saya, ketika suami saya bertanya sebenarnya siapa yang salah, saya jawab
bahwa yang salah suami saya, kenapa harus memaki. mendengar itu suami
saya menuduh saya telah menginjak-injak harga dirinya.
Dan permasalahan inipun berlanjut sampai sekarang,
suami saya meminta saya segera berhenti bekerja dan akan mengatur semua
keuangan saya, sayapun menolak karena dia memerintahkan saya dalam
keadaan sangat marah, saya takut saat saya benar-benar berhenti
permasalahan ini berujung pada perceraian, karena kata-kata suami saya
sudah sangat kasar. Saat ini suami saya juga mendiamkan saya,
membiarkan saya entah pulang ke rumah atau tidak, dia sama sekali sudah
tidak memperhatikan saya, dan terus terang saya masih sangat mencintai
suami saya, saat kami rukun dia selalu memanjakan saya, saya juga sempat
melihat dia sangat bersedih dan menitikkan air mata,
Di sisi lain keluarga saya meminta saya berpisah saja, jika
terus-terusan bertengkar dan suami saya tidak bisa akur dengan adik-adik
saya, saya sangat bingung saat ini karena dalam sebuah hadis Rasulullah
bersabda, jika seandainya bersujud pada manusia diperbolehkan beliau
akan memerintahkan istri bersujud pada suami, di sisi lain suami saya
tidak bisa akur dengan adik karena permasalahan di atas.
Ustadz bagaimana saya menyikapi permasalahan ini, apa yang harus saya lakukan saat ini ustadz? Mohon bantuan Ustadz
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum wr. Wbr.
Ustadz bagaimana saya menyikapi permasalahan ini, apa yang harus saya lakukan saat ini ustadz? Mohon bantuan Ustadz
Terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum wr. Wbr.
Fulanah-di Suatu Tempat
Jawaban
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Semoga ibu dan suami senantiasa dihimpun Allah dalam kebaikan dan berkah.
Ibu,
Tidak ada satupun rumah tangga di kolong langit ini yang
bebas sama sekali dari problem dan permasalahan. Tidak satupun rumah
tangga yang terlepas dari perselisihan. Tidak ada satupun rumah tangga
yang tidak pernah ada pertengkaran (meski kecil). Rumah tangga
Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun tidak bebas dari
pemasalahan. Problem dan masalah justru menjadi “alat pengukur” untuk
menguji kualitas iman pasangan suami istri.
Ada kalanya problem rumah tangga muncul dari pasangan,
kadang dari orang tua/kerabat, dan kadang pula dari orang lain. Semuanya
adalah ujian untuk meningkatkan kualitas iman, senyampang disikapi
menurut cara yang diajarkan Allah dan RasulNya.
Hal yang harus diwaspadai saat terjadi masalah antara suami
dengan istri adalah adanya pihak ketiga yang berusaha
mengipas-ngipasi/mengkompori dengan target memisahkan antara suami istri
tersebut. Aktivitas merusak rumah tangga orang dengan berupaya
memisahkan pasangan suami istri adalah dosa besar (Kaba-ir), kemunkaran
berat, perbuatan para penyihir, dan diantara program utama Iblis berikut
tentaranya untuk menimbulkan fitnah dan kerusakan di tengah-tengah
manusia. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (2/ 220)
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَوْ عَبْدًا عَلَى سَيِّدِهِ ».
dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang merusak
hubungan seorang wanita dengan suaminya, atau seorang budak terhadap
tuannya.” (H.R.Abu Dawud)
Lafadz imam Ahmad berbunyi;
مسند أحمد (46/ 454)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْسَ مِنَّا مَنْ حَلَفَ بِالْأَمَانَةِ وَمَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ
زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
dari ‘Abdullah bin Buraidah dari ayahnya berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak termasuk
golongan kami orang yang bersumpah dengan amanah dan barangsiapa merusak
hubungan seorang wanita dengan suaminya atau budak dengan tuannyanya,
maka ia tidak termasuk golongan kami.” (H.R.Ahmad)
Orang yang berusaha merusak hubungan istri dengan
suaminya dalam hadis di atas di vonis tidak termasuk golongan Rasulullah
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. Jika bukan golongan Rasulullah صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ maka menjadi golongan siapakah selain golongan
kaum Kuffar, Munafik, Fasik, ahli maksiat dan semua yang tidak menempuh
jalan yang lurus? Cukuplah hadis ini menajdi dalil bahwa merusak rumah
tangga orang termasuk hitungan dosa-dosa besar dan kemungkaran yang
berat.
Merusak rumah tangga orang juga termasuk perbuatan para penyihir berdasarkan ayat berikut ini;
{وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ
سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ
بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى
يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ } [البقرة: 102]
dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan
sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan
kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang
keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan: “Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu
apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya (Al-Baqoroh;102)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa diantara aktivitas
sihir yang dipelajari dari Harut dan Marut adalah sihir untuk memisahkan
antara seorang lelaki dengan suaminya. Sihir menyeret pada kekufuran,
dan sudah diketahui dalam Islam bahwa perbuatan sihir termasuk salah
satu dari tujuh dosa besar yang pelakunya dihukum bunuh. Dalil ini
semakin menguatkan bahwa merusak rumah tangga orang adalah dosa besar
(Kaba-ir) dan kemungkaran yang berat.
Memisahkan pasangan suami istri dan merusak rumahtangga
mereka juga menjadi program utama Iblis dan tentaranya utnuk
menimbulkan fitnah dan kerusakan di muka bumi. Imam Muslim meriwayatkan;
صحيح مسلم (13/ 426)
عَنْ جَابِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ
فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ
أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ
شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى
فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ
وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
dari Jabir berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam bersabda: “Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air
lalu mengirim bala tentaranya, (setan) yang kedudukannya paling dekat
dengan Iblis adalah yang paling besar godaannya. Salah satu diantara
mereka datang lalu berkata: ‘Aku telah melakukan ini dan itu.’ Iblis
menjawab: ‘Kau tidak melakukan apa pun.’ Lalu yang lain datang dan
berkata: ‘Aku tidak meninggalkannya hingga aku memisahkannya dengan
istrinya.’ Beliau bersabda: “Iblis mendekatinya lalu berkata: ‘Bagus
kamu.” (H.R.Muslim)
Tampak jelas dalam hadis di atas, bahwa Iblis
meremehkan banyak “prestasi” tentaranya yang menimbulkan fitnah dan
kerusakan ditengah-tengah manusia. Namun ketika diberitahu “prestasi”
memisahkan pasangan suami istri, iblis begitu gembira, mendekatkan
Syetan tersebut di sisinya dan memujinya. Dari sini bisa difahami,
siapapun yang terlibat upaya memisahkan pasngan suami istri dan merusak
rumah tangganya (meski dia bersorban besar), sesungguhnya dia adalah
bagian dari tentara iblis, yang merealisasikan program-programnya, dan
menjadi “anteknya” baik sadar maupun tidak.
Ibnu Taimiyah berkata;
الفتاوى الكبرى (2/ 313)
فَسَعْيُ الرَّجُلِ فِي التَّفْرِيقِ بَيْنَ الْمَرْأَةِ
وَزَوْجِهَا مِنْ الذُّنُوبِ الشَّدِيدَةِ، وَهُوَ مِنْ فِعْلِ
السَّحَرَةِ، وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ فِعْلِ الشَّيَاطِينِ.
Upaya seseorang untuk memisahkan istri dengan suaminya
adalah diantara dosa-dosa berat, termasuk perbuatan tukang sihir, dan
sebesar-besar perbuatan Syetan (Al-Fatawa Al-Kubro, vol.2 hlm 313)
Merusak rumah tangga orang variasi caranya beragam.
Kadang orang melakukannya dengan mengadu domba pasangan suami istri
tersebut, memprovokasi istri agar minta cerai kepada suami dengan cara
mencitraburukkan suami, memprovokasi suami agar menceraikan istri dengan
cara mencitraburukkan istri, intervensi saat terjadi masalah rumah
tangga sehingga api kian membesar, meminta istri tua dicerai sebelum
menikahi istri muda, dll. Semuanya termasuk hukum merusak rumah tangga
yang hukumnya haram dan dihitung dosa besar.
Sikap yang bijak yang menunjukkan kafakihan dalam dien,
jika pihak ketiga melihat ada permasalahan/pertengkaran dalam rumah
tangga maka dia tidak boleh berbicara sebelum terealisasi dua hal;
pertama: Pasangan suami istri tersebut mengizinkan dan ridho pihak
ketiga itu menjadi Hakam (penengah) terhadap perselisihan mereka dan,
kedua: Pihak ketiga tersebut tidak berbicara kecuali setelah mendengar
dengan seksama curahan hati dari kedua belah pihak (bukan hanya satu
pihak).
Jika dua hal ini tidak terealisasi, maka tidak ada hak
apapun bagi pihak ketiga untuk turut campur/mengintervensi urusan rumah
tangga orang (meskipun dia kerabat dekat). Hal itu dikarenakan Syariat
telah mengajarkan mekanisme penyelesain rumah tangga yang berpulang pada
pasangan suami istri, bukan pihak ketiga. Islam telah menempatkan
secara bijak dan hati-hati terhadap peran pihak ketiga untuk ikut andil
dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga. Peran pihak ketiga hanya
bisa dilakukan dengan permintaan, bukan intervensi.
Rumah tangga harus dihormati, karena rumah tangga punya
kepala keluarga yang mendapatkan hak dari Allah untuk mengatur rumah
tangganya sesuai dengan kebijakannya. Suami adalah kepala keluarga. Ia
bagaikan nahkoda bagi sebuah kapal. Membiarkan pihak ketika
mengintervensi urusan rumah tangga secara fakta membuat ikatan
pernikahan menjadi tidak ada gunanya.
Jadi, sikap keluarga ibu yang menganjurkan untuk bercerai
adalah sikap yang tidak benar. Hal tersebut sudah terkategori intervensi
(meski diatasnamakan nasihat), merusak rumah tangga, dosa besar,
kemunkaran berat, perbuatan tukang sihir, dan bagian tentara Iblis. Hal
tersebut harus dihentikan, dan merka wajib diingatkan untuk tidak turut
campur. Seorang istri tidak boleh mendengarkan ucapan
provokasi/memanas-manasi/mengompori dari pihak manapun yang jelas
berefek rusaknya hubungan suami-istri.
Jika ada pihak ketiga yang telah diketahui
ucapan/perbuatannya mengarah pada perusakan hubungan dalam rumah tangga,
maka mereka harus dijauhi dan suami berhak melarang istri bertemu
dengan mereka. Namun, menjauhi bukan bermakna memutus Shilaturrahim atau
memutus Ukhuwwah Islamiyyah. Menjauhi tidak lebih sekedar
meminimalisasi interaksi, dan membatasi interaksi pada hal-hal selain
urusan rumah tangga. Jika pembicaraan/tindakan sudah mengarah para
urusan rumah tangga maka dihindari/dijauhi.
Ini adalah penyikapan terhadap keluarga dan pihak ketiga.
Adapun penyikapan terhadap suami, jangan sampai salah ibu.
Bersikap terhadap suami yang paling baik adalah sikap yang diajarkan
Allah dan RasulNya, bukan berdasarkan pertimbangan akal, selera, dan
perasaan.
Syara’ mengajarkan bahwa asas perlakuan seorang istri
terhadap suaminya adalah Tholabur Ridho/طَلَبُ الرِّضَى (mencari Ridho).
Dalil yang menunjukkan adalah hadis berikut ini;
سنن النسائي الكبرى (5/ 361)
عن عبد الله بن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم :
ألا أخبركم بنسائكم من أهل الجنة الودود الولود العؤود على زوجها التي إذا
آذت أو أوذيت جاءت حتى تأخذ بيد زوجها ثم تقول والله لا أذوق غمضا حتى
ترضى
Tidaklah aku kabarkan pada kalian wanita-wanita kalian
yang termasuk penghuni surga? Wanita-wanita yang penyayang dan subur,
yang apabila ia mendzalimi atau didzalimi ia berkata,”tidaklah aku
merasakan dapat memejamkan mata hingga engkau ridho” (H.R.An-Nasai)
Dalam hadis di atas diterangkan bahwa istri calon
penghuni surga diantara sifatnya adalah jika menyakiti suami atau
disakiti suami maka dia akan meminta maaf kepada suami dan tidak bisa
tidur sebelum suaminya ridho/memaafkannya. Meminta maaf saat menyakiti
suami dalam hadis di atas tidak diterangkan apakah penyebabnya adalah
kesalahan suami ataukah istri. Yang jelas, ketika suami merasa disakiti
oleh istri, baik dengan ucapan maupun perbuatan lalu istri meminta maaf,
maka sifat tersebut dipuji syariat. Lebih hebat lagi ternyata pujian
Syara’ bukan hanya saat sang istri yang menyakiti suami. Saat dia
disakiti suami, (artinya suaminyalah yang zalim) istri juga meminta
maaf, dan sifat ini juga dipuji Syariat. Oleh karena itu, hadis ini
bukan sekedar bermakna wajibnya istri yang berbuat zalim untuk meminta
maaf, tetapi lebih dari itu hadis ini menunjukkan asas perlakuan seorang
istri kepada suami yaitu berusaha selalu mencari ridha/kerelaannya.
Dalil yang menguatkan adalah hadis berikut ini;
سنن الترمذى (2/ 99)
أَبَا أُمَامَةَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثَلَاثَةٌ لَا تُجَاوِزُ صَلَاتُهُمْ آذَانَهُمْ الْعَبْدُ الْآبِقُ حَتَّى
يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَإِمَامُ
قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ
Dari Abu Umamah r.a beliau berkata, Rosuullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ,” tiga orang yang sholat mereka
tidak melampui telinga-telinga mereka yaitu seorang budak yang melarikan
diri hingga ia kembali, seorang wanita yang bermalam sementara suaminya
marah kepadanya, dan seorang imam suatu kaum sementara kaumnya
membencinya”(H.R.At-Tirmidzi)
Dalm hadis di atas, diterangkan bahwa istri yang
membuat suaminya marah maka shalatnya tidak naik ke langit. Penyebab
marah dalam hadis di atas juga bersifat mutlak dan tidak diterangkan.
Maknanya, Syara’ tidak berkehendak istri membuat suaminya marah,
sehingga bisa difahami berdasarkan hadis ini pula bahwa Tholabur
Ridho/طَلَبُ الرِّضَى (mencari Ridho) adalah asas seluruh perlakuan
Istri kepada suami.
Dalil yang menguatkan adalah hadis tentang kecemburuan Hurul ‘In/Wanita surga/bidadari berikut ini;
مسند أحمد – (ج 45 / ص 78)
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا
إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنْ الْحُورِ الْعِينِ لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ
اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ
إِلَيْنَا
Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “tidaklah seorang wanita menyakiti
suaminya di sunia melainkan istri-istri suaminya dari kalangan bidadari
di surga berkata, “engkau jangan menyakitinya, Allah melaknatmu,
sesungguhnya ia (suami) di sisimu hanyalah tamu yang hampir-hampir
meninggalkanmu dan pulang kepada kami”.(H.R.Ahmad)
Secara implisit hadis di atas juga mengajarkan kepada
para wanita agar jangan sampai membuat suaminya tersakiti. Maknanya
Tholabur Ridho/طَلَبُ الرِّضَى (mencari Ridho) adalah asas seluruh
perlakuan Istri kepada suami.
Berdasarkan alas fikir ini, peristiwa-peristiwa rumah
tangga Insya Allah bisa disikapi secara lebih tepat dan bijaksana yang
lebih dekat dengan syariat yang diperintahkan Allah dan RasulNya.
Ketika terjadi kesalahfahaman antara suami dengan sebagian
kerabat istri, maka langkah pertama agar masalah tidak meruncing dan
memanas adalah taatnya istri terhadap semua perintah dan pengaturan
suami. Istri selalu berusaha mendapatkan ridha suami. Namun hal ini
tidak bermakna istri “berkubu” suami dan memusuhi kerabat. Namun sekedar
menjalankan perintah syara’ menaati suami dan mencari ridhanya seraya
berusaha mendialogkan kesalahfahaman tersebut dengan tetapn menjaga
Shilaturrahim. Jangan sampai istri memaki suami, memarahi apalagi
merendahkannya. Karena hal tersebut terhitung dosa besar, bertentangan
dengan perintah syara’ dan malah akan memperkeruh keadaan.
Bukankah ibu sendiri telah merasakan bahwa suami sungguh
sayang pada ibu?bukankah beliau telah bersedia mengantar pergi,
mengontrol kepulangan, mengkhawatirkan keselamatan, dll yang semuanya
adalah diantara tanda betapa suami mencintai istri? Terhadap suami yang
jahat dan zalim saja Syara’ masih memerintahkan taat, hormat, dan
mencari ridhanya, bukankah suami yang mencintai, menyayangi, memanjakan,
memperhatikan (sampai kadang-kadang menitikkan air mata) lebih punya
alasan untuk ditaati, dihormati, dan dicari ridhanya?
Terakhir, perbanyaklah membaca doa berikut ini agar segala permasalahan dunia maupun akhirat lekas selesai;
صحيح مسلم (13/ 249)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي
وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي
الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ
خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
dari Abu Hurairah dia berkata; “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: “ALLOOHUMMA ASHLIH LII
DIINII ALLADZII HUWA ‘ISHMATU AMRII, WA ASHLIH LII DUN-YAAYA ALLATII
FIIHAA MA’AASYII, WA ASH-LIH LII AAKHIROTII ALLATII FIIHAA
Meriwayatkan’AADZII, WAJ’ALIL HAYAATA ZIYAADATAN LII FII KULLI KHOIRIN,
WAJ’ALIL MAUTA ROOHATAN LII MIN KULLI SYARRIN “Ya Allah ya Tuhanku,
benahilah untukku agamaku yang menjadi benteng urusanku; benahilah
untukku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; benahilah untukku
akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan
ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah
kematianku sebagai kebebasanku dari segala keburukan!” (H.R.Muslim)
Wallahua’lam.
Orangtua Pisahkan Rumah Tangga Anak
Assalamu’alaikum, Pak kyai mau bertanya, dosakan orang tua yang memisahkan anaknya dengan suaminya karena ada sesuatu masalah keluarrga, mohon solusinya pak kyai. Wassalamu’alaikum. 623415330xxx
Jawab:
Wa’alaikum salam Wr. Wb. Pernikahan adalah ikatan suci (mitsaqan gholidzan). Ikatan suci ini tidak boleh dibuat main-main, tidak boleh dirusak apalagi diputus kecuali dengan alasan yang dibenarkan syari’at.
Orangtua sejatinya menjadi pembimbing anak-anaknya yang berumah tangga agar mereka bisa hidup rukun dan bahagia. Bukan sebaliknya merongrong atau mengintervensi keluarga mereka, apalagi sampai memutuskan hubungan pernikahan mereka tanpa alasan yang dibenarkan, hanya karena alasan suka dan tidak suka, masalah ekonomi dan sebagainya. Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam hadits beliau dari Abi Hurairah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami’”. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibbân, Al-Nasa-i)
Para ulama bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud dalam hadits Nabi SAW di atas adalah haram, maka siapa saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka. Bahkan Imam Al-Haitsami mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar. Yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya. Alasannya, hadits Nabi SAW di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian ummat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat.
Pada dasarnya merugikan orang lain adalah berdosa, biarpun orang tua yang menganjurkan anaknya bercerai, perbuatan cerai biarpun hukumnya hahal, tapi hal tersebut dapat menggonjangkan Arsy Allah.
Orangtua, harus menyadari bahwa ketika anaknya telah menikah, mereka sudah punya tanggungjawab, punya hak dan kewajiban sebagai istri. Oleh karena itu, jangan sampai orangtua ikut campur lebih dalam urusan rumah tangga anak-anaknya.
Assalamu’alaikum, Pak kyai mau bertanya, dosakan orang tua yang memisahkan anaknya dengan suaminya karena ada sesuatu masalah keluarrga, mohon solusinya pak kyai. Wassalamu’alaikum. 623415330xxx
Jawab:
Wa’alaikum salam Wr. Wb. Pernikahan adalah ikatan suci (mitsaqan gholidzan). Ikatan suci ini tidak boleh dibuat main-main, tidak boleh dirusak apalagi diputus kecuali dengan alasan yang dibenarkan syari’at.
Orangtua sejatinya menjadi pembimbing anak-anaknya yang berumah tangga agar mereka bisa hidup rukun dan bahagia. Bukan sebaliknya merongrong atau mengintervensi keluarga mereka, apalagi sampai memutuskan hubungan pernikahan mereka tanpa alasan yang dibenarkan, hanya karena alasan suka dan tidak suka, masalah ekonomi dan sebagainya. Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam hadits beliau dari Abi Hurairah RA, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menipu dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia bukanlah dari kami’”. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibbân, Al-Nasa-i)
Para ulama bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud dalam hadits Nabi SAW di atas adalah haram, maka siapa saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka. Bahkan Imam Al-Haitsami mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar. Yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya. Alasannya, hadits Nabi SAW di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian ummat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat.
Pada dasarnya merugikan orang lain adalah berdosa, biarpun orang tua yang menganjurkan anaknya bercerai, perbuatan cerai biarpun hukumnya hahal, tapi hal tersebut dapat menggonjangkan Arsy Allah.
Orangtua, harus menyadari bahwa ketika anaknya telah menikah, mereka sudah punya tanggungjawab, punya hak dan kewajiban sebagai istri. Oleh karena itu, jangan sampai orangtua ikut campur lebih dalam urusan rumah tangga anak-anaknya.
Jauhi Tiga Jenis Manusia Yang Akan Mendapat Laknat Allah SWT
سْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad SAW keluarga serta para sahabat dan pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.
Sahabat yang dirahmati Allah,
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: "Ada tiga macam orang yang terkena laknat Allah SWT iaitu seorang yang membenci kedua ibu bapanya, seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya dan seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya". (Hadis Riwayat Ad Dailami daripada Umar r.a)
Berdasarkan hadis di atas terdapat tiga macam manusia yang akan mendapat laknat Allah SWT iaitu :
Pertama : Seorang yang membenci kedua ibu bapanya.
Kedua : Seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya.
Ketiga : Seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya.
Huraiannya :
Pertama : Seorang yang membenci kedua ibu bapanya.
Menurut Al Qurthubi, derhaka kepada kedua ibu bapa ialah menyalahi perintah keduanya, sebagaimana bakti keduanya bererti mematuhi perintah mereka berdua. Berdasarkan ini jika keduanya atau salah seorang dari mereka menyuruh anaknya, maka anaknya wajib mentaatinya, jika perintah itu bukan maksiat. Meskipun pada asalnya perintah itu termasuk jenis mubah (harus), begitu pula bila termasuk jenis mandub (sunat). Jika melanggar perintah kedua ibu bapa sudah dianggap derhaka apatah lagi membenci keduanya terutama ketika mereka berdua telah tua dan memerlukan bantuan dan pembelaan.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, Rasulullah SAW bersabda: Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: seorang lelaki datang kepada Rasulullah, lalu berkata: "Wahai Rasulullah, aku datang untuk berjihad bersama baginda kerana aku ingin mencari redha Allah dan hari akhirat. Tetapi aku datang kesini dengan meninggalkan ibu bapaku dalam keadaan menangis". Lalu sabda baginda: "Pulanglah kepada mereka. Jadikanlah mereka tertawa seperti tadi engkau jadikan mereka menangis". (Hadis Riwayat Ibnu Majah)
Jadi perintah ibu atau bapa yang bukan bersifat maksiat atau mempersekutukan Allah, maka kita wajib mentaatinya. Namun jika perintah nya bersifat melawan kehendak dan hukum agama, maka tolaklah dengan cara yang baik.
Di dalam Islam orang yang derhaka dan membenci kepada kedua ibu bapanya termasuk ke dalam kategori dosa besar setelah mensyirikkan Allah, dan akan di masukkan ke dalam neraka. Firman Allah SWT maksudnya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ah (uff) dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia". (Al Isra' 23)
Orang yang tidak menghormati ibu bapa akan dilaknat oleh Allah SWT.dan hidupnya di dunia ini tidak akan ada keberkatan kerana reda Allah SWT bergantung kepada reda kedua ibu bapa kepada anaknya.
Dalam hadis yang lain Nabi SAW bersabda yang bermaksud : “ Barangsiapa membuat ibu bapanya gembira (memberi keredan), maka sesungguhnya ia membuat reda Allah. Barangsiapa menyakitkan hati ibu bapanya, maka sesungguhnya ia membuat kebencian Allah” (Hadis riyawat Bukhari )
Anak derhaka tidak akan mencium bau syurga dan haram baginya untuk memasuki syurga Allah SWT.
Nabi SAW memberi wasiat kepada Sayyidina Ali k.wj : "Wahai Ali ! Saya melihat tulisan pada pintu syurga yang berbunyi "Syurga itu diharamkan bagi setiap orang yang bakhil (kedekut), orang yang derhaka kepada kedua orang tuanya, dan bagi orang yang suka mengadu domba (mengasut)."
Nabi SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu tiga macam dosa yang paling besar, yakni: Mengada-adakan sekutu bagi Allah SWT, tidak patuh kepada kedua orangtuamu, dan memberikan kesaksian palsu.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kedua : Seseorang yang berusaha menceraikan sepasang suami isteri, kemudian setelah isteri tersebut dicerai ia menggantikannya sebagai suaminya.
Salah satu sifat orang fasik adalah suka kepada isteri orang dan dia berusaha untuk menceraikan pasangan suami isteri tersebut. Mungkin bermula apabila wanita tersebut mengadu kepadanya bahawa dia mempunyai masaalah dengan suaminya. Sepatutnya sebagai seorang mukmin dia menasihatkan wanita tersebut supaya kembali mentaati suaminya dan melupakan perbalahan kecil urusan rumah tangga bukannya menggalakkan wanita tersebut meminta cerai kepada suaminya dengan itu dia akan berpeluang mengawininya. Akhlak lelaki seperti ini cukup buruk dan akan mendapat laknat Allah SWT di dunia ini dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.
Perlu diingatkan kepada para wanita yang sudah berkahwin kalian perlu berhati-hati apabila meluahkan masaalah rumah tangga kepada lelaki yang kalian tidak kenal sepenuhnya hanya kenal di alam maya ini kerana ramai lelaki mempunyai "penyakit hati" dan akan mengambil kesempatan untuk "meneguk di air keruh" dan dikira berdosa kerana membuka aib suami kepada orang yang tidak berkenaan. Tetapi jika kalian berhajat mendapatkan khidmat nasihat maka dapatkanlah daripada ustazah atau ustaz atau pakar kaunseling maka hubungilah mereka yang berpengalaman dalam menyelesaikan masaalah rumah tangga.
Bukan sahaja lelaki yang merosakkan rumah tangga orang lain akan mendapat laknat daripada Allah SWT tetapi wanita tersebut yang tertarik dengan lelaki yang menghasutnya juga tidak akan masuk syurga kerana meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syarak.
Rasulullah SAW bersabda maksudnya : “Mana-mana wanita yang meminta suaminya menceraikannya dengan tiada sebab yang dibenarkan oleh syarak maka haramlah baginya bau syurga”. (Hadis Riwayat Abu Daud dan Tarmizi)
Ketiga : Seseorang yang berusaha agar orang-orang mukmin saling membenci dan saling mendengki antara sesamanya dengan hasutan-hasutannya.
Menghasut, mengadu domba, atau memprovokasi, dalam Islam disebut namimah.
Nabi SAW bersabda maksudnya : ''Sesungguhnya, orang-orang yang suka menghasut tidak akan masuk syurga.'' (Hadis Riwayat Bukhari-Muslim).
Hakikat namimah ialah menyebarkan rahsia, mengadu domba dan mengumpat. Tidak seharusnya setiap keadaan yang tak disukai disampaikan ke orang lain, kecuali jika ditujukan untuk kemaslahatan kaum muslimin atau menolak kemaksiatan, seperti kesaksian di pengadilan.
Selain ancaman tidak masuk syurga, penghasut dikecam sebagai manusia paling buruk perilakunya. Nabi SAW bersabda maksudnya : ''Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang orang yang paling buruk perilakunya di antara kalian? Yaitu, orang yang berjalan di atas muka bumi seraya menghasut, yang merosak di antara orang-orang yang tadinya saling mencintai, dan hanya ingin memceritakan aib orang-orang yang tidak bersalah.''
(Hadis Riwayat Ahmad).
Menghasut sangat berbahaya jika dibiarkan berlaku di dalam kehidupan sosial.
Pertama, munculnya benih saling mencurigai di antara sesama muslim.
Kedua, jatuhnya nama baik dan martabat seseorang.
Ketiga, terciptanya kekacauan, ketakstabilan, dan ketidakharmonian dalam hubungan sosial.
Rasulullah SAW mengecam orang-orang munafik di Madinah kerana perilaku kotornya yang suka menghasut ketika baginda berhijrah. Kebiasaan menghasut sepertinya sudah menjalar dan meluas di negeri kita pada masa ini. Melahirkan banyak bloger-bloger politik yang tidak bermoral dan sanggup menabur fitnah, maki hamun dan memecahbelahkan perpaduan umat Islam.
Dari Al-Zuhri bahawa Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda : "Tidak akan masuk syurga bagi yang memutuskan silaturahim".
(Hadis Riwayat Muslim)
Nabi SAW bersabda maksudnya : “Tidak ada dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia, dan apa yang dipersiapkan Allah baginya di akhirat daripada tindakan kezaliman dan memutuskan hubungan silaturrahim”. (Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Tarmizi)
Nabi SAW bersabda maksudnya : "Sesungguhnya lelaki yang paling dibenci Allah ialah yang paling gigih dalam permusuhan." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dari Abi Hurairah r.a, dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam baginda bersabda : "Seorang muslim adalah seorang yang apabila orang lain terselamat daripada lidahnya dan tangannya dan seorang mukmin adalah seorang yang apabila orang lain berasa aman daripadanya terhadap jiwa dan harta benda mereka". (Hadis Riwayat an-Nasaie)
Oleh itu jauhilah daripada segala bentuk perbuatan, percakapan, tulisan dan amalan yang suka memecahbelahkan perpaduan umat Islam dengan memutuskan silaturahim, mengadu domba, menghasut, memfitnah, mengumpat dan menimbulkan permusuhan bukan sahaja mendapat dosa besar tetapi akan mendapat laknat Allah SWT dan tidak akan mencium bau syurga.
Sahabat yang dikasihi,
Marilah sama-sama kita menjauhi diri kita daripada tiga jenis manusia yang akan mendapat laknat Allah SWT di dunia dan akhirat seperti hadis di atas. Untuk menjauhi daripada laknat Allah SWT perlulah kalian melakukan; pertama, mengasihi kedua ibu bapa kalian jangan menderhakainya dan berbaktilah kepada mereka jika mereka masih hidup dan jika mereka sudah meninggal dunia doakan mereka dan buatlah amal soleh untuk mereka. Kedua, jauhilah dan jangan cuba untuk mendekati wanita yang sudah berkahwin dengan tujuan-tujuan yang tidak bermoral, jika terdapat ruang-ruang fitnah cubalah menutupnya. Jika berhajat untuk mencari pasangan hidup carilah janda atau gadis yang masih belum berpunya dan gunakanlah cara-cara yang diizinkan oleh syarak. Ketiga, janganlah sekali-sekali memecah belahkan perpaduan umat Islam. Jadikanlah diri kita sebagai penyelamat umat, pendakwah yang jujur dan ikhlas dan berjuang semata-mata mencari keredaan Allah SWT bukannya untuk mendapatkan nama, pujian dan kedudukan dalam masyarakat.
Merusak Rumah Tangga Orang Lain
Dari
Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia berkata: “Rasulullâh – shallallâhu
‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Siapa menipu dan merusak (hubungan)
seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah bagian dari kami,
dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari suaminya, maka ia
bukanlah dari kami'”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzâr,
Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].
Teks Hadîts
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal. 13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu atau budak yang telah bekerja pada seorang tuan, sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang suami menceraikan istrinya.
Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan semacamnya. Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal pergi oleh) orang-orang yang berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang mengurus keluarga mujahid) adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang lelaki pun dari orang-orang yang tidak pergi berjihad yang mengurus keluarga orang-orang yang pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yang pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan menuju surga) pada hari kiamat, sehingga yang dikhianati mengambil kebaikan yang berkhianat sesuka dan semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud dalam hadîts Muslim ini adalah merusak hubungan keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.
Bentuk pengkhianatan yang lebih besar lagi adalah –na’ûdzu billâh min dzâlik- berzina dengan keluarga sang mujahid.
Termasuk dalam pengertian mujahid ini adalah seseorang yang mendapatkan tugas dakwah, atau menunaikan ibadah haji atau umrah, atau bepergian yang mubah, lalu menitipkan urusan keluarganya (istri dan anak-anaknya) kepada orang lain. Dalam hal ini, jika yang mendapatkan amanah berkhianat, maka, ia termasuk dalam ancaman hadîts Muslim ini.
Mirip-mirip dengan hal ini adalah jika ada seseorang yang karena kapasitasnya, mungkin karena ia adalah seorang tokoh, atau pimpinan sebuah organisasi atau kiai, atau ustadz, atau semacamnya yang diamanahi untuk mendamaikan hubungan suami istri orang lain yang sedang rusak atau terancam rusak, akan tetapi, ia malah mengkhianati amanah ini.
Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain
a. Hukum Ukhrawî
Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud dalam hadîts nabi di atas adalah haram (lihat al-mausû’ah al-fiqhiyyah, pada bâb takhbîb), maka siapa saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar.
Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke 257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya.
Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian umat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya, secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir juz 2, hal. 577).
b. Hukum Duniawî
Ada dua hukum duniawi terkait dengan hadits ini, yaitu:
1. Jika ada seorang lelaki yang merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang wanita itu meminta cerai dari suaminya, dan sang suami mengabulkannya, atau jika ada seorang lelaki merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan istrinya, lalu sang lelaki yang merusak ini menikahi wanita tersebut, apakah pernikahannya sah?
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan sang lelaki perusak dengan wanita korban tindakan perusakannya adalah sah. Alasannya adalah karena wanita tersebut tidak secara eksplisit terhitung sebagai muharramât (wanita-wanita yang diharamkan baginya).
Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat yang berbeda dengan Jumhur. Mereka berpendapat bahwa pernikahan yang terjadi antara seorang lelaki perusak dengan wanita yang pernah menjadi korban tindakan perusakannya harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah di antara keduanya atau sudah terjadi. Alasan Mâlikiyyah dalam hal ini adalah:
i. Demi menerapkan hadîts yang menjadi kajian kita kali ini.
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi menjaga keutuhan rumah tangga kaum muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi seseorang yang melamar dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang masih dalam masa iddah (tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dengan kata-kata sharîh terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam hal ini tidak ada aspek perusakan yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya (karena memang suaminya telah meninggal), maka, jika ada seseorang yang merusak seorang wanita yang masih bersuami, sehingga tercipta perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat daripada yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan dengan wanita “korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan jika sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus dibatalkan.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang berpendapat bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang merusak hubungan suami istri”, tanpa embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab yang mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera), al-tasydîd (peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar dan tipu daya, sebagaimana yang dilakukan oleh kitab kanz al-‘Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, amin.
Teks Hadîts
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ –
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى
أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن حبان والنسائي في
الكبرى والبيهقي]
Takhrîj HadîtsHadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal. 320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal. 13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu atau budak yang telah bekerja pada seorang tuan, sehingga hubungan di antara pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara suami istri itu menjadi rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang suami menceraikan istrinya.
Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi, menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu ‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ini sebagai hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai orang yang dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at. Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’, sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq ‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan semacamnya. Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal pergi oleh) orang-orang yang berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang mengurus keluarga mujahid) adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang lelaki pun dari orang-orang yang tidak pergi berjihad yang mengurus keluarga orang-orang yang pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yang pergi berjihad, kecuali sang pengkhianat ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan menuju surga) pada hari kiamat, sehingga yang dikhianati mengambil kebaikan yang berkhianat sesuka dan semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud dalam hadîts Muslim ini adalah merusak hubungan keluarga sang mujahid, sehingga bercerai dari suaminya.
Bentuk pengkhianatan yang lebih besar lagi adalah –na’ûdzu billâh min dzâlik- berzina dengan keluarga sang mujahid.
Termasuk dalam pengertian mujahid ini adalah seseorang yang mendapatkan tugas dakwah, atau menunaikan ibadah haji atau umrah, atau bepergian yang mubah, lalu menitipkan urusan keluarganya (istri dan anak-anaknya) kepada orang lain. Dalam hal ini, jika yang mendapatkan amanah berkhianat, maka, ia termasuk dalam ancaman hadîts Muslim ini.
Mirip-mirip dengan hal ini adalah jika ada seseorang yang karena kapasitasnya, mungkin karena ia adalah seorang tokoh, atau pimpinan sebuah organisasi atau kiai, atau ustadz, atau semacamnya yang diamanahi untuk mendamaikan hubungan suami istri orang lain yang sedang rusak atau terancam rusak, akan tetapi, ia malah mengkhianati amanah ini.
Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain
a. Hukum Ukhrawî
Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud dalam hadîts nabi di atas adalah haram (lihat al-mausû’ah al-fiqhiyyah, pada bâb takhbîb), maka siapa saja yang melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan perbuatan dosa ini sebagai dosa besar.
Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke 257 dan 258 yaitu merusak seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar terpisah dari istrinya.
Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian umat beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya, secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir juz 2, hal. 577).
b. Hukum Duniawî
Ada dua hukum duniawi terkait dengan hadits ini, yaitu:
1. Jika ada seorang lelaki yang merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang wanita itu meminta cerai dari suaminya, dan sang suami mengabulkannya, atau jika ada seorang lelaki merusak hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan istrinya, lalu sang lelaki yang merusak ini menikahi wanita tersebut, apakah pernikahannya sah?
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan sang lelaki perusak dengan wanita korban tindakan perusakannya adalah sah. Alasannya adalah karena wanita tersebut tidak secara eksplisit terhitung sebagai muharramât (wanita-wanita yang diharamkan baginya).
Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat yang berbeda dengan Jumhur. Mereka berpendapat bahwa pernikahan yang terjadi antara seorang lelaki perusak dengan wanita yang pernah menjadi korban tindakan perusakannya harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah di antara keduanya atau sudah terjadi. Alasan Mâlikiyyah dalam hal ini adalah:
i. Demi menerapkan hadîts yang menjadi kajian kita kali ini.
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi menjaga keutuhan rumah tangga kaum muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi seseorang yang melamar dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang masih dalam masa iddah (tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya, jika melamar dengan kata-kata sharîh terhadap seorang wanita yang masih dalam masa iddah karena kematian suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam hal ini tidak ada aspek perusakan yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu dari suaminya (karena memang suaminya telah meninggal), maka, jika ada seseorang yang merusak seorang wanita yang masih bersuami, sehingga tercipta perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat daripada yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan dengan wanita “korban” tindakan perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan jika sudah kadung terjadi pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus dibatalkan.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang berpendapat bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak melakukan perbuatan seperti ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi, pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim berwewenang menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat, hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang merusak hubungan suami istri”, tanpa embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti yang dilakukan oleh Imam Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab yang mengandung kalimat ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera), al-tasydîd (peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam Al-Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar dan tipu daya, sebagaimana yang dilakukan oleh kitab kanz al-‘Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan yang sangat tercela ini, amin.
3 Hal Yang Wajib Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga
Pertengkaran dalam rumah tangga, salah satu diantara pertanyaan yang banyak masuk melalui situs KonsultasiSyariah.com. Semoga artikel ini bisa menambah wawasan untuk menuju yang lebih baik.
Pertengkaran dalam rumah tangga, hampir pernah terjadi dalam semua keluarga. Tak terkecuali keluarga yang anggotanya orang baik sekalipun. Dulu keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, juga pernah mengalami semacam ini.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha, dan beliau tidak melihat Ali di rumah. Spontan beliau bertanya: “Di mana anak pamanmu?” ‘Tadi ada masalah dengan saya, terus dia marah kepadaku, lalu keluar. Siang ini dia tidak tidur di sampingku.’
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat tentang keberadaan Ali. ‘Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.’ Datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke masjid, dan ketika itu Ali sedang tidur, sementara baju atasannya jatuh di sampingnya, dan dia terkena debu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap debu itu, sambil mengatakan,
قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ
“Bangun, wahai Abu Thurab… bangun, wahai Abu Thurab…” (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)Tentu tidak ada apa-apanya ketika keluarga kita dibandingkan dengan keluarga Ali dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma. Meskipun demikian, pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana semacam ini juga terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga yang baik sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang tidak baik.
Apa Bedanya?
Keluarga yang tidak baik, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Setitikpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai menui caci-maki, KDRT, atau bahkan pembunuhan.Berbeda dengan keluarga yang baik, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini ada pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.
Semua Jadi Pahala
Apapun kesedihan yang sedang kita alami, perlu kita pahami bahwa itu sejatinya bagian dari ujian hidup. Sebagai orang beriman, jadikan itu kesempatan untuk mendulang pahala.Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ
هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ
يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa
capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam,
sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu
sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari 5641).Pahami bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Di saat itu, hadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa anda dengan kesedian yang anda alami…lanjutkan dengan bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya.
Umar bin Abdul Aziz mengatakan,
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إلَّا بِذَنْبِ وَلَا رُفِعَ إلَّا بِتَوْبَةِ
“Musibah turun disebabkan dosa dan musibah diangkat dengan sebab taubat.” (Majmu’ Fatawa, 8/163)3 Hal Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga
Selanjutnya, ada 3 hal yang wajib dihindari ketika terjadi pertengakaran. Semoga dengan menghindari hal ini, pertengkaran dalam keluarga muslim tidak berujung pada masalah yang lebih parah. Secara umum, aturan ini telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا
اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا
تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu
harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian,
jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu
melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad 20011, Abu Daud 2142 dan dishahihkan Al-Albani).Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Meskipun demikian, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita. Dari hadis mulia ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan untuk menghindari 3 hal:
Pertama, hindari KDRT
Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ
فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,
1. Tidak boleh di daerah kepala, sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.
2. Tidak boleh menyakitkan
Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.
إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim 1218)Keterangan ini juga disebutkan Al-Bukhari dalam shahihnya, ketika beliau menjelaskan firman Allah di surat An-Nisa: 34 di atas.
Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,
قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به
Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang
tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat
gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari dalam tafsirnya, 8/314).Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.
Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Anda bisa bayangkan, ketika ada orang yang sangat kuat, mendapatkan lawan yang lemah. Tentu bukan sebuah kehormatan bagi dia untuk meladeninya. Karena itu, lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat yang sejatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ
“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam
perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi
ketika marah.” (HR. Bukhari 6114 dan Muslim 2609).Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. A’isyah menceritakan,
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ
يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal
beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim 2328).Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah. Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.
Kedua, Hindari Caci-maki
Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi. Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian. Allah berfirman,
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)Setidaknya, ketika dia tidak mampu memberi balasan secara fisik, dia mampu membalas dengan melukai hati orang yang mendzaliminya.
Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana harmonis. Sehingga sampaipun terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci maki harus dihindarkan. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati, dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang sakinah.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan sampai seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orang tua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.
Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”
Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,
لَا تَقُلْ لَهَا قَوْلًا قَبِيحًا وَلَا تَشْتُمْهَا وَلَا قَبَّحَكِ اللَّهُ
“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 6/127).Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat
tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah
memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)Marah kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai dosa yang nyata.
Ketiga, Jaga Rahasia Keluarga
Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan. Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
“jangan kamu boikot istrimu kecuali di rumah”Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu, jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan.
Siapakah pihak yang berwenang?
Pihak yang posisinya bisa mengendalikan dan memberi solusi atas masalah keluarga. Dalam hal ini bisa KUA, hakim, ustadz yang amanah, atau mertua. Kami sebut mertua, karena dia berwenang untuk mengendalikan putra-putrinya. Dan ini tidak berlaku sebaliknya.
Agar tidak salah paham, berikut keterangan lebih rinci;
Ketika suami melakukan kesalahan, tidak selayaknya sang istri melaporkan kesalahan suami ini kepada orang tua istri. Tapi hendaknya dilaporkan kepada orang yang mampu mengendalikan suami, misalnya tokoh agama yang disegani suami atau orang tua suami. Demikian pula ketika sumber masalah adalah istri. Hendaknya suami tidak melaporkannya kepada orang tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya (ortu istri).
Solusi ini baru diambil ketika masalah itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan sendiri antara suami-istri.
Hindari Pemicu Adu Domba
Bagian ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri memiliki masalah dengan suaminya, kemudian dia ceritakan kepada orang tua istri, muncullah rasa kasihan dari orang tuanya. Namun tidak sampai di sini, orang tua istri dan suami akhirnya menjadi bermusuhan. Orang tua istri merasa harga dirinya dilecehkan karena putrinya didzalimi anak orang lain, sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut campur urusan keluarganya. Bukannya solusi yang dia dapatkan, namun masalah baru yang justru lebih parah dibandingkan sebelumnya.Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya, karena ini akan memperkecil timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar-sesama. Jika anda tidak memungkinkan menyampaikan secara langsung, sampaikan dalam bentuk email, atau sms. Lebih rincinya, anda bisa pelajari artikel : Mengatasi Keretakan Hubungan Suami Istri
Semoga bermanfaat..,
Allahu a’lam
Gangguan orang ketiga
Kajian Lembaga Penduduk dan Pembangunan Keluarga Negara (LPPKN) pada 2004 mendapati antara punca utama perceraian hari ini ialah suami curang atau isteri enggan dimadukan membabitkan 12 peratus, selain sikap suami yang tidak bertanggungjawab dengan 11.5 peratus.
Hakikatnya, keruntuhan hidup pasangan suami isteri sehingga berlaku perceraian sering dikaitkan dengan kemunculan orang ketiga, sama ada campur tangan keluarga atau pasangan menjalin hubungan dengan individu lain.
Mengulas isu orang ketiga ini, pakar motivasi terkenal, Wan Akashah Wan Abdul Hamid, berkata, individu yang berniat untuk meruntuhkan rumah tangga orang lain adalah melakukan dosa, malah menjalin hubungan dengan suami atau isteri orang juga haram hukumnya.
Ini termasuk mengirim khidmat sistem pesanan ringkas (SMS) atau mengadakan pertemuan dengan seseorang yang sudah mendirikan rumah tangga.
“Menjalin hubungan dengan suami atau isteri orang haram hukumnya kerana pujuk rayu dalam perhubungan itu punca kepada kejahatan sebab Allah sudah mengatakan jangan hampiri zina.
“Jika wanita mengetahui lelaki yang didampingi itu adalah suami orang, tetapi tetap meneruskan perhubungan berkenaan, ia membuktikan wanita terbabit memiliki iman yang lemah dan hati yang keras,” katanya ketika dihubungi, baru-baru ini.
Wan Akashah berkata, berdasarkan pengalaman, punca utama kepada permasalahan yang berlaku dalam rumah tangga biasanya disebabkan lelaki yang menjerumuskan diri mereka dalam hubungan terlarang seperti itu.
Katanya, kepercayaan isteri terhadap suami yang keluar rumah untuk mencari rezeki dikhianati apabila suami menggunakan kesempatan berada jauh daripada isteri untuk bersama wanita lain.
“Suami yang berlaku curang sebenarnya sudah melanggar amanah Allah kerana isteri adalah amanah yang diberi kepada mereka untuk dijaga sebaiknya.
“Malah, jika hati isteri disakiti, dikecewakan, dianiaya atau isteri berasa kecil hati sekalipun, itu adalah satu penganiayaan dilakukan suami yang termasuk dalam pengabaian nafkah batin,” katanya.
Katanya, isteri yang tidak mampu menangani masalah seumpama itu diharuskan untuk menuntut cerai daripada suami sama ada melalui cerai taklik, fasakh atau khuluk.
“Banyak kes membabitkan orang ketiga ini berlaku dan haram hukumnya jika orang ketiga ini merampas hak wanita lain dan memisahkan hubungan antara suami dan isteri serta ayah dan anak-anak.
“Sebenarnya, lagi terkenal seseorang individu itu, lagi besar ujian yang dihadapinya dan ianya perlu dilalui dengan penuh kesabaran.
“Untuk melepasi ujian yang mencabar hingga boleh menjejaskan nama baik, kita perlu menjaga hubungan dengan Allah dan kecuaian dalam hal penting itu menjadi punca berlaku perkara tidak diingini,” katanya.
Paling penting, katanya, pasangan yang berhadapan dengan masalah orang ketiga perlu bermuhasabah diri, mencari kesilapan dan memperbaikinya.
“Selepas itu, perlu menjauhkan diri daripada orang ketiga ini dan tidak boleh menjadikannya sebagai kawan sekalipun kerana jika niat baik, ia tetap menimbulkan fitnah. Kena tutup buku dan jangan buka ruang langsung kepada orang ketiga ini,” katanya.
Penceramah agama, Datuk Siti Nor Bahyah Mahamood, pula berkata Islam sudah menetapkan peraturan berhubung pergaulan antara lelaki dan wanita.
“Kita perlu tahu tanggungjawab dan pandai mengawal diri kerana jika dalam hati ada perasaan terhadap orang lain, ia sangat berbahaya.
“Bagi pasangan yang diganggu orang ketiga, mereka perlu berbincang untuk mengatasi masalah itu bagi mengelak perceraian dan untuk orang ketiga pula, dinasihatkan supaya tidak membina rumah tangga atas kehancuran hati wanita lain.
“Jika orang ketiga itu sudah berkahwin dengan lelaki berkenaan, dia perlu memahami hati isteri pertama yang rela berkorban untuk menerima kehadirannya kerana ia bukan satu keputusan yang mudah,” katanya.
Hakikatnya, impian setiap pasangan yang mendirikan rumah tangga mahu bahtera yang dilayari itu kekal sehingga ke akhir hayat, tetapi ada di antaranya yang rebah di pertengahan jalan. Cabaran kehidupan berumahtangga diumpamakan seperti membina rumah di tepian pantai, yang akan dipukul gelora tanpa mengira masa dan hanya mereka yang kental saja mampu mendepani cabaran itu.
Oleh Sariha Mohd Ali
Akhlak ” Bahaya yang Mengancam Keharmonisan Rumah Tangga “
(4913 Views) March 3, 2013 11:16 am | Published by Redaksi | Comments Off on Akhlak ” Bahaya yang Mengancam Keharmonisan Rumah Tangga “
Al-Ustadz Abdul Mu’thi, Lc.
Sesungguhnya di antara doa seorang mukmin yang diabadikan Allah Subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an adalah,
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا
قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada
kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami),
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Furqan: 74)
Menurut penafsiran salaf, maksud
penyejuk mata di sini bukanlah bagusnya fisik, melainkan tumbuhnya
mereka dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala yang menyebabkan
mata sejuk memandangnya di dunia dan di akhirat. Al-Hasan al- Bashri rahimahullah
berkata tentang ayat ini, “Maknanya, Allah Subhanahu wata’ala
memperlihatkan kepada hamba-Nya yang muslim ketaatan istri, saudara, dan
temannya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Sungguh, demi Allah, tiada
sesuatu yang menyejukkan mata seorang muslim yang melebihi melihat anak,
cucu, saudara, atau temannya taat kepada Allah Subhanahu wata’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir 3/342)
Kehidupan rumah tangga termasuk salah
satu sisi kehidupan terpenting yang dilalui oleh pria dan wanita karena
telah mengambil bagian yang terbesar dalam kehidupan mereka. Karena itu,
apabila rumah tangga ini dibangun di atas ketaatan kepada
Allah Subhanahu wata’ala dan cinta yang sejati, kecocokan yang sempurna
dan saling adanya pengertian, niscaya kehidupan mereka akan bahagia.
Ketenteraman dan cinta kasih akan
senantiasa menaungi kehidupan mereka. Ini artinya bahwa suami istri
sedang membangun sebuah generasi yang tahu tentang arti kehidupan.
Anak-anak mereka akan tumbuh di tengah-tengah lingkungan yang kondusif
dan dipenuhi cinta kasih.
Rumah Tangga Bahagia
Pernikahan bukan sekadar bersenangsenang
menyalurkan kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan adalah
sebuah bentuk ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala. Dengan pernikahan,
jenis manusia terus berlanjut keberadaannya untuk memakmurkan bumi ini
sampai batas waktu yang Dia tentukan.
Dengan pernikahan pula, seseorang akan
mendapatkan ketenteraman batin dan terhindar dari penyimpangan seksual,
dengan seizin Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا
إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ
لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-
Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Pernikahan sebagai tali ikatan cinta
yang suci antara pria dan wanita menuntut masing-masing pihak untuk
menunaikan kewajibannya terhadap yang lain. Setiap pihak menjalankan
tugasnya dan mampu memainkan perannya demi terwujudnya keharmonisan
rumah tangga yang didambakan.
Suami, sebagai kepala keluarga
berkewajiban memberikan bimbingan agama kepada istrinya serta mencukupi
nafkah lahir dan batin. Adapun istri, sebagai orang yang ditugasi
mengurusi rumah, diharuskan menjaga harta suami, menaatinya dalam
perkara kebaikan, serta mengurusi anak dan mendidiknya. Apabila suami
istri tulus menjalankan tugasnya, pahala dari Allah Subhanahu wata’ala
telah menunggunya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberikan suatu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah Subhanahu
wata’ala kecuali engkau diberi pahala atasnya, sampaipun makanan dan
minuman yang engkau suapkan untuk mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘alaihi dari hadits Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda,
إِذَاصَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَاوَصَامَتْ شَهْرَهَا
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا:
ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Apabila seorang wanita shalat lima
waktu, puasa di bulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya, dan menaati
suaminya, dikatakan kepadanya, ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari
pintu mana saja yang engkau inginkan’.” (HR. Ibnu Hibban dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)
Di antara suami istri hendaknya ada
saling pengertian dan tidak bersikap egois. Ketika melihat ada
kekurangan dari pihak lain, janganlah hal ini dijadikan sebagai sebab
untuk menanam kebencian kepadanya yang nantinya akan mengganggu
keharmonisan. Ia hendaknya melihat banyak sisi kebaikannya dan kelebihan
yang disandangnya. Namun, tentu tak ada masalah apabila dia berusaha
memperbaiki kekurangannya dengan cara yang bijak. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخِرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci
seorang mukminah. Apabila ia tidak menyukai suatu perangai pada dirinya,
ia akan suka darinya perangai yang lain.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh as-Sa’di berkata, “Bimbingan
dari Nabi n bagi suami dalam hal bergaul dengan istrinya ini adalah
faktor terbesar untuk (mewujudkan) hubungan rumah tangga yang harmonis.
Di sini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang mukmin (suami) dari pergaulan yang jelek terhadap istrinya.
Tentunya, larangan terhadap sesuatu
(mengandung) perintah untuk melakukan yang sebaliknya. Beliau memerintah
suami untuk memerhatikan apa yang dimiliki oleh istrinya, berupa
perangai yang indah dan hal yang sesuai dengan dirinya, lalu ia jadikan
hal ini sebagai pembanding terhadap perangai istrinya yang tidak dia
sukai….
Seorang yang adil akan menutup mata dari
kekurangan (istrinya) karena telah lebur dalam kebaikannya yang banyak.
Dengan demikian, hubungan akan tetap langgeng. Akan tertunaikan pula
hakhaknya yang wajib dan yang sunnah. Boleh jadi, (dengan sikap seperti
ini) seorang istri akan berusaha memperbaiki apa yang tidak disukai oleh
suaminya. Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan istrinya dan
(hanya) melihat kejelekannya walaupun kecil, hal ini tentu bukan sikap
yang adil. Orang seperti ini kecil kemungkinannya akan bisa hidup
harmonis bersama istrinya.” (Bahjah Qulubil Abrar hlm. 101)
Demikian pula sikap seorang istri ketika
melihat kekurangan yang ada pada suaminya. Adapun menuntut penampilan
yang selalu prima dan pelayanan yang selalu sempurna tentu sulit, bahkan
hampir-hampir mustahil.
Badai Rumah Tangga
Kadang ketenteraman rumah tangga terusik
dengan adanya problem yang berasal dari pribadi suami atau istri. Hal
ini membutuhkan perhatian serius dan penanganan yang tepat agar bahtera
rumah tangga tetap terkendali. Apabila kita telusuri, banyak sekali
faktor yang memicu munculnya problem.
Dari pihak suami, misalnya, terkadang ia
tidak perhatian terhadap istrinya dari sisi pemberian nafkah, pembagian
giliran bermalam yang tidak adil bagi yang beristri lebih dari satu,
hubungan ranjang yang tidak memuaskan (egois), kasar dan kakunya
perangai terhadap istri, anak, atau mertuanya, serta kurang memedulikan
kebutuhan istri dan anakanaknya berupa perasaan aman dan nyaman.
Adapun dari pihak istri, terkadang
seorang suami merasa tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan dari
istrinya. Terkadang seorang istri sibuk dengan aktivitas di luar rumah
sehingga kebutuhan suaminya kurang terpenuhi. Demikian pula pendidikan
terhadap anak kurang maksimal. Bisa juga karena perangai istri yang
buruk dan tidak tahu persis apa yang harus dia lakukan terhadap
suaminya.
Intinya, apa pun faktor pemicu
ketidakharmonisan tersebut sangat membutuhkan solusi yang cepat dan
tepat. Mereka yang sedang dilanda masalah keluarga harusnya menyadari
butuhnya mempelajari kembali kewajibankewajiban yang harus ditunaikan
terhadap yang lainnya. Mereka membutuhkan bimbingan agama dan nasihat
orang yang berilmu. Seorang suami hendaknya ingat firman Allah Subhanahu
wata’ala,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
Demikian pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوْتُ
“Cukup seseorang dikatakan berdosa manakala ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud dan lainnya dari hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. An-Nawawi rahimahullah menyatakannya sahih dalam Riyadhush Shalihin)
Seorang suami yang baik akan menyadari
kekurangannya dan berusaha memperbaikinya. Dia akan membuang sikap egois
dan siap menjadi suami yang perhatian terhadap istrinya, sekaligus
bapak yang sayang terhadap anakanaknya dan tahu kebutuhan mereka.
Seorang istri yang salehah akan selalu ingat besarnya hak suami atasnya
sebagaimana sabda Nabi n yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ يَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintah seorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya aku perintahkan wanita untuk sujud kepada suaminya.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dan selainnya)
Dia juga tidak melakukan suatu aktivitas
yang sifatnya tidak mendesak yang menyebabkan suaminya terhalangi
mengungkapkan gejolak cinta yang terpendam dalam hatinya atau setidaknya
mengurangi kenikmatannya. Istri salehah teringat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,,
لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi seorang wanita
untuk berpuasa padahal suaminya hadir (ada di sisinya) kecuali dengan
seizinnya dan tidak boleh ia memberi izin (seorang memasuki) rumahnya
kecuali dengan seizin suami.” ( HR. al-Bukhari dari jalan sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Istri yang salehah juga siap mengoreksi diri demi tergapainya kebahagiaan rumah tangga. Sudah saatnya bagi suami istri untuk mempelajari agama ini secara umum dan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban dalam berumah tangga secara khusus, lalu mempraktikkannya dalam kehidupan rumah tangga mereka. Suami istri juga perlu selalu membangun komunikasi yang baik. Dengan demikian, ketegangan dalam rumah tangga akan hilang, setidaknya bisa diminimalisir mudaratnya.
Mewaspadai Bahaya dari Luar
Keharmonisan hidup berumah tangga adalah
nikmat yang besar. Dan, setiap merasakan nikmat duniawi pasti akan
selalu ada orang yang tidak menyenanginya. Inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,. Kehidupan rumah tangga beliau yang harmonis sempat diguncang oleh dahsyatnya isu yang ditiupkan oleh orang-orang munafik.
Alkisah, Rasulullah n dan para sahabat
dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau waktu itu juga membawa
istrinya. Di tengah perjalanan, istri beliau, Aisyah, ingin buang hajat.
Rombongan pun berhenti menunggu Aisyah. Setelah selesai hajatnya,
Aisyah kembali ke tengah rombongan dan naik di atas sekedupnya.
Tetapi, ia ingat bahwa kalungnya
tertinggal. Dia pun turun kembali dan mencarinya. Setelah kembali lagi,
ia dapatkan rombongan telah pergi jauh tak terkejar. Aisyah memutuskan
untuk tetap di situ. Secara kebetulan, lewatlah sahabat Shafwan bin
Mu’aththal radhiyallahu ‘anhuma yang tertinggal di belakang rombongan karena suatu keperluan. Ia pun melihat seorang wanita yang tertinggal dari rombongan.
Setelah mendekat ia pun tahu bahwa ia adalah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Shafwan mendudukkan kendaraannya lalu Aisyah menaikinya. Shafwan lantas
menuntun kendaraannya hingga masuk kota Madinah tanpa ada pembicaraan
antara keduanya. Orang-orang munafik memanfaatkan kejadian ini untuk
menebarkan isu miring bahwa Aisyah berbuat yang tidak baik dengan
Shafwan. Keharmonisan rumah tangga Nabi n pun terguncang dalam beberapa
hari dan para sahabat pun ikut bersedih karenanya. Lalu Allah Subhanahu
wata’ala menurunkan ayat yang menegaskan kesucian Aisyah radhiyallahu ‘anha dari apa yang dituduhkan kepadanya. (Lihat Tahdzib Sirah Ibni Hisyam hlm. 109—195)
Dari kisah tersebut kita bisa mengambil
faedah, di antaranya bahwa keharmonisan rumah tangga bisa terancam
karena adanya faktor dari luar. Berikut di antara faktor tersebut:
1. Setan
Kedengkian setan terhadap manusia yang
sudah tertanam semenjak Allah Subhanahu wata’ala memuliakan Adam di
hadapan para malaikat terus muncul dari waktu ke waktu. Di antara bukti
nyatanya sebagaimana tersebut dalam hadits (yang artinya),
“Setan telah berputus asa untuk
disembah oleh orang yang shalat di Jazirah Arab, tetapi ia (berusaha)
untuk mengadu domba di antara mereka.” (HR. Muslim)
Juga disebutkan dalam hadits riwayat Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda (yang artinya),
“Sesungguhnya iblis meletakkan
singgasananya di atas air lalu ia mengutus pasukannya. Yang paling dekat
kedudukannya dari iblis adalah yang paling besar upaya menggodanya.
Salah satu pasukannya datang (kepada iblis) lalu berkata, ‘Aku telah
melakukan ini dan itu.’ Iblis berkata, ‘Kamu belum berbuat apa-apa.’
Datang (lagi) salah satu dari mereka lalu berkata, ‘Aku tidak tinggalkan
ia (manusia) hingga aku memisahkan antara ia dan istrinya.’ Iblis
mendekatkannya dan berkata, ‘Kamu bagus’.” ( HR. Ahmad 3/314 dan Muslim)
Tujuan Iblis terbesar adalah memutuskan
keturunan manusia sehingga lenyap keberadaannya dan menjatuhkan manusia
ke dalam perzinaan yang merupakan dosa besar yang paling jahat. (Faidhul Qadir 2/517)
Oleh karena itu, hendaknya seseorang senantiasa meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wata’ala dari godaan setan.
2. Orang yang iri dan tidak suka melihat keharmonisan rumah tangga orang lain
Rasa iri orang semacam ini terkadang
semata-mata ingin agar suami istri itu ribut dan bercerai. Ada pula
orang yang sifat irinya diikuti keinginan untuk terjadinya perceraian
lalu ia akan menikah dengan salah satunya. Orang yang iri terkadang tega
melakukan cara-cara yang bengis dan keji, seperti pembunuhan atau
menyampaikan berita dusta kepada salah satu dari suami istri, sehingga
timbul percekcokan yang berujung perceraian padahal berita itu belum
ditelusuri kebenarannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
مَنْ خَبَّبَ عَلَى امْرِئٍ زَوْجَتَهُ أَوْ مَمْلُوْكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa merusak istri seseorang atau budaknya, ia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Ahmad, asy-Syaikh al-Albani menyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 325)
Semoga Allah Subhanahu wata’ala melindungi kita dari kejahatan orang yang hasad/iri dengki.
3. Bermudah-mudah dengan ipar
Tidak sedikit suami bermudah-mudah
dengan saudara perempuan istrinya, demikian pula seorang istri dengan
saudara laki-laki suaminya. Terkadang mereka masuk kepada yang lain
berduaan saja padahal bukan mahramnya. Dalam benak sebagian orang, hal
itu dianggap perkara lumrah dan tidak akan terjadi apa-apa, toh itu
hanya ipar. Kenyataannya, tidak sedikit keharmonisan keluarga menjadi
hancur berantakan karena sikap bermudah-mudah yang seperti ini.
Bahkan, dalam kondisi tertentu sampai
terjadi pertumpahan darah karenanya dan terputusnya tali silaturahmi.
Ini semua akibat melanggar tuntunan agama. Sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang lelaki besepisepian dengan seorang wanita kecuali bersama wanita itu ada mahramnya.” (Muttafaqun ’alaihi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda (yang artinya),
“Hati-hatilah kalian dari masuk kepada para wanita!” Ada seorang lelaki dari Anshar bertanya, “Apa pendapat Anda tentang al-hamwu (ipar dan kerabat suami)?” Nabi bersabda, “Al-hamwu itu maut.” (Muttafaqun ’alaihi)
Maksudnya, masuknya ipar atau kerabat suami kepada wanita itu seperti maut, yaitu membinasakan.
Al – Munawi rahimahullah berkata
,“Diserupakan dengan maut dari sisi sama kejelekannya dan merusaknya
sehingga hal ini sangat diharamkan…. Masuknya ipar kepada wanita akan
mengantarkan kepada kematian agama atau kematian (berakhirnya) wanita
itu karena diceraikan saat suaminya cemburu atau dirajamnya ia apabila
berzina dengan ipar.” (Faidhul Qadir 3/160)
4. Mertua
Terkadang seorang mertua mendengar
problem anaknya dengan suami/istrinya. Tidak jarang, seorang mertua
memberikan pembelaan terhadap anaknya tanpa melihat yang benar. Karena
campur tangan mertua yang tidak mencarikan solusi yang terbaik,
permasalahan semakin melebar dan perselisihan semakin tajam. Padahal
yang seharusnya dilakukan oleh mertua adalah mencari jalan agar suasana
menjadi sejuk.
Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada suatu hari marah kepada istrinya, Fathimah, putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Ali keluar menuju masjid dan berbaring dengan bersandar ke tembok
masjid. Nabi n datang menemui Ali yang saat itu punggungnya penuh dengan
debu. Rasulullah n mengusap debu dari punggung Ali dan memintanya untuk
duduk. (lihat Shahih al-Bukhari no. 6204)
Seperti inilah seorang mertua yang bijak, berusaha untuk memadamkan api kemarahan dan mendinginkan suasana.
5. Pergaulan yang tidak selektif
Tidak semua orang pantas untuk dijadikan
teman bergaul karena ada jenis manusia yang memiliki perangai jahat.
Sementara itu, agama seseorang sangat dipengaruhi oleh teman
sepergaulannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang mengikuti agama (perangai)
teman sepergaulannya, maka hendaknya seorang dari kalian melihat orang
yang ia jadikan teman.” ( HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Asy- Syaikh al-Albani menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)
Parahnya, seorang lelaki terkadang
menjalin pertemanan dengan perempuan yang bukan mahram, demikian pula
sebaliknya. Terkadang juga mereka bercerita/curhat tentang problem rumah
tangga masing-masing. Akibatnya, seorang wanita berani bersikap kasar
terhadap suaminya dan seorang suami sudah tidak peduli lagi dengan
istrinya. Bahkan, ada yang sampai terjadi perzinaan dengan teman
curhatnya. Wal ‘iyadzu billah.
Sungguh, ketika keimanan telah menipis
dan nyaris hilang serta sifat malu menjadi suatu yang langka, sudah
semestinya seseorang berhati-hati demi keselamatan agamanya dan
keharmonisan rumah tangganya. Jangan menjadi orang yang latah dan hanya
ikut-ikutan.
Waspadalah dari bahaya yang mengancam,
seperti bergabung dengan situs jejaring sosial yang kadang dimanfaatkan
untuk kejahatan. Akhirnya, semoga Allah Subhanahu wata’ala memberi
taufik kepada seluruh muslimin baik rakyat maupun penguasanya untuk
kembali kepada jalan-Nya yang lurus demi tercapainya kebahagiaan dunia
dan akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan Doa.
Wallahu a’lam.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan