Isnin, 18 Mei 2015

MURTAD...KELUAR ISLAM




















Murtad Dalam Islam

Oleh: Maulana Muhammad Ali
 [Benarkah hukuman Murtad dalam Islam adalah halal darahnya? Bukankah Tak ada paksaan dalam Agama Islam, berikut ini kami sajikan artikel dari Islamologi untuk menghilangkan kesalah-pahaman bahwa Islam adalah agama kekerasan agama intoleransi serta agama yang brutal. Untuk melengkapi pengetahuan tentang masalah ini ada baiknya juga membaca artikel: Jihad dan Jizyah ]
Kata murtad berasal dari kata irtadda menurut wazan ifta’ala, berasal dari kata radda yang artinya: berbalik. Kata riddah dan irtidad dua-duanya berarti kembali kepada jalan, dari mana orang datang semula. Tetapi kata Riddah khusus digunakan dalam arti kembali pada kekafiran, sedang kata irtidad digunakan dalam arti itu, tapi juga digunakan untuk arti yang lain (R), dan orang yang kembali dari Islam pada kekafiran, disebut murtad. Banyak sekali terjadi salah paham terhadap masalah murtad ini, sama seperti halnya masalah jihad. Pada umumnya, baik golongan Muslim maupun non-Muslim, semuanya mempunyai dugaan, bahwa menurut Islam, kata mereka, orang murtad harus dihukum mati. Jika Islam tak mengizinkan orang harus dibunuh karena alasan agama, dan hal ini telah diterangkan di muka sebagai prinsip dasar Islam, maka tidaklah menjadi soal tentang kekafiran seseorang, baik itu terjadi setelah orang memeluk Islam ataupun tidak. Oleh sebab itu, sepanjang mengenai kesucian nyawa seseorang, kafir dan murtad itu tak ada bedanya.
Persoalan murtad menurut Qur’an
Qur’an Suci adalah sumber syari’at Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami dahulukan. Soal pertama, dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan perihal murtad secara kesimpulan. Irtidad atau perbuatan murtad yang terjadi karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau terang-terangan mengingkari Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena adakalanya orang yang sudah mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan perbuatan yang menurut penilaian ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada Islam. Mencaci-maki seorang Nabi atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan alasan untuk memperlakukan seseorang sebagai orang murtad, sekalipun ia secara sungguh-sungguh mengaku sebagai orang beriman kepada Qur’an dan Nabi. Soal kedua, pengertian umum bahwa Islam menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an Suci. Dalam Encyclopaedia of Islam, tuan Heffeming mengawali tulisannya tentang masalah murtad dengan kata-kata: “Dalam Qur’an, ancaman hukuman terhadap orang yang murtad hanya akan dilakukan di Akhirat saja”. Dalam salah satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat uraian: “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah beriman -bukannya ia dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan iman, melainkan orang yang membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan ditimpa kutuk Allah, dan mereka akan mendapat siksaan yang pedih” (16:106). Dari ayat ini terang sekali bahwa orang murtad akan mendapat siksaan di Akhirat, dan hal ini tak diubah oleh wahyu yang diturunkan belakangan tatkala pemerintah Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci hijrah ke Madinah. Dalam salah satu wahyu Madaniyah permulaan, orang murtad dibicarakan sehubungan dengan berkobarnya pertempuran yang dilancarkan oleh kaum kafir dengan tujuan untuk memurtadkan kaum Muslimin dengan kekuatan senjata: Dan mereka tak akan berhenti memerangi kamu sampai mereka mengembalikan kamu dari agama kamu, jika mereka dapat. Dan barangsiapa di antara kamu berbalik dari agamanya (yartadda) lalu ia mati selagi ia kafir, ini adalah orang yang sia-sia amalnya di dunia dan di Akhirat. Dan mereka adalah kawan api, mereka menetap di sana (2:217).[1] Maka apabila orang menjadi murtad, ia akan dihukum karena ia kembali mengerjakan perbuatan jahat lagi, tetapi ia tidaklah dihukum di dunia, melainkan di Akhirat. Adapun perbuatan baik yang ia lakukan selama menjadi Muslim, menjadi sia-sia karena ia mengambil jalan buruk dalam hidupnya.
Surat ketiga yang diturunkan pada tahun ketiga Hijriah, membicarakan berulangkali orang yang kembali kepada kekafiran setelah mereka memeluk Islam, namun hukuman yang diuraikan di dalam Surat tersebut akan diberikan di Akhirat. Qur’an berfirman: “Bagaimana Allah memimpin kaum yang kafir sesudah mereka beriman, dan sesudah mereka menyaksikan bahwa Rasul itu benar; dan sesudah datang kepada mereka tanda-bukti yang terang (3:85). “Pembalasan mereka ialah, mereka akan ditimpa laknat Allah (3:86). “Terkecuali mereka yang bertobat sesudah itu, dan memperbaiki kelakuan mereka” (3:88). “Sesungguhnya orang yang kafir sesudah mereka beriman, lalu mereka bertambah kafir, tobat mereka tak akan diterima (3:89).
Adapun dalil yang paling meyakinkan bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum dalam rencana kaum Yahudi yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah pemerintahan Islam di Madinah. Qur’an berfirman: “Dan golongan kaum Ahli Kitab berkata: Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada arang-orang yang beriman pada bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada bagian terakhir hari itu” (3:71). Bagaimana mungkin orang yang hidup di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana semacam itu yang amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus dihukum mati? Surat al-Maidah adalah Surat yang diturunkan menjelang akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat itu perbuatan murtad dibebaskan dari segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Allah cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya (5:54). Sepanjang mengenai Qur’an Suci, tak ada satu ayat pun yang menerangkan bahwa orang murtad harus dihukum mati, bahkan ayat yang membicarakan perbuatan murtad tak membenarkan adanya hukuman semacam itu, dan tak dibenarkan pula oleh ayat 2:256 yang ini merupakan Magna Charta bagi kemerdekaan beragama yang berbunyi: “laa ikraha fiddiin – Tak ada paksaan dalam agama.
Persoalan murtad menurut Hadits
Marilah kita sekarang meninjau uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh kitab-kitab fiqih sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak sangsi lagi bahwa uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang timbul belakangan, namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti, sampailah pada kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali apabila perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut suatu hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan penulis Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal ini. Dalam Kitab Bukhari terdapat dua bab yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin min ahlil-kufri wariddah, artinya Kitab tentang orang yang berperang (melawan kaum Muslim) dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu lagi berbunyi: Kitab istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya Kitab tentang seruan bertobat bagi musuh dan kaum murtad dan berperang melawan mereka. Dua judul itu sudah menjelaskan sendiri. Judul yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa yang dibicarakan hanyalah kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin. Adapun judul yang kedua, hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah yang sebenarnya menjadi pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham sajalah maka dirumuskan suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an yang terang-benderang. Pada waktu berkobarnya pertempuran antara kaum Muslimin dengan kaum kafir, kerapkali terjadi orang menjadi murtad dan bergabung dengan musuh untuk memerangi kaum Muslimin. Sudah tentu orang semacam itulah yang harus diperlakukan sebagai musuh, bukan karena murtadnya, melainkan karena berpihak kepada musuh. Lalu ada pula kabilah yang tak berperang dengan kaum Muslimin dan apabila ada orang murtad dan bergabung dengan mereka, orang tersebut tak diapa-apakan. Orang semacam itu disebut seterang-terangnya dalam Qur’an Suci: “Terkecuali orang-orang yang bergabung dengan kaum yang mempunyai ikatan perjanjian antara kamu dan mereka, atau orang-orang yang datang kepada kamu sedangkan hati mereka mengerut karena takut memerangi kamu atau memerangi golongan mereka sendiri. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia beri kekuatan kepada mereka melebihi kamu, sehingga mereka berani memerangi kamu. Lalu jika mereka mengundurkan diri dari kamu, dan tak memerangi kamu,dan menawarkan perdamaian kepada kamu, maka Allah tak memberi jalan kepada kamu untuk melawan mereka (4:90).
Satu-satunya peristiwa yang disebutkan dalam Hadits sahih mengenai pemberian hukuman kepada kaum murtad ialah peristiwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul yang memeluk Islam dan ikut hijrah ke Madinah, tetapi mereka tak merasa cocok dengan udara di Madinah, maka dari itu Nabi Suci menyuruh mereka supaya tinggal di suatu tempat di luar Madinah, yang di sana dipelihara unta perahan milik pemerintah, sehingga mereka dapat menikmati udara terbuka dan minum susu. Mereka menjadi sehat sekali, tetapi kemudian mereka membunuh penjaganya dan membawa lari untanya. Kejadian itu dilaporkan kepada Nabi Suci, lalu sepasukan tentara diperintah untuk mengejar mereka, dan mereka dihukum mati (Bu. 56:152).[2] Riwayat itu terang sekali bahwa bukan dihukum mati karena murtad, melainkan karena membunuh si penjaga unta.
Banyak sekali orang yang hanya menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari agamanya. Bunuhlah dia” (Bu. 88:1). Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab Bukhari bahwa yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum Muslimin, dan menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka terang sekali bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang mengubah agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan kaum Muslimin. Hanya dengan pembatasan dalam arti itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan Hadits lain, atau dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci. Sebenarnya, kata-kata Hadits tersebut begitu luas sehingga mencakup segala pergantian agama, agama apa saja. Jika demikian, maka orang non-Muslim yang masuk Islam, atau orang Yahudi yang masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali bahwa uraian semacam itu tak dapat dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits tersebut tak dapat diterima begitu saja tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
Hadits lain yang membicarakan pokok persoalan yang sama menjelaskan arti Hadits tersebut di atas. Hadits ini menerangkan bahwa orang Islam hanya boleh dibunuh dalam tiga hal, antara lain disebabkan “ia meninggalkan agamanya, dan meninggalkan masyarakat (attariku lil-jama’ah)” (Bu. 88:6). Menurut versi lain berbunyi: “orang yng memisahkan diri (al-mufariq) dari masyarakat”. Terang sekali bahwa yang dimaksud memisahkan diri dari atau meninggalkan masyarakat, yang dalam Hadits itu ditambahkan sebagai syarat mutlak, ialah bahwa ia meninggalkan kaum Muslimin dan bergabung dengan musuh. Dengan demikian, kata-kata Hadits itu bertalian dengan waktu perang. Jadi perbuatan yang dihukum mati itu bukan disebabkan mengubah agamanya, melainkan desersi.
Dalam Kitab Bukhari tercantum pula satu contoh yang sederhana tentang perbuatan murtad: “Seorang Arab dari padang pasir menghadap Nabi Suci untuk memeluk Islam di bawah tangan beliau. Selagi ia masih di Madinah, ia diserang penyakit demam, maka dari itu ia menghadap Nabi Suci dan berkata: Kembalikan bai’atku, Nabi Suci menolaknya, lalu ia menghadap lagi dan berkata: Kembalikan bai’atku, Nabi Suci pun menolaknya, lalu ia pergi” (Bu. 94:47). Hadits tersebut menerangkan bahwa mula-mula penduduk padang pasir itu memeluk Islam. Pada hari berikutnya, karena ia diserang penyakit demam, ia mengira bahwa penyakit itu disebabkan karena ia memeluk Islam, maka dari itu ia menghadap Nabi Suci untuk menarik kembali bai’atnya. Ini adalah terang-terangan perbuatan murtad, namun dalam Hadits itu tak diterangkan bahwa penduduk padang pasir itu dibunuh. Sebaliknya, Hadits itu menerangkan bahwa ia kembali ke padang pasir dengan aman.
Contoh lain tentang perbuatan murtad yang sederhana diuraikan dalam satu Hadits bahwa pada suatu hari seorang Kristen memeluk Islam, lalu ia murtad dan menjadi Kristen kambali, namun demikian, ia tidak dibunuh. “Sahabat Anas berkata, bahwa seorang Kristen memeluk Islam dan membaca Surat Ali ‘Imran, dan ia menuliskan ayat Qur’an untuk Nabi Suci, lalu ia berbalik menjadi Kristen kembali, dan ia berkata: Muhammad tak tahu apa-apa selain apa yang aku tulis untuknya. Lalu Allah mencabut nyawanya, lalu kaum Muslimin menguburnya” (Bu. 61:25). Selanjutnya Hadits itu menerangkan tentang peristiwa dihempaskannya tubuh orang itu oleh bumi. Terang sekali bahwa peristiwa itu terjadi di Madinah setelah diturunkannya Surat kedua (al-Baqarah) dan Surat ketiga (Ali ‘Imran) tatkala negara Islam telah berdiri, namun demikian orang yang murtad itu tak dianiaya, sekalipun ia mengucapkan kata-kata yang amat menghina Nabi Suci, dan menyebut beliau sebagai pembohong yang tak tahu apa-apa, selain apa yang ia tulis untuknya.
Di muka telah kami terangkan bahwa Qur’an menguraikan kaum murtad yang bergabung dengan kabilah yang mengikat perjanjian persahabatan dengan kaum Muslimin, dan kaum murtad yang benar-benar mengundurkan diri dari pertempuran, yang tak memihak kepada kaum Muslimin dan tak pula kepada musuh, dan menerang-kan agar mereka jangan diganggu (4:90). Semua itu menunjukkan bahwa Hadits yang menerangkan bahwa kaum murtad harus dibunuh, ini khusus hanya ditujukan terhadap kaum murtad yang memerangi kaum Muslimin.
Perbuatan murtad dan fiqih
Jika kita membaca kitab fiqih, di sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih menggariskan satu prinsip yang bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni orang dapat dihukum mati karena murtad. Dalam Kitab Hidayah diuraikan: “Orang yang murtad, baik orang merdeka maupun budak, kepadanya disajikan agama Islam; jika ia menolak, ia harus dibunuh” (H.I. hal. 576).  Tetapi setelah Kitab Hidayah menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian yang bertentangan dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang melancarkan perang (kafir harbiy) yang kepadanya telah disampaikan dakwah Islam” (H.I. hal. 577). Ini menunjukkan bahwa dalam Kitab Fiqih pun, orang murtad yang dihukum mati, ini disebabkan karena ia musuh yang memerangi kaum Muslimin. Adapun mengenai perempuan yang murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini: “Alasan kami mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum perempuan dan karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir) itu ditangguhkan hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka di dunia akan menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya diperbolehkan apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini tak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak mengizinkan” (HI hal. 577). Ulama yang menafsiri kitab itu menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu wajib, karena ini akan mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini bukanlah hukuman karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan keterangan sebagai berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan orang boleh dibunuh menurut hukum” (idem). Terang sekali bahwa dalam hal pertempuran dengan kaum kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan nampak sekali terjadi pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an dengan kesalah-pahaman yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci menggariskan seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena kekafirannya melainkan karena hirab atau memerangi kaum Muslimin. Adapun alasannya dikemukakan seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham, bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad mempunyai kemampuan berperang, anak kecil pun dapat disebut harbiy (orang berperang), karena anak kecil itu akan tumbuh menjadi besar dan mempunyai kemampuan berperang; bahkan kaum perempuan yang murtad pun tak dapat dikecualikan dari hukuman mati, karena mereka pun mempunyai kemampuan berperang. Undang-undang hukum pidana bukanlah berdasarkan atas kemampuan, melainkan atas kenyataan. Jadi, ulama fiqih pun mengakui benarnya prinsip bahwa orang tidak dapat dihukum mati hanya karena ia mengubah agamanya, terkecuali apabila orang murtad itu memerangi kaum Muslimin. Bahwa ulama fiqih telah berbuat kesalah pahaman dalam mengartikan hirab atau keadaan perang, adalah soal lain.
___________

[1]. Penulis Kristen yang bersemangat sekali untuk menemukan ayat Qur’an yang menghukum mati orang murtad, tak segan-segan lagi menerjemahkan kata fayamut (yang sebenarnya berarti: lalu ia mati) mereka terjemahkan: lalu ia dihukum mati, suatu terjemahan yang amat keliru. Kata fayamut adalah kata kerja aktif, dan kata yamutu artinya ialah mati. Digunakannya kata itu membuktikan seterang-terangnya bahwa perbutaan murtad tidaklah dihukum mati. Sebagian mufassir menarik kesimpulan yang salah terhadap ayat yang berbunyi: “ini adalah orang yang sia-sia amal perbuatannya”, ini tidaklah berarti bahwa ia akan diperlakukan sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan kata amal di sini ialah perbuatan baik yang ia lakukan selama ia menjadi Muslim. Amal inilah yang akan menjadi sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat setelah ia murtad. Perbuatan baik hanya akan ada gunanya jika perbuatan baik itu mendatangkan kebaikan bagi seseorang, dan dapat meningkatkan kesadaran menuju perkembangan hidup yang tinggi. Di tempat lain dalam Qur’an Suci diuraikan bahwa perbuatan orang akan sia-sia jika ia hanya bekerja untuk duniawinya saja dan mengabaikan kehidupan akhirat: “Yaitu orang yang tersesat usahanya dalam kehidupan dunia, dan mengira bahwa mereka adalah ahli dalam membuat barang-barang. Mereka mengafiri ayat-ayat Tuhan dan mengafiri perjumpaan dengan-Nya, maka sia-sialah amal mereka. Maka dari itu Kami tak akan menegakkan timbangan bagi mereka pada Hari Kiamat” (18:104-105). Dalam ayat ini, yang dimaksud habithat ialah perbuatan yang sia-sia sepanjang mengenai kehidupan rohani. [2]. Sebagian Hadits menerangkan bahwa mereka disiksa sampai mati. Jika ini terjadi sungguh-sungguh, ini hanyalah sekedar hukum qisas, yang sebelum turun wahyu tentang hukum pidana secara Islam, hukum qisas menjadi peraturan yang lazim. Sebagian Hadits menerangkan bahwa segolongan orang dari kabilah ‘Ukul mencukil mata penjaga unta, lalu digiringnya ke gunung batu yang panas, agar ia mati kesakitan. Oleh sebab itu lalu mereka juga dihukum mati seperti itu (Ai. VII, hal. 58). Tetapi Hadits lain membantah tentang digunakannya hukum qisas dalam peristiwa tersebut. Menurut Hadits ini, Nabi Suci berniat menyiksa mereka sampai mati sebagaimana telah mereka lakukan terhadap si penjaga unta, tetapi sebelum beliau melaksanakan hukuman itu, beliau menerima wahyu yang mengutarakan hukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran semacam itu, yang berbunyi: “Adapun hukuman orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berbuat bencana di bumi, ialah mereka harus dibunuh atau disalib atau dipotong tangan mereka berselang-seling, atau dipenjara” (5:33) (IJ-C. VII, hal. 121). Jadi, menurut ayat ini, perbuatan murtad ialah melancarkan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya. Adapun hukumannya bermacam-macam selaras dengan sifat kejahatan yang mereka lakukan. Adakalanya dihukum mati atau disalib apabila ia menjalankan teror; tetapi adakalanya hanya dihukum penjara saja.

Apa yang Bisa Membuat MURTAD?

Seorang tidaklah dikatakan muslim jika ia hanya berikrar dua kalimat syahadat. Orang yang berikrar sekali pun bisa jadi kafir dikarenakan ia melakukan pembatal keislaman semacam syirik, nifak (kemunafikan) atau mencela agama Islam. Bahasan berikut akan membahas perihal murtad dan hal-hal yang dapat membatalkan keislaman. Moga para remaja bisa memahami hal ini.

Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam (lihat Mu’jamul Wasith, 1/338). Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah adalah: menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217) (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32)
Penjatuhan vonis kafir/murtad
Vonis hukum kafir/takfir dapat dibagi menjadi dua kategori: takfir muthlaq dan takfir mu’ayyan. Yang dimaksud dengan takfir muthlaq adalah kaidah umum yang diberlakukan bagi orang yang melakukan suatu jenis perbuatan yang dimasukkan dalam kategori kekafiran (kufur akbar). Seperti misalnya ucapan para ulama, “Barang siapa yang meyakini al-Qur’an adalah makhluk maka dia kafir.” Ungkapan semacam ini bisa dilontarkan oleh siapa saja selama dilandasi dalil al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman yang benar serta tidak ditujukan kepada suatu kelompok atau individu tertentu. Adapun takfir mu’ayyan maka ia merupakan bentuk penjatuhan vonis kafir kepada individu atau kelompok orang tertentu. Jenis takfir yang kedua ini bukan hak setiap orang, namun wewenang para ulama yang benar-benar ahlinya atau badan khusus (ulama) yang ditunjuk oleh penguasa muslim setempat. Untuk menjatuhkan vonis kafir kepada perorangan diperlukan tahapan-tahapan yang tidak mudah dan syarat-syarat, sampai benar-benar terbukti bahwa yang bersangkutan benar-benar telah melakukan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama (lihat Mujmal Masa’il Iman al-’Ilmiyah fi ushul al-’Aqidah as-Salafiyah, hal. 17-18).
Macam-macam riddah/kemurtadan
[1] Riddah dengan sebab ucapan. Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
[2] Riddah dengan sebab perbuatan. Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan praktek sihir, mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
[3] Riddah dengan sebab keyakinan. Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya.
[4] Riddah dengan sebab keraguan. Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
Sepuluh Pembatal Keislaman
Berikut ini sepuluh perkara yang digolongkan sebagai pembatal keislaman. Walaupun sebenarnya pembatal keislaman itu tidak terbatas pada sepuluh perkara ini saja. Hanya saja sepuluh perkara ini merupakan pokok-pokoknya, yaitu:
[1] Melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada Allah. Yaitu menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barang siapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga, dan tempat kembalinya adalah neraka…” (QS. al-Ma’idah: 72).
[2] Mengangkat perantara dalam beribadah kepada Allah yang dijadikan sebagai tujuan permohonan/doa dan tempat meminta syafa’at selain Allah.
[3] Tidak meyakini kafirnya orang musyrik, meragukan kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan keyakinan mereka.
[4] Keyakinan bahwa ada petunjuk dan hukum selain tuntunan Nabi yang lebih sempurna dan lebih baik daripada petunjuk dan hukum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[5] Membenci ajaran Rasul, meskipun dia juga ikut melakukan ajaran itu.
[6] Mengolok-olok ajaran agama Islam, pahala atau siksa.
[7] Sihir.
[8] Membantu kaum kafir dalam menghancurkan umat Islam.
[9] Keyakinan bahwa sebagian orang boleh tidak mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganalogikannya dengan Nabi Khidr bersama Nabi Musa ‘alaihimas salam.
[10] Berpaling total dari agama, tidak mau mempalajari maupun mengamalkannya (lihat Nawaqidh al-Islam, karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah hal. 2-4 software Maktabah asy-Syamilah).
Hukum yang terkait dengan orang murtad
[1] Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman. Kalau dia mau bertobat dan kembali kepada Islam dalam rentang waktu tiga hari maka diterima dan dibebaskan dari hukuman.
[2] Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
[3] Kemurtadannya menghalangi dia untuk memanfaatkan hartanya dalam rentang waktu dia diminta tobat. Apabila dia bertobat maka hartanya dikembalikan. Kalau dia tidak mau maka hartanya menjadi harta fai’ yang diperuntukkan bagi Baitul Maal sejak dia dihukum bunuh atau sejak kematiannya akibat murtad. Dan ada pula ulama yang berpendapat hartanya diberikan untuk kepentingan kebaikan kaum muslimin secara umum.
[4] Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
[5] Apabila dia mati atau terbunuh karena dijatuhi hukuman murtad maka mayatnya tidak dimandikan, tidak disholati dan tidak dikubur di pekuburan kaum muslimin akan tetapi dikubur di pekuburan orang kafir atau di kubur di tanah manapun selain pekuburan umat Islam (lihat at-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy, hal. 33). Demikian penjelasan yang ringkas ini, semoga bermanfaat.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ari Wahyudi

Sekilas Berkenaan Hukum Murtad.


Hafiz Firdaus Abdullah

Topik hukum murtad merupakan salah satu yang diperbincangkan oleh orang ramai. Banyak pandangan yang dikemukakan dan tidak kurang juga jumlah persoalan yang diutarakan. Saya turut menaruh minat untuk mengkaji topik ini dan seperti biasa, hasil kajian tersebut saya tuang dalam bentuk penulisan.
Saya namakan risalah ini sebagai “Sekilas” kerana jika kita menelaah kitab-kitab fiqh peninggalan para ilmuan kita, akan ditemui bahawa topik ini memiliki perbincangan yang luas seperti perbuatan yang menyebabkan murtad, syarat-syarat murtad, jumlah saksi bagi kes murtad dan status pernikahan, hubungan keluarga serta harta warisan bagi orang yang murtad. Dalam risalah ini, saya hanya akan fokus kepada empat perkara, iaitu:
A)    Definisi murtad.
B)    Kategori orang murtad dan hukumannya.
C)    Hikmah di sebalik hukum murtad.
D)    Menganalisa dan menjawab beberapa syubhat berkenaan hukum murtad.
Sebelum bermula, ingin saya gariskan beberapa perkara terlebih dahulu:
1.      Risalah ini adalah sebuah penulisan ilmiah. Sesuatu yang berdasarkan dalil dan hujah sudah pasti akan memiliki perbezaan dalam beberapa sudut berbanding sesuatu yang menjadi ikut-ikutan. Oleh itu seandainya ditemui sesuatu pandangan yang berbeza dalam penulisan ini, harap perbezaan tersebut dapat dinilai betul atau salah berdasarkan dalil dan hujah bukan emosi atau semangat.
2.      Sesuatu yang ilmiah tidak bererti sempurna. Maka  dialu-alukan apa-apa pembetulan, pembaikan dan perbandingan daripada para pembaca sekalian.
3.      Peranan risalah ini hanyalah mengupas hukum murtad dari sudut dalil-dalilnya serta penjelasan para ilmuan Islam. Ada pun pelaksanaannya di Malaysia, maka ia adalah sesuatu yang agak rumit kerana suasana rakyat Malaysia yang berbilang agama, ditambah lagi dengan realiti umat Islam Malaysia yang berpecah kepada sekian-sekian jamaah dan parti. Maka risalah ini hanyalah bersifat teori manakala praktikalnya di serah kepada para agamawan dan cerdik pandai negara.[1]
4.      Sepertimana penulisan saya yang lain, sejauh yang boleh saya akan menggunakan sumber rujukan dalam bahasa Malaysia, Indonesia dan Inggeris, sama ada ia adalah hasil asli atau hasil terjemahan. Tujuannya adalah untuk memudahkan para pembaca sekalian melanjutkan kajian mereka dalam topik ini kepada sumber-sumber tersebut.

A:        Definisi Murtad.
Dari sudut bahasa, “Murtad” adalah dari bahasa Arab yang berasal daripada perkataan “Riddah”. Kamus-kamus bahasa Arab menjelaskan bahawa riddah bermakna kembali daripada sesuatu kepada selainnya. Oleh itu dari sudut bahasa, murtad bermakna orang yang kembali daripada sesuatu kepada selainnya.[2]
Ada pun dari sudut syara’, dengan merujuk kepada penjelasan para ilmuan Islam, murtad ialah seorang muslim mukallaf yang keluar daripada agama Islam sama ada dengan kepercayaan, perkataan atau perbuatan, dengan kehendaknya sendiri.[3]

B:        Kategori Orang Murtad Dan Hukumannya.
Orang yang murtad beserta hukumannya terbahagi kepada tiga kategori:
  1. Orang yang murtad, namun menyembunyikannya.
  2. Orang yang murtad dan menzahirkannya.
  3. Orang yang murtad dan menzahirkannya serta menyerang Islam dengannya.
Penjelasannya adalah seperti berikut:
Kategori Pertama: Orang yang murtad, namun menyembunyikannya.
Orang yang murtad namun menyembunyikannya kemurtadannya sehingga tiada siapa yang mengetahui kecuali ahli keluarga dan rakan-rakan terdekat, tidak dijatuhkan hukum hudud di dunia. Hukuman mereka adalah di sisi Allah di Hari Akhirat kelak.
Orang murtad dari kategori pertama inilah yang disinggung oleh sekian banyak ayat al-Qur’an, salah satu daripadanya:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
Dan sesiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya (Islam) lalu dia mati sedang dia tetap kafir, maka orang-orang yang demikian rosak binasalah amal usahanya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah ahli neraka, kekal mereka di dalamnya. [al-Baqarah 2:217]
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizhahullah menjelaskan:
Islam tidak menjatuhkan hukuman bunuh atas orang yang murtad yang tidak menghebahkan murtadnya dan tidak menyeru orang lain agar murtad sepertinya. Islam membiarkannya agar menerima balasannya di akhirat kelak jika dia mati dalam kekafirannya itu. Allah berfirman……(lalu beliau mengemukakan ayat 217 surah al-Baqarah di atas).[4]
Sebelum itu dalam risalah Berkenalan Dengan Ciri-Ciri Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah Dalam Pelaksanaan Hukum Jenayah, telah saya jelaskan bahawa hukuman hudud hanya dijatuhkan apabila jenayah tersebut dilakukan secara terbuka, yakni dizahirkan kepada khalayak ramai. Ada pun jika jenayah tersebut dilakukan secara tertutup, maka hukuman di dunia tidak dijatuhkan. Ini kerana antara tujuan hukuman hudud dijatuhkan adalah untuk menghindar sesuatu jenayah yang dilakukan secara terbuka di khalayak ramai daripada menjadi ikutan dan fitnah kepada masyarakat. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
اجْتَنِبُوا هَذِهِ الْقَاذُورَةِ الَّتِي نَهَى الله عَنْهَا فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسَتْرِ الله وَلْيَتُبْ إِلَى الله. فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.
Jauhilah perkara-perkara keji yang telah dilarang oleh Allah, sesiapa yang telah melakukannya, hendaklah dia menutupinya dengan tutupan Allah dan bertaubat kepada Allah. Ini kerana jika sesiapa menampakkan perkara keji (yang dilakukannya) kepada kami, kami akan menjatuhkan hukuman yang telah diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.[5]

Kategori Kedua: Orang Yang Murtad Dan Menzahirkannya.
Orang yang murtad lalu menzahirkannya atau mengumumkannya dengan apa cara sekali pun seperti media cetak, media elektronik, internet, Sistem Pesanan Ringks (SMS) dan sebagainya, maka dia dijatuhkan hukuman bunuh setelah terlebih dahulu diberi tempoh dan diajak untuk bertaubat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ.
Sesiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia.[6]
Ada pun berkenaan permintaan taubat, terdapat perbincangan di kalangan para ilmuan dan ia menghasilkan lima pendapat:[7]
  1. Wajib meminta orang murtad untuk bertaubat.
  2. Dianjurkan meminta orang murtad untuk bertaubat.
  3. Harus meminta orang murtad untuk bertaubat.
  4. Wajib meminta taubat kepada orang yang asalnya kafir, kemudian memeluk Islam, kemudian murtad. Permintaan taubat tidak dibolehkan bagi orang yang asalnya Islam, kemudian murtad.
  5. Orang yang murtad tidak perlu diminta untuk bertaubat melainkan memadai diperintahkan untuk kembali kepada Islam sambil diacukan pedang di lehernya.
Setelah mengemukakan lima pendapat di atas serta menganalisa dalil-dalil setiap pendapat, Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim hafizhahullah menjelaskan pendapat yang terkuat:[8]
Dalam pandangan saya, dan Allah sahaja yang lebih mengetahui, bahawa nas yang disampaikan secara terus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya menunjukkan kewajipan hukuman mati terhadap orang yang murtad. Dan ini sudah merupakan ketetapan dasarnya. Akan tetapi jika imam (atau hakim) berpendapat untuk menundakan (hukuman) dan menilai permintaan taubat terhadap orang yang murtad sebagai langkah kebijaksanaan yang memiliki maslahat, maka hal itu boleh dilakukan, sesuai dengan perbuatan para sahabat yang (sememangnya) terpercaya.
Juga atas dasar keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: Kemudian jika mereka bertaubat dan mendirikan solat serta memberi zakat, maka biarkanlah mereka (jangan diganggu). Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Taubah 9:05]
Saya turut bersetuju dengan kesimpulan di atas. Dalam suasana banyaknya fitnah kepada Islam pada akhir zaman ini, sama ada dari kalangan umat Islam sendiri atau dari kalangan bukan Islam, adalah dianjurkan agar hakim menunda hukuman untuk tempoh yang tertentu agar orang yang menzahirkan tindakan murtadnya diberi kaunseling dan diajak untuk bertaubat.
Jika dirujuk kepada hukuman para tokoh al-Salaf al-Shalih rahimahumullah, akan didapati bahawa mereka berbeza-beza dalam menundakan hukuman.[9] Ada yang menjatuhkan hukuman bunuh serta merta, ada yang menundanya selama 3 hari, 20 hari, sebulan dan sebagainya. Semuanya bergantung kepada kemaslahatan yang ingin dicapai dalam kes yang berbeza-beza. Walaubagaimana pun ingin ditegaskan bahawa sekali pun mereka berbeza-beza dalam tempoh penundaan, pada akhirnya hukuman bunuh tetap dijatuhkan jika orang yang murtad enggan bertaubat atau tidak menunjukkan harapan untuk bertaubat.

Kategori Ketiga: Orang Yang Murtad Dan Menzahirkannya Serta Menyerang Islam Dengannya.
Orang yang murtad dan menzahirkannya serta menyerang Islam dengan apa cara sekali pun, sama ada dengan menggunakan senjata, pena, lisan, pemikiran serta menggunakan bantuan orang bukan Islam dan munafik, maka mereka ditangkap dan dibunuh serta merta tanpa diberi tempoh dan diajak untuk bertaubat. Pengecualian adalah jika mereka bertaubat sebelum ditangkap, maka taubat mereka diterima.
Berkenaan orang murtad kategori ketiga ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ.
Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi bahawasanya tiada tuhan selain Allah dan bahawasanya aku adalah Rasulullah melainkan salah satu dari tiga perkara:
  1. Membunuh,
  2. Penzina yang sudah bernikah dan
  3. Orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamaah (umat Islam).[10]
Yang dimaksudkan sebagai: “…orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jamaah (umat Islam)” adalah orang murtad dan menzahirkannya serta menyerang Islam dengannya. Ini dijelaskan oleh sebuah hadis yang lain:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ فَإِنَّهُ يُرْجَمُ وَرَجُلٌ خَرَجَ مُحَارِبًا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِنَّهُ يُقْتَلُ أَوْ يُصْلَبُ أَوْ يُنْفَى مِنْ الأَرْضِ أَوْ يَقْتُلُ نَفْسًا فَيُقْتَلُ بِهَا.
Tidak dihalalkan darah seorang muslim yang bersaksi bahawasanya tiada tuhan selain Allah dan bahawasanya Muhammad adalah Rasulullah melainkan salah satu dari tiga perkara:
  1. Seorang yang berzina setelah dia menjaga kehormatannya dengan perkahwinan, maka sesungguhnya dia direjam,
  2. Seorang yang keluar (dari Islam dan jamaah, lalu) memerangi Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia dibunuh atau disalib atau dibuang negeri dan
  3. Seorang yang membunuh satu jiwa, maka dia dibunuh sebagai hukum timbal balik.[11]
Mereka ditangkap dan dibunuh serta merta tanpa diberi tempoh dan diajak untuk bertaubat berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلاَفٍ أَوْ يُنفَوْا مِنْ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (33) إِلاَّ الَّذِينَ تَابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَيْهِمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (34).
Hanyasanya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta melakukan bencana kerosakan di muka bumi ialah dengan dibalas atau dipalang atau dipotong tangan dan kaki mereka bersilang atau dibuang negeri. Hukuman yang demikian itu adalah suatu kehinaan di dunia bagi mereka, dan di akhirat kelak mereka beroleh azab seksa yang amat besar.
Kecuali orang-orang yang bertaubat sebelum kamu dapat menangkapnya, (mereka terlepas dari hukuman itu). Maka ketahuilah, bahawasanya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Maidah 5:33-34]

C:        Hikmah Di Sebalik Hukum Murtad.
Sebelum dijelaskan hikmah di sebalik hukum murtad, ingin ditegaskan bahawa sifat orang-orang yang beriman adalah taat sepenuhnya kepada perintah larangan agama tanpa mengira sama ada diketahui hikmah di sebaliknya atau tidak. Kewajipan orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah “Kami dengar dan kami taat” kepada perintah larangan al-Qur’an dan al-Sunnah manakala mengetahui hikmah di sebaliknya hanyalah sesuatu yang harus (mubah) sifatnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ.
Sesungguhnya perkataan yang diucapkan oleh orang-orang yang beriman ketika mereka diajak kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, supaya menjadi hakim memutuskan sesuatu di antara mereka, hanyalah mereka berkata: “Kami dengar dan kami taat”, dan mereka itulah orang-orang yang beroleh kejayaan. [al-Nur 24:51]
Kembali kepada persoalan hikmah di sebalik hukum murtad, sejauh kajian saya, penjelasan yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Abd al-Qadir Audah hafizhahullah adalah yang paling tepat, dimana beliau berkata:[12]
The raison d’etre of capital punishment for apostasy is Syariah is that apostasy is repugnant to the faith of Islam on which the Islamic society is founded. If this offence is taken lightly, the collective system of Islam may collapse. The severe punishment laid down for it aims at the total elimination of apostasy on the one hand and warning and preventing others from committing it.
Obviously, capital punishment serves as a more effective deterrent than any other punishment. Whatever the factors inciting commitment of the offence, capital punishment stirs up the preventive factors in human psyche and a man refrains as often as not from committing the offence.
Most of the modern law in operation ensure security of the social system by prescribing harshest punishment for those who violate and destroy the system. The first of such punishments is death penalty. In other words, modern laws lay down the same punishment for causing disorder, safeguarding the social system as does the Islamic syariah.
Menarik untuk diperhatikan perenggan terakhir di atas. Kesemua negara yang mengamalkan hukum jenayah konvesional menjatuhkan hukuman mati kepada jenayah yang paling merosakkan sistem negara dan rakyatnya. Ambil saja contoh pengedar dadah di Malaysia. Sesiapa yang didapati mengedar dadah di atas jumlah tertentu akan dijatuhkan hukuman mati. Di sini tidak timbul persoalan “Hak asasi individu untuk mengedar dadah” atau “Dadah itu kegunaan peribadi dan bukan kegunaan orang lain”. Hukuman tetap dikenakan kepada siapa saja yang mengedar dadah, sekali pun yang mengedarnya adalah warga negara asing. Kenapa sedemikian? Jawapannya, kerana dadah adalah perosak kepada sistem negara dan rakyatnya.
Semua ini tidak berbeza dengan hukum jenayah Islam. Antara tujuan utama hukuman hudud disyari‘atkan adalah untuk menghindari sebarang fitnah kepada agama Islam dan umat Islam. Hukuman hudud bersifat tegas kerana hanya dengan ketegasan tersebut manusia akan mematuhinya dan menjauhi jenayah yang dihukuminya.
Antara hukuman hudud yang dimaksudkan adalah hukuman bagi kes murtad. Orang yang menzahirkan murtadnya menimbulkan fitnah kepada Islam dan umatnya. Ia merosakkan sistem Islam yang secara keseluruhannya berperanan mengurusi hal-ehwal kehidupan manusia dalam sesebuah negara, tanpa mengira rakyat negara tersebut beragama Islam atau selainnya. Sama-sama diketahui bahawa Islam bukan sekadar agama solat dan zikir, tetapi ia adalah agama yang mengurusi kepimpinan, politik, ekonomi, keselamatan, pendidikan dan pelbagai lagi.
Orang yang murtad namun menyembunyikannya (Kategori Pertama), dia tidak dijatuhkan hukuman hudud kerana tindakannya itu tidak diketahui ramai dan tidak sehingga ke tahap menimbulkan fitnah kepada Islam dan umatnya. Maka tidak dijatuhkan hukuman kepadanya di dunia, hukumannya diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di Hari Akhirat kelak.
Apabila tidak dijatuhkan hukuman di dunia, tidaklah bererti Islam meredhai tindakan mereka untuk murtad. Hanya yang dipertimbangkan adalah, jika mereka dihalang daripada murtad, maka mereka akan tinggal dalam masyarakat Islam sebagai seorang munafik dan lambat laun akan tetap membawa fitnah kepada Islam dan umatnya. Maka mereka dibebaskan daripada Islam dengan syarat mereka tidak menzahir atau mengumumkan kemurtadan tersebut. Pada waktu yang sama, Islam tetap membuka peluang untuk mereka kembali kepada Islam satu hari kelak, sekali pun ia mungkin dalam masa 20 tahun akan datang.
Ada pun orang murtad yang duduk dalam Kategori Kedua, tindakan menzahirkan kemurtadannya adalah sesuatu yang mengancam kestabilan Islam dan umatnya. Bahkan ia secara halus adalah satu serangan terhadap Islam dan umatnya. Jika tidak ditangani, ia akan merebak dan menimbulkan fitnah yang meluas. Maka kerana itulah hukuman bunuh dijatuhkan sebagai langkah yang paling efektif untuk menghindari timbulnya fitnah tersebut.
Walaubagaimana pun Islam sebagai agama yang rahmat lagi adil tetap memberi peluang kepada mereka untuk mempertimbangkan semula keputusan untuk murtad. Mereka diberi kaunseling dan peluang untuk bertaubat. Hukuman ditangguhkan selagi mana terdapat harapan bertaubat.
Jika orang yang murtad menyerang Islam dan umatnya (Kategori Ketiga), maka hukuman hendaklah dijatuhkan tanpa lengah. Ini kerana mereka bukan lagi sekadar murtad tetapi telah menjadi dari kalangan orang kafir yang memusuhi Islam dan umatnya. Serangan yang mereka lancarkan hendaklah dipatahkan dan orang yang melancarkannya segera dijatuhkan hukuman bagi menghentikan serangan dan sebagai amaran keras kepada orang lain yang bercadang untuk mengikutinya.

 Menganalisa Dan Menjawab Beberapa Syubhat Berkenaan Hukum Murtad.

“Hak Asasi Manusia” adalah satu agama yang sedang berkembang pesat masa kini. Kepesatannya menyebabkan sebahagian umat Islam, yang sebelum ini memang menghadapi masalah sikap kekerdilan diri, terpengaruh dengannya. Mereka berpandangan Islam juga memberi perhatian kepada “Hak Asasi Manusia”, tetapi tidak tahu apa dan bagaimana. Akhirnya mereka mencairkan Islam agar ia larut ke dalam agama “Hak Asasi Manusia” buatan manusia. Akhirnya mereka juga melaungkan slogan: “Kami Muslim yang turut menjaga hak asasi manusia!”
Bersama slogan ini, mereka meletak beberapa syubhat, iaitu keraguan dan kesamaran, ke dalam syari‘at Islam. Antara yang masyhur adalah berkenaan hukuman hudud bagi kes murtad. Dalam kesempatan ini, saya akan kemukakan beberapa syubhat yang lazim mereka kemukakan, kemudian menganalisa dan menjawabnya.

Syubhat Pertama: Hukum Murtad Tidak Terdapat Dalam al-Qur’an.
Ini adalah syubhat yang paling masyhur. Ia dijawab, bahawa syari‘at Islam tidak hanya terkandung dalam al-Qur’an tetapi kedua-dua al-Qur’an dan al-Sunnah. Kita umat Islam bukan sahaja disuruh mentaati Allah tetapi juga mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Orang yang membezakan antara Allah dan Rasulullah, membezakan antara al-Qur’an dan al-Sunnah, lalu mengingkari Rasulullah dan al-Sunnah, maka mereka bakal ditimpa fitnah yang besar atau diazab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلْيَحْذَرْ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Oleh itu, hendaklah mereka yang mengingkari perintahnya (Rasulullah), beringat serta berjaga-jaga jangan mereka ditimpa bala bencana, atau ditimpa azab seksa yang tidak terperi sakitnya. [al-Nur 24:63]
Bahkan orang yang enggan menerima keputusan hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan penuh kerelaan dan ketenangan, mungkin sahaja ia adalah tanda kecacatan iman dalam diri mereka:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
Maka demi Tuhanmu! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan, dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya. [al-Nisa 4:65]
Oleh itu hendaklah berhati-hati agar jangan membezakan sama ada sesuatu perintah larangan atau hukum, sama ada berkenaan hukuman murtad atau selainnya, terkandung dalam al-Qur’an atau al-Sunnah.

Syubhat Kedua: Dalil Hukum Murtad Adalah Sebuah Hadis Ahad.
Sebelum ini terdapat satu pendapat yang berkata konon Hadis Ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam persoalan aqidah kini muncul pula pendapat yang berkata Hadis Ahad juga tidak dapat dijadikan dalil dalam persoalan hukum hudud.[13]
Semua ini hanya alasan untuk menjatuhkan hadis daripada syari‘at Islam. Di sisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Hadis Ahad menjadi dalil dalam semua persoalan agama. Ada pun perbincangan sebahagian ahli usul zaman terkemudian berkenaan peranan Hadis Ahad, sama ada ia dapat dijadikan dalil atau tidak, maka perbincangan mereka hanya ditujukan kepada Hadis Ahad yang berdiri dengan sendirinya. Sebaliknya jika Hadis Ahad tersebut memiliki pembuktian (qarinah) atau sudah terkenal dan menjadi amalan orang ramai, maka ia adalah dalil yang pasti tanpa sebarang perbincangan lagi. Imam al-Syaukani rahimahullah (1250H) menjelaskan:[14]
Ketahuilah bahawa perbezaan pendapat yang kami sebut pada awal perbahasan ini berkenaan Hadis Ahad sama ada menghasilkan ilmu yang berupa sangkaan atau kepastian, ia hanyalah berlaku apabila Hadis Ahad tersebut tidak disertai dengan pembuktian yang menguatkannya. Adapun jika ia disertai dengan pembuktian yang menguatkannya atau ia sudah masyhur atau dikenali secara terperinci, maka perbezaan tersebut tidak berlaku.
Merujuk kepada hadis-hadis berkenaan hukum murtad, ia adalah hadis yang masyhur sepanjang sejarah Islam dan para ilmuan Islam telah bersepakat untuk menjadikan dalil berdasarkannya. Berkata Syaikh Wahbah al-Zuhaili hafizhahullah ketika mengupas hukum bagi orang murtad:[15]
Ulama’ bersepakat tentang wajibnya hukuman bunuh ke atas orang murtad berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia.

Syubhat Ketiga: Hadis Hukum Murtad Memiliki Kelemahan.
Ada juga yang berpendapat, selain hadis hukum murtad adalah sebuah Hadis Ahad, ia juga memiliki kelemahan dalam sanadnya. Seorang penulis bernama Nawab Azam Yar Jang dalam bukunya Proposed Political, Legal and Social Reforms Under Muslim Rule, ms. 86[16] meragui kesahihan hadis “Sesiapa yang menukar agamanya, maka bunuhlah dia” dengan berkata:
……there is a gap between Ikramah and Ibn Abbas and again between the latter and the Prophet, in the chain of narrators. (Rangkaian perawinya terputus antara Ikramah dan Ibn Abbas, juga antara Ibn Abbas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam)
Ini adalah satu penilaian yang agak aneh kerana sanad yang terdiri dari rangkaian perawi Ikrimah, daripada Ibn Abbas, daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah amat masyhur lagi jelas kesambungannya. Ikrimah adalah budak kerja Ibn Abbas manakala Ibn Abbas adalah anak saudara Rasulullah. Masing-masing saling bertemu, pernah hidup bersama dan meriwayatkan hadis dengan jumlah yang banyak.

Syubhat Keempat: Hukum Murtad Bertentangan Dengan Konsep Tiada Paksaan Dalam Agama.
Ramai yang mendakwa atau bertanya, bukankah hukum murtad bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنْ الغَيِّ.
Tidak ada paksaan dalam agama (Islam), kerana sesungguhnya telah nyata kebenaran (Islam) dari kesesatan (kufur). [al-Baqarah 2:256]
Dakwaan atau pertanyaan ini dijawab, bahawa hukuman murtad tidak memiliki apa-apa kaitan dengan ayat di atas. Ini kerana hukuman murtad tidak ditujukan kepada pilihan agama seseorang, tetapi ditujukan kepada sikap seseorang yang menzahirkan pilihannya untuk murtad dari agama Islam. Penzahiran itulah yang menyebabkan hukuman dijatuhkan bagi mengelak pilihannya itu daripada menimbulkan fitnah kepada Islam dan umatnya.

Syubhat Kelima: Hadis Arab Badwi Yang Menarik Bai‘ahnya.
 Dalam Shahih al-Bukhari terdapat sebuah hadis seperti berikut:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعَهُ عَلَى الإِسْلاَمِ فَجَاءَ مِنْ الْغَدِ مَحْمُومًا فَقَالَ: أَقِلْنِي. فَأَبَى ثَلاَثَ مِرَارٍ. فَقَالَ: الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طَيِّبُهَا.
Daripada Jabir (bin ‘Abdillah) radhiallahu ‘anh, seorang Arab Badwi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan membai‘ah baginda di atas Islam. Kemudian dia datang pada esok harinya dalam keadaan menderitai demam yang berat, lalu berkata: “Perkenankan untuk aku menarik bai‘ahku.” (Rasulullah) enggan mengembalikannya. Dia mengulangi permintaannya sebanyak tiga kali. Akhirnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Madinah adalah seumpama alat peniup api seorang tukang besi, ia mengeluarkan yang tidak baik dan membiarkan yang baik”.[17]
Dalam Shahih Muslim, ianya adalah seperti berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَايَعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَصَابَ الأَعْرَابِيَّ وَعْكٌ بِالْمَدِينَةِ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ! أَقِلْنِي بَيْعَتِي. فَأَبَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ: أَقِلْنِي بَيْعَتِي. فَأَبَى. ثُمَّ جَاءَهُ فَقَالَ: أَقِلْنِي بَيْعَتِي. فَأَبَى. فَخَرَجَ الأَعْرَابِيُّ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا الْمَدِينَةُ كَالْكِيرِ تَنْفِي خَبَثَهَا وَيَنْصَعُ طَيِّبُهَا.
Daripada Jabir bin ‘Abdillah (radhiallahu ‘anh), bahawasanya seorang Arab Badwi membai‘ah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian dia menderitai demam yang berat di Madinah. Lalu dia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata: “Wahai Muhammad! Perkenankan aku untuk menarik bai‘ah aku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam enggan mengembalikannya.
Kemudian dia datang lagi dan berkata: “Perkenankan aku untuk menarik bai‘ah aku.” Rasulullah tetap enggan mengembalikannya. Kemudian dia datang lagi dan berkata: “Perkenankan aku untuk menarik bai‘ah aku.” Rasulullah tetap enggan mengembalikannya. Akhirnya Arab Badwi tersebut pergi.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Madinah adalah seumpama alat peniup api seorang tukang besi, ia mengeluarkan yang tidak baik dan membiarkan yang baik”.[18]
Orang yang meragui hukum murtad berhujah, dalam hadis di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjatuhkan hukuman murtad ke atas Arab Badwi yang ingin menarik balik bai‘ahnya. Bahkan baginda membiarkan Arab Badwi tersebut pergi begitu sahaja.
Hujah ini ditolak dengan dua cara:
Pertama: Mungkin yang ingin ditarik balik oleh Arab Badwi tersebut adalah bai‘ahnya untuk memeluk Islam. Jika ini kesnya, maka perhatikan bahawa dia memeluk Islam hanya selama sehari tanpa sempat mendalami apa-apa ilmu berkenaan Islam. Justeru dia termasuk dalam kategori orang jahil dan di sisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, orang yang jahil tidak dikenakan hukuman hudud atas sesuatu jenayah yang dilakukannya. Sila rujuk risalah saya Berkenalan Dengan Ciri-Ciri Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah Dalam Pelaksanaan Hukum Jenayah.
Kedua: Mungkin yang ingin ditarik balik oleh Arab Badwi tersebut adalah bai‘ahnya untuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah dan tinggal di Madinah. Namun sesampainya dia ke Madinah, dia jatuh sakit dan tidak sanggup menderitai ujian tersebut. Maka dia pergi berjumpa Rasulullah dan meminta untuk menarik bai‘ahnya berhijrah dan tinggal di Madinah. Rasulullah enggan mengembalikan bai‘ahnya sekali pun dia mengulangi permintaannya sebanyak tiga kali. Akhirnya dia tetap pergi jua.
Melihat yang sedemikian, Rasulullah menerangkan keistimewaan Madinah yang hanya menerima Muslim yang benar lagi teguh imannya dan mengeluarkan Muslim yang lemah imannya, munafik atau masih jahil.[19] Oleh itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjatuhkan hukuman murtad kerana Arab Badwi tersebut tidak murtad. Dia tidak meminta untuk meninggalkan Islam tetapi sekadar untuk meninggalkan Madinah.

Syubhat Keenam: Kisah Ahli Kitab Yang Beriman Kemudian Murtad.
Orang yang meragui hukum murtad juga berhujah dengan kisah sekumpulan Ahli Kitab yang beriman pada waktu pagi, kemudian murtad pada waktu petang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjatuhkan hukuman murtad kepada mereka. Kisah sekumpulan Ahli Kitab tersebut terdapat dalam al-Qur’an:
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمِنُوا بِالَّذِي أُنْزِلَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَجْهَ النَّهَارِ وَاكْفُرُوا آخِرَهُ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ.
Dan berkatalah segolongan dari Ahli Kitab (sesama sendiri): “Berimanlah kamu kepada al-Quran yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman itu pada sebelah pagi dan kufurlah pada petangnya, supaya mereka (merasa ragu-ragu, lalu) kembali menjadi kafir semula.” [Ali Imran 3:72]
Hujah ini dijawab bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjatuhkan hukuman murtad kerana sekumpulan Ahli Kitab tersebut pada asalnya tidak pernah memeluk Islam. Mereka hanya melakukan tipudaya untuk mengelirukan umat Islam dengan cara berlakon sebagai seorang Muslim pada waktu pagi dan kembali kepada agama asal pada waktu petang. Jika sekali pun hendak dikategorikan perbuatan sekumpulan Ahli Kitab tersebut sebagai murtad, ia hanya murtad dari sudut bahasa, tidak dari sudut syara’.

Syubhat Ketujuh: Pendapat Imam Ibrahim al-Nakha’e dan Imam Sufyan al-Tsauri.
Imam ‘Abd al-Razzaq rahimahullah (211H) dalam kitabnya al-Musannaf, jld. 10, ms. 166, riwayat no: 18697 telah mengemukakan pendapat seorang tokoh al-Salaf al-Shalih yang bernama Imam Ibrahim al-Nakha’e rahimahullah (95H) bahawa orang yang murtad diminta untuk bertaubat selama-lamanya. Ini juga merupakan pendapat Imam Sufyan al-Tsauri rahimahullah (161H). Pendapat kedua-dua tokoh ini dijadikan hujah oleh mereka yang meragui hukum murtad, bahawa orang yang murtad hanya diminta untuk bertaubat tanpa dijatuhkan hukuman bunuh.
Pendapat kedua-dua tokoh al-Salaf al-Shalih di atas telah dianalisa oleh para tokoh terkemudian. Jika hendak difahami secara zahir, sebagaimana ulas Imam Ibn Qudamah rahimahullah (620H), ia adalah pendapat yang menyelisihi sunnah dan ijma’.[20] Melainkan yang dimaksudkan oleh kedua-dua tokoh tersebut adalah, orang yang murtad ditangguhkan hukumnya selagi mana ada harapan untuk dia bertaubat. Demikian jelas Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah rahimahullah (728H).[21] Jika tiada harapan untuk bertaubat, hukuman bunuh tetap dijatuhkan.

Syubhat Kelapan: Murtad Masuk Dalam Kategori Takzir Dan Bukan Hudud.
Orang yang ingin menabur kesamaran dalam hukuman murtad juga berhujah bahawa terdapat sebahagian ilmuan Islam yang meletakkan jenayah murtad dalam kategori takzir dan bukannya hudud.
Hujah ini dijawab, bahawa:
  1. Hukuman takzir tersebut hanya merujuk kepada jenayah murtad dalam Kategori Kedua.
  2. Hukuman takzir tersebut hanya dalam tempoh sementara menunggu orang murtad tersebut bertaubat dan kembali kepada Islam. Sementara menunggu dia bertaubat, hakim boleh menjatuhkan hukuman takzir seperti mewajibkan kaunseling, kuarantin, penjara dan sebagainya. Akan tetapi setelah berlalunya tempoh tertentu dan dia masih enggan bertaubat atau tiada harapan untuk bertaubat, maka hukuman bunuh (hudud) tetap dijatuhkan.
Antara tokoh yang dikatakan meletakkan jenayah murtad dalam kategori takzir ialah Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah. Ini kerana dalam tulisannya Siyasah al-Syar‘iyyah fi Islah al-Ra‘iy wa al-Ra‘iyyah[22] beliau telah meletakkan perbincangan berkenaan jenayah murtad dalam bab Kemaksiatan-kemaksiatan yang baginya tiada hukuman tertentu dan kafarah (jld. 28, ms. 343). Sekali pun demikian, ketika menyentuh berkenaan jenayah murtad dalam bab tersebut (jld. 28, ms. 347), beliau berkata:
……orang yang murtad diminta bertaubat sehingga kembali kepada Islam. Jika bertaubat, dia diterima kembali dan jika tidak maka dibunuh.
Justeru sekali lagi ditegaskan, hukuman takzir yang dimaksudkan hanya dalam tempoh sementara menunggu orang murtad tersebut bertaubat dan kembali kepada Islam. Jika dia enggan bertaubat, maka hukuman hudud tetap dilaksanakan.




[1]               Lebih lanjut tentang kerumitan yang saya maksudkan, rujuk buku saya Marilah Berkenalan Dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bab berkenaan politik, terbitan Jahabersa, Johor Bahru, 2007.
[2]               Arieff Salleh Rosman – Murtad Menurut Perundangan Islam (Univ. Teknologi Malaysia, Skudai, 2001), ms. 7.
[3]               Arieff Salleh Rosman – Murtad Menurut Perundangan Islam, ms. 7.
[4]               Jinayat al-Riddah wa ‘Uqubah al-Murtad fi Dhau’i al-Qur’an wa al-Sunnah (edisi terjemahan oleh Zaharan Mohamed & Mohd. Akhir Yaacob atas judul Jenayah Murtad dan Hukumannya Menurut Perspektif al-Qur’an dan al-Sunnah (Rmi Multimedia, Shah Alam, 2000), ms. 56.
[5]               Sahih: Dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, hadis no: 7615 (Kitab al-Taubah wa al-Inabah) dan beliau berkata: “Hadis ini sahih atas syarat kedua-dua syaikh (al-Bukhari dan Muslim) dan mereka tidak mengeluarkannya.” Ini dipersetujui oleh al-Zahabi.
[6]               Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 6922 (Kitab Istitabah al-Murtaddin… Bab hukum lelaki yang murtad dan wanita yang murtad).
[7]               Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim – Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuh wa Taudih Mazahib al-A’immah (edisi terjemahan oleh Khairul Amru & Faisal Saleh atas judul Shahih Fiqh al-Sunnah; Pustaka Azzam, Jakarta, 2007), jld. 4, ms. 262-266
[8]               Shahih Fiqh al-Sunnah, ms. 266.
[9]               Rujuk riwayat-riwayat tersebut dalam al-Musannaf karya Imam Abd al-Razzaq (tahqiq: Habib al-Rahman al-‘Azhami; al-Maktab al-Islami, Beirut, 1983), jld. 10, ms. 164 dan seterusnya (Bab berkenaan kafir sesudah iman).
[10]             Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 6878 (Kitab al-Diyat, Bab firman Allah: “Jiwa dibalas dengan jiwa”).
[11]             Sahih: Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya dan ia dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, hadis no: 4353 (Kitab al-Hudud, Bab hukuman bagi orang yang murtad).
[12]             Al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqarinan bi al-Qanun al-Wad’i (edisi terjemahan oleh Zakir Aijaz atas judul Criminal Law of Islam; Kitab Bhavan, Delhi, 1999), jld. 3, ms. 58-59.
[13]             Lebih lanjut berkenaan Hadis Ahad, rujuk risalah saya Kedudukan Hadis Ahad: Dari Zaman Awal Islam Sehingga Kini yang dimuatkan dalam buku Himpunan Risalah Dalam Beberapa Persoalan Ummah (Buku 1) terbitan Jahabersa, Johor Bahru.
[14]             Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul (tahqiq: Muhammad Hasan bin Muhammad; Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut 1999), jld. 1, ms. 203-204.
[15]             Fiqh al-Islami wa Adillatuh (edisi terjemahan oleh Ahmad Shahbari Salamon atas judul Fiqh dan Perundangan Islam; Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1997) jld. 6, ms. 178.
[16]             Sebagaimana dikemukakan oleh S.A. Rahman dalam bukunya Punishment of Apostasy in Islam (Kitab Bhavan, Delhi, 1996), ms. 64. Rahman kemudian menolak hujah ini dengan berkata: “This may not perhaps appeal to many as a solid ground for rejection of the hadith which figures in several well known compilations”. Mohammad Hashim Kamali dalam bukunya Freedom of Expression In Islam (Ilmiah Publishers, Kuala Lumpur, 1998), ms. 93 berkata: “Rahman finds some weakness in its transmission (isnad).” Ini adalah satu kesilapan kerana yang mendakwa wujudnya kelemahan adalah Nawab Azam Yar Jang. Rahman hanya menukil dakwaan tersebut, bahkan setelah itu menolaknya.
[17]             Sahih: Dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya, hadis no: 1883 (Kitab al-Haj, Bab Madinah mengeluarkan yang tidak baik).
[18]             Sahih: Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya, hadis no: 1383 (Kitab al-Haj, Bab Madinah mengeluarkan yang buruk darinya).
[19]             Kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat kerana ia dikemukakan al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah (544H) dalam Ikmal al-Mu’lim bi Fawa‘id Muslim (tahqiq: Yahya Ismail; Dar al-Wafa’, Kaherah, 1998), jld. 4, ms. 500. Juga secara ringkas oleh Imam al-Nawawi rahimahullah (676H) dalam al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj (Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut), jld. 5, ms. 276-277 dan al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (852H) dalam Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari (edisi terjemahan oleh Amiruddin atas judul yang sama; Pustaka Azzam, Jakarta, 2004), jld. 4, ms, 394.
[20]             al-Muqhni (Dar al-Fkr, Beirut, 1997), jld. 10, ms. 75 (Kitab al-Murtad, masalah no: 7086).
[21]             Dr. Shalah al-Shawi – Taqrib al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul li Syaikh al- Islam Ibn Taimiyah (edisi terjemahan oleh Ghunaim Ihsan & Ali Ma’mun atas judul Pedang Terhunus: Hukuman Mati Bagi Pencaci Maka Nabi s.a.w.; Griya Ilmu, Jakarta, 2006), ms. 241.
[22]             Sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa (Dar al-Wafa, Kaherah, 2001), jld. 28, ms. 244 dan seterusnya.
Berbagai Hal yang Bisa Membuat Seseorang Murtad
29 September, 2009
category: Aqidah
Tanya: Dengan apakah seorang itu terjerumus ke dalam kekafiran besar alias murtad? Apakah hanya karena keyakinan, pengingkaran dan pendustaan ataukah lebih luas daripada sekedar hal-hal tadi?

Jawab:
Kekafiran atau murtad itu karena beberapa sebab, bisa dikarenakan mengingkari sesuatu yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama atau dengan melakukan perbuatan kekafiran, ucapan kekafiran atau karena tidak peduli dan cuek dengan agama Allah.
Jadi ada orang yang batal imannya karena keyakinan semisal berkeyakinan bahwa Allah memiliki istri atau anak. Atau menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalam memiliki atau mengatur alam semesta. Atau menyakini ada makhluk yang memiliki nama, sifat atau perbuatan sebagaimana Allah. Atau menyakini ada suatu makhluk yang berhak disembah atau menyakini bahwa Allah memiliki sekutu dalam rububiyyah. Dengan keyakinan-keyakinan ini seorang itu terjerumus dalam kekafiran besar yang mengeluarkan dari Islam.
Seorang itu juga bisa murtad karena perbuatan semisal bersujud kepada berhala, mempraktekkan ilmu sihir atau melakukan berbagai bentuk kesyirikan seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah atau berthawaf di selain Ka’bah dalam rangka mendekatkan diri kepada selain Allah. Jadi orang bisa murtad karena perbuatan sebagaimana murtad karena ucapan.
Seorang juga bisa murtad gara-gara ucapan semisal mencaci Allah, mencaci rasulNya, mencaci Islam, atau mengolok-olok Allah, kitabNya, rasulNya, atau agamaNya.
Allah berfirman tentang sekelompok orang dalam perang Tabuk yang mengejek Nabi dan para shahabat
قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُم
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa (QS at Taubah 65-66).
Dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa mereka kafir setelah dulunya beriman, maka ini menunjukkan bahwa kekafiran itu bisa karena perbuatan sebagaimana bisa sebab keyakinan dan bisa dengan ucapan semisal dalam ayat di atas. Orang-orang tersebut kafir gara-gara omongan.
Murtad karena pengingkaran bisa kita nilai sama dengan murtad karena keyakinan. Namun bisa juga kita bedakan. Bedanya yang dimaksud pengingkaran adalah mengingkari hal-hal yang jelas-jelas diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama. Misalnya adalah mengingkari sifat rububiyyah atau uluhiyyah untuk Allah, atau mengingkari bahwa Allahlah yang berhak disembah atau mengingkari adanya malaikat tertentu, mengingkari adanya rasul atau kitab suci tertentu, mengingkari ba’ats (bangkit dari kubur), surga, neraka, balasan amal, hisab, mengingkari wajibnya shalat, wajibnya zakat, haji, puasa, berbakti dengan orang tua, silaturahmi dan hal-hal lain yang telah diketahui secara pasti sebagai bagian dari agama yang hukumnya adalah wajib. Demikian pula halnya dengan mengingkari haramnya zina, riba, minum khamr, durhaka dengan orang tua, memutus hubungan kekerabatan, suap dan hal-hal lain yang diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama yang hukumnya adalah haram.
Orang juga bisa murtad karena cuek terhadap agama Allah dan meninggalkan atau menolak agama Allah semisal cuek tidak mau mempelajari agama dan tidak mau menyembah Allah. Orang yang semisal ini murtad disebabkan sikap cueknya.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ
Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka (QS al Ahqaf:3).
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآياتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ .
Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa (QS as Sajdah:22).
Walhasil murtad itu bisa gara-gara pengingkaran, perbuatan, ucapan atau cuek dan tidak peduli.
Orang yang dipaksa untuk mengucapkan ucapan kekafiran atau perbuatan kekafiran itu dimaafkan jika paksaannya adalah paksaan yang menyebabkan tidak ada pilihan lain. Semisal dipaksa oleh seseorang yang bisa mewujudkan ancamannya dengan diancam untuk dibunuh dan orang tersebut memang bisa membunuh. Atau orang tersebut meletakkan pedang dileher orang yang dipaksa. Dalama kondisi semisal ini orang yang dipaksa tadi dimaafkan jika melakukan perbuatan kekafiran atau ucapan kekafiran dengan catatan hatinya tetap mantep dengan keimanan. Jika hatinya mantep dengan kekafiran yang dipaksakan pada dirinya tersebut maka orang yang dipaksa tadi berstatus murtad meskipun dia adalah seorang yang dipaksa.
Seorang yang melakukan kekafiran itu terbagi dalam lima kondisi
1) melakukan perbuatan kekafiran secara serius
2) melakukan perbuatan kekafiran secara main-main
3) melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi ketakutan
4) melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi dipaksa namun hatinya merasa mantep dengan kekafiran. Pelaku kekafiran dalam empat kondisi di atas imannya batal.
5) melakukan perbuatan kekafiran dalam kondisi dipaksa sedangkan hati merasa tetap mantep dengan keimanan. Dalam kondisi kelima ini pelaku kekafiran tidaklah murtad mengingat firman Allah
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ذَلِكَ بِأَنَّهُمُ اسْتَحَبُّوا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْآخِرَةِ وَأَنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.yang demikian itu disebabkan karena Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir (QS an Nahl 106-107).

Kamis, 19 Maret 2009

Pengertian Musyrik, Syirik, Munafik, Kafir, Murtad, Namima

MUSYRIK
Pengertian Musyrik
Musyrik adalah orang yang mempersekutukan Allah, mengaku akan adanya Tuhan selain Allah atau menyamakan sesuatu dengan Allah. Perbuatan itu disebut musyrik.
Firman Allah ; “Ingatlah Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya:’Hai anakku!janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar’ “ [Qs Luqman:13]

Dengan demikian org musyrik disamping menyembah Allah mengabdikan kepada Allah, juga mengabdikan dirinya kepada yang selain Allah.JAdi org musyrik itu ialah mereka yg mempersekutukan Allah baik dalam bentuk I’tikad (kepercayaan), ucapan mahupun dalam bentuk amal perbuatan. Mereka (org musyrik) menjadikan mahkluk yang diciptakan Allah ini baik yang berupa benda mahupun manusia sebagai Tuhan dan menjadikan sebagai An dad, Alihah, Thoughut dan Arbab…..

i. Alihah ialah suatu kepercayaan terhadap benda dan binatang yang menurut keyakinannya dapat memberikan manfaat serta dapat menolak bahaya. Misalnya kita memakai cincin merah delima, dan kita yakin bahawa dengan memakainya dapat menghindarkan bahaya. Adapun kepercayaan memelihara burung Terkukur dapat memberikan kemajuan dalam bidang perniagaannya. Dan itulah dinamakan Alihah, yakni menyekutukan Allah dengan binatang dan benda (Kepada Makhluk).

ii. Andad, sesuatu perkara yang dicintai dan dihormati melebihi daripada cintanya kepada Allah, sehingga dapat memalingkan seseorang dari melaksanakan ketaatan terhadap Allah dan RasulNya. Misalnya saja seorang yang senang mencintai kepada benda, keluarga, rumah dan sebagainya, dimana cintanya melebihi cintai terhadap Allah dan RasulNya, sehingga mereka melalaikan dalam melaksanakan kewajiban agama, kerana terlalu cintanya terhadap benda tersebut (makhluk tersebut).

iii. Thoghut ialah orang yang ditakuti dan ditaati seperti takut kepada Allah, bahkan melebihi rasa takut dan taatnya kepada Allah, walaupun keinginan dan perintahnya itu harus berbuat derhaka kepadaNya.

iv. Arbab, ialah para pemuka agama (ulama,ustad) yang suka memberikan fatwa, nasihat yang menyalahi ketentuan (perintah dan Larangan) Allah dan RasulNya, kemudian ditaati oleh para pengikutnya tanpa diteliti dulu seperti mentaati terhadap Allah dan RasulNya. Para pemuka agama itu telah menjadikan dirinya dan dijadikan para pengikutnya Arbab (Tuhan selain Allah).

Bentuk musyrik ini menyesatkan terhadap perilaku manusia. Dan dengan memiliki aqidah seperti itu dapat menghilangkan Keimanan.
Syirik
Pengertian Syirik
Syirik adalah perbuatan menyembah atau menyekutukan sesuatu selai Allah dan ini adalah dosa besar. Dan berikut ini contoh - contoh Syirik:
a.Menyembah sesuatu selain Allah
Menyembah sesuatu selain Allah adalah termasuk syrik yang paling berat dan tinggi. Mereka ini menyembah benda-benda, patung, batu, kayu, kubur bahkan manusia dan lain-lainnya. Mereka percaya bahawa benda-benda (makhluk) tersebut adalah tuhan-tuhan yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan. Termasuk dalam tahap syrik seperti ini adalah mengadakan pemujaan seseorang tokoh pepimpin.

b.Mempersekutukan Allah.
Artinya mempercayai bahawa makhluk selain Allah itu mempunyai sifat-sifat seperti yang ada pada Allah.
Dalam kategori mempersekutukan Allah ini adalah faham Trinti menurut kepercayaan Kristian, begitu faham Trimurti menurut kepercayaan agama Hindu, yang mempercayai bahawa Tuhan itu ada tiga, iaitu Brahman (tuhan menciptakan alam seisinya),Wisnu(Tuhan yang memelihara Alam) dan Syiwa (Tuhan yang menghancurkan alam).

c.Mempertuhankan Manusia.
Mempertuhankan manusia atau menjadikan manusia sebagai tuhannya adalah termasuk syrik atau mempersekutukan Allah. Termasuk didalam mengtuhankan manusia itu adalah pemuka-pemuka agama,ulama, pendita, para auliya’,para solehin dan sebagainya.
Dalam ajaran ilmu Tauhid terlalu mengagungkan, mendewakan seseorang itu dinamakan Ghuluwwun. Ertinya keterlaluan dalam mengagungkan dan meninggikan darjat makhluk sehingga ditempatkan pada kedudukan yang bukan sepatutnya menempati kedudukan itu kecuali Allah.

Bahaya Syrik
Firman Allah:
“Maka apakah orang kafir (musyrik) menyangka bahawa mereka (dapat) mengambil hamba-hamba-Ku menjadi penolong selain Aku? Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka jahanam tempat tinggal bagi orang-orang kafir(musyrik)” [Qs Al Kahfi:102]

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampunkan dosa syrik, dan Dia mengampuni dosa-dosa selain dari syrik itu bagi siapa yang dikehendakiNya. BArangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya” [Qs At Taubah:113]

Sabda Rasulullah:
“Sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kamu sekalian ialah syrik yang paling kecil. Ketika Nabi SAW ditanya:’Apa syrik kecil itu?’,Nabi SAW bersabda:”Ri’yak”
Imam Muslim meriwayatkan, yang datangnya dari Nabi SAW baginda bersabda:”Barangsiapa yang menjumpai Allah (meninggal dunia) dalam keadaan tidak mempersekutukanNya dengan sesuatu apapun, dimasuk syurga dan barangsiapa menjumpai Allah keadaan mempersekutukanNya dengan sesuatu, dia masuk neraka”

MUNAFIK Pengertian Munafik
Munafik adalah orang yang termasuk golongan orang yang tidak mendapat hidayah atau petunjuk dari Allah, sehingga jalan hidupnya yang ditempuhi tidaklah mengandungi nilai-nilai ibadah dan segala amal yang dikerjakan tidak mencari keredhaan Allah.
Orang munafik adalah orang yang bermuka dua, mengaku beriman padahal hatinya ingkar. Perbuatan orang munafik disebut Nifaq. Mereka ini hanya pada mulutnya saja, kemudian dalam perbuatannya sehari-hari tampak baik, tapi hanya tipu belaka saja.
Artinya segala amal perbuatan yang dikerjakan itu bukan ditegakkan di atas dasar keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah, akan tetapi hanya didasarkan pada perasaan dan hawa nafsunya semata-mata untuk mencari muka, penampilan, mengambil hati dalam masyarakat dan pandangan orang belaka. Segala perbuatan baiknya itu hanya dijadikan tempat berlindung untuk menutupi segala keburukan I’tikad dan niatnya.

Tanda-tanda munafik.
a. Ingin menipu daya Allah.
Firman Allah: “Dan diantara manusia ada yang mengatakan,’aku beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian,’padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang yang beriman.Mereka itu hendak menipu Allah berserta orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri,sedang mereka tidak sedar” [Qs Al Baqarah: 8-9]

b. Lebih suka memilih orang kafir sebagai pepimpinnya.
Firman Allah maksudnya:
“…..(iaitu) orang yang mengambil orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan disisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” [Qs An Nisa’ :139]

c. Tidak ingin diajak berhukum dengan hukum Allah dan RasulNya.
Firman Allah:
“Apabila dikatakan kepada mereka (org munafik):”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia ) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu” [Qs An Nisa:61]

d. Malas menegakkan solat, tapi kalau solat suka menunjuk-nunjuk (riyak)
Firman Allah: “Dan bila mereka berdiri untuk melaksanakan solat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riyak dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka itu menyebut asma Allah, kecuali sedikit sekali [Qs An Nisa:142]

e. Berdusta apanbila berkata, menyalahi janji dan khinat (pecah amanah)
“Tanda-tanda orang munafik itu ada 3 macam, apabila berkata suka berdusta,apabila berjanji selalu menyalahi dan apabila diberi kepercayaan (amanah) suka khinat”
[Hr muslim dan bukhari]

Pengaruh munafik bagi kehidupan bermasyarakat.
Dalam sejarah telah banyak membuktikan bahawa umat Islam zaman dulu sering diperdaya oleh orang munafik dan hal itu akan berterus sampai zaman sekarang bahkan zaman yang akan datang dari generasi ke generasi. Oleh kerana itu kita umat Islam dimana saja berada hendaknya berhati-hati terhadap orang munafik yang berhasrat mematahkan semangat juang kita umat Islam, memporak-perandakan kekuatan Islam, memadamkan cahaya Allah ditengah-tengah orang Islam dan selalu kerosakan dan kekacauan dimana-mana.

“Mereka (orang munafik) hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan) mereka. Dan Allah telah menyempurkan cahayaNya, meskipun orang kafir membenci.” [Qs Asy-Shaf;8]

KAFIR Pengertian Kafir
Kafir bermakna orang yang ingkar,yang tidak beriman (tidak percaya) atau tidak beragama Islam. Dengan kata lain orang kafir adalah orang yang tidak mahu memperhatikan serta menolak terhadap segala hukum Allah atau hukum Islam disampaikan melalui para Rasul (Muhammad SAW) atau para penyampai dakwah/risalah. Perbuatan yang semacam ini disebut dengan kufur.

Kufur pula bermaksud menutupi dan menyamarkan sesuatu perkara. Sedangkan menurut istilah ialah menolak terhadap sesuatu perkara yang telah diperjelaskan adanya perkara yang tersebut dalam Al Quran. Penolakan tersebut baik langsung terhadap kitabnya ataupun menolak terhadap rasul sebagai pembawanya.

‘Sesungguhnya orang kafir kepada Allah dan RasulNya, dan bermaksud memperbezakan antara Allah dan RasulNya seraya (sambil) mengatakan:’Kami beriman kepada yang sebahagian (dari Rasul itu / ayat Al Quran) dan kami kafir (ingkar) terhadap sebahagian yang lain. Serta bermaksud (dengan perkataanya itu) mengambil jalan lain diantara yang demikian itu (iman dan kafir). Merekalah orang kafir yang sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk mereka itu seksaan yang menghinakan” [Qs An Nisa, 150-151]

Pembahagian Kafir.
i. Kafir yang sama sekali tidak percaya akan adanya Allah, baik dari segi zahir dan batin seperti Raja Namrud dan Firaun.

ii. Kafir jumud (ertinya membantah). Orang kafir jumud ini pada hatinya (pemikirannya) mengakui akan adanya Allah TAPI tidak mengakui dengan lisannya, seperti Iblis dan sebagainya.

iii. Kafir ‘Inad .Orang kafir ‘Inad ini, adalah mereka pada hati (pemikiran) dan lisannya (sebutannya) mengakui terhadap kebenaran Allah, TAPI tidak mahu mengamalkannya , mengikuti atau mengerjakannya seperti Abu Talib.

iv. Kafir Nifaq yaitu orang yang munafik. Yang mengakui diluarnya,pada lisannya saja terhadap adanya Allah dan Hukum Allah, bahkan suka mengerjakannya Perintah Allah, TAPI hatinya (pemikirannya) atau batinnya TIDAK mempercayainya.

Tanda Orang Kafir.
a.Suka pecah belahkan antara perintah dan larangan Allah dengan RasulNya.
b.Kafir (ingkar) perintah dan larangan Allah dan RasulNya.
c.Iman kepada sebahagian perintah dan larangan Allah (dari Ayat Al Quran),tapi menolak sebahagian daripadanya.
d.Suka berperang dijalan Syaitan (Thoghut).
e.Mengatakan Nabi Isa AL Masihi adalah anak Tuhan.
f.Agama menjadi bahan senda gurau atau permainan .
g.Lebih suka kehidupan duniawi sehingga aktiviti yang dikerjakan hanya mengikut hawa nafsu mereka, tanpa menghiraukan hukum Allah yang telah diturunkan.
h.Mengingkari adanya hari Akhirat, hari pembalasan dan syurga dan neraka.
i.Menghalangi manusia ke jalan Allah.

Hubungan Orang Kafir.
Berhubungan Muslim dengan Orang kafir adalah tidak dilarang, dicegah bahkan dibolehkan oleh Islam, KECUALI adanya perhubungan (bertujuan) yang memusuhi Allah dan RasulNya (Hukum Allah), termasuk merosakkan aqidah Islam.

MURTAD
Perertian Murtad,
Ialah orang Islam yang keluar dari Islam yakni mengingkari semua ajaran Islam, baik dari segi Keyakinan, ucapan dan/atau perbuatannya Semua amalan orang murtad akan dimusnahkan dan tidak nilai pada hari akhirat nanti. Apabila ia tidak segera kembali kepada Islam serta bertaubat bersungguh-sungguh.
NAMIMAH
Pengertian An-Namimah (menebar fitnah)
Namimah adalah menukilkan perkataan dua orang yang bertujuan untuk berbuat kerusakan, menimbulkan permusuhan dan kebencian kepada sesama mereka, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: "Dan janganlah kamu mentaati setiap penyumpah yang hina, yang banyak mencela dan kian kemari menebar fitnah". (QS. al-Qalam: 10-11)
Contoh dari Namimah ini: ketika si A berkata kepada si B tentang si C; bahwa si C itu orangnya tamak, rakus, lalu si B tanpa tabayyun (klarifikasi) menyampaikan kepada si C perkataan si A dengan tujuan agar si C marah dan benci kepada si A, sehingga dengan demikian si B dapat dikatakan sebagai orang yang berbuat Fitnah (Namimah) yaitu sebagai penyebar fitnah.

MURTAD MENGIKUT PANDANGAN ULAMA' ISLAM
Disediakan oleh:
(Dr Zakaria @ Mahmod bin Daud, KIAS)

Pendahuluan
Akhir-akhir ini isu murtad menjadi satu isu hangat diperkatakan oleh masyarakat Islam di mana-mana sahaja, ia ada disiar dalam akhbar-akhbar, majalah-majalah dan disebut dalam ceramah-ceramah bahkan ada kes-kes tertentu diangkat ke mahkamah. Selain itu pengikut-pengikut kumpulan ajaran sesat ada di seluruh Malaysia dan mereka menghayati ajaran itu samada terang-terangan atau secara senyap-senyap seperti pengikut ajaran Ayah Pin, Anti Hadis dan lain-lain. Selain itu, mungkin ramai dari umat Islam di Malaysia tidak mengetahui apa sebenarnya murtad sehingga ada yang menganggap murtad hanya terjadi apabila seseorang itu menukar agama, masuk agama Kristian, agama Hindu dan sebagainya. Manakala yang mengamalkan ajaran-ajaran sesat seperti ajaran Ayah Pin, Hassan Anak Harimau dan lain-lain tidak dianggap murtad. Perkara ini tidak dianggap sensitif, yang dianggap sensitif hanya yang masuk Kristian, Hindu, Budha dan agama-agama lain. Kertas ini penulis akan mengulas mengenai murtad secara lebih luas mengikut pandangan ulama' Islam.
Definisi Murtad.
Murtad dari segi bahasa bermaksud "Kembali". Manakala dari segi istilah ia bermaksud meninggal atau keluar dari agama Islam dan memeluk mana-mana agama atau mana-mana aqidah lain atau mana-mana ajaran sesat dan menyeleweng samada dengan melalui perkataan atau melalui perbuatan atau apa-apa iktiqad, kepercayaan dan keyakinan hati.
Murtad atau keluar dari agama Islam merupakan satu jenayah besar dalam Islam; Ia dianggap kufur yang paling jijik dan keji, malah lebih keji dari kufur biasa, kerana orang murtad dianggap menghina Islam, menghina Allah S.W.T. dan Rasulullah S.A.W. Sebab itu, orang murtad mesti dijatuhkan hukuman bunuh setelah disuruh bertaubat beberpa kali sedangkan dia tetap tidak mahu bertaubat.
Allah berfirman, ertinya :
Dan sesiapa diantara kamu yang murtad (berpaling tadah) dari agamanya (agama Islam) lalu dia mati, sedang dia tetap kafir, maka orang yang demikian rosaklah amal usahanya (yang baik) di dunia dan di akhirat dan mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya (selama-lamanya).
(surah al-Baqarah : 217)
Rasulullah bersabda, ertinya :
Sesiapa yang menukar agamanya maka hendaklah kamu membunuhnya.
(Hadis riwayat al-Bukhari)
Perkara-perkara yang Boleh Menjadi Murtad.
Mengikut Islam, murtad boleh terjadi dengan melalui salah satu dari tiga perkara berikut; melalui perkataan, ucapan dan kata-kata, melalui perbuatan atau tingkah laku dan melalui iktiqad, kepercayaan dan keyakinan dalam hati atau niat. Di bawah ini akan dijelaskan sebab-sebab tersebut.
a) Melalui Perkataan / Ucapan dan Kata-kata.
Murtad boleh berlaku dengan perkataan atau ucapan dan kata-kata. Apabila ucapan dan kata-kata tersebut menolak hukum-hukum Islam dan prinsip-prinsip ajaran Islam yang diketahui oleh semua orang atau kata-kata yang menghina apa-apa ajaran Islam, hukum hakam Islam, menghina Nabi Muhammad S.A.W. dan nabi-nabi lain, menghina Allah S.W.T. dan sebagainya, atau seseorang itu mengingkari wajib mengeluarkan zakat, wajib puasa, wajib sembahyang lima waktu, wajib haji dan lain-lain, atau dia berkata minum arak tidak haram, berzina harus, apatah lagi kalau suka sama suka, riba' diharuskan (tidak haram), dikatakan al-Quran bukan kalam Allah atau kata-kata yang merendahkan dan menghina Sunnah Rasulullah, umpamanya apabila diterang kepadanya bahawa mengerat kuku adalah Sunnah Rasulullah S.A.W. Apabila dia mendengar kata-kata itu, dia menjawab, "aku tidak akan kerat kuku, walaupun ia Sunnah Rasulullah (dengan niat mahu menghina sunnah tersebut)". Atau dia berkata, "sekiranya Allah S.W.T. dan Rasulullah S.A.W. menyuruh aku kerjakan anu-anu, aku tidak akan melakukannya". Atau dia berkata,"Aku tidak tahu adakah nabi itu manusia atau jin". Atau pun dia berkata,"Aku tidak tahu apa itu iman". Semua kata-kata di atas adalah ucapan yang menghina / mengejek ajaran Islam, maka dengan kata-kata sedemikian seseorang itu boleh menjadi murtad.
Begitu juga seseorang yang zalim,apabila dia mendengar orang yang dizaliminya berkata,"Ini, (kezaliman yang dilakukan ke atasnya) adalah ketetapan Allah dan takdir Tuhan", maka orang zalim tadi sebaik sahaja mendengar kata-kata di atas dia terus berkata dengan sombong,"Aku lakukan itu bukan dengan takdir Allah S.W.T. tetapi dengan kuasa yang ada padaku", maka kata-kata orang zalim sedemikian itu boleh menjadi murtad.
Begitu juga kalau seseorang Islam menghalalkan hukum yang haram oleh Allah dan RasulNya atau sebaliknya mengharamkan sesuatu yang halal yang telah disepakati oleh para ulama' tetang halal atau haramnya perkara itu seperti dia menghalalkan zina, menghalalkan liwat, menghalalkan minum arak, atau mengharamkan perkahwinan, mengharamkan jual beli dan seterusnya. Maka sikap sedemikian boleh menjadi murtad.
Dalam buku Mustika Hadis, ada menyebut beberapa contoh kata-kata yang boleh membatalkan iman seseorang atau yang boleh menjadi murtad iaitu:
Kata-kata (menghina atau merendahkan) mana-mana hukum Islam seperti :
• Hukum apa ini ?
• Hukum ini sudah lapuk.
• Zaman sekarang tidak sepatutnya diharamkan riba' kerana menghalang kemajuan.
• Dalam zaman serba maju ini kaum wanita tak perlu dibungkus-bungkus (tutup aurat dengan memakai telekong).
• Berzina kalau suka sama suka apalah haramnya?
• Minum arak kalau dengan tujuan hendak menyihatkan badan untuk beribadat apa salahnya.
• Berjudi kalau masing-masing sudah rela menerima untung ruginya apa salahnya.
• Kalau hendak sangat menurut hukum-hukum Islam, sampai kiamat kita tidak maju.
• Seseorang berkata,"Perbuatan yang demikian tidak beradab", apabila diceritakan bahawa Nabi Muhammad SAW selepas makan baginda menjilat sisa makanan dijarinya (sebelum dibasuh tangan).
• Seseorang berkata,"Aku tidak mahu memotong kuku sekalipun sunnah", apabila diberitahu bahawa memotong kuku adalah sunnah.
• Membaca ayat-ayat suci al-Quran, hadith nabi dan nama-nama Allah dengan cara mempersenda dan mempermain-mainkannya.
Ungkapan yang disebut di atas adalah beberapa contoh kata-kata yang boleh menjadi murtad.
b) Melalui Perbuatan atau Tingkah Laku.
Apabila seseorang Islam melakukan apa-apa perbuatan atau apa-apa tingkah laku yang boleh membatalkan imannya maka orang itu boleh menjadi murtad seperti sujud kepada berhala, matahari, bulan, manusia, kepada malaikat atau kepada mana-mana makhluk lain atau melakukan ibadat terhadap selain daripada Allah S.W.T. Seperti menyembah batu, pokok kayu dan lain-lain
Begitu juga mana-mana perbuatan yang menghina, merendah dan mempersendakan Islam seperti mencampakkan al-Quran ke tempat-tempat kotor secara sengaja atau kitab-kitab hadith dan tafsir atau memijak-mijaknya dengan niat menghina. Dalam buku Mustika Hadith ada menyebut perbuatan yang boleh menjadi murtad seperti meletakkan ayat-ayat suci al-Quran, hadith-hadith nabi, nama-nama Allah, rasul-rasulNya, malaikat dan ilmu-ilmu agama di tempat najis atau kotor dengan tujuan menghina dan merendahkannya.
Begitu juga seseorang yang meninggalkan sembahyang Fardhu atau puasa Ramadhan dalam keadaan mengingkari wajibnya atau mengatakan ia tidak wajib, maka dia boleh menjadi murtad kerana dia mengingkari satu perkara yang memang diketahui oleh orang ramai bahawa perkara itu adalah wajib ke atas setiap orang Islam. Tetapi kalau dia meninggalkan kerana malas, sedangkan dia yakin sembahyang atau puasa itu wajib, maka ia tidak menjadi murtad.
Apa yang disebut adalah sebahagian dari contoh-contoh yang boleh memurtadkan seseorang Islam melalui perbuatan dan tingkah laku.
c) Melalui Akidah atau Kepercayaan atau Niat.
Murtad melalui akidah, kepercayaan atau niat akan berlaku apabila seseorang Islam mengingkari dalam hatinya mengenai kebenaran ajaran Islam seperti dia yakin ajaran Islam sama sahaja dengan ajaran agama lain, atau yakin bahawa agama lain lebih baik dari agama Islam, dia yakin hukum hudud (jinayah Islam) tidak layak dilaksanakan sekarang dalam masyarakat moden.
Begitu juga apabila seseorang Islam yakin Allah tidak berkuasa, Allah tidak mencipta alam ini, Allah lemah, mempunyai sifat sama seperti makhluk dan lain-lain lagi. Demikian juga jika seseorang itu percaya bahawa Nabi Muhammad SAW bukan nabi akhir zaman, syariat dan ajaran Islam yang dibawa bukan untuk seluruh manusia, atau dia percaya hukum Islam yang dibawa oleh baginda adalah hukum-hukum lapok, tidak sesuai dengan keadaan zaman. Dia menghina apa-apa ajaran yang dibawanya, dia beriktiqad tidak ada dosa dan pahala, tidak ada syurga dan neraka, manusia tidak dibangkit semula sesudah mati, beriktiqad agama orang kafir lebih baik dari agama Islam, atau berbalik-balik hati antara mahu manjadi kafir pada masa akan datang dan lain-lain lagi keyakinan dan iktiqad yang salah.
Hukum Orang Murtad.
Orang murtad dikenakan ke atasnya beberapa hukum iaitu, pertama; disuruh bertaubat, kedua; dihukum bunuh kalau tidak mahu bertaubat, ketiga; dirampas hartanya (ditarik hak milik harta), keempat; terputus hubungan suami isteri dan tidak boleh pusaka mempusakai antara suami isteri, ayah ibu dan anak-anak, kelima; penyembelihannya tidak halal dan pahala ibadatnya terbatal. Dibawah ini diterangkan hukum-hukum secara ditil.
a) Disuruh Bertaubat.
Apabila seseorang telah sabit murtad, dia perlu diberi nasihat dan kaunseling, juga disuruh bertaubat beberapa kali. Jika tidak mahu bertaubat setelah disuruh berulang kali dia mesti dibunuh. Tempoh masa untuk bertaubat tersebut – mengikut Jumhur ulama’ – selama tiga hari tiga malam, tetapi mengikut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahawa dia diberi peluang suruh bertaubat selama kira-kira dua puluh malam.
Apabila seseorang murtad itu sedar dan mahu bertaubat serta mahu memeluk Islam semula, taubatnya diterima, dengan melalui beberapa perkara: Pertama, dia perlu mengucap dua kalimah syahadah semula. Kedua, dia perlu membuat pengakuan atau ikrar di atas apa yang dia ingkar yang menyebabkan dia menjadi kafir (murtad), dan melepaskan diri daripada segala ajaran yang menyalahi agama Islam. Umpamanya jika dia murtad dengan sebab percaya adanya dua Tuhan atau mengingkari risalah Nabi Muhammad S.A.W., maka sewaktu bertaubat dengan mengucapkan dua kalimah syahadah, dia perlu membuat pengakuan yang Tuhan hanya satu bukan dua, dan mengaku memang betul dan benar bahawa Nabi Muhammad SAW adalah nabi akhir zaman.
b) Dijatuhkan Hukum Bunuh.
Apabila orang yang murtad tidak mahu bertaubat setelah dinasihatkan dan dikaunseling dalam masa tempoh yang ditentukan, maka tidak ada jalan lain dia mesti dijatuhkan hukum bunuh dengan segera dengan dipancung lehernya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a., baginda bersabda, ertinya:
Sesiapa yang menukar agamanya maka hendaklah kamu membunuhnya.
(Hadis riwayat al-Bukhari)
Hadis lain diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asyari r.a. yang bermaksud “Bahawa baginda S.A.W. berkata kepadanya, “Pergilah kamu ke negeri Yaman”, kemudian baginda menghantar Muaz bin Jabal selepas itu. Apabila Muaz sampai ke tempat Abu Musa, Abu Musa menjemput Muaz dengan memberi sebiji bantal alas duduk serta berkata, “Sila duduk”, sedangkan di majlis itu ada seorang yang badannya diikat, Muaz bertanya, “Apa hal orang ini?”. Abu Musa menjawab, “Orang ini asalnya Yahudi, dia telah masuk Islam kemudian dia balik menganut agama Yahudi semula”. Muaz berkata, “Aku tidak akan duduk sehingga dia dibunuh (terlebih dahulu), itulah hukum Allah dan RasulNya”. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas jelas bahawa orang yang murtad mesti dibunuh segera apabila dia enggan bertaubat. Hukum bunuh seperti di atas telah pun dijalankan oleh sahabat-sahabat Rasulullah S.A.W., antaranya Abu Bakar r.a., Umar bin al-Khattab dan Ali bin Abu Talib r.a. sewaktu pemerintahan masing-masing.
Hukum tersebut di atas, tidak sekali-kali bertentangan dengan “dasar kebebasan beragama”, atau dasar “لا إكراه في الدين” (Tidak ada paksaan dalam agama). Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah dalam al-Quran, kerana dasar ini tidak ada hubungan sama sekali dengan soal orang murtad.
Soal murtad dan soal kebebasan beragama adalah dua masalah yang berlainan. “Tidak ada paksaan dalam agama” bererti; orang-orang Islam tidak boleh sama sekali memaksa orang kafir memeluk Islam, kerana hakikat iman dan kufur telah dijelaskan dalam al-Quran, dalam hadis dan juga oleh para ulama’ dalam dakwah mereka, maka terserah kepada seseorang itu sama ada mahu beriman dan taat atau pun mahu kekal kufur dan ingkar. Selain itu, kalau dipaksa orang kafir supaya memeluk Islam, maka Islamnya tidak sah.
Ini berlainan halnya dengan orang Islam yang murtad, kerana apabila seseorang itu murtad sama ada melalui iktikad, atau percakapan dan tuturkata atau melalui perbuatannya, ini bererti dia telah melakukan jenayah, bukan sahaja kepada dirinya sendiri, tetapi juga kepada keluarga, masyarakat dan umat Islam seluruhnya. Antara jenayah-jenayah yang dilakukan ialah:
a) Dia memang menganggap dirinya betul dan pandai, umat Islam lain semuanya dianggap salah dan bodoh belaka. Ini bererti dia menghina dan memusuhi masyarakat Islam.
b) Dia menyalahkan agama Islam kerana didorong oleh nafsunya, dia tidak mahu terikat kepada suruhan Allah dan Rasul serta larangan keduanya. Ini bererti dia menghina agama Islam yang menjadi pegangan hidupnya dan dihormati oleh seluruh umat Islam.
c) Dia akan menjadi contoh buruk bagi orang-orang lain yang akan terpengaruh kepada diayahnya. Ini akhirnya akan meruntuhkan ajaran Islam.
Oleh sebab jenayah orang yang murtad sangat besar dan bahaya, maka hukum Islam yang ditetapkan supaya dilaksanakan di dunia dengan dijatuhkan hukum bunuh dan balasan azab seksa di akhirat kelak amatlah adil dan setimpal dengan jenayahnya yang besar itu.
c) Dirampas Hartanya.
Setelah sabit seseorang Islam itu murtad, maka segala harta miliknya perlu dirampas dari miliknya (ditahan hak milik terhadap harta itu) dan diletak dibawah pengawasan Ketua Negara atau wakilnya. Jika harta itu perlu diambil untuk urusan perbelanjaan dirinya sebelum dijatuhkan hukuman bunuh, pihak kerajaan boleh mengambil dari hartanya sekadar perlu sahaja.
Sekiranya dia bertaubat memeluk Islam semula, harta tersebut perlu diserah balik kepadanya. Ini bererti harta tersebut masih dianggap hartanya cuma ditahan hak milik buat sementara. Tetapi sekiranya dia tetap tidak mahu bertaubat, bahkan dijatuhkan hukuman bunuh, maka harta tersebut menjadi milik kerajaan dikira semenjak dia mula-mula murtad lagi.
Harta orang yang murtad tidak boleh dipusakai oleh waris-warisnya dan dia juga tidak boleh menerima harta pusaka dari waris-waris lain kerana diantara syarat untuk membolehkan seseorang menerima harta pusaka ialah waris tersebut sama-sama beragama Islam, sedangkan orang itu telah menjadi kafir.
Rasulullah SAW ada bersabda, ertinya :
Orang Islam tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang Islam.
(Hadis riwayat al-Bukhari)
d) Terputusnya Hubungan Suami Isteri.
Orang murtad dianggap sebagai orang yang sudah mati, kerana dia akan dijatuhkan hukum bunuh apabila tidak mahu bertaubat. Sebab itu kalau sekiranya salah seorang suami atau isteri murtad maka pernikahan kedua-duanya terbatal walaupun begitu, kalau sekiranya yang murtad kembali bertaubat (masuk Islam semula) dalam masa 'idah isterinya belum habis (tamat) maka kedua-dua bekas pasangan suami isteri tersebut dikira kembali seperti asal, tidak perlu kepada akad nikah baru. Tetapi kalau dia tidak bertaubat dalam masa 'idah masih belum habis, nikah tersebut dianggap terbatal. Kalau dia bertaubat (kembali kepada Islam semula) selepas habis 'idah, dia perlu diakad nikah semula dengan maskahwin baru jika mahu meneruskan hubungan suami isteri yang sah.
Selain itu orang murtad, pernikahannya tidak sah samada dia mahu berkahwin sendiri dengan orang lain atau dia mahu menjadi wali nikah untuk perkahwinan orang lain.
e) Penyembelihannya Tidak Halal dan Segala Pahala Amalan Ibadat Terbatal.
Penyembelihan orang murtad tidak halal dan haram dimakan. Hukumnya sama dengan hukum penyembelihan orang kafir yang menyembah berhala. Kalau dia menganut agama ahli al-Kitab seperti menganut agama Nasrani (Kristian) sekali pun penyembelihannya tetap haram.
Selain itu pahala amalan soleh atau pahala ibadat yang dikerjakan - walau berapa banyak sekali pun - menjadi gugur dan terbatal, menjadi sia-sia, sebagaimana Allah berfirman, ertinya :
Sesiapa yang kufur (ingkar syariat Islam) sesudah dia beriman maka sesungguhnya gugur dan terbatal segala (pahala) amalan baiknya dan dia di akhirat nanti tergolong dari golongan orang yang rugi.
(Surah al-Maidah : ayat 5)
Ini akan berlaku kalau sekiranya dia murtad secara berterusan sehingga mati dalam kufur. Tetapi kalau sekiranya dia bertaubat dan kembali kepada Islam semula, maka dia dituntut supaya mengqada'kan amal-amal ibadat seperti sembahyang, puasa dan zakat yang ditinggalkan sepanjang tempoh murtad tersebut. Ada pun haji yang dikerjakan sebelum murtad tidak perlu diqada'kan.
Mayat Orang Murtad yang Dihukum Bunuh
Mayat orang murtad yang dihukum bunuh tidak boleh diurus seperti mayat-mayat orang Islam. Mayat tersebut tidak perlu dimandi kerana dia telah keluar daripada Islam, tetapi kalau dimandikan ia adalah harus. Juga tidak boleh disembahyangkan kerana sembahyang mayat ke atas orang kafir adalah haram. Sebagaimana Allah berfirman, ertinya :
Jangan kamu sembahyang ke atas seorang pun yang mati dari orang-orang kafir itu selama-lamanya.
(surah al-Taubah : ayat 84)
Demikian juga tidak harus dikebumi di tanah perkuburan orang Islam, bahkan harus dikebumikan di tanah perkuburan orang kafir atau di tempat khas yang berasingan.
Kesimpulan
Dari ulasan-ulasan yang panjang lebar di atas jelaslah bahawa murtad mengikut pandangan Islam merupakan satu jenayah yang paling besar dan paling bahaya kerana ia menghina Islam, menghina Allah S.W.T. dan Rasulullah S.A.W. Oleh itu hukum bunuh dengan memancung leher adalah satu hukuman yang setimpal dengan jenayah yang dilakukan. Hukum tersebut juga untuk menakutkan orang lain supaya tidak malakukan jenayah seperti itu.
Selain itu apabila murtadnya seseorang Islam, beberapa hukum lain dikenakan ke atasnya, seperti hartanya perlu dirampas oleh pemerintah, terpisah hubungan suami isteri, tidak boleh mempusakai harta, mayatnya tidak boleh dimandikan, disembahyang dan ditanam di perkuburan Islam dan lain-lain lagi.
Semoga kertas ini dapat memberi penjelasan kepada masyarakat mengenai murtad mengikut pandangan ulama' Islam.


Hukum Murtad Dalam Islam

وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىَ يَرُدُّوكُمْ عَن دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُواْ وَمَن يَرْتَدِدْ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُوْلَـئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“ Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “ ( Qs Al Baqarah : 217 )
Pengertian Riddah :
Riddah secara bahasa adalah kembali ke belakang, sebagaimana firman Allah swt :
وَلا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“ Dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi.”( Qs Al Maidah : 21 )
Adapun pengertian Riddah secara syar’I para ulama berbeda di dalam mendefinisikannya, diantaranya sebagai berikut :
Berkata Al Kasani ( w : 587 H ) dari madzhab Hanafi :
أما ركن الردة فهو إجراء كلمة الكفر على اللسان بعد وجود الإيمان.
“ Riddah adalah mengucapkan kata-kata kekafiran setelah dia beriman. “ (Bada’I Shonai’ :  7/134 )
Berkata : As Showi ( w : 1241 H ) dari madzhab Maliki  :
الردة كفر مسلم بصريح من القول، أو قول يقتضي الكفر، أو فعل يتضمن الكفر
“ Riddah adalah seorang muslim yang kembali menjadi kafir dengan perkataan yang terang-terangan, atau perkataan yang membawa kepada kekafiran, atau perbuatan yang mengandung kekafiran .“  ( Asyh As Shoghir : 6/144 )
Berkata Imam Nawawi  ( w : 676 H ) dari madzhab Syafi’i :
الردة هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادًا أو اعتقادًا
“ Riddah adalah memutus Islam dengan niat atau perkataan, atau dengan perbuatan, baik dengan mengatakan hal tersebut karena mengolok-ngolok, atau karena ngeyel, atau karena keyakinannya “ (Minhaj ath-Thalibin : 293)
Berkata Al Bahuti  dari madzhab Hambali  :

المرتد شرعاً الذي يكفر بعد إسلامه نطقاً أو اعتقاداً، أو شكاً، أو فعلاً
“ Al Murtad secara syar’I  yaitu seseorang yang kafir sesudah Islam, baik dengan perkataan, keyakinan, keragu-raguan, ataupun dengan perbuatan “  ( Kasyaf a Qina’ : 6/136 )
Dari beberapa pengertian di atas bisa disimpulkan bahwa Riddah adalah  :
“ Kembalinya seorang muslim yang berakal dan baligh menjadi kafir kembali dengan penuh kesadaran tanpa ada paksaan dari seseorang, baik itu melalui keyakinan, perkataan, maupun perbuatannya. “
Macam-macam Riddah :
Jika kita mengambil pengertian Iman dari para ulama salaf yang menyebutkan bahwa Iman mencakup perkataan dan perbuatan, maksudnya adalah perkataan hati dan anggota badan, serta perbuatan hati dan badan.  Maka Riddah pun demikian mencakup empat hal sebagaimana dalam keimanan. Keterangannya sebagai berikut :
Pertama : Riddah dengan perkataan hati ; seperti mendustakan firman-firman Allah, atau menyakini bahwa ada pencipta selain Allah swt.
Kedua : Riddah dengan perbuatan hati, seperti :  membenci Allah dan Rasul-Nya, atau sombong terhadap perintah Allah. Seperti yang dilakukan oleh Iblis ketika tidak mau melaksankan perintah Allah swt untuk sujud kepada Adam, karena kesombongannya.
Ketiga : Riddah dengan lisan : seperti mencaci maki Allah dan Rasul-Nya, atau mengolok-ngolok ajaran Islam.
Keempat : Riddah dengan perbuatan : sujud di depan berhala, menginjak mushaf.
Seorang muslim menjadi murtad, jika melakukan empat hal tersebut sekaligus, ataupun  hanya melakukan salah satu dari keempat tersebut.
Kapan Seorang Muslim dikatakan Murtad  ?
Jika dilakukan atas kehendaknya dan kesadarannya. Adapun jika dipaksa maka tidak termasuk dalam katagori murtad. Sebagaimana firman Allah swt :
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“ Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” ( Qs An Nahl : 106 )  
Bagaimana dengan rasa was-was ?
Adapun rasa was-was yang ada di dalam hati, maka itu tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama dia berusaha untuk mengusirnya. Kita dapatkan para sahabat pernah merasakan seperti itu juga, sebagaimana dalam hadist Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya ia berkata :
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْوَسْوَسَةِ قَالَ تِلْكَ مَحْضُ الْإِيمَانِ
"Nabi  saw pernah ditanya mengenai perasaan waswas, maka beliau menjawab: 'Itu adalah tanda keimanan yang murni (benar) '." ( HR Muslim )
Hal ini dikuatkan dengan  hadist Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah sw :
لَا يَزَالُ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ حَتَّى يُقَالَ هَذَا خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَمَنْ خَلَقَ اللَّهَ فَمَنْ وَجَدَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ
"Manusia senantiasa bertanya-tanya hingga ditanyakan, 'Ini, Allah menciptakan makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah', maka barangsiapa mendapatkan sesuatu dari hal tersebut, maka hendaklah dia berkata, 'Aku beriman kepada Allah'." ( HR Muslim )
Hukum Murtad
Orang yang murtad boleh dibunuh dan halal darahnya. Jika telah dijatuhi hukuman mati, maka tidak dimandikan dan disholatkan serta tidak dikuburkan di kuburan orang-orang Islam, tidak mewarisi dan tidak diwarisi.  Tetapi hartanya diambil dan disimpan di Baitul Mal kaum muslimin.
Dalilnya adalah Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
لَا يَحِلُّ دَمُ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَّا ثَلَاثَةُ نَفَرٍ التَّارِكُ الْإِسْلَامَ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ وَالثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ
“ Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali dari tiga orang berikut ini; seseorang yang murtad dari Islam dan meninggalkan jama'ah, orang yang telah menikah tapi berzina dan seseorang yang membunuh orang lain." ( HR Muslim )
Ini dikuatkan dengan hadits Ikrimah, bahwasanya ia berkata :
أُتِيَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِزَنَادِقَةٍ فَأَحْرَقَهُمْ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ لَوْ كُنْتُ أَنَا لَمْ أُحْرِقْهُمْ لِنَهْيِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَلَقَتَلْتُهُمْ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“ Beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali ra, lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata : Kalau aku, tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah saw yang bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah, " dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah saw : "Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!" ( HR Bukhari )
Dikuatkan juga dengan hadist Mu’adz bin Jabal :
فَزَارَ مُعَاذٌ أَبَا مُوسَى فَإِذَا رَجُلٌ مُوثَقٌ فَقَالَ مَا هَذَا فَقَالَ أَبُو مُوسَى يَهُودِيٌّ أَسْلَمَ ثُمَّ ارْتَدَّ فَقَالَ مُعَاذٌ لَأَضْرِبَنَّ عُنُقَهُ
“ Suatu kali Mu'adz mengunjungi Abu Musa, tak tahunya ada seorang laki-laki yang diikat. Mu'adz bertanya; "Siapa laki-laki ini sebenarnya? Abu Musa menjawab "Dia seorang yahudi yang masuk Islam, kemudian murtad. Maka Mu'adz menjawab; "Kalau aku, sungguh akan kupenggal tengkuknya." ( HR Bukhari )
Jika seseorang murtad, maka dia harus dipisahkan dari istrinya pada waktu itu juga. Imam as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) berkata : “Seorang muslim apa bila ia murtad, maka istrinya harus dipisahkan darinya. Baik istrinya tersebut seorang muslimah ataupun seorang ahli ktab, baik istrinya tersebut telah digauli atau belum”.( al-Mabsuth : 5/49 )
Apakah Diberi Waktu Untuk Bertaubat ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, tetapi mayoritas ulama mengatakan harus diberi waktu untuk taubat. Karena orang murtad kadang ada syubhat yang ada pada dirinya mengenai Islam, sehingga dia murtad, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu. Jika diberi waktu untuk taubat, dan dia tidak bertaubat, maka boleh dibunuh.
Sebagian ulama mengatakan waktu taubat adalah tiga hari, sebagian yang lain mengatakan tidak harus tiga hari, tetapi tawaran untuk bertaubat hendaknya terus dilakukan, jika tidak ada harapan untuk taubat, maka boleh dibunuh.
Taubat Orang Murtad
Orang yang sudah murtad, jika bertaubat, apakah taubatnya diterima ? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dijelaskan bahwa orang yang murtad terkena hukum dunia dan akherat. Adapun rinciannya sebagai berikut :

Pertama : Hukum di Akherat
Untuk hukum di akherat, pada dasarnya Allah swt akan menerima setiap hamba-Nya yang bertaubat dengan sungguh-sungguh, ini sesuai dengan firman Allah swt :
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ
“ Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ." ( Qs Al Anfal : 38 )
Hal ini dikuatkan dengan hadits Amru bin Ash, bahwasanya  Rasulullah saw bersabda kepadanya :

أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الْإِسْلَامَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلِهَا ، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ )
" Apakah kamu tidak tahu bahwa Islam telah menghapuskan dosa yang telah terdahulu, dan bahwa hijrah juga menghapuskan dosa yang terdahulu, dan haji juga menghapuskan dosa yang terdahulu. “ ( HR Muslim )
Ayat dan hadist di atas menunjukkan orang-orang kafir asli yang bertaubat dan masuk Islam, maka Allah akan menerima taubat mereka, dan seluruh dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah swt. Mereka tidak diwajibkan menggantikan kewajiban yang mereka tinggalkan selama ini, seperti sholat dan puasa. Adapun hal-hal yang berhubungan dengan hak manusia, seperti harta curian, maka harus dikembalikan kepada yang berhak. Dalilnya adalah hadist Mughirah bin Syu’bah  :
وَكَانَ الْمُغِيرَةُ صَحِبَ قَوْمًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَتَلَهُمْ وَأَخَذَ أَمْوَالَهُمْ ثُمَّ جَاءَ فَأَسْلَمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا الْإِسْلَامَ فَأَقْبَلُ وَأَمَّا الْمَالَ فَلَسْتُ مِنْهُ فِي شَيْءٍ
“Dahulu Al Mughirah di masa jahiliyah pernah menemani suatu kaum, lalu dia membunuh dan mengambil harta mereka. Kemudian dia datang dan masuk Islam. Maka Nabi saw berkata saat itu: "Adapun keIslaman maka aku terima. Sedangkan mengenai harta, aku tidak ada sangkut pautnya sedikitpun" (HR Bukhari No : 2529)
  1. Adapun orang yang murtad, jika bertaubat, maka taubatnya diterima dan dia harus menggantikan ibadah-ibadah yang dia tinggalkan selama ini, seperti sholat dan puasa.   Imam Abu Hanifah dan Imam Malik mengatakan  jika dia taubat, maka dia harus haji kembali seakan-akan dia baru masuk Islam. Adapun Imam Syafi’I berpendapat bahwa jika dia bertaubat tidak ada kewajiban mengulangi hajinya kembali.
Diantara dalil yang menunjukkan diterimanya taubat orang yang murtad adalah firman Allah swt  :

كَيْفَ يَهْدِي اللّهُ قَوْماً كَفَرُواْ بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُواْ أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ * أُوْلَـئِكَ جَزَآؤُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ لَعْنَةَ اللّهِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ * خَالِدِينَ فِيهَا لاَ يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلاَ هُمْ يُنظَرُونَ إِلاَّ الَّذِينَ تَابُواْ مِن بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُواْ فَإِنَّ الله غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“ Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya la'nat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) la'nat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang taubat, sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan. Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Qs Ali Imran : 86-89 )

Bagaimana penafsiran ayat –ayat yang menunjukan bahwa orang yang murtad itu tidak diterima taubatnya?, sebagaimana di dalam firman Allah swt :
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْراً لَّن تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الضَّآلُّونَ * إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ وَمَاتُواْ وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَن يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِم مِّلْءُ الأرْضِ ذَهَباً وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُم مِّن نَّاصِرِينَ
“ Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka itulah orang-orang yang sesat. Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorangdiantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.”  ( Qs Ali Imran : 90-91 )
Begitu juga di dalam firman Allah swt :
آِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْراً لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” ( Qs Ali Imran : 137 )
Maka jawabannya bahwa yang dimaksud ayat di atas adalah orang yang murtad, kemudian tidak mau bertaubat , bahkan bertambah kekafirannya, maka Alah tidak akan menerima taubatnya sesudah mati.
Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya ( 1/ 753  ) : “ Allah swt menyebutkan bahwa orang yang sudah beriman kemudian murtad, kemudian beriman lagi, kemudian murtad lagi dan terus menerus dalam kemurtadan, sampai mati, maka tidak ada taubah sesudah kematiaanya, dan Allah tidak mengampuninya “.
Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu Abbas tentang bunyi ayat di atas :ثم ازدادوا كفرا, maksudnya adalah: “ masih di dalam kekafirannya sampai mati “. Begitu juga pendapat Mujahid.
Ibnu Taimiyah di dalam Majmu  al Fatawa ( 16/28-29 )  menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak diterima taubat mereka pada ayat di atas adalah kemungkinan karena mereka orang-orang munafik, atau karena mereka bertaubat tapi masih melakukan perbuatan syirik, atau  amalan mereka tidak diterima setelah mereka mati.  Sedangkan mayoritas ulama seperti Hasan Basri, Qatadah dan Atho’, serta As Sudy mengatakan bahwa taubat mereka tidak akan diterima, karena mereka bertaubat dalam keaadan sakaratul maut. Ini sesuai dengan firman Allah swt :

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ
“ Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan : "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang." Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” ( Qs An-Nisa’ : 18 )
Kedua : Hukum di Dunia :
Untuk hukum di dunia para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan status hukum orang murtad yang sudah bertaubat.
Pendapat Pertama : Jika seorang yang beriman kemudian kemudian murtad, dan kembali ke Islam kemudian murtad kembali dan hal itu terulang berkali-kali, maka taubatnya tidak diterima oleh pemerintahan Islam, dan dia terkena hukuman mati.
Pendapat Kedua : Jika seorang  yang beriman kemudian murtad dan hal itu terulang-ulang terus, maka taubatnya tetap diterima oleh pemerintahan Islam  dan dia dianggap muslim lagi dan boleh hidup bersama-sama orang-orang Islam yang lain, serta berlaku hukum-hukum Islam terhadapnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu pendapat Hanafiyah, masyhur dari Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat imam Ahmad . ( lihat Tabyin al Haqaiq 3/284, Tuhfatul Muhtaj : 9/96, Kasya’ qina’ : 6/177-178 )
Dalm masalah ini, Ibnu Taimiyah membagi Riddah menjadi dua, yaitu Riddah Mujaradah ( murtad ringan ), kalau dia bertaubat, maka hukuman mati menjadi gugur darinya. Yang kedua adalah Riddah Mugholladhah ( murtad berat ), dia tetap dihukum mati walaupun sudah bertaubat ( Shorim Maslul : 3/ 696 )
  1. Adapun diterimanya taubatnya oleh Allah secara batin, dan diampuninya orang yang bertaubat secara lahir dan batin, maka para ulama tidak berselish pendapat dalam masalah-masalah tersebut. “
    .

    Sebab-sebab terjadinya Riddah
1. Kebodohan.
Kebodohan menjadi penyebab utama adanya gelombang pemurtadan, karena mereka tidak dibentengi dengan ilmu. Oleh karena itu salah satu cara yang efektif untuk mmengantisapi pemurtadan adalah dengan menyebarkan aqidah dan ilmu yag benar di kalangan masyarakat.
Syekh al-Bakri ad-Dimyathi (w 1310 H) berkata: “Ketahuilah bahwa banyak orang-orang awam yang mengucapkan kata-kata kufur tanpa mereka sadari, bahwa sebenarnya hal itu adalah bentuk kekufuran. Maka wajib atas bagi orang yang berilmu untuk menjelaskan kepada mereka mereka hal-hal yang menyebabkan kekafiran tersebut, supaya  mereka mengetahuinya, kemudian bisa menghindarinya. Dengan demikian maka amalan mereka tidak menjadi sia-sia, dan tidak kekal di dalam neraka (bersama orang-orang kafir) dalam siksaan besar dan adzab yang sangat pedih.
Sesungguhnya mengenal masalah-masalah kufur itu adalah perkara yang sangat penting, karena seorang yang tidak mengetahui keburukan maka sadar atau tidak, ia pasti akan terjatuh di dalamnya. Dan sungguh setiap keburukan itu sebab utamanya adalah kebodohan dan setiap kebaikan itu sebab utamanya adalah ilmu, maka ilmu adalah petunjuk yang sangat nyata terhadap segala kebaikan, dan kebodohan adalah seburuk-buruknya teman (untuk kita hindari)”. (  I’anah ath-Thalibin: 4/133)
2. Kemiskinan.
Pemurtadan seringkali terjadi pada daerah-daerah miskin dan terkena bencana. Banyak kaum muslimin yang mengorbankan keyakinan mereka hanya untuk sesuap nasi dan sebungkus supermi.
3. Tidak adanya pemerintahan Islam
Hilangnya pemerintahan Islam yang menegakkan syariat Allah membuat musuh-musuh Islam leluasa melakukan pemurtadan dan penyesatan terhadap umat Islam.  Begitu juga umat Islam tidak akanberani main-main dengan agamanya. Berikut ini beberapa bukti bahwa pemerintahan Islam mempunyai peran penting di dalam menghentikan gelombang pemurtadan :
Para Khulafa’ Rasyidin menegakan memerangi orang-orang yang murtad danmenghukumi mereka dengan hukuman mati, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq terhadap Musailamah al-Kadzab dan para pengikutnya.
Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Al Mahdi, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir pada peristiwa yangterjadi pada tahun 167 H : “ Khalifah Mahdi memburu orang-orang yang murtad kemana saja mereka bersembunyi, mereka  yang tertangkap dibawa kehadiran-nya dan dibunuh di depannya . “ ( al Bidayah wa an Nihayah 10/149 )
  1. Begitu juga pada tahun 726 H, Nashir bin as Syaraf  Abu Al Fadhl al Haitsami dihukum mati karena menghina ayat-ayat Allah dan bergaul dengan para zindiq. Padahal dia orang yang menghafal kitab At Tanbih, dan bacaan al qur’annya sangat bagus   (al Bidayah wa an Nihayah : 14/ 122 )
Berkata Al Qadhi Iyadh :  “ Para ulama Malikiyah yang berada di Bagdad pada zaman khalifah al Muqtadir telah sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada al Halaj, kemudian menyalibnya, hal itu karena dia menganggap dirinya  Allah dan menyakini Aqidah al Hulul, serta menyatakan bahwa dirinya  ((أنا الحق, padahal al Halaj secara lahir, dia menjalankan syare’at. Al Halaj ini taubatnya tidak diterima ( di dunia ) “ (Asy Syifa’ :  2/1091 )
4. Ghozwul Fikri.
Munculnya pemikiran-pemikiran sesat seperti liberalisme, pluralisme dan sekulerisme telah mendorong terjadi gelombang kemurtadan di kalangan kaum muslimin, karena paham-paham tersebut mengajarkan bahwa semua agama sama, dan semua orang bebas melakukan perbuatan apapun juga, tanpa takut dosa. Wallahu A’lam
Kampung Sawah, Bekasi, 24 Shofar 1432 H / 28 Januari 2011 M

Hukum Orang Yang Murtad Berulangkali

Islam berarti ketundukan dan kepasrahan kepada Allah swt. Hal itulah yang menjadikan seorang muslim berkomitmen dan berpegang teguh dengan segala aturan yang dituangkan Allah swt didalam agama-Nya dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Merekalah orang-orang yang betul-betul berpegang dengan tali Allah secara kuat, firman Allah swt:
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
Artinya: “Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman : 22)

Mereka adalah orang-orang yang memurnikan keimanannya kepada Allah swt dari segala bentuk kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan dan menjauhi segala bentuk peribadahan yang ditegakkan tanpa adanya sikap ihsan—beribadah dengan keyakinan bahwa dirinya disaksikan Allah swt–.
Karena itu Allah swt hanya menerima islam sebagai agama-Nya bahkan mengatakan mereka yang beragama dengan selainnya dipastikan akan mengalami kerugian di akherat, sebagaimana firman-Nya:

Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Al Imran : 19)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Al imran : 85)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap muslim yang tetap istiqomah didalam keislamannya dan meninggal dalam keadaan muslim maka ia masuk surga Allah swt dan sebaliknya seorang kafir dan terus berada didalam kekafirannya hingga meninggal masih dalam kedaan kafir maka ia akan menjadi penghuni neraka.
Adapun seorang yang tadinya muslim kemudian keluar dari keislamannya sedangkan dirinya sudah mencapai usia baligh, berakal dan mampu menentukan pilihan maka orang itu disebut dengan murtad.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa : 137)
Jika seorang yang murtad dari islam kemudian bertekad kembali kepada islam maka pintu taubat Allah swt senantiasa terbuka baginya selama dirinya betul-betul melakukan taubat nashuha.
Namun para ulama berbeda pendapat terhadap orang yang kemurtadannya terjadi berulang-ulang hingga lebih dari tiga kali :
1. Para ulama Hambali, riwayat dari para ulama Hamafi dan juga Malik berpendapat bahwa tidaklah diterima taubat orang yang berulang-ulang murtad berdasarkan firman Allah swt:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ آمَنُواْ ثُمَّ كَفَرُواْ ثُمَّ ازْدَادُواْ كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلاَ لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيلاً
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (QS. An Nisaa : 137)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir sesudah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, sekali-kali tidak akan diterima taubatnya; dan mereka Itulah orang-orang yang sesat.” (QS. Al Imron : 90)
Karena berulang-ulangnya sikap murtad menunjukkan kerusakan aqidahnya dan minimnya kepedulian kepada agamanya maka orang itu harus dibunuh.
2. Para ulama Syafi’i dan pendapat yang masyhur dikalangan para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa taubat seorang yang murtad diterima walaupun kemurtadannya terjadi berulang-ulang, berdasarkan firman Allah :
قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi. Sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu ". (QS. Al Anfal : 38)
Sabda Rasulullah saw,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan,’Laa Ilaha Illallah’ dan apabila mereka mengatakan ‘Laa Ilaha Illallah’ maka terpeliharalah dariku agama dan harta mereka kecuali dengan haknya dan hisab mereka pada Allah swt.”
Mereka juga menegaskan bahwa seorang yang murtad berkali-kali apabila bertaubat untuk yang kedua kalinya harus diancam dengan pukulan atau dikurung dan tidak dibunuh.
Ibnu Abidin mengatakan bahwa apabila orang itu murtad untuk yang kedua kalinya kemudian bertaubat maka Imam harus memukulnya dan memberikan kebebasan kepadanya dan jika ia kembali murtad untuk yang ketiga kalinya kemudian bertaubat maka ia harus dipukul dengan pukulan yang menyakitkan dan dikurung sehingga tampak padanya bekas-bekas taubat kemudian diberikan kebebasan. Dan jika dia kembali murtad maka diperlakukan seperti itu lagi selamanya sehingga dia kembali kepada islam, seperti ini pula pendapat para ulama Maliki dan Syafi’i. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 4959)
Jadi pintu taubat bagi teman anda untuk kembali kepada islam setelah kemurtadannya yang berulang-ulang masih tetap terbuka selama taubatnya itu dilakukan dengan penuh kesungguhan lahir maupun batin bukan seperti taubat-taubat yang dilakukan sebelumnya.
Adapun mereka yang tidak diterima taubatnya—sebagaimana disebutkan didalam surat al imron : 90—adalah mereka yang tidak bertaubat dari kekafiran dan kemusyrikan yang telah dilakukannya dengan kembali kepada islam.
Tentang surat An Nisaa ayat 137 ini, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan pendapat Mujahid dan para mufassir lainnya yaitu mereka bertambah kekafirannya dan terus teguh dalam kekafiran itu hingga mereka meninggal.
Ibnu Taimiyah kemudian mengatakan bahwa hal itu dikarenakan seorang yang bertaubat adalah yang kembali dari kekafirannya dan barangsiapa yang tidak bertaubat (darinya) maka sesungguhnya ia adalah orang yang terus menerus berada didalam kekafiran setelah kekafirannya.’
Sedang firman-Nya “kemudian bertambah kekafirannya” seperti seorang yang mengatakan,”Kemudian mereka berada didalam kekafiran dan terus menerus didalam kekafiran dan masih teguh dengan kekafirannya setelah keislaman mereka kemudian bertambah lagi kekafiran mereka dan tidak terdapat pengurangan didalam kekafirannya itu maka merekalah orang-orang yang taubatnya tidak diterima yaitu taubat yang dilakukannya tatkala menjelang kematiannya.
Karena orang yang bertaubat sebelum saat-saat kematiannya adalah orang yang bertaubat dengan segera dan kembali dari kekafirannya maka hal itu tidaklah menambah kekafirannya akan tetapi menguranginya. Hal itu berbeda dengan seorang yang terus menerus berada didalam kekafiran hingga waktu yang ditentukan yang tidak ada lagi waktu baginya untuk mengurangi kekafirannya apalagi meruntuhkan kekafiran itu. (Majmu’ al Fatawa juz XVI hal 30)
Bersegeralah wahai saudaraku untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya karena pintu taubat itu masih terbuka, kembalilah ke jalan Allah swt, perkuatlah hubungan anda dengan-Nya dengan ibadah-ibadah yang diperintahkan terutama shalat lima waktu. Cintailah rasul-Nya, Muhammad saw dengan menerapkan sunnah-sunnahnya didalam kehidupan anda.
Baca dan pelajarilah Al Qur’an karena ia adalah tali Allah yang kuat yang menghubungkan anda dengan-Nya dan penunjuk jalan kehidupan anda meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. Jauhilah setan dengan segala bisikannya yang terus dihembus-hembuskan kedalam hati anda demi menimbulkan berbagai keraguan akan kebenaran islam dan memalingkan anda dari jalan kebenaran. Kemudian pelajarilah islam dari sumbernya yang benar yang bersandar kepada Al Qur’an, sunnah dan pendapat para ulama yang dipercaya baik para ulama terdahulu maupun yang belakangan.
Apakah Ibadah yang Dia Tinggalkan Saat Murtad Perlu Dibayar Saat Kembali Masuk Islam?
Dalam masalah yang anda tanyankan, para ulama memang berbeda pendapat, apakahseseorang wajib mengganti ibadah yang dia tinggalkan selama murtad atau tidak. Ulama dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat bahwaorang itu tidak perlu mengqodho karena dia dalam keadaan kafir sehingga ketika ia kembali bertobat maka keimanannya menghapus semua dosanya. Orang yang telah murtad kemudian kembali memeluk agama Islam tidak diwajibkan mengganti ibadah-ibadah yang ditinggalkan selama orang tersebut murtad. Karena pada saat tersebut dia bukan seorang muslim yang diberikan taklif untuk melaksanakannya. Adapun ulama Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa orang yang murtad kemudian taubat diwajibkan untuk mengqodho ibadah-ibadah yang dia tinggalkan selama dia murtad. Sedangkan menurut ulama Hanabilah tidak ada kewajiban untuk mengqodhonya menurut pendapat resmi madzhaab tersebut sebagaimana halnya pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki di atas. Namun bila sebelum murtad ada sholat yang dia tinggalkan, jumhurul ulama dari kalangan Al-Hanafiyah , Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan wajib diqodho. Karena meninggalkan ibadah adalah sebuah kemaksiatan dan kemaksiatan tersebut tetap ada walaupun ia sudah murtad (dan kembali memeluk Islam) Pendapat ini berbeda dengan Al-Malikiyah yang mengatakan bahwa begitu seseorang murtad masuk Islam kembali, maka seluruh dosa yang pernah dia lakukan seumur hidupnya, baik sebelum atau ketika murtad terhapus dengan keimanannya Sedangkan dalam urusan haji Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila seseorang muslim yang sudah pernah berhaji lalu murtad maka ketika dia masuk Islam lagi wajib untuk mengulangi hajinya. Sedangkan Asy-Syafi`iyah mengatakan tidak wajib mengulangi hajinya demikian juga dikemukakan oleh Al-Hanabilah. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah XXII 200-201)  - See more at: http://dinulislami.blogspot.com/2013/03/hukum-orang-murtad-lebih-dari-sekali.html?m=0#sthash.ZE7xXpti.dpuf
Dalam masalah ini, para ulama memang berbeda pendapat, apakah seseorang wajib mengganti ibadah yang dia tinggalkan selama murtad atau tidak. 
Ulama dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah berpendapat bahwa orang itu tidak perlu mengqodho karena dia dalam keadaan kafir sehingga ketika ia kembali bertobat maka keimanannya menghapus semua dosanya. Orang yang telah murtad kemudian kembali memeluk agama Islam tidak diwajibkan mengganti ibadah-ibadah yang ditinggalkan selama orang tersebut murtad. Karena pada saat tersebut dia bukan seorang muslim yang diberikan taklif untuk melaksanakannya. 
Adapun ulama Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa orang yang murtad kemudian taubat diwajibkan untuk mengqodho ibadah-ibadah yang dia tinggalkan selama dia murtad. 
Sedangkan menurut ulama Hanabilah tidak ada kewajiban untuk mengqodhonya menurut pendapat resmi madzhaab tersebut sebagaimana halnya pendapat ulama madzhab Hanafi dan Maliki di atas. Namun bila sebelum murtad ada sholat yang dia tinggalkan, jumhurul ulama dari kalangan Al-Hanafiyah , Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan wajib diqodho. Karena meninggalkan ibadah adalah sebuah kemaksiatan dan kemaksiatan tersebut tetap ada walaupun ia sudah murtad (dan kembali memeluk Islam).
Pendapat ini berbeda dengan Al-Malikiyah yang mengatakan bahwa begitu seseorang murtad masuk Islam kembali, maka seluruh dosa yang pernah dia lakukan seumur hidupnya, baik sebelum atau ketika murtad terhapus dengan keimanannya Sedangkan dalam urusan haji Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila seseorang muslim yang sudah pernah berhaji lalu murtad maka ketika dia masuk Islam lagi wajib untuk mengulangi hajinya. Sedangkan Asy-Syafi`iyah mengatakan tidak wajib mengulangi hajinya demikian juga dikemukakan oleh Al-Hanabilah. (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah XXII 200-201)
Wallahu A’lam


Mengapa dalam agama Islam, orang murtad harus dihukum mati? 
Apakah hal ini tidak bertentangan dengan kebebasan berakidah?
Pertanyaan
Mengapa dalam agama Islam, orang murtad harus dihukum mati? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan kebebasan berakidah?
Jawaban Global
Murtad ialah menampakkan dan menegaskan keluar dasri suatu agama. Orang yang murtad biasanya, mengajak orang lain untuk ikut keluar dari agamanya. Hukuman mati tidak berlaku bagi seseorang yang keluar dari agama, ketika ia tidak menampakkan kemurtadannya dan tidak mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama (murtad). Dengan demikian, hukuman mati yang dijatuhkan kepada orang murtad, disebabkan karena  kejahatan sosialnya, bukan karena akidah pribadinya.
Seorang murtad merusak spirit beragama dalam sebuah masyarakat dan mengancam masyarakat umum yang tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam menjaga agamanya. Pada masa awal Islam sendiri, sejumlah musuh Islam menampakan keislaman mereka, kemudian berpaling dan murtad. Tujuan mereka adalah untuk melemahkan dan melumpuhkan keimanan kaum Muslimin.[i]
Islam, untuk menghalangi ancaman ini, telah menetapkan hukuman berat bagi orang yang murtad. Walaupun tentunya, jalan untuk membuktikannya sangat sulit. Sepanjang sejarah Islam, sangat sedikit jumlahnya orang-orang murtad yang dijatuhkan hukuman mati. Karena itu, efek psikis dari hukuman tersebut melebihi hukuman itu sendiri, yakni mampu menjaga kondisi yang sehat bagi masyarakat umum.


[i] . Qs. Ali Imran (2): 72
Jawaban Detil
Guna pembahasan ini menjadi jelas, kiranya beberapa poin berikut ini perlu mendapat perhatian:
Pertama: Siapakah yang disebut murtad?
Murtad adalah seseorang yang keluar dari Islam dan ia memilih kekafiran.[1] Keluar dari Islam itu terjadi karena mengingkari asas agama atau salah satu dari asas agama (tauhid, kenabian dan hari kebangkitan). Kemurtadan juga bisa terjadi karena mengingkari salah satu perkara yang telah gambelang dalam Islam (dharuriyyatu ad-din) dan seluruh kaum muslimin sepakat meyakini bahwa hal itu merupakan bagian dari Islam, sehingga mengingkarinya sama dengan mengingkari risalah dan kenabian.[2]
Kemurtadan terdiri atas dua bagian:
1. Murtad fitri, yaitu seseorang yang ayah atau ibunya ketika melepaskan nuthfahnya (sperma) beragama Islam. Dan orang itu sendiri sebelum mencapai baligh menampakkan keislamannya, kemudian setelah itu ia keluar dari agama Islam.[3]
2. Murtad milli, yaitu seseorang yang ayah dan ibunya itu kafir ketika melepaskan spermanya, dan orang itu sendiri sebelum mencapai usia baligh telah menjadi kafir kemudian masuk Islam, lantas menjadi kafir kembali.[4]


Kedua: Hukum murtad dalam berbagai agama dan Islam.
Dalam fikih Syi’ah, murtad memiliki hubungan dengan sebagian hukum-hukum sipil dalam bab warisan (irts) dan pernikahan (nikah). Dan masalah ini tidak termasuk dalam pembahasan.
Sanksi hukum yang akan dijatuhkan terhadap seorang murtad fitri ialah -apabila orang itu laki-laki- dihukum mati, dan taubatnya tidak akan diterima di hadapan hakim. Adapun seorang murtad milli laki-laki adalah, pertama kali ia dianjurkan untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka ia akan dibebaskan. Tetapi jika ia menolak untuk bertaubat, maka ia akan dihukum mati.
Sementara jika yang murtad itu adalah wanita, baik ia kafir fitri ataupun milli, ia tidak akan dikenakan hukuman mati. Melainkan ia disuruh bertaubat.Abila ia bertaubat, maka ia akan dibebaskan. Tetapi jika tidak, maka ia akan dipenjara.[5]
Di dalam fikih Ahlusunnah, menurut pandangan yang masyhur, orang murtad –apapun bentuknya- pertama kali ia dianjurkan untuk bertaubat. Apabila ia bertaubat, maka ia akan dibebaskan. Jika tidak, maka ia akan dihukum mati dan tidak ada perbedaan antara murtad fitri dan murtad milli, baik laki-laki maupun wanita.[6]
Murtad dalam agama-agama Ilahi selain Islam merupakan dosa dan kesalahan besar, hukumannya adalah mati.[7]
Karenanya, dapat dikatakan bahwa kemurtadan dalam pandangan seluruh agama dan kepercayaan, merupakan sebuah kesalahan dan dosa besar, dan hukumannya (dengan perbedaan dalam kondisi masing-masing) adalah mati.[8]


Tiga: Falsafah sanksi orang murtad
Agar masalah falsafah hukuman dan sanksi bagi orang murtad ini menjadi lebih jelas, hendaknya poin-poin berikut ini diperhatikan;
  1. Hukum Islam dibagi kepada dua bagian, individu dan sosial. Hukum sosial ditetapkan atas dasar kemaslahatan soaial. Dan terkadang, demi menjamin keberlangsungan kemaslahatan ini, sebagian kekebasan individu menjadi terbatas. Ini adalah poin yang tidak bisa ditolak di dalam hampir semua komunitas.
  2. Seorang murtad bila ia menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengenal kebenaran, maka kemurtadannya tersebut akan diampuni oleh Allah Swt. Dan dalam lingkup hukum individualnya, ia tidak dihukumi berbuat kejahatan.[9] Tetapi jika ia lalai dalam mencari kebenaran, maka ia dianggap telah berbuat kejahatan, dalam lingkup hukum individualnya sekalipun.


Ketika seseorang menonjolkan kemurtadannya di tengah-tengah masyarakat, maka sikap dan kelakuannya itu dicatat dalam dimensi hukum sosial, sebagai kejahatan, Sebagai konsekuensinya adalah ia akan mendapatkan sanksi hukum sosial. Sebabnya adalah:


Pertama: ia dianggap telah menginjak-injak hak orang lain. Karena ia telah memunculkan keraguan dan syubhat dalam pikiran umum. Sudah jelas, hal itu akan melemahkan spirit beragama dan keimanan masyarakat. Mengingat bahwa hanya orang-orang yang mendalam agamanya (ulama) yang mampu menghadang berkembangnya syubhat tersebut, sementara masyarakat umum tidak memiliki kemampuan untuk itu, maka mereka bertanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan kondisi sehat masyarakat.
Kedua: Sesungguhnya di antara hak masyarakat adalah terjaganya spirit beragama dan keimanan mereka. Dan Islam memandang hal itu sebagai kemaslahatan sosial dan syi’ar dalam Islam. Karenanya mereka sangat mengagungkan dan menekankannya[10] dan mencegah lemahnya syi’ar tersebut.[11]
Kesimpulannya adalah, boleh jadi kemurtadan dalam pandangan individu tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan. Tetapi dalam pandangan hukum sosial merupakan sebuah kejahatan.
Ketiga: Dengan memperhatikan bahwa kemurtadan merupakan sebuah kejahatan, maka falsafah hukuman dan sanksi atasnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Kelayakan mendapat hukuman
Hukuman bagi orang murtad adalah karena ia telah melakukan kerusakan akahlak di tengah-tengah masyarakat. Sanksi tersebut disesuaikan dengan kadar kejahatannya. Semakin besar kadar kerusakannya, maka akan semakin berat pula sanksinya. Sangat jelas bahwa sebuah masyarakat yang lemah spirit beragama dan keimanannya, akan jauh dari kebahagiaan hakiki, meskipun mereka itu maju dari segi teknologi. Oleh karena itu, selain kemurtadan, setiap perbuatan yang melemahkan iman dan keyakinan umum, akan dihukum secara keras, misalnya seperti mencemarkan nama baik Rasulullah Saw dan para Imam maksum As. Sebab ketika kesucian hal ini telah rusak di masyarakat, maka jalan penyelewengan dan kehancuran agama akan terbuka.
  1. Mencegah meluasnya pemurtadan oleh oknum yang bersangkutan
Seseorang yang murtad selama tidak menampakkan kemurtadannya, ia tidak dianggap melanggar hukum sosial. Hukuman berat yang ditetapkan oleh agama Islam terhadap kemurtadan, akan dapat menutup jalan-jalan propaganda.
  1. Menampakkan pentingannya agama di masyarakat.
Setiap hukum perdata dan pidana yang telah ditetapkan, dengan jelas menunjukkan pentingnya agama. Misalnya hukuman berat yang ditetapkan atas kemurtadan, menunjukkan pentingnya menjaga spirit dan keimanan masyarakat.
  1. Mendorong agar lebih mendalami agama sebelum meyakininya.
Hukuman terhadap orang murtad, akan mendorong orang-orang non muslim agar menerima Islam setelah menelaahnya secara lebih mendalam. Hal inipun akan mencegah kelemahan iman.


Keempat: Meringankan hukuman akhirat.
Dalam pandangan agama, hukuman di dunia ini akan dapat meringankan hukuman akhirat. Allah Swt sangat penyayang untuk menghukum hamba-Nya sebanyak dua kali karena sebuah dosa. Riwayat-riwayat pun mendukung masalah tersebut, yaitu bahwa hukuman di dunia ini akan menyucikan pendosa di akhirat kelak. Bahkan akan memotivasi pelaku kejahatan yang akan dijatuhkan sanksi untuk mengakui kesalahannya.
Catatan:
Walaupun hukuman dunia itu –paling tidak- akan dapat meringankan hukuman akhirat, tetapi Allah Swt juga memberikan jalan lain untuk menyucikan diri seorang pendosa di akhirat. Jalan itu adalah taubat secara ikhlas. Apabila pelaku dosa itu bertaubat secara ikhlas, maka meskipun ia tidak dijatuhkan sanksi syar’i di dunia ini, dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah Swt.


Kelima: Berhati-hati dalam menetapkan undang-undang.
Barangkali falsafah diberlakukannya hukuman terhadap orang yang murtad sebagaimana dijelaskan di atas, demikian juga mengenai tipu daya Ahli Kitab sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran,[12] tidak semuanya tepat untuk diterapkan kepada orang murtad. Yakni, bisa jadi seorang murtad itu tidak bermaksud melakukan tipu daya dan kejahatan terhadap keimanan masyarakat umum. Atau bias jadi, kemurtadannya itu tidak memberikan efek negatif terhadap keimanan masyarakat. Walaupun demikian, Islam tetap tidak akan memberikan keringanan sanksi terhadapnya. Apa penyebab hal tersebut? Dengan kata lain, boleh jadi falsafah hukuman bagi si murtad tidak berlaku dalam satu hal. Tetapi, kenapa Islam tetap memberlakukan hukuman terhadapnya?
Jawabannya adalah: Setiap penetapan hukum, memiliki wilayah yang lebih luas dari falsafah hukum itu sendiri. Ini disebut dengan ihtiyâth (hati-hati) dalam menetapkan hukum. Sebabnya banyak. Tetapi dalam hal ini cukup kami sebutkan dua poin terpenting sebagai berikut:
a.       Terkadang aturan-aturan yang betul-betul secara teliti dibuat untuk menentukan sebuah objek hukum, tidak mungkin dapat diberikan kepada manusia untuk menentukan objek hukum tersebut. Misalnya mengenai falsafah pelarangan parkir di suatu jalan adalah untuk menjaga kelancaran laju lalu lintas. Dan falsafah aturan ini tidak berlaku pada saat-saat jalan itu sunyi, Tetapi polisi lalu lintas secara paten tetap melarang parkir di tempat tersebut. Sebab penentuan masa-masa kemacetan lalu lintas tidak bisa diserahkan kepada masyarakat umum.
b.       Terkadang sebuah hukum itu begitu pentingnya, sehingga penetap hukum –karena kehati-hatian- lebih meluaskan wilayah objek hukum tersebut, agar ia yakin bahwa  masyarakat pasti akan melaksanakan hukum tersebut. Misalnya, sebuah batasan yang ditetapkan guna mengantisipasi terjadinya tenggelam. Zona ini harus jauh dari jangkauan masyarakat, yakni sejauh lima kilometer dan diletakkan secara rahasia. Tetapi pihak militer menambahkan jaraknya dari batas yang normal, agar lebih yakin bahwa tujuan yang diharapkan akan tercapai.
Berdasarkan dua poin di atas, dalam penentuan hukum dalam Islam pun demikian pula, Allah Swt memperluas wilayah hukum dari objek falsafah hukum itu sendiri, hingga tujuan dari falsafah tersebut bisa terwujud.
Untuk meneliti lebih jauh permasalah falsafah hukum Islam, silahkan merujuk kepada buku Falsafe-e Huquq, Qudratullah Khusrushahi hal. 201-222 dan Adl-e Ilahi, Syahid Muthahari, Tafsir ayat la ikraha fiddin, Tafsir al-Mizân 2/278, Tafsir Nemuneh 2/360.[]


[1]. Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini, 2:366 – al-Mughni, Ibn Qadamah, 10:74
[2]. Ibid. hal. 118
[3]. Ibid. 2/336. sebagian berpendapat, Islamnya salah seorang dari orang tua ketika dilahirkan menjadi syarat. (Allamah Khui, Mabâni Taklimah al-Manhaj 2/451) dan sebagian lain mensyaratkan penampakan keislaman setelah baligh (Shahid Tsani, Masâlik al-Afham, 2/451).
[4]. Tahrir al-Wasilah, Imam Khomeini, 2/336
[5] . Ibid. 2/494
[6] . al-Fiqh Ala Mazahib Arbaah.
[7] . Perjanjian Lama, Pasal 13
[8] . Sebenarnya sebagian hukuman mati bagi kemurtadan adalah hukum ta’zir bukan had. Dan hukum ta’zir secara total berada di tangan hakim, Islam tidak menetapkannya secara khusus. Jadi tidak bisa kita katakan bahwa hukuman murtad dalam Islam adalah mati. Lih. Dirâsat fi Wil^ayah al-Faqih wa ad-Daulah al-Islâmiyah 3/387
[9] . Firman Allah SWT: Allah tidak akan membebani manusia dengan beban kecuali ia mampu menanggungnya. Baqarah: 286
[10]. Qs. Haj (22):32
[11]. Qs. Maidah (5):3
[12]. Qs. Ali Imran (3): 72


10 PERKARA YANG MEMBATALKAN ISLAM

20
Okt
2011
Posted by: Abu Anas Madani
10 PERKARA YANG MEMBATALKAN ISLAM.
Saudara muslim! Ketahuilah, bahawa terdapat beberapa perkara yang boleh  membatalkan Islam seseorang. Antara yang paling banyak terjadi ialah sepuluh perkara. Maka hindarilah diri anda daripadanya.
Pertama:
Syirik iaitu mempersekutukan Allah dalam ibadat. Firman Allah swt:
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ } (المائدة: 72)
“Sesungguhnya sesiapa yang mempersekutukan Allah, nescaya Allah, mengharamkan Syurga baginya dan tempat tinggalnya (kelak) adalah neraka, dan tiada penolong bagi orang-orang yang zalim”. (Al-Maidah: 72)
Antara perbuatan syirik tersebut ialah: Meminta doa dan pertolongan dari orang-orang  yang telah mati, bernazar dan  menyembelih korban kepada mereka.
Kedua:
Menjadikan sesuatu sebagai perantara di antara dirinya dengan Allah, meminta doa dan syafaat serta berserah diri (tawakkal) kepada perantara itu. Orang yang melakukan perkara tersebut, menurut kesepakatan (ijma’)  ulama’ adalah kafir.
Ketiga:
Tidak mengkafirkan orang musyrik atau ragu-ragu terhadap kekufuran mereka atau membenarkan fahaman mereka. Dengan melakukan demikian,  ia telah kafir.
Keempat:
Berkeyakinan bahawa petunjuk  yang lain daripada petunjuk Nabi saw adalah lebih sempurna atau berkeyakinan bahawa hukuman yang lain daripada hukuman Nabi saw lebih baik seperti mereka yang mengutamakan peraturan thaghut (peraturan manusia yang melampaui batas dan menyimpang dari hukum Allah) dan mengenepikan hukum Rasulullah saw. Maka orang yang berkeyakinan seperti itu adalah kafir.
Sebagai contoh:
a-Berkeyakinan bahawa peraturan atau perundangan yang dibuat oleh manusia lebih utama daripada Syariat Islam;
  • atau perundangan Islam tidak sesuai dilaksanakan di abad kedua puluh satu.
·        atau Islam adalah sebab kemunduran kaum muslimin.
·        atau Islam hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya sahaja dan bukan urusan kehidupan dunia.
b-Berpendapat bahawa melaksanakan hukum Allah swt dalam perkara hukum hudud seperti memotong tangan pencuri dan merejam penzina yang telah berkahwin (muhsan) tidak sesuai lagi pada masa kini.
c- Berkeyakinan bahawa dibolehkan untuk mengamalkan perundangan yang lain daripada syariat yang diturunkan oleh Allah swt samada dalam hukum mu’amalat (perdagangan) atau dalam melaksanakan hukum hudud (jenayah) atau lainnya sekalipun tidak disertai dengan keyakinan bahawa hukum-hukum tersebut lebih utama daripada Syariat Islam, kerana dengan sedemikian ia telah menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah menurut ijma’ ulama.
Setiap orang yang menghalalkan perkara yang sudah jelas dan tegas diharamkan oleh Allah swt dalam agama seperti zina, arak, riba dan melaksanakan perundangan yang lain dari syariat Islam adalah kafir menurut kesepakatan umat Islam (ijma’).
Kelima:
Membenci sesuatu yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw sebagai syariat walaupun ia mengamalkannya. Dengan melakukan demikian, ia telah menjadi kafir, kerana firman Allah:
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ  }
“Demikian itu adalah kerana mereka benci terhadap sesuatu yang diturunkan oleh Allah, maka Allah menghapuskan (pahala) segala amal perbuatan mereka”. (Muhammad: 9)
 Keenam:
Mempersendakan Allah swt atau kitab-Nya atau Rasulullah saw atau sesuatu daripada ajaran agama, maka ia telah menjadi kafir, kerana firman Allah  swt:
{ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ، لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ } (التوبة: 65-66)
 “Katakanlah (wahai Muhammad): Adakah terhadap Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu sekelian memperolok-olok main? Tiada ertinya kamu meminta maaf kerana kamu telah kafir setelah beriman”. (At-Taubah: 65-66)
Ketujuh:
Sihir, di antaranya ilmu guna-guna (sarf), iaitu mengubah kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi benci dan ilmu pengasih, iaitu menjadikan seseorang mencintai sesuatu yang tidak disenanginya dengan cara-cara syaitan. Mereka yang mengamalkan sihir atau rela dengannya adalah kafir kerana firman Allah swt:
{ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ } (البقرة: 102)
“Sedangkan kedua-dua malaikat itu tidak mengajarkan (suatu sihir) kepada sesiapa pun sebelum mengatakan: sesungguhnya kami hanya cubaan bagimu, oleh itu janganlah kamu menjadi kafir”. (Al-Baqarah: 102)
Kelapan:
Membantu dan menolong orang musyrikin untuk memusuhi kaum muslimin kerana firman Allah swt:
{ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ  }  (المائدة: 51)
“Dan barangsiapa di antara kamu yang mengambil mereka (Yahudi dan Nasrani) menjadi pemimpin, maka dia termasuk di dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Al-Maidah: 51)
Kesembilan:
Berkeyakinan bahawa sesetengah individu diperbolehkan untuk tidak mengikuti syariat Muhammad saw. Orang yang berkeyakinan sedemikian adalah kafir kerana firman Allah swt:
{ وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ  } (آل عمران: 85)
“Dan sesiapa yang menghendaki selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima agama itu darinya, dan di akhirat ia tergolong di kalangan orang-orang yang rugi”. (Aali Imran: 85).
Kesepuluh:
Berpaling daripada agama Allah swt atau perkara-perkara yang menjadi syarat sah sebagai muslim tanpa mempelajarinya dan tanpa melaksanakan ajarannya. Firman Allah swt:
{ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآَيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ } (السجدة: 22)
“Tiada yang lebih zalim daripada orang-orang yang telah mendapat peringatan melalui ayat-ayat Tuhannya kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya kami akan menimpakan balasan kepada orang-orang yang berdosa”. (As-Sajadah: 22)
Firman Allah swt:
{ وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنْذِرُوا مُعْرِضُونَ  } (الأحقاف: 3)
 “Dan orang-orang yang kafir berpaling daripada perkara yang diperingatkan kepada mereka”. (Al-Ahqaf: 3).
Dalam perkara yang membatalkan Islam ini, hukumnya tidak berbeza sama ada secara bergurau atau bersungguh-sungguh, sengaja melakukannya atau takut, kecuali apabila diancam dan dipaksa.
Semoga Allah melindungi kita semua daripada melakukan perbuatan yang mendatangkan kemurkaan Allah swt dan seksaan yang sangat pedih.
Dari Buku: Panduan Untuk Jemaah Haji Dan Umrah Serta Pengunjung Masjid Rasul Saw.
20 Oktober 2011 – 22 Zulqa’dah 1432H.

Tiada ulasan: