Agama Bukan dengan Logika
Agama bukan dengan logika, agama mesti dibangun di atas dalil. Dalam meyakini suatu akidah dalam Islam mesti dengan dalil. Dalam menetapkan suatu amalan dan hukum pun dengan dalil. Kalau seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah sepatu (khuf) lebih pantas diusap daripada bagian atasnya. Namun ternyata praktek Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam– yang diusap adalah bagian atasnya. Kalau logika bertentangan dengan dalil, maka dalil tetap harus dimenangkan atau didahulukan.
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لَوْ
كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى
بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf
(sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas
khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).Kata Ash Shon’ani rahimahullah, “Tentu saja secara logika yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah sepatu daripada atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah.” Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. Lihat Subulus Salam, 1: 239.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Agama bukanlah dengan logika. Agama bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil yang mantap dibangun di atas otak yang cemerlang. Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang smart (cemerlang). Karena dalam Al Qur’an pun disebutkan,
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian.” (QS. Al
Baqarah: 44). Yang menyelisihi tuntunan syari’at, itulah yang
menyelisihi logika yang sehat. Makanya sampai ‘Ali mengatakan,
seandainya agama dibangun di atas logika, maka tentu bagian bawah sepatu
lebih pantas diusap. Namun agama tidak dibangun di atas
logika-logikaan. Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di
atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan
kebaikan. Mereka belum tahu bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul.”
(Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 1: 370).Guru kami, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hadits ‘Ali dapat diambil kesimpulan bahwa agama bukanlah berdasarkan logika. Namun agama itu berdasarkan dalil. Sungguh Allah sangat bijak dalam menetapkan hukum dan tidaklah Dia mensyari’atkan kecuali ada hikmah di dalamnya.” (Tashilul Ilmam, 1: 170).
Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Hendaklah setiap muslim tunduk pada hadits yang diucapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah sampai seseorang mempertentangkan dalil dengan logika. Jika logika saja yang dipakai, maka tidak bisa jadi dalil. Ijtihad dengan logika adalah hasil kesimpulan dari memahami dalil Al Qur’an dan hadits.” (Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, hal. 249).
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
1- Agama bukanlah dibangun di atas logika.
2- Seandainya berseberangan antara akal dan dalil, maka wajib mengedepankan dalil. Namun sebenarnya sama sekali tidak mungkin bertentangan antara dalil shahih dan akal yang baik.
3- Sandaran hukum syar’i adalah pada dalil. Karena ‘Ali pun beralasan yang diusap adalah atas khuf (sepatu) dengan perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4- Jika memandang tekstual hadits, kedua kaki diusap berbarengan, yaitu tangan kanan mengusap kaki kanan dan tangan kiri mengusap kaki kiri.
5- Hadits ini merupakan bantahan pada Rafidhah (baca: Syi’ah) karena imam mereka sendiri yaitu ‘Ali bin Abi Tholib yang mereka anggap ma’shum berbeda keyakinan dengan mereka. Karena orang Syi’ah tidak meyakini adanya mengusap khuf (sepatu). Sedangkan ‘Ali meyakini adanya mengusap khuf bahkan meriwayatkan hadits tentang hal itu. Namun anehnya, orang Syi’ah menganggap tidak boleh mengusap khuf, tetapi dalam hal mencuci kaki saat berwudhu, mereka menganggap boleh hanya dengan mengusap kaki kosong. Sungguh aneh!
6- Boleh berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ada dua artikel Rumaysho.Com yang terkait dengan masalah ini yang bisa dipelajari: (1) Mendudukkan Akal pada Tempatnya, (2) Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil. Begitu pula baca tulisan penulis ketika menyanggah buku karangan Agus Musthofa: Ternyata Akhirat Tidak Kekal. Silakan baca pula tentang mengusap khuf: Ajaran Mengusap Khuf.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 286-289.
Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1425 H, 1: 370-374.
Subulus Salam Al Muwshilah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.
Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 249.
Tashil Al Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Marom, Syaikhuna (guru kami) Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1430 H.
—
Selesai disusun tengah malam, Senin, 11 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Artikel www.rumaysho.com
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لَوْ كَانَ الدِّينُ
بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ
أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ
عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf
(sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah
melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas
khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).Kata Ash Shon’ani rahimahullah, “Tentu saja secara logika yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah sepatu daripada atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah.” Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. Lihat Subulus Salam, 1: 239.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Agama bukanlah dengan logika. Agama bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil yang mantap dibangun di atas otak yang cemerlang. Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang smart (cemerlang). Karena dalam Al Qur’an pun disebutkan,
أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian.” (QS. Al Baqarah: 44).Yang menyelisihi tuntunan syari’at, itulah yang menyelisihi logika yang sehat. Makanya sampai ‘Ali mengatakan, seandainya agama dibangun di atas logika, maka tentu bagian bawah sepatu lebih pantas diusap. Namun agama tidak dibangun di atas logika-logikaan. Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Mereka belum tahu bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 1: 370).
Guru kami, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hadits ‘Ali dapat diambil kesimpulan bahwa agama bukanlah berdasarkan logika. Namun agama itu berdasarkan dalil. Sungguh Allah sangat bijak dalam menetapkan hukum dan tidaklah Dia mensyari’atkan kecuali ada hikmah di dalamnya.” (Tashilul Ilmam, 1: 170).
Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Hendaklah setiap muslim tunduk pada hadits yang diucapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah sampai seseorang mempertentangkan dalil dengan logika. Jika logika saja yang dipakai, maka tidak bisa jadi dalil. Ijtihad dengan logika adalah hasil kesimpulan dari memahami dalil Al Qur’an dan hadits.” (Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, hal. 249).
Beberapa pelajaran dari hadits di atas:
- Agama bukanlah dibangun di atas logika.
- Seandainya berseberangan antara akal dan dalil, maka wajib mengedepankan dalil. Namun sebenarnya sama sekali tidak mungkin bertentangan antara dalil shahih dan akal yang baik.
- Sandaran hukum syar’i adalah pada dalil. Karean ‘Ali pun beralasan yang diusup adalah atas khuf (sepatu) dengan perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Jika memandang tekstual hadits, kedua kaki diusap berbarengan, yaitu tangan kanan mengusap kaki kanan dan tangan kiri mengusap kaki kiri.
- Hadits ini merupakan bantahan pada Rafidhah (baca: Syi’ah) karena imam mereka sendiri yaitu ‘Ali bin Abi Tholib yang mereka anggap ma’shum berbeda keyakinan dengan mereka. Karena orang Syi’ah tidak meyakini adanya mengusap khuf (sepatu). Sedangkan ‘Ali meyakini adanya mengusap khuf bahkan meriwayatkan hadits tentang hal itu. Namun anehnya, orang Syi’ah menganggap tidak boleh mengusap khuf, tetapi dalam hal mencuci kaki saat berwudhu, mereka menganggap boleh hanya dengan mengusap kaki kosong. Sungguh aneh!
- Boleh berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
- Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 286-289.
- Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1425 H, 1: 370-374.
- Subulus Salam Al Muwshilah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.
- Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 249.
- Tashil Al Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Marom, Syaikhuna (guru kami) Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Selesai disusun tengah malam, Senin, 11 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
Apa sih Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme itu?
Ini
penting untuk diketahui. Kalau kita bahas ini, maka biasanya ada banyak
sekali yang pro dan kontra. Kami concern dengan hal ini, jika setelah
membaca tulisan ini teman teman punya persepsi sendiri. Silahkan. Maksud
dari tulisan ini adalah Agar kita lebih paham atau mengerti dan menyadari sepenuhnya. Umat Islam Indonesia dewasa ini tengah dihadapkan pada “perang non-fisik” yang disebut ghazwul fikr (perang pemikiran). Perlu diketahui juga bahwa IslamDiaries bukanlah dari paham yang disebutkan atau yang akan dipaparkan ini apalagi IslamDiaries juga bukan dari kalangan ekstrimis. Tetapi karena islam memang sudah KEREN dari dulu, tanpa harus ada embel embel apapun.
Nah, Siap ! Oke mulai..
Pahami dulu maknanya ya.
1.Sekularisme. Sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan atau negara harus berdiri terpisah dari agama.
Jadi mudahnya Sekularisme adalah pemikiran yang memisahkan agama dari
kehidupan. Agama itu hanya urusan ibadah saja, terkait dengan bagaimana
beribadah kepada sang Pencipta. Sementara untuk urusan kehidupan, maka
agama tidak boleh ikut campur.
Sekularisme secara sederhana juga dapat didefinisikan sebagai doktrin
yang menolak campur tangan nilai-nilai keagamaan dalam urusan manusia,
singkatnya urusan manusia harus bebas dari agama atau dengan kata lain
agama tidak boleh meng intervensi urusan manusia. Segala tata-cara kehidupan antar manusia adalah menjadi hak manusia untuk mengaturnya, Tuhan tidak boleh mengintervensinya.
Padahal Agama Islam mengatur segala sesuatunya ya. Oleh karenanya ada yang namanya Hukum Islam. Dan yang musti kita ingat dan terus tanamkan di pikiran kita. Hukum Islam itu untuk membantu kita menuju Kemenangan. Mereka bilang Iman tidak tergantung Agama. Tentu lah Salah, Bagaimanapun Agama merupakan pokok penting dari sebuah Ke Imanan.Bagaimana kita bisa beriman kalau tidak didahului oleh agama atau pemahaman terhadap petunjukNya (Al-Qur’an dan Hadits) ?.
Padahal Agama Islam mengatur segala sesuatunya ya. Oleh karenanya ada yang namanya Hukum Islam. Dan yang musti kita ingat dan terus tanamkan di pikiran kita. Hukum Islam itu untuk membantu kita menuju Kemenangan. Mereka bilang Iman tidak tergantung Agama. Tentu lah Salah, Bagaimanapun Agama merupakan pokok penting dari sebuah Ke Imanan.Bagaimana kita bisa beriman kalau tidak didahului oleh agama atau pemahaman terhadap petunjukNya (Al-Qur’an dan Hadits) ?.
Kadang kala, sikap
orang-orang Sekularis ini terlihat seakan-akan lebih mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk bagi urusan manusia melebihi Allah SWT
yang telah menciptakannya. Memang patut diakui, orang-orang Sekularis
adalah kebanyakan dari orang-orang yang di kategori cerdas
bahkan dengan gelar pendidikan profesor-doktor yang menyilaukan mata,
tetapi sangat tidak pantas bila mereka lantas merasa lebih tahu urusan
manusia dari pada Allah SWT yang menciptakannya.
Negara Sekuler berarti negara yang mengatur kehidupan warganya tanpa mengikutkan campur tangan nilai-nilai agama, dengan kata lain negara dengan nol agama..
Allah SWT telah memperingatkan terhadap tipu daya orang-orang Sekularis yang artinya :
“Dan bila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. 2:11-12)
Negara Sekuler berarti negara yang mengatur kehidupan warganya tanpa mengikutkan campur tangan nilai-nilai agama, dengan kata lain negara dengan nol agama..
Allah SWT telah memperingatkan terhadap tipu daya orang-orang Sekularis yang artinya :
“Dan bila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. 2:11-12)
Gini deh,Sekularisme adalah memisahkan urusan
dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan
Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan
berdasarkan kesepakatan sosial. Bagaimana mungkin, sedangkan kita
diciptakan oleh Allah Swt. Dan kita ingin menuju ke Jalan yang di
Ridhoi, jalan yang lurus dengan jalan sendirian? Gak pake Allah?
Impossible ya. Ok..Lanjut ya.
2. Lalu apa itu Pluralisme. Pluralisme adalah sebuah paham yang mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat banyak atau tidak tunggal. Ada Pluralisme dalam agama, hukum, moral, filsafat dan lain sebagainya, dalam kajian ini akan kita ambil defenisi
“Hakekat dan keselamatan bukanlah monopoli satu agama tertentu, semua agama menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat agung, menjalankan masing-masing progam agama bisa menjadi sumber keselamatan”
Dari statement diatas bisa Berarti semua pemeluk agama itu masuk Surga.
Dan berikut adalah statement dari orang yang sangat paham tentang Pluralisme tersebut dengan ungkapannya :
“Kalau anda menanyakan apa agama saya, saya tidak perlu menjawabnya, yang penting saya percaya sama Tuhan. Apakah saya menyebutnya Allah seperti orang Islam atau menyebut Yesus seperti orang Kristen menyebut, atau Sidharta Budha Gautama seperti orang Budha menyebutnya. Itu adalah hubungan pribadi saya dengan Tuhan.”
Dari ungkapan itu, tersirat makna bahwa semua agama pada hakekatnya menyembah kepada Tuhan yang sama hanya beda dalam penyebutan, semuanya benar, tidak boleh mengklaim salah satu agama saja yang benar.
Dan berikut adalah statement dari orang yang sangat paham tentang Pluralisme tersebut dengan ungkapannya :
“Kalau anda menanyakan apa agama saya, saya tidak perlu menjawabnya, yang penting saya percaya sama Tuhan. Apakah saya menyebutnya Allah seperti orang Islam atau menyebut Yesus seperti orang Kristen menyebut, atau Sidharta Budha Gautama seperti orang Budha menyebutnya. Itu adalah hubungan pribadi saya dengan Tuhan.”
Dari ungkapan itu, tersirat makna bahwa semua agama pada hakekatnya menyembah kepada Tuhan yang sama hanya beda dalam penyebutan, semuanya benar, tidak boleh mengklaim salah satu agama saja yang benar.
Kalau diambil dari tulisan kami sebelumnya yang berjudul ‘Apa semua agama itu sama?’. Maka jawaban kami adalah Ya Jelas Beda lah.
Masing-masing agama tentu saja berbeda-beda. Dari tata cara
ibadahnya beda, berbeda juga kitab sucinya, dan berbeda hal-hal lainnya
meskipun ada sisi kesamaan tertentu diantaranya.”Coba cermati “Sapi, kerbau, gajah, kambing, domba, rusa, babi, dan anjing adalah binatang yang memiliki empat kaki. Apakah kita bisa mengatakan bahwa sapi sama dengan kerbau, kerbau sama dengan gajah, kambing sama dengan domba, dan seterusnya sehingga semua binatang yang berkaki 4 itu sama?” Ya enggak kan.
Kalau memang jelas berbeda, kenapa mesti disama-samakan? Kalau memang semestinya berbeda kenapa harus diseragamkan? Kalau memang realitanya seluruh agama itu berbeda, kenapa harus disatukan?
Sebagai orang Islam seharusnya kita mengerti bahwa sesuai dgn firman Allah SWT yang artinya :
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih putera Maryam"“… (QS. 5:17)
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata “Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih putera Maryam"“… (QS. 5:17)
Atau, mau menyalahkan Firman ini?
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. 3:19)
Gak kan. Yang harus diingat di dalam benak dan pikiran kita adalah Allah “memberitahukan” kepada manusia melalui nabi dan rasul secara bergantian tidak bersamaan ! Maksudnya apa?
Maksudnya adalah Nabi yang kemudian bertugas “memperbaiki” kemudian tiap tiap yang memperbaiki, pasti kitab kitabnya “dirusak”, “diubah”, atau ”dilempar” oleh manusia. Maka terjadilah distorsi pemikiran.
Sampai Allah telah menetapkan yang “terakhir” dan akan menjaganya sampai akhir zaman. Gak ada yang terdistorsi dan rusak. Apalagi diubah.
Jadi urgensi diutusnya Nabi Muhammad dengan Islam adalah karena umat manusia sebelumnya telah merusak atau mengubah atau melempar ajaran/kitab dari nabi sebelum Nabi Muhammad.
Kalo sekedar toleransi beragama, kita tidak perlu menerima paham pluralisme cukup dengan berpegangan pada kode etik dengan non muslim. Tenang aja, Toleransi yang ada pada Qur’an jauh lebih keren kok.
Ingat ! Pluralisme agama yang saya tulis disini bukan dimaknai dengan adanya toleransi kemajemukan agama, tetapi menyamakan semua agama.
3. Sekarang Liberalisme. Sebenarnya ada banyak macam Liberalisme, ada ekonomi Liberal, politik Liberal, demokrasi Liberal, Kristen Liberal, Islam Liberal dan lain sebagainya, yang akan kita coba tarik defenisinya adalah Islam Liberal. Karena ada kata kata Islam nya maka kita patut ketahui. Karena Islam adalah agama kita.
Islam artinya tunduk patuh atau pasrah dan Liberal artinya bebas, jadi Islam liberal adalah tunduk patuh tapi bebas. Sesungguhnya istilah Islam liberal adalah istilah yang kontradiktif, make sense gak ya, masa tunduk patuh bisa bebas. Jadi kalau ada orang mengatakan “saya adalah penganut Islam Liberal” adalah pengakuan yang keliru lagi keblinger walaupun dia seorang profesor-doktor, mungkin saja pengakuannya supaya terkesan keren, atau mungkin untuk menipu umat Islam dengan istilah-istilah yang keren, Allah SWT berfirman yang artinya :
“sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. 6:112)
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri sedang mereka tidak sadar”. (QS. 2:9)
Namun yang dimaksud Islam Liberal dalam praktek adalah kebebasan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam agar Islam compatible dengan modernitas, compatible dengan perkembangan zaman. Untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan penafsiran ulang atas al-Qur”an, tidak boleh mengikuti metode tafsir ulama-ulama terdahulu, menafsirkan al-Qur”an harus dengan cara kontemporer atau modern, bahkan harus membuang jauh-jauh sunnah Rasulullah saw dan menghujat ulama-ulama besar seperti Imam Syafi”i.
Banyak sekali yang akan dirombak ulang oleh Islam Liberal antara lain menghalalkan khamr dan masih banyak lagi hukum-hukum yang akan dirombak semuanya agar Islam dapat mengikuti dan sesuai dengan perkembangan zaman. Secara umum liberalisme menganggap agama adalah pengekangan terhadap potensi akal manusia. Padahal gak usah dirombak rombak Islam juga sudah Keren. Jadi gak perlu di rombak rombak dengan penyesuaian Zaman.
Sebenarnya Isme isme ini saling terkait. Nih ya…
Pluralisme tidak akan
berkembang tanpa adanya Liberalisme dalam agama, karena banyak sekali
paham-paham Pluralisme yang me-nyimpang dari nash agama, untuk itu agama
perlu ditafsir ulang secara bebas tidak terikat oleh pemahaman
ulama-ulama terdahulu.
Liberalisme tidak akan tumbuh bebas dan subur bila sebuah negara tidak Sekular, karena sifat destruktif atau penghancur dari Liberalisme terhadap ajaran agama akan terlindungi oleh pemerintahan yang Sekular.
Sementara itu, negara Sekular sangat memerlukan warga negara yang Pluralis, karena negara akan benar-benar steril dari campur ta-ngan ajaran agama, pasalnya warga negara yang Pluralis tidak akan lagi berdakwah untuk mengembangkan agamnya, karena dipikirnya untuk apa berdakwah bila seseorang beragama apapun sudah terjamin masuk surga.
Begitu juga negara Sekular akan sangat diuntungkan oleh warganya yang Liberalis dalam bergama, karena banyak sekali nash-nash agama yang menyatakan Sekularisme adalah penghancur agama. Dengan adanya Liberalisme agama, nash-nash tersebut akan berubah makna dengan sendirinya sehingga seakan-akan Sekularisme adalah ajaran agama.
Itulah hubungan keterkaitan antara ketiga isme tersebut, bahkan penganut Sekularisme akan dengan mudah masuk menjadi penganut Pluralisme atau Liberalisme, bahkan satu orang bisa mendapatkan gelar sebagai pejuang Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme.
Liberalisme tidak akan tumbuh bebas dan subur bila sebuah negara tidak Sekular, karena sifat destruktif atau penghancur dari Liberalisme terhadap ajaran agama akan terlindungi oleh pemerintahan yang Sekular.
Sementara itu, negara Sekular sangat memerlukan warga negara yang Pluralis, karena negara akan benar-benar steril dari campur ta-ngan ajaran agama, pasalnya warga negara yang Pluralis tidak akan lagi berdakwah untuk mengembangkan agamnya, karena dipikirnya untuk apa berdakwah bila seseorang beragama apapun sudah terjamin masuk surga.
Begitu juga negara Sekular akan sangat diuntungkan oleh warganya yang Liberalis dalam bergama, karena banyak sekali nash-nash agama yang menyatakan Sekularisme adalah penghancur agama. Dengan adanya Liberalisme agama, nash-nash tersebut akan berubah makna dengan sendirinya sehingga seakan-akan Sekularisme adalah ajaran agama.
Itulah hubungan keterkaitan antara ketiga isme tersebut, bahkan penganut Sekularisme akan dengan mudah masuk menjadi penganut Pluralisme atau Liberalisme, bahkan satu orang bisa mendapatkan gelar sebagai pejuang Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme.
Bahkan para penganjur prularisme, liberalisme
dan sekularisme dalam agama juga telah bertindak terlalu jauh dengan
menganggap bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an (Kitab Suci Umat Islam yang
dijamin keotentikannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) sudah tidak
relevan lagi, seperti contohnya yaitu larangan menikah beda agama, dalam
hal ini antara perempuan Islam dengan laki-laki non-Islam sudah tidak
relevan lagi (Kompas, 18/11/2002).
Kaum ini juga menganggap bahwa al- Qur’an
itu bukanlah firman Allah tetapi hanya merupakan teks biasa seperti
halnya teks-teks lainnya, bahkan dianggap sebagai angan-angan teologis
(al-khayal al-dini). Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh aktifis
Islam liberal dalam website mereka yang berbunyi: ”Sebagian besar kaum
muslimin meyakini bahwa al- Qur’an dari halaman pertama hingga terakhir
merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
verbatim, baik kata-katanya (lafzhan) maupun maknanya (ma’nan).
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan
angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama
sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.” (Website Islam Liberal dan Kami mendapatkan info ini dari Surat keluaran MUI yang mengharamkan paham sekuler, Liberal dan Pluralisme yang telah disebarluaskan dan sangat otentik).
Lalu kita musti gimana nih? Nah, Islam memerintahkan setiap muslim untuk berpegang teguh kepada hukum syara. Al Qur'an memerintahkan agar manusia berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah SWT dan hukum-hukum Allah SWT di akhir jaman adalah risalah yang dibawa Rasulullah Saw, yaitu Al Qur'an dan Sunnah (Al Maidah: 48-49).
Dengan demikian sikap kita seharusnya terhadap ketiga paham itu adalah sebagai berikut:
1. Pahami dulu kalo ternyata Pluralisme,
Sekularisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian
pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
3. Bagi masyarakat muslim yang tinggal
bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang
tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif,
dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain
sepanjang tidak saling merugikan
4. Biasanya mereka menggunakan bahasa yang terasa “maka sense” di akal kita.
Bukankah ada Hadits nya kalau kita harus ber hati hati. Jika 'Make
sense’ dengan akal sehat belum tentu benar dimata Allah. Oleh karenanya
kita diharuskan bertanya kepada yang lebih ahli. Dan Gak usah keren
keren an dgn di modernisasi segala. Islam itu dasarnya sudah KEREN, gak perlu kayak gini gini lagi.
5. Hukum Islam itu untuk membantu kita menuju Kemenangan.
6. Sudah gak usah dipikir lagi, Balik aja deh ke Allah Swt. Kembali ke pedoman hidup kita Al Qur’an dan Hadits.
7. Terus, kita kan tinggal di negara sekuler?
Ya sudah jalanin saja. Yang pasti kita mengerti dan mengambil sikap
saja. Sikap pada diri sendiri, tidak perlu dengan kekerasan atau apapun
itu. Ini ghazwul fikr (perang pemikiran).
Oh iya hampir terlupa, Munas VII Majelis
Ulama Indonesia merasa perlu merespon usul para ulama dari berbagai
daerah agar MUI mengeluarkan fatwa tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekulraisme agama sebagai tuntunan dan bimbingan kepada umat untuk tidak
mengikuti paham-paham tersebut. Dan telah dikeluarkan atau
diterbitkannya fatwa ini. Sebagai pelengkap kami juga akan menulis
mengenai toleransi dalam hukum Islam nantinya.
Nah, begitulah teman teman. Kembali harus
kami ulangi ya. Jika ada yang masih memiliki pemikiran sendiri.
Silahkan. Maksud dari tulisan ini adalah Agar kita lebih paham atau mengerti dan menyadari sepenuhnya. IslamDiaries bukanlah dari paham yang disebutkan atau yang dipaparkan ini dan apalagi IslamDiaries
juga bukan dari kalangan ekstrimis. Karena kami menentang keras aksi
Terorisme atau juga menculik atau menghipnotis untuk memaksakan
kehendaknya. Karena ini adalah ghazwul fikr (perang pemikiran) yang notabene 'Non Fisik’. Insya Allah kita diberikan ilmu yang cukup dan baik agar tidak tergelincir. Amien. Syukron dan Salam
Pustaka buku:1. Zionisme – Gerakan Menaklukan dunia, Alm Z A Maulani (mantan kabakin era Habibi)
2. Ancaman Global freemasonry, Harun Yahya
3. Dajjal dan simbol setan , Toto Tasmara
4. Freemansory di asia tenggara , Abdullah Pattani
5. Mimpi Buruk Kemanusiaan: Sisi-sisi Gelap Zionisme / Ralph Schoenman
6. Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila : Menguak tabir pemikiran politik founding father, Drs Muhammad Thalib & Irfan S. Awwas
7. Suka Duka Gerakan Islam Dunia Arab, Maryam Jameelah
2. Sumber : http://www.muslimdaily.net/artikel/ringan/4930/ide-sesat-sekularismepluralisme-dan-liberalisme http://riolawe.multiply.com/journal/item/144
3. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/01/18/sekularisme-pluralisme-dan-liberalisme/
4. IslamLiberal 101 penulis: @malakmalakmal
Beragamalah diatas dalil bukan dengan akal atau perasaan
Manusia dianugerahi akal dan perasaan oleh Allah. Akal dan perasaan itu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, akal dan perasaan itu harus tunduk kepada dalil-dalil al-Quran dan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam yang shahih. Tidak boleh akal atau perasaan dikedepankan dalam menjalankan syariat Allah.
Jika telah ada dalil yang jelas dalam al-Quran dan hadits Nabi, maka tundukkan akal dan arahkan perasaan untuk patuh dan menurut kepada Allah dan RasulNya. Itu adalah sikap orang beriman dan dengan itu mereka mendapat keberuntungan.
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hanyalah ucapan orang beriman itu jika diajak untuk berhukum dengan (aturan) Allah dan Rasul-Nya mereka berkata: kami mendengar dan kami taat. Mereka itu adalah orang-orang yang beruntung (Q.S anNuur ayat 51)
Setelah jelas dalilnya, orang beriman tidak akan mempertanyakan: Mengapa Allah melarang ini? Mengapa Rasul memerintahkan ini? Mengapa Allah tidak melarang yang ini saja dan memerintahkan yang ini saja? Bukankah ini baik, tapi mengapa Nabi melarangnya?
Itu tidak ada dalam kamus orang beriman. Kecuali bagi orang yang imannya lemah, pergaulannya dengan orang-orang tidak beriman sehingga terpengaruh, atau kaum munafik yang berbaju Islam, pertanyaan ketidakpuasan itu akan muncul pada dirinya.
Kalaupun dibahas, yang dibahas adalah hikmah di balik perintah dan larangan itu, dengan tetap meyakini seyakin-yakinnya bahwa setiap perintah dan larangan Allah pasti mengandung hikmah. Baik manusia mengetahui maupun tidak. Kalaupun manusia mengkaji hikmah di balik itu, ia tidak akan bisa menyingkap hikmah-hikmah lain yang sedemikian banyak yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Kebutuhan orang beriman adalah untuk mengetahui: Apa yang Allah perintahkan kepada kami? Apa yang Allah larang kepada kami? Bagaimana bimbingan Nabi dalam kondisi semacam ini? Kemudian mereka berusaha berbuat sesuai ilmu itu.
Itulah yang ditanyakan para Sahabat Nabi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi adalah pertanyaan dengan niat untuk beramal. Bukan pertanyaannya orang Yahudi yang juga sering tanya kepada Nabi dengan tujuan untuk mengetes atau menguji. Kalau sudah tahu, cukup diketahui, tidak diamalkan. Karena itu mereka mendapat kemurkaan Allah.
Setelah jelas dalil bagi para Sahabat Nabi, mereka bersegera beramal dengan ilmunya itu. Mereka tidak akan mengedepankan akal dan perasaan mereka untuk menolak dalil yang sudah jelas.
Umar bin al-Khotthob radhiyallahu anhu pernah berkata kepada batu hitam (hajar aswad): “Sungguh aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak bisa memberi manfaat dan menolak bahaya. Kalaulah aku tidak melihat Nabi shollallahu alaihi wasallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Umar berhasil mengalahkan akal dan perasaannya untuk menjadi pengikut Nabi yang sebenarnya. Padahal secara akal, untuk apa sih, batu kok dicium, apa manfaatnya apa tujuannya. Secara perasaan juga kadang kurang pas. Untuk apa cium batu.
Tapi karena sudah jelas dalilnya, maka Umar menjalankan itu. Dalilnya adalah Nabi pernah melakukannya. Cukup. Perbuatan Nabi adalah dalil. Ucapan Nabi adalah dalil.
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu juga mencontohkan kepada kita bagaimana menundukkan akal untuk ikut dalil. Beliau menyatakan:
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ
Kalau seandainya agama itu patokannya dengan ra’yu (akal), niscaya bagian bawah khuf (sandal/ sepatu) lebih berhak diusap dibandingkan bagian atasnya. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengusap bagian atas khufnya (riwayat Abu Dawud, dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Kalau seandainya patokan agama Islam bukan dalil, tapi dengan akal, niscaya mengusap khuf harusnya bagian bawahnya, bukan bagian atas. Karena bagian bawah lebih dominan terkena kotoran karena bersentuhan langsung dengan tanah. Sedangkan secara akal, tujuan mengusap khuf adalah untuk membersihkan. Namun karena dalil dari Nabi tidak demikian, maka akal ditundukkan harus patuh dan nurut mengikuti dalil. Mengusap khuf saat wudhu adalah pada bagian atasnya.
Perasaan juga tidak boleh dikedepankan dalam menjalankan Dien ini. Perasaan tidak enak, perasaan sungkan, perasaan takut, perasaan kasihan, dan sejenisnya, harus dikalahkan untuk menerapkan dalil.
Kalau sudah jelas terbukti bahwa seorang laki-laki atau wanita berzina dan mereka belum pernah menikah, sudah sampai berita kepada Waliyyul Amri (pemerintah muslim) dan ditegakkan hukum Islam kepada mereka dengan didera/ dicambuk 100 kali, maka jangan kedepankan perasaan: Waduh kasihan ya. Sebaiknya jangan dihukum saja.
Jangan kedepankan perasaan dalam agama Allah:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Wanita pezina dan laki-laki pezina (yang belum pernah menikah), cambuklah masing-masing dari keduanya 100 kali. Jangan timbul belas kasihan kepada keduanya dalam agama Allah. Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaknya hukuman tersebut disaksikan oleh sekelompok orang beriman (Q.S anNuur ayat 2)
Kalau sudah jelas dalilnya bahwa itu haram, bahwa itu bid’ah, bahwa itu syirik, maka buang perasaan-perasaan yang akan menghambat kita untuk menghindarinya.
“Iya memang ini bid’ah dan sudah jelas, tapi bagaimana ya, apa kata orang nanti kalau saya tidak ikut”.
“Iya, memang kelompok itu sesat. Saya tahu sendiri kesesatannya. Tapi bagaimana ya. Saya ndak enak kalau harus berpisah dengan teman-teman yang sudah lama akrab dengan saya dan banyak berbuat baik pada saya”.
Itu beberapa contoh, perasaan lebih dominan dan akan mengalahkan dalil yang sudah diketahuinya. Bukannya perasaan ditundukkan untuk ikut dalil, tapi dalil dipaksa untuk memaklumi perasaannya.
Abu Tholib dalam hatinya sudah sangat yakin bahwa ajaran keponakannya, Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah benar, tapi karena perasaan ‘nggak enak omongan orang’ akhirnya ia tetap berada dalam kekafiran. Ia takut, “apa kata orang-orang Quraisy nanti kalau saya ikut ajaran keponakan saya dan meninggalkan agama ayah saya”. Begitu seterusnya, hingga saat akan meninggal dunia Abu Tholib ditalqin, didikte untuk membaca Laa Ilaaha Illallah oleh Nabi, tapi karena pada saat yang bersamaan di sisi dia ada Abu Jahl dan Abdullah bin Abi Umayyah yang terus mengatakan: Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muthholib?!
Abu Tholib sungkan dan nggak enak, mengedepankan perasaannya, hingga akhirnya meninggal dalam kekafiran. Padahal sudah jelas-jelas ia yakin Laa Ilaaha Illallah itu benar. Tapi karena perasaan nggak enak, takut omongan orang, maka ia meninggal dalam keadaan kafir. Subhaanallah, sungguh kerugian yang nyata akibat mengedepankan perasaan dalam beragama.
Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan taufiq kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mampu menundukkan akal dan perasaan kita agar patuh kepada al-Quran dan hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam.
(Abu Utsman Kharisman)
Sumber : WA al-I’tishom
Minggu, 20 Juni 2010
Agama Dibangun Bukan Berdasarkan Akal
Menuntut
ilmu agama tidak cukup bermodal semangat saja. Harus tahu pula
rambu-rambu yang telah digariskan syariat. Tujuan agar tidak bingung
menghadapi seruan dari banyak kelompok dakwah. Dan yang paling penting
tidak terjatuh kepada pemahaman yang menyimpang.
Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:
Tidak mengambil ilmu dari sisi akal atau rasio karena agama ini adalah wahyu dan bukan hasil penemuan akal. Allah berkata kepada Nabi-Nya:
“Katakanlah : ‘sesungguh aku memberi peringataan kepada kalian dengan wahyu.’.(QS. Al Anbiya : 45).
Dan tidaklah yang diucapkan Nabi itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.
Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkan pun lemah.
Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akal di hadapan keduanya.
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Seandai agama ini dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.”
Hujjah yang paling baik tentang bolehnya mengusap di atas khuf ialah riwayat Imam Muslim, dari Al-A'Masy dari Ibrahim dari Hammam berkata, "Jarir kencing kemudian berwudhu' dan mengusap di atas kedua khufnya. Lalu ia ditanya, 'Kamu melakukan ini?' Jawabnya, 'Ya,' (karena) saya pernah melihat Rasulullah saw. kencing lalu berwudhu' dengan mengusap di atas kedua khufnya."?
Al-A'masy bertutur bahwa Ibrahim menegaskan, "Adalah para ulama terkagum oleh hadits ini, karena Jarir masuk Islam setelah turunnya surah al-Maaidah." (Shahih: Mukhtashar Muslim no:136, Muslim I:227 no:272 dan Tirmidzi I:63 no:93).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf atau kaos kaki atau sepatu ketika berwudhu dan tidak perlu mencopot jika terpenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atas bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawah karena itulah yang kotor.
Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalah terkadang akal tidak memahami hikmah seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.
Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendak kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.
Ada ungkapan yang sering dikatakan oleh masyarakat kita;
Yang pentingkan niatnya baik.........
Ucapan ini sangat populer dan sudah sangat familiar, sebenarnya ucapan inilah yang bertendensi kepada hawa nafsu dan akal semata.
Sungguh berbeda antara wahyu yang bersumber dari Allah Dzat yang Maha Sempurna yang sudah pasti wahyu tersebut memiliki kesempurnaan dibanding akal yang berasal dari manusia yang bersifat lemah dan yang dihasilkan pun lemah.
Jadi tidak boleh bagi siapapun meninggalkan dalil yang jelas dari Al Qur’an ataupun hadits yang shahih karena tidak sesuai dengan akalnya. Seseorang harus menundukkan akal di hadapan keduanya.
Ali bin Abi Thalib berkata:
“Seandai agama ini dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku melihat Rasulullah mengusap bagian atas khuf-nya.”
Hujjah yang paling baik tentang bolehnya mengusap di atas khuf ialah riwayat Imam Muslim, dari Al-A'Masy dari Ibrahim dari Hammam berkata, "Jarir kencing kemudian berwudhu' dan mengusap di atas kedua khufnya. Lalu ia ditanya, 'Kamu melakukan ini?' Jawabnya, 'Ya,' (karena) saya pernah melihat Rasulullah saw. kencing lalu berwudhu' dengan mengusap di atas kedua khufnya."?
Al-A'masy bertutur bahwa Ibrahim menegaskan, "Adalah para ulama terkagum oleh hadits ini, karena Jarir masuk Islam setelah turunnya surah al-Maaidah." (Shahih: Mukhtashar Muslim no:136, Muslim I:227 no:272 dan Tirmidzi I:63 no:93).
Pada ucapan beliau ada keterangan bahwa dibolehkan seseorang mengusap bagian atas khuf atau kaos kaki atau sepatu ketika berwudhu dan tidak perlu mencopot jika terpenuhi syarat sebagaimana tersebut dalam buku-buku fikih. Yang jadi bahasan kita disini adalah ternyata yang diusap justru bagian atas bukan bagian bawahnya. Padahal secara akal yang lebih berhak diusap adalah bagian bawah karena itulah yang kotor.
Ini menunjukkan bahwa agama ini murni dari wahyu dan kita yakin tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat dan fitrah yang selamat. Masalah terkadang akal tidak memahami hikmah seperti dalam masalah ini. Bisa jadi syariat melihat dari pertimbangan lain yang belum kita mengerti.
Jangan sampai ketidakmengertian kita menjadikan kita menolak hadits yang shahih atau ayat Al Qur’an yang datang dari Allah yang pasti membawa kebaikan pada makhluk-Nya. Hendak kita mencontoh sikap Ali bin Abi Thalib di atas.
Ada ungkapan yang sering dikatakan oleh masyarakat kita;
Yang pentingkan niatnya baik.........
Ucapan ini sangat populer dan sudah sangat familiar, sebenarnya ucapan inilah yang bertendensi kepada hawa nafsu dan akal semata.
Abul Mudhaffar As Sam’ani menerangkan
Akidah Ahlussunnah katanya: “Adapun para pengikut kebenaran mereka
menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka mencari agama dari
keduanya. Adapun apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka
hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan
keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah yang telah
memperlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik. Tapi kalau mereka
dapati tidak sesuai dengan kedua mereka meninggalkan dan mengambil
Kitab dan Sunnah lalu menuduh salah terhadap akal mereka. Karena
sesungguhnya keduanya tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang haq
sedangkan pendapat manusia kadang benar kadang salah.”
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
Ibnul Qoyyim menyimpulkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
a. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
b. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash serta memahami dan mengambil hukum darinya.
c. Pendapat akal yang berakibat menolak asma’ Allah sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
d. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya Sunnah
e. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik dan prasangka.
Adapun pendapat akal yang terpuji
secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap
mengutamakan dalil syariat. Akal mengikuti wahyu, bukan wahyu yang
mengikuti akal.
SEANDAINYA AGAMA DIBANGUN BERDASARKAN AKAL, MAKA MASING-MASING ORANG BEBAS MEMBUAT ATURAN AGAMANYA. BEBAS MEMBUAT ATURAN, MANA YANG SESUAI AKAL DAN SELERANYA.
Adapun Hadits yang mengatakan bahwa Agama itu akal;
SEANDAINYA AGAMA DIBANGUN BERDASARKAN AKAL, MAKA MASING-MASING ORANG BEBAS MEMBUAT ATURAN AGAMANYA. BEBAS MEMBUAT ATURAN, MANA YANG SESUAI AKAL DAN SELERANYA.
Adapun Hadits yang mengatakan bahwa Agama itu akal;
"Agama adalah akal. Siapa yang tidak beragama, berarti dia tidak berakal."
Imam Nasa'i mengatakan bahwa hadits ini bathil, mungkar, karena di dalam sanadnya ada yang bernama Bisyr bin Ghalib, dia adalah seorang yang majhul [tidak diketahui biografinya]. Syaikh Al Albani menyatakan hal senada. Demikian juga Imam Al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani berkata : Seluruh hadits yang menyatakan tentang keutamaan akal adalah maudhu' [palsu]
Wallahu a'lam
Anwar Baru Belajar
Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
Pertanyaan
Ayat-ayat mana saja dalam
al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir? Tolong jelaskan ayat-ayat
yang menyinggung tentang berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran?
Jawaban Global
Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran,
pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang
disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini
kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran
terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran.
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis. Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
Akal dan pikiran merupakan karunia paling mulia yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Orang-orang yang tidak berpikir dan menolak untuk menghamba kepada Tuhan, dipandang sebagai mahkluk yang lebih buruk daripada binatang.[1] Akal dalam pandangan al-Quran dan riwayat, bukanlah semata-mata akal kalkulatif dan logika Aristotelian. Keduanya meski dapat menjadi media bagi akal namun tidak mencakup semuanya.
Karena itu, berulang kali al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan orang tidak berpikir, atau tidak menggunakan akalnya; sementara kita tahu bahwa kebanyakan manusia melakukan pekerjaannya dengan berhitung dan kalkulatif pada seluruh urusannya.
Memandang sama akal dan berpikir kalkulatif merupakan sebuah kesalahan epistemologis. Bahkan melakukan komparasi dan memiliki kemampuan berhitung semata-mata merupakan salah satu media permukaan akal yang lebih banyak berurusan pada masalah angka-angka dan kuantitas.
Namun untuk mencerap realitas-realitas segala sesuatu, baik dan buruk, petunjuk dan kesesatan, kesempurnaan dan kebahagiaan, dan lain sebagainya diperlukan cahaya yang disebut sebagai sebuah anasir Ilahi yang terpendam dalam diri manusia. Anasir ini adalah akal dan fitrah manusia dalam artian sebenarnya. Sebagaimana sesuai dengan sabda Imam Ali As bahwa nabi-nabi diutus adalah untuk menyemai khazanah akal manusia.[2]
Dalam Islam, akal dan agama[3] adalah satu hakikat tunggal dan sesuai dengan sebagian riwayat, dimanapun akal berada maka agama akan selalu mendampingi,[4] tidak ada jarak yang terbentang antara iman dan kekurufan kecuali dengan kurangnya akal.[5]
Menggunakan pikiran dan akal dapat digunakan di jalan benar dan tepat apabila digunakan dalam rangka ibadah dan penghambaan. Imam Shadiq As ditanya tentang apakah akal itu?” Imam Shadiq As menjawab, “Sesuatu yang dengannya Tuhan disembah dan surga diraih.”[6]
Berdasarkan hal ini, harap diperhatikan, berpikir dalam al-Quran tidak serta merta bermakna menggunakan akal yang dikenal secara terminologis. Tatkala al-Quran menyeru untuk berpikir dan merenung dalam rangka penghambaan yang lebih serta terbebas dari belenggu kegelapan dan kesilaman jiwa, boleh jadi merupakan salah satu tanda berpikir dan berasionisasi.
Dalam pandangan ini, kedudukan akal dan pikiran sedemikian tinggi dan menjulang sehingga Allah Swt dalam al-Quran, tidak sekali pun menyuruh hamba-Nya untuk tidak berpikir atau menempuh jalan secara membabi buta.[7]
Menurut Allamah Thabathabai, Allah Swt dalam al-Quran menyeru manusia sebanyak lebih dari tiga ratus kali untuk menggunakan dan memberdayakan anugerah pemberian Tuhan ini,[8] dimana ayat-ayat ini dapat diklasifikasikan secara ringkas sebagaimana berikut:
- Mencela secara langsung manusia yang tidak mau berpikir:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, Allah Swt menghukum manusia disebabkan
karena mereka tidak berpikir. Dengan beberapa ungkapan seperti, “afalâ ta’qilun”, “afalâ tatafakkarun”, “afalâ yatadabbaruna al-Qur’ân”,[9] Allah Swt mengajak mereka untuk berpikir dan menggunakan akalnya.
- Ajakan untuk berpikir dalam pembahasan-pembahasan tauhid:
Allah Swt menggunakan ragam cara untuk mengajak manusia berpikir tentang keesaan Allah Swt; seperti pada ayat, “Sekiranya
ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya
itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari
apa yang mereka sifatkan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:22)[10] dan “Katakanlah,
“Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat
memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu?
Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
Al-Maidah [5]:76) serta ayat-ayat yang menyinggung tentang kisah Nabi
Ibrahim As dalam menyembah secara lahir matahari, bulan dan
bintang-bintang, semua ini dibeberkan sehingga manusia-manusia jahil
dapat tergugah pikirannya terkait dengan ketidakmampuan tuhan-tuhan
palsu.[11] Dengan demikian, Allah Swt mengajak manusia untuk merenungkan dan memikirkan ucapan dan ajakan para nabi, “Apakah
mereka tidak memikirkan bahwa teman mereka (Muhammad) tidak berpenyakit
gila? Ia (Muhammad itu) tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan
yang nyata (yang bertugas mengingatkan umat manusia terhadap tugas-tugas
mereka). “(Qs. Al-A’raf [7]:184); “Katakanlah, “Sesungguhnya
aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu
menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri;
kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila
sedikit pun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan
bagimu sebelum (menghadapi) azab yang keras.” (Qs. Al-Saba [34]:46)
- Penciptaan langit-langit dan bumi serta aturan yang berkuasa atas seluruh makhluk:
Mencermati langit dan bumi serta keagungannya, demikian juga aturan
yang berlaku pada unsur-unsur alam natural, merupakan salah satu jalan
terbaik untuk memahami keagungan Peciptanya. Allah Swt dengan menyeru
manusia untuk memperhatikan dan mencermati fenomena makhluk, sejatinya
mengajak mereka untuk berpikir tentang Pencipta makhluk-makhluk
tersebut. Misalnya pada ayat, “Dia-lah yang menciptakan segala yang
ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan langit,
lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:29)[12] dan “Apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana dia diciptakan.” (Qs. Al-Ghasiyah [88]:17)
- Penalaran terhadap adanya hari Kiamat:
Inti keberadaan hari Kiamat dan bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk
membangkitkan manusia setelah kematian mereka didasarkan argumen-argumen
rasional. Pada kebanyakan ayat al-Quran, kemungkinan adanya hari Kiamat
dinyatakan dalam bentuk ajakan untuk berpikir pada contoh-contoh yang
serupa; seperti datangnya para wali manusia,[13] hidupnya kembali bumi dan tumbuh-tumbuhan,[14] kisah hidupnya burung-burung sebuah jawaban atas permintaan Nabi Ibrahim AS,[15] kisah Ashabul Kahfi,[16] kisah Nabi Uzair[17] dan masih banyak contoh lainnya.
- Isyarat terhadap sifat-sifat Allah Swt:
Pada kebanyakan ayat al-Quran dengan menyinggung sebagian sifat Allah
Swt, manusia diajak untuk berpikir tentang Allah Swt dan tentang amalan
perbuatan mereka. Sifat-sifat seperti, Qadir, Malik, Sami’ dan Bashir dengan baik menunjukkan atas isyarat ini. Seperti, “Tidakkah
mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan
bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang gaib?” (Qs. Al-Taubah [9]:78)[18] dan ayat-ayat dimana Allah Swt memperkenalkan dirinya sebagai saksi atas amalan-amalan kita, seperti, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah? Padahal Allah Maha Menyaksikan apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Ali Imran [3]:98)[19]
jelas bahwa ayat-ayat ini tengah membahas tentang prinsip-prinsip
akidah; seperti tauhid, kenabian, ma’ad dan keadilan Ilahi. Ayat-ayat
ini adalah ayat-ayat rasional yang termaktub dalam al-Quran. Karena
prinsip-prinsip akidah bertitik tolak dari pembahasan-pembahasan
rasional yang harus ditetapkan dengan berpikir dan menggunakal akal.
Taklid dalam hal ini tidak dibenarkan.
- Menjelaskan ragam kisah dan azab yang diturunkan akibat dosa-dosa kaum-kaum terdahulu:
Harap diperhatikan menjelaskan kisah-kisah kaum terdahulu yang
disampaikan dalam al-Quran, bukan dimaksudkan untuk sekedar menjelaskan
satu kisah atau kisah yang membuat manusia larut di dalamnya, melainkan
sebuah pelajaran berharga untuk umat selanjutnya. Atau dengan menelaah
nasib dan peristiwa yang menimpa mereka, manusia seyogyanya berpikir
tentang akhir dan pengaruh amalan perbuatan mereka sehingga dapat
menuntun manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang sama; seperti
kisah Nabi Yusuf,[20] kisah yang sarat dengan pelajaran wanita-wanita para nabi,[21] azab-azab yang turun untuk kaum Ad, Tsamud dan Luth.[22]
- Menjelaskan mukjizat-mukjizat para nabi:
Jalan terbaik untuk menetapkan kebenaran seorang nabi dan klaim risalah
yang dibawanya dari sisi Allah Swt adalah mukjizat. Mukjizat hanya
dapat menetapkan klaim kenabian seorang nabi tatkala hal itu berada di
luar kemampuan dan kekuatan manusia; karena itu demonstrasi mukjizat
merupakan sebuah ajakan nyata kepada manusia untuk berpikir sehingga
manusia dengan berpikir terhadap ketidakmampuannya dan kekuatan mukjizat
ia beriman kepada ucapan-ucapan para nabi; seperti mukjizat terbesar
Nabi Muhammad Saw, al-Quran yang akan tetap abadi selamanya dan manusia
dengan berpikir dan ber-tafakkur pada ayat-ayatnya dapat meraih iman
pada kebenaran nabi pamungkas,[23] dan mukjizat-mukjizat agung yang diriwayatkan dari para nabi ulul azmi.[24]
- Tantangan dalam al-Quran:
Salah satu contoh ajakan dan seruan al-Quran untuk berpikir adalah
tantangan kepada orang-orang kafir untuk menghadirkan seperti ayat-ayat
al-Quran. Tatkala manusia mencari kebenaran, mereka menjumpai
ketidakmampuan orang-orang kafir sepanjang tahun ini, mereka beriman
kepada kebenaran al-Quran dan pembawa pesannya; seperti ayat, “Dan
jika kamu (tetap) meragukan Al-Qur'an yang telah Kami turunkan kepada
hamba Kami (Muhammad), maka buatlah (paling tidak) satu surah saja yang
semisal dengan Al-Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah (untuk melakukan hal itu), jika kamu orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:23)[25]
- Mencela taklid buta:
Pada kebanyakan ayat al-Quran, orang-orang kafir untuk mencari
pembenaran atas tindakannya menyembah berhala, tidak mau berpikir dan
sebagai gantinya menjadikan taklid buta dari datuk-datuknya sebagai
pembenar atas perbuatan-perbuatan mereka. Allah Swt mencela mereka
karena tidak mau memanfaatkan kemampuan akal dan menyeru mereka untuk
berpikir dan merenung dalam masalah-masalah akidah; misalnya pada ayat,
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah
diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya
mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek
moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang
mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al-Baqarah [2]:170)[26] sebagaimana Allah Swt mencela Ahlulkitab disebabkan akidah-akidah batil dan taklid buta mereka, “Katakanlah,
“Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas)
dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari
jalan yang lurus.” (Qs. Al-Maidah [5]:77)
- Meminta argumentasi di hadapan ucapan-ucapan tak berguna:
Tatkala Allah Swt di hadapan ucapan-ucapan tak berguna dan tidak benar
sebagian manusia, menuntut dalil dan burhan, dan dengan lugas meminta
seluruh manusia untuk tidak mengikut sesuatu yang tidak ada pengetahuan
tentangnya;[27]
artinya Allah Swt menginginkan seluruh manusia menjadikan akalnya
sebagai panglima untuk memutuskan di hadapan pelbagai khurafat dan
hal-hal nonsense dan meminta argumentasi dari mereka; seperti, “Dan
mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan
pernah masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau
Nasrani.” Demikian itu (hanyalah) angan-angan kosong mereka belaka.
Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang
yang benar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:111)[28] Demikian juga para nabi meminta argumentasi di hadapan klaim-klaim kosong seperti,
“Apakah engkau tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan)? Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku adalah Dzat yang dapat
menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Saya juga dapat
menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari
barat.” Lalu, orang yang kafir itu terdiam (seribu bahasa); dan Allah
tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” Qs. Al-Baqarah [2]:258)
- Menggunakan penyerupaan dan permisalan dalam memotivasi dan mencela manusia:
Allah Swt pada kebanyakan ayat mengajak manusia untuk berpikir dengan
menggunakan penyerupaan sehingga ia mau merenung atas apa perbuatanya;
seperti, “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka
mengetahui.” (Qs. Al-Ankabut [29]:41)[29]
- Mengingatkan pelbagai nikmat:
Allah Swt dalam al-Quran dengan mengingatkan pelbagai nikmat, meminta
manusia untuk menjauhi sikap angkuh dan memuja diri serta tidak
melupakan kedudukan penghambaan dan ibadah. Metode mengajak berpikir
seperti ini kebanyakan digunakan untuk kaum Bani Israel; seperti, “Wahai
Bani Isra’il, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwa Aku telah mengutamakan kamu atas
segala umat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:47 & 122) dan Tanyakan kepada Bani Isra’il, “Berapa
banyakkah tanda-tanda (kebenaran) nyata yang telah Kami berikan kepada
mereka.” Dan barang siapa yang merubah nikmat Allah setelah nikmat itu
datang kepadanya, sesungguhnya Allah sangat keras siksa-Nya” &
Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu ayat-ayat-Nya supaya kamu
merenungkan. (Qs. Al-Baqarah [2]:211 & 242) dan pada hari kiamat akan menjadi hari tatkala seluruh anugerah ini akan ditanya.”[30]
- Membandingkan antara manusia dengan memperhatikan pikiran dan perbuatannya:
Tatkala seorang berakal melakukan perbandingan antara dua hal, pada
hakikatnya ingin menjelaskan tipologi dan pengaruh positif dan negative
masing-masing dari dua hal yang dibandingkan. Membandingkan antara
orang-orang beriman dan orang-orang kafir juga merupakan seruan nyata
Allah Swt kepada manusia untuk berpikir dan berenung, sehingga manusia
yang berpikir dapat menimbang akibat orang-orang beriman dan orang-orang
kafir, kemudian menemukan jalannya; seperti ayat, “Sesungguhnya
telah ada tanda (dan pelajaran) bagimu pada dua golongan yang telah
bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan
(segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat
(seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali lipat jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai mata hati.” (Qs. Ali Imran [3]:13)[31]
- Menuntaskan hujjah:
Tatkala mengirimkan pelbagai mukjizat, ayat-ayat, dan tanda-tandanya
yang beragam, Tuhan telah menuntaskan hujjah bagi para hamba-Nya dan
memberikan kepada mereka janji-janji pahala dan azab, pada hakikatnya
mereka diseur untuk berpikir dan berenung sehingga manusia mau menimbang
segala yang dilakukan dan dikerjakannya. Para nabi juga tidak
mendatangi para umatnya kecuali menuntaskan hujjat dengan pelbagai
dalil, argument dan tanda-tanda, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami dan mukjizat yang nyata” (Qs. Hud [11]:96) tatkala mereka menolak untuk menjadi hamba, tidak akan diampuni, “Sesungguhnya
Musa telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti kebenaran
(mukjizat), kemudian kamu menjadikan anak sapi (sebagai sembahan)
setelah ia pergi, dan sebenarnya kamu adalah orang-orang yang zalim
& Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) setelah datang
kepadamu bukti-bukti kebenaran yang nyata, maka ketahuilah, bahwasanya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah [2]:92 & 209)[32] seluruh hujjah tidak terkhusus untuk para pendosa saja, melainkan mencakup seluruh nabi, “Dan
sebagaimana (Kami telah menurunkan kitab kepada para nabi sebelum
kamu), Kami (juga) telah menurunkan Al-Qur’an itu (kepadamu) sebagai
peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti
hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali
tidak memiliki pelindung dan penolak pun dari (siksa) Allah.” (Qs. Al-Ra’d [13]:37)[33]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35] [iQuest]
Pada akhirnya, al-Quran mendeskripsikan kondisi orang-orang yang enggan berpikir dan tidak mau mendengarkan ucapan-ucapan para nabi dan imam, “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Mulk [67]:10)[34] dan karena mereka memiliki akal dan mereka sendiri dapat memberikan penilaian, maka Allah Swt, dengan menyerahkan catatan amalan akan meminta mereka menilai sendiri atas apa saja yang telah mereka kerjakan.[35] [iQuest]
[1]. “Sesungguhnya
binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah
orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” (Qs. Al-Anfal [8]:22)
[2]. Nahj al-Balâgha, (Subhi Shaleh), hal. 43, Intisyarat Hijrat, Qum, 1414 H.
[3]. Akal dan Agama, 4910; Hubungan Akal dan Agama, 12105.
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil, 1, hal. 10, Diedit oleh Ghaffari dan Akhundi, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[5]. Ibid, hal. 28.
[6]. Ibid, hal. 11.
[7]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat jawaban 26661 yang terdapat pada site ini.
[8]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 3, hal. 57, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.
[9]. “Apakah kalian tidak berpikir” redaksi kalimat ini dan redaksi kalimat yang serupa digunakan sebanyak 20 kali dalam al-Quran.
[10]. Dan ayat-ayat serupa pada surah al-Mukminun “Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang
lain) beserta-Nya. Kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu
akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan
itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka sifatkan itu.” [23]:91)
[11]. “Ketika
malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata,
“Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata,
“Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala ia melihat
bulan terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu
terbenam, ia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” Kemudian
tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, “Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar.” Tatkala matahari itu telah terbenam, ia berkata, “Hai
kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan.” (Qs. Al-An’am [6]:76-78)
[12].
Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Yunus [10]:5); (Qs. Al-Mulk [67]:3
& 4); (Qs. Al-Baqarah [2]:3 & 4); (Qs. Al-Mukminun [23]:69 &
80) dan seterusnya; Allah Swt pada ayat 190 surah Ali Imran menyebut
orang-orang yang memikirkan tanda-tanda Ilahi sebagai “ulul albab” yaitu orang-orang yang berpikir.
[13]. “Kawannya
(yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya,
“Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang
laki-laki yang sempurna?” (Qs. Al-Kahf [18]:37); “Hai manusia,
jika kamu ragu tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah)
sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari
setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal
daging yang sebagiannya berbentuk dan sebagian yang lain tidak
berbentuk, agar Kami jelaskan kepadamu (bahwa Kami Maha Kuasa atas
segala sesuatu), dan Kami tetapkan dalam rahim (ibu) janin yang Kami
kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, supaya (dengan berangsur-angsur) kamu sampai kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) yang
dipanjangkan umurnya sampai pikun, sehingga dia tidak mengetahui lagi
sesuatu pun yang dahulunya telah ia ketahui. Dan (dari sisi lain) kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di
atasnya, bumi itu hidup dan tumbuh subur dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Qs. Al-Hajj [22]:5)
[14]. “Dan
Dia-lah yang mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebelum
kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa
awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan
hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu
pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan
orang-orang yang telah mati (pada hari kiamat), mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran.” (Qs. Al-A’rafa [7]:57); (Qs. Al-Rum [30]:50); (Qs. Fathir [35]:9) dan lain sebagainya.
[15]. (Qs. Al-Baqarah [2]:260)
[16]. (Qs. Al-Kahf [18]:9-25)
[17]. (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[18]. (Qs. Al-Taubah [9]:78); (Qs. Al-Baqarah [2]:96 & 107)
[19]. (Qs. Ali Imran [3]:98); (Qs. Al-Nisa [4]:33 & 166)
[20]. Surah Yusuf mengulas kisah ini secara rinci.
[21]. (Qs. Al-Tahrim [66]:4, 10 dan 11)
[22]. Seperti ayat-ayat, (Qs. Al-Fushilat [41]:13-17) dan (Qs. Al-A’raf [7]:80-84)
[23]. Mukjizat Rasulullah SAW lainnya pada (Qs. Al-Isra [17]:1 & 88); (Qs. Al-Qamar []:1)
[24].
Mukjizat-mukjizat Nabi Nuh As pada (Qs. Al-Ankabut [29]:15);
Mukjizat-mukjizat Nabi Ibrahim As pada (Qs. Al-Anbiya [21]:69);
Mukjizat-mukjizat Nabi Musa As pada (Qs. Thaha [20]:17-20) dan (Qs.
Al-Qashash [28]:32) dan (Qs. Al-Baqarah [2]:50); Mukjizat-mukjizat Nabi
Isa As pada (Qs. Al-Maidah [5]:110)
[25]. Dan ayat-ayat lainya seperti (Qs. Yunus [10]:38) dan (Qs. Hud [11]:13)
[26]. Dan seperti ayat-ayat (Qs. Al-Maidah [5]:53 & 54); (Qs. Al-Syua’ara [26]:74); (Qs. Al-Zukhruf [43]:23)
[27]. (Qs. Al-Isra [17]:36)
[28]. Ketika Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya, “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, mereka akan ditimpa siksa disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (Qs. Al-An’am [6]:49)
[29].
Dan ayat-ayat lainnya seperti (Qs. Al-Jumu’ah []:5); (Qs. Al-Baqarah
[2]:26, 171, 261, dan 265); (Qs. Ali Imran [3]:118) dan (Qs. Al-A’raf
[7]:176)
[30]. “Kemudian pada hari itu kamu pasti akan ditanyai tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (Qs. Al-Takatsur [102]:8)
[31].
(Qs. Al-Maidah [5]:50); (Qs. Al-An’am [6]:50); (Qs. Hud [11]:24);
demikian juga perbandingan orang-orang mujahid dan orang-orang yang
tidak berjihad pada surah al-Nisa:95)
[32]. (Qs. Al-Nisa [4]:153); (Qs. Al-Maidah [5]:32)
[33]. Demikian juga “(Dan
sesungguhnya jika kamu mendatangkan seluruh ayat (bukti) kepada
orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah diberi al-Kitab (Taurat dan
Injil) itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak
(berhak) mengikuti kiblat mereka, dan sebagian mereka pun tidak akan
mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika kamu mengikuti keinginan
mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu
termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Baqarah [2]:145)
[34].
Jelas bahwa yang dimaksud dengan mendengarkan di sini bukanlah taklid
buta, melainkan mendengarkan berdasarkan pemikiran dan perenungan.
[35]. Menyinggung ayat
“Adapun orang-orang yang menerima kitab (amal)nya dengan tangan kanan,
maka dia berkata (lantaran bahagia dan bangga), “Ambillah, bacalah
kitabku (ini) & Adapun orang yang menerima kitab (amal)nya dengan
tangan kiri, maka dia berkata, “Wahai alangkah baiknya kiranya kitabku
ini tidak diberikan kepadaku.” (Qs. Al-Haqqa [69]: 19 & 25 ).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan