Selasa, 19 Mei 2015

IKHLAS 2




















Khamis, 19 Januari 2012

Darjat Hadis Qudsi, Ikhlas Itu Adalah Rahsia-Ku.

Oleh: Suhili bin Nain.

Hadis ini adalah hadis yang cukup masyhur di antara golongan menamakan diri mereka sebagai ahli sufi ataupun ahli tasawuf. Bahkan maksud hadis ini turut diselitkan dalam lagu nasyid tempatan.


يقول الله تعالى : الإخلاص سر من سري استودعته قلب من أحببت من عبادي.(رواه الديلمي في " مسند الفردوس " ( 3 / 187 ) عن علي وابن عباس)


“Allah Ta’ala berfirman: Ikhlas itu salah satu rahsia daripada rahsia-rahsia-Ku. Aku titipkan ia di dalam hati hamba-Ku yang Aku cintai.” (Diriwayatkan oleh Ad-Dailami dalam “Musnad Al-Firdaus” (3/187) daripada ‘Ali dan Ibn ‘Abbas)


  • Menurut Al-‘Iraqi dalam Takhrij Ihya’ Ulumiddin, hadis ini adalah Mursal.  Padanya sanadnya ada Ahmad bin Atho’ Al-Hajimi dan Abdul Wahid bin Zaid yang kedua-duanya adalah Matruk.
  • Diriwayatkan juga hadis di atas oleh Al-Qawaqiji, melalui Hudzaifah, dan sanadnya terputus, kerana salah satu perawinya Al-Hasan tidak pernah mendengar daripada Hudzaifah dan tidak pernah bertemunya.
  • Darjatnya adalah Dhaif Jiddan atau pun Maudhu’ (Palsu).

Wallahu ‘alam.

“Ikhlas itu satu rahsia dalam rahsiaKU, Aku titiskan ia dalam hati hamba-hambaKU yang AKU kasihi.” (Hadis Qudsi).

Sabtu, 08 September 2012
Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh

بِســـمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــم

Ikhlas itu susah
Kerana di sebalik menuju ikhlas itu ada syaitan memacu
Dipesongkan kerana-kerana kita di awal-awalnya
Dipesongkan kerana-kerana kita di tengah-tengahnya
Dipesongkan kerana-kerana kita di hujungnya
Disolekkan dengan puji puji
Ditampal kata mengata
Dirasuk rasa bangga
Tak tersedar ada penyakit bertandang di hati

Firman ALLAH SWT : “Ikhlas itu satu rahsia dalam rahsiaKU,
Aku titiskan ia dalam hati hamba-hambaKU yang AKU
kasihi.” (Hadis Qudsi).

Menuju ikhlas itu bermula bila segala hanya kepadaNYA
Dengan tunduk, tawadhuk, malu, takut, risau, cemas, kasih, cinta.
Hanya kepadaNYA

“Sesungguhnya ALLAH SWT tidak memandang
gambaran lahir kamu tapi dia melihat apa yang ada di
dalam hati kamu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Semoga dituntun hati kita dengan CintaNYA,
Terarah langkah kita selari dengan RedhaNYA

Berhati-hatilah menjaga hati

~ 13 Syawal 1433H ~

Ikhlas Rahsia Allah

Demikian ketentuan Allah. Satu ketentuan yang pasti kita akan hadapi satu hari nanti. Batas di mana manusia tidak dapat berdalih lagi. Hari di mana kita terpaksa menerima akibat dari usaha kita di dunia. Di hari itu orang yang tidak ikhlas akan melolong, memekik dan menyesal amalannya tertolak. Dia sangka dapat membohongi Allah, rupanya tidak. Allah lebih tahu darinya tentang gerak hatinya sendiri. Marilah kita insaf dari sekarang, betulkan niat kita ketika melakukan suatu amalan. Mohon dari Allah agar diberiNya hati yang ikhlas, sebab ikhlas anugerah daripada Allah. Dalam satu hadis Qudsi Allah berfirman yang bermaksud:

“Ikhlas adalah satu rahsia dalam rahsia-rahsia-Ku. Aku titiskan ia dalam hati hamba-hambaku yang Aku mangasihinya” (Riwayat Abu Hasan Al Basri)

Kerana ikhlas satu rahsia Allah tentu tidak mungkin kita dapat mengetahui siapa yang ikhlas dan siapa yang tidak. Malah diri kita sendiri pun mungkin kadang-kadang susah untuk dipastikan apakah amalan kita itu ikhlas atau sebaliknya. Kita tidak boleh mengatakan diri kita ikhlas “saya ikhlas”.

Walaupun ikhlas adalah rahsia Allah namun islam membuat satu garis panduan unutk mengukur hati kita dan membentuknya supaya benar-benar ikhlas. Di antara tanda-tanda ikhlas dalam satu amalan apabila orang memuji atau mencaci amalan kita, kita rasa sama saja. Pujian tidak membanggakan kita dan kejian tidak menyusahkan. Itulah tanda ikhlas. Maknanya amalan itu betul-betul dibuat kerana Allah. Kerana itu kalau manusia cerca, caci atau hina, hati pun tidak cacat, tidak timbul perasaan marah, dendam atau ingin membela diri atau melawan orang yang menghina itu.

Begitu juga, kalau orang puji, pujian itu tidak membekas di hatinya. Tidak timbul rasa bangga, puas hati dan juga dan juga tidak bertambah kasih sayangnya pada orang yang memuji itu, disebabkan oleh pujiannya. Bagi orang-orang yang ikhlas, pujian dan kejian tidak pernah difikirkan apalagi hendak di harapkan. Mereka sangat takut kalau-kalau Allah menolak amalan dan memurkai mereka. Sebaliknya mereka sangat ingin Allah menerima baik amalan-amalan mereka serta meredhai mereka. Mereka sanggup mengetepikan kepentingan sendiri dalam usaha mencari keredaan Allah. Mereka tidak bimbang nasib diri, rugi atau untung, orang keji atau puji, menang atau kalah, yang penting supaya Allah menerima baik amalan mereka. Rasulullah SAW kerana menganjurkan sifat ikhlas telah bersabda yang bermaksud:

“Berbuat baiklah pada orang yang berbuat jahat kepada kamu”

Seseorang yang mencari keredaan Allah, akan sentiasa mencari peluang untuk berbakti kepada-Nya. Ketika orang lain bertindak jahat pada mereka, mereka akan merasa berpeluang untuk mendapat pahala dan kasih sayang Allah. Sebab itu kejahatan orang diterima baik dan dibalas dengan kebaikan pula.

Hal itu benar-benar berlaku di kalangan orang-orang soleh dan muqarrobin. Ketika mendengar orang menghina mereka, langsung dihantarnya hadiah pada orang itu. Bila di Tanya apa tujuan hadiah itu,jawapan mereka adalah, ”Orang yang menghina kita sebenarnya memberi pahala kepada kita. Memberi pahala sama seperti memberi syurga. Jadi untuk membalas pemberian yang begitu besar pada kita,memang patutlah kita menghadiahkan sesuatu kepadanya”. Begitulah hati yang ikhlas. Dia tidak melatah kalau orang menggugat,malah gugatan itu mendekatkan dirinya pada Allah Taala.
1311216801515374989

Apa Itu Ikhlas ?!., Katanya Mudah Dikatakan, Tapi Sulit Dilaksanakan. Inilah Jawabanya!

OPINI | 21 July 2011 | 03:01  
Apa ikhlas itu?!.,
Pernah mendengar ada yang mengatakan “saya sudah meng-ikhlas-kanya”. Istilah ikhlas sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari disekitar kita. Namun, hingga saat ini makna ikhlas terdengar absurd dan bahkan terkadang disalah maknakan sebagai menerima apa adanya. Apakah benar demikian. Saya coba ingin membedah sedikit makna ikhlas dari pemahaman dan hasil belajar dari guru-guru kehidupan. Kebetulan dalam hal ini, saya menggunakan pendekatan terminologi islam yang memang notabenenya adalah sumber yang paling sering menggunakan kata ikhlas.
Banyak yang telah mendefinisikan ikhlas. Namun kita terkadang absurd makna ikhlas yang sering bercampur dengan menerima segala sesuatu apa adanya. Bahkan kata ini diposisikan sebagai sesuatu upaya tidak melakukan apa-apa dan cenderung tidak berdaya.
Dalam terminologi islam sendiri, kata ikhlas diperoleh dalam Al-Qur’an yaitu surat Al Ikhlas, surat ke-112. Kalo secara bahasa, makna ikhlas adalah murni.Surat ini menceritakan tentang kemurnian pengabdian manusia terhadap sang penciptanya. Memurnikan rasa, abdi dan karya hanya kepada-Nya. Tidak ada selain-Nya.., He is really the one. Only one. Dalam surat ini, Allah (Tuhan) menyebutkan dengan gagahnya, apa-pun (segala sesuatu, termasuk manusia) sangat bergantung kepadanya. Bahkan Allah (tuhan) secara tegas menyatakan dengan penekanan yang kuat tidak ada sesuatu apa-pun yang menyamai-Nya. Luar biasa.
So, apa relevansinya dengan makna ikhlas yang kita bahas?.Ya itu tadi, makna dari ikhlas dari sumbernya adalah memurnikan semua kegiatan, aktivitas, kerja and evrything yang kita lakukan hanya untuk Allah. Bukan untuk uang, pujian, jabatan apalagi kekuasaan. Artinya, kita dikatakan ikhlas apabila kita benar-benar memurnikan pekerjaan kita hanya untuk-Nya.
Masih absurd juga ya?. Oke kita sedikit lagi melihat ikhkas sebagai sesuatu yang mudah dipahami.
Kata ikhlas dalam Al-Qur’an ada banyak, selain surat Al ikhlas, saya coba sedikit lebih dalam mengupasnya dari sisi lain makna ikhlas sesungguhnya yang ingin dikatakan oleh Allah.
Ikhlas dalam Al Qur’an juga disinggung pada surat Al Insyirah, surat ke-94. Kalo dalam surat sebelumnya berbicara tentang substansi, pada surat ini Allah lebih berbicara operasional. Uni dan menarik, kebetulan ini menjadi suart favorit bagi saya. Walaupun tidak ada secara eksplisit kata “ikhlas”, surat ini menunjukan bagaimana ikhlas itu dilakukan dan seperti apa prosesnya.
Ayat pertamanya sudah menenangkan manusia, bahwa Dia-lah yang memberikan “nasyrah” kelapangan dada (rasa tenang & fokus), bukan manusia yang terkadang sombong bahwa apa yang ada dalam dirinya (kesuksesan,kontrol perasaan,dll) adalah upaya sendiri. Ayat berikutnya-pun Allah menundukan sifat kesombongan manusia dengan mengatakan bahwa Dia-lah yang telah meringankan beban di pundak kalian. Tidak berhenti di situ, Allah-pun mengayomi manusia dengan mengatakan,Dia yang meninggikan nama manusia. Semakin indah, Allah berbicara dengan lembut di ayat berikutnya bahwa dalam 1 kesulitan terdapat 2 kemudahan, sangat menenangkan. Dilanjutkan dengan ayat memahamkan suatu pekerjaan, setelah selesai suatu urusan maka kerjakanlah urusan yang lain dengan sungguh-sungguh. Surat ini-pun ditutup dengan indah, setelah kita berusaha berjuang sekuat tenaga maka ikhlaskan-lah. (anda bisa lihat tafsirnya)
Bingung?. Apa hubunganya dengan ikhlas.
Yup, ayat-ayat tersebut ingin mengatakan bagaimana ikhlas itu. Secara sederhana, maka makna dalam surat tersebut mengatakan ikhlas itu memiliki komponen “nasrah”,”anqodho”, “ ’asir”, “yusro”. Bahwa dalam kehidupan dan mengerjakan sesuatu kita di haruskan untuk nasrah, yaitu berlapang dada, fokus dan tenang mengerjakan sesuatu.Dalam hal apa?, yaitu dalam menghadapi anqodho dan ’asir, beban dan kesulitan. Tapi jangan lupa bahwa ada yusro, kemudahan. Habis itu, kerjakanlah pekerjaan yang lain tentunya dengan ikhlas.
Maka, kata ikhlas di Al Qur’an dalam segi ilmu kebahasaan menjadi masdar atau dalam istilah inggrisnya abstrak-noun (kata benda yang tidak teridentifikasi), yang artinya adalah sebuah procces of becoming. Arti lainya, adalah proses dalam upaya pemurnian. Namanya proses, adalah sebuah siklus berkelanjutan yang dijelaskan dalam surat Al Insyiroh bahwa proses itu masalah-lapang dada-upaya (ikhtiar)-kerja lagi. Makna ikhlas menjadi sesuatu proses pemurnian kepada-Nya. Seperti sifatnya, proses tidak akan pernah berhenti. Sampai kapan? Sampai kepada-Nya (bertemu dengan-Nya).
Tentunya, kita tidak bisa “mengikhlaskan” pekerjaan untuk Allah dengan meninggalkan Allah. Makna sederhanaya, pekerjaan dengan niat tujuan baik (untuk Allah), tidak bisa dilakukan dengan melakukan pekerjaan yng tidak baik (meninggalkan Allah). Seperti orang berbuat korupsi, untuk menghidupi keluarganya. Makna yang lebih tentang ikhlas, ketika kita sudah meng-ikhlaskan pekerjaan kita, maka tuntaskanlah. Pekerjaan yang ikhlas adalah pekerjaan yang tuntas. Kita tidak bisa lagi menyandarkan bahwa kerja ikhlas adalah kerja yang lemah, justru kerja ikhlas adalah kerja profesional.
Menarik quote Mario Teguh tentang ikhlas, “menerima yang ada dengan baik, dan mengupayakan akan adanya yang lebih baik. Karena tidak mungkin orang mendapatkan kedamaian, ketenangan, kelurusan berfikir; untuk mengadakan yang tadinya belum ada, mewujudkan yang tadinya masih berupa impian, kemudian menjadikannya yang lebih hebat tanpa menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi, dan menjadikannya modal bagi perbaikan.”
Ayo terus berpropses ikhlas. 



Ikhlas Kerana-Nya

Oleh: Ustazah Nik Suhaila bt Nik Muhammad
“Ikhlas itu jiwa yang murni, rahsia Allah di dalam hati, terlalu sembunyi tapi dapat dikesan, jika disuluh dengan saksama, nista dan puji tiada berbeza.” Itulah antara bait-bait lagu nasyid oleh salah satu kumpulan nasyid popular yang menggambarkan tentang keunikan sifat ikhlas.
Sifat ikhlas sangat istimewa. Walaupun sulit untuk diberikan pengertian yang tepat dan  tiada tanda-tanda jelas yang menggambarkan kehadirannya, namun ia memberikan pengaruh yang besar dan bermakna terutamanya dalam amalan dan perbuatan setiap yang bergelar Mukmin. Jika keikhlasan yang mendahului setiap gerak-geri insan, akan lahir keluhuran dan membuahkan keberkatan Allah SWT dalam setiap amalannya. Ia amat berkait rapat dengan persoalan hati seperti yang dimaksudkan oleh hadith Rasulullah SAW : “Sesungguhnya setiap amalan itu dengan niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu apa yang diniatkannya.”(Riwayat Bukhari & Muslim)
Al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna menyatakan, “Ikhlas adalah setiap kata-kata, amalan dan jihad setiap Muslim hanya kerana Allah SWT, untuk mencari keredhaan dan ganjaran baik dari-Nya, tanpa memandang kepada imbuhan duniawi, kemewahan, kemegahan atau gelaran. Justeru, insan itu menjadi pengikut kerana akidah dan fikrah bukan kerana kebendaan atau sebarang kepentingan peribadi.”  Daripada kata-kata Imam Hasan al-Banna, dapat difahami bahawa sifat ikhlas ialah melakukan sesuatu amalan semata-mata kerana mencari keredhaan Allah SWT. Amalan yang dilakukan tidak dicampuri oleh keinginan dunia, keuntungan untuk diri sendiri, mencari pangkat dan darjat, inginkan kemasyhuran, pujian dan dikenali seluruh dunia kerana sesuatu perkara yang ada pada dirinya.
Sebagaimana solat lima waktu yang menjadi tiang untuk meneguhkan dan sebagai perlambangan bagi seseorang yang bergelar Muslim, membezakan dirinya dengan penganut agama lain, sifat ikhlas menjadi penanda aras kepada amalan setiap insan. Justeru, ikhlas disebut di awal solat sebagai pembukaan kepada kesedaran minda bahawa apa yang sedang dilaksanakan ini hanya kerana-Nya. Firman Allah SWT dalam surah al-An`am, ayat 162 yang bermaksud :“Katakanlah olehmu, “Sesungguhnya solatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk  Allah SWT, Tuhan yang memelihara dan mentadbir  sekalian alam.”
Sifat ikhlas di dalam diri insan boleh diumpamakan seperti akar tunjang bagi sebatang pokok.  Walaupun tersembunyi di dalam perut bumi dan tidak dapat dilihat oleh pandangan mata, namun ia menjadi penguat dan menyokong pokok itu tumbuh tegak dan teguh walaupun dirempuh oleh angin kencang dan ribut yang melanda. Keteguhan peribadi seperti ini akan melahirkan seorang Mukmin yang mampu bertahan walaupun diuji dengan pelbagai dugaan.  
Keistimewaan Sifat Ikhlas
Kehadiran sifat ikhlas dalam diri individu memberikan pengaruh yang sungguh besar terutamanya ke arah pembentukan peribadi yang syumul dan berkualiti sejajar dengan syariat. Antaranya
Menjauhkan Sifat Berpura-pura
Sememangnya menjadi lumrah manusia jika melakukan kebaikan mereka inginkan pujian, dipandang hebat oleh manusia, mendapat ganjaran keduniaan seperti pangkat, darjat malahan harta benda. Diri akan merasa bangga dan puas jika mendapat ganjaran keduniaan yang diimpikan. Alangkah ruginya golongan yang hanya mendapat kelebihan dunia, di sisi manusia. Namun di sisi Allah SWT semuanya kosong dan tidak bermakna. Setiap amalan yang dilaksanakan, jika tiada keikhlasan hanyalah sesuatu yang hipokrit dan berpura-pura. Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud, “Pada hari kiamat nanti, dunia akan dibawa kemudian diasing-asingkan perkara yang dikerjakan kerana Allah dan yang dilakukan bukan kerana Allah, lalu dicampakkan ke dalam api neraka”.  (Riwayat Baihaqi).
Membunuh Sifat Riya’
Sifat riya’ boleh memusnahkan pahala amalan yang dilakukan. Sekiranya melaksanakan sesuatu perkara di hadapan orang lain, perkara tersebut dilakukan dengan sebaik mungkin supaya nampak cantik pada pandangan manusia. Namun, bila bersendirian dan tidak diketahui oleh orang lain, perbuatannya hanya sekadar “melepaskan batuk di tangga”, tidak bersungguh-sungguh dan tidak sempurna. Sifat suka menunjuk-nunjuk ini dapat dihapuskan sekiranya disertai dengan keihklasan niat kerana Allah SWT.
Membentuk Jiwa yang Kental
Seorang yang ikhlas, terselit dalam setiap amalannya niat melakukan kerja kerana Allah SWT. Dalam setiap detik kehidupan pula tidak semua perkara yang dilaksanakan meraih kesempurnaan. Ada cacat cela dan kekurangan yang boleh menimbulkan rasa kecewa dan tidak puas hati di kalangan pelakunya. Justeru, dengan keikhlasan akan terbentuk jiwa yang kental, tidak mudah mengalah dengan ujian dan kepayahan. Sekiranya kecewa pada sesuatu masa, jiwa yang ikhlas akan segera terubat kerana yakin setiap yang berlaku ada hikmah di sebaliknya. Secara tidak langsung, individu yang ikhlas akan kembali bangkit untuk melaksanakan yang terbaik kerana Allah SWT tanpa terus menerus terkurung dengan kekecewaan yang telah berlaku.
Memupuk  Sifat Redha dan Tenang
Dunia adalah pentas ujian. Allah berfirman dalam surah al-Ankabut ayat 2 yang bermaksud : “Patutkah manusia menyangka bahawa mereka akan dibiarkan dengan hanya berkata “ Kami  beriman” sedang mereka tidak diuji dengan sesuatu cubaan?”. Bagi insan yang ikhlas menjalani kehidupannya, sudah pasti mereka akan sentiasa tenang walaupun terpaksa melalui kepayahan dan dugaan yang hebat. Mereka akan tetap meneruskan kehidupan dengan hati yang lapang dan redha dengan ketentuan-Nya di samping sentiasa berusaha melakukan yang lebih baik dari semasa ke semasa.
Kesimpulan
Keikhlasan adalah suatu sifat mahmudah yang patut disemai dalam setiap sanubari insan yang mengaku beriman. Sememangnya bukan mudah untuk menjadi seorang yang benar-benar ikhlas dalam kehidupannya kerana ia berkait rapat dengan persoalan hati manusia yang sentiasa berbolak-balik dan tidak nampak tandanya dengan jelas. Apa yang boleh dilakukan, berusahalah dengan sebaik mungkin dalam melaksanakan amalan di dunia ini dan niatkan segala-galanya kerana Allah SWT. Hanya Dia yang selayaknya memberikan ganjaran yang benar-benar setimpal atas apa yang diusahakan. Bagi sesiapa yang telah beramal dengan penuh keikhlasan, tiba-tiba dipuja dan dipuji oleh manusia atas sumbangan dan kebaikannya, sedangkan itu semua tidak memberikan kesan kepada kecintaan dan keikhlasan kepada Allah SWT, mereka itulah yang disebut dalam hadis Rasulullah SAW yang bermaksud, “ Rasulullah SAW telah ditanya   berkenaan seseorang yang telah berbuat amal kebaikan, tiba-tiba manusia memujinya?” Jawab Baginda, "Itulah khabar gembira yang didahulukan buat para Mukmin" (Riwayat Muslim)
*Artikel ini telah diterbitkan dalam Majalah Dian, isu 3.



Berusaha untuk Ikhlas


Posting kali ini adalah posting berseri dari judul “Berusaha untuk Ikhas“. Kita nanti akan memulai mengenal definisi ikhas, tanda-tanda ikhlas dan beberapa point ikhlas lainnya. Semoga Allah memudahkan.
***
Allah akan senantiasa menolong kaum muslimin karena keikhlasan sebagian orang dari umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا يَنْصُرُ اللَّهُ هَذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيفِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلَاتِهِمْ وَإِخْلَاصِهِمْ
Allah akan menolong umat ini karena sebab orang miskin, karena do’a orang miskin tersebut, karena shalat mereka dan karena keikhlasan mereka dalam beramal.[1]
Ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amalan, di samping amalan tersebut harus sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ikhlas, amalan jadi sia-sia belaka. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa-id memberikan nasehat yang sangat indah tentang ikhlas, “Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa bekal berisi pasir. Bekal tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa.”
Perintah untuk Ikhlas
Setiap amalan sangat tergantung pada niat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amal itu tergantung dari niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang dia niatkan.[2]
Dan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran: 29)
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari ikhlas- dalam firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.[3] An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.”[4]
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang menutut  ilmu yang sebenarnya harus ditujukan hanya untuk mengharap wajah Allah, namun ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan materi duniawi, maka ia tidak akan pernah mencium bau surga pada hari kiamat nanti.[5]
Pengertian Ikhlas Menurut Para Ulama
Para ulama menjelaskan ikhlas dengan beberapa pengertian, namun sebenarnya hakikatnya sama. Berikut perkataan ulama-ulama tersebut.[6]
Abul Qosim Al Qusyairi mengatakan, “Ikhlas adalah menjadikan niat hanya untuk Allah dalam melakukan amalan ketaatan. Jadi, amalan ketaatan tersebut dilakukan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga yang dilakukan bukanlah ingin mendapatkan perlakuan baik dan pujian dari makhluk atau yang dilakukan bukanlah di luar mendekatkan diri pada Allah.”
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Hudzaifah Al Mar’asiy mengatakan, “Ikhlas adalah kesamaan perbuatan seorang hamba antara zhohir (lahiriyah) dan batin.” Berkebalikan dengan riya’. Riya’ adalah amalan zhohir (yang tampak) lebih baik dari amalan batin yang tidak ditampakkan. Sedangkan ikhlas, minimalnya adalah sama antara lahiriyah dan batin.
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:
  1. Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
  2. Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
  3. Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya’. Beramal karena manusia termasuk kesyirikan. Sedangkan ikhlas adalah engkau terselamatkan dari dua hal tadi.”
Ada empat definisi dari ikhlas yang bisa kita simpulkan dari perkataan ulama di atas.
  1. Meniatkan suatu amalan hanya untuk Allah.
  2. Tidak mengharap-harap pujian manusia dalam beramal.
  3. Kesamaan antara sesuatu yang tampak dan yang tersembunyi.
  4. Mengharap balasan dari amalannya di akhirat.
Nantikan pembahasan selanjutnya mengenai tanda-tanda ikhlas. Semoga Allah memudahkan dalam setiap urusan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com


[1] HR. An Nasa-i no. 3178. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Khattab.
[3] HR. Muslim no. 2985, dari Abu Hurairah.
[4] Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.
[5] HR. Abu Daud no. 3644 dan Ibnu Majah no. 252, dari Abu Hurairah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[6] Kami ambil perkataan-perkataan ulama tersebut dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H.
IKHLAS DAN SABAR
Pada umumnya kita semua bisa lebih sabar, disaat kita di uji Allah dengan hal yang menyenagkan, tapi saat kita di uji Allah dengan ujian yang tidak menyenangkan, seperti ujian kesulitan, ujian kehilangan dan atau musibah maka kebanyakan dari kita, akan merasa begitu sulit menerimanya dan sulit untuk bisa sabar.
Ujian kesulitan, ujian kehilangan, kekurangan musibah, penyakit, kemiskinan, adalah perkara biasa yang dihadapi oleh manusia selama hidup di dunia ini. Perhatikan firman Allah SWT berikut ini “ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 155-157).
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al ‘Ankabuut [29] : 2)
Ketahuilah, sabar akan sangat sulit dilakukan, apabila kita tidak mampu menyadari, bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, pada hakikatnya hanyalah ujian. Harta yang kita miliki, karir yang bagus, rumah dan mobil mewah yang kita miliki, anak dan keluarga, itu semua adalah ujian dari Allah dan titipan Allah. Apakah kita bersyukur atau menjadi kufur?
Kita harus memahami dengan sebaik-baiknya bahwa Allah lah pemilik yang sebenar-benarnya atas segala sesuatu apapun yang kita miliki di dunia ini. Dengan menyadari bahwa semua yang kita miliki sebenarnya adalah milik Allah dan titipan Allah, maka begitu Allah mengambilnya dari kita, insya Allah kita akan lebih mudah merelakannya. Karena kita menyadari, bahwa semua itu adalah milik Allah dan titipan Allah. Dan yang namanya titipan, suatu saat nanti memang pasti akan kembali pada pemiliknya, kapanpun pemiliknya menghendaki apa yang dititipkan kembali atau mau mengambilnya dari kita, maka kita harus dengan rela memberikannya.
Jadi, jangan menjadi stres, terpukul dan merasa kehilangan yang sangat berat, apabila kemarin kita masih punya mobil, sekarang sudah tidak lagi, jangan stres dan bersedih hati apalagi sampai meratapi nasib, apabila bulan kemarin usaha kita masih sukses, sedangkan sekarang kita mengalami kegalalan yang besar.
Karena sesungguhnya dengan adanya musibah, maka seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dari Allah SWT. Perhatikan sabda Rasulullah saw berikut ini: “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ketahuilah dan yakinlah, bahwa sesungguhnya dalam setiap cobaan berat yang Allah SWT berikan untuk kita, maka ada hikmah dan pahala yang besar yang menyertainya. Seperti sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya pahala yang besar itu, bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka, maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [146]).
Rasulullah SAW bersabda : “Tiada henti-hentinya cobaan akan menimpa orang mukmin dan mukminat, baik mengenai dirinya, anaknya, atau hartanya sehingga ia kelak menghadap Allah SWT dalam keadan telah bersih dari dosa (HR. Tirmidzi).
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kita harus rela menerima segala ketentuan Allah dan menyadari bahwa apapun yang terjadi, sudah ditetapkan Allah SWT dalam Lauhul Mahfuzh. Kita wajib menerima segala ketentuan Allah dengan penuh keikhlasan. Allah SWT berfirman : “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57] : 22)
Apabila kita ditimpa musibah baik besar maupun kecil, sebaiknya kita mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya-lah kami kembal). ini dinamakan dengan kalimat istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah SWT). Kalimat istirja’ akan lebih sempurna lagi jika ditambah, setelahnya dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW sebagai berikut :“Ya Allah, berilah ganjaran atas musibah yang menimpaku dan gantilah musibah itu yang lebih baik bagiku.” Barangsiapa yang membaca kalimat istirja’ dan berdo’a dengan doa di atas niscaya Allah SWTakan menggantikan musibah yang menimpanya dengan sesuatu yang lebih baik. (Hadits riwayat Al Imam Muslim 3/918 dari shahabiyah Ummu Salamah.)
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila ada anak salah seorang hamba itu meninggal maka Allah bertanya kepada malaikat-Nya, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab, ‘Ya.’ ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa buah hati hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab ‘Ya.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan beristirja’ -membaca innaa lillaahi dst-..’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku itu sebuah rumah di surga, dan beri nama rumah itu dengan Bait al-Hamd.’.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [1408]).
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini : “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia bersyukur. Maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar. Maka itu juga merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Setiap amalan akan diketahui pahalanya kecuali kesabaran, karena pahala kesabaran itu, tanpa batas. Sebagaimana firman Allah SWT “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan ganjaran/pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)
Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang bila kita renungkan dan pahami dengan sebaik-baiknya, insya Allah bisa membuat kita semua bisa sabar dan ikhlas dalam menghadapi ujian-Nya yang paling berat sekalipun :
1. Kita harus percaya pada jaminan Allah bahwa : ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS Al Baqarah [2] : 286). Allah SWT yang memiliki diri kita, sangat tahu kemampuan kita, jadi tidak akan mungkin Allah memberikan ujian yang melebihi batas kemampuan kita.
2. Sebenarnya, kita semua pasti mampu untuk bisa sabar dalam segala ujian dan segala keadaan, asalkan kita kuat iman.
3. Coba kita tanyakan pada diri kita, saat kita ditimpa suatu ujian kesulitan, kesedihan dan atau kehilangan, apa manfaat yang bisa kita ambil kalau kita tidak sabar dan tidak mengikhlaskannya? Apakah dengan ”tidak sabar” dan ”tidak ikhlas” nya kita, maka bisa menghadirkan kenyamanan untuk kita? Atau bisa membuat ujian tersebut tidak jadi datang atau tidak jadi menimpa kita? Sekarang mari kita pikirkan kembali, kita sabar atau tidak sabar, ikhlas atau tidak ikhlas, ujian kesulitan / kesedihan atau musibah tetap terjadi dan menimpa kita kan? Jadi lebih baik kita terima dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Bila kita bisa sabar dan ikhlas menerimanya, maka insya Allah, tidak akan terasa berat lagi ujian tersebut, percayalah. Dan ingat, dalam sabar, terkandung ridha Allah SWT. Dan ridha Allah SWT terhadap kita, adalah segalanya.
4. Kita harus selalu baik sangka kepada Allah SWT dan jangan pernah sekalipun meragukan dan mempertanyakan keputusan, ketetapan, pengaturan dan ketentuan Allah. Kita harus bisa sabar dan ridha terhadap apapun keputusan, ketetapan dan pengaturan-Nya. Kalau kita masih merasa tidak puas dengan semua keputusan, ketetapan, pengaturan dan ketentuan Allah itu, maka cari saja Tuhan selain Allah. Perhatikan firman-Nya dalam hadits Qudsi : ”Akulah Allah, tiada Tuhan melainkan Aku. Siapa saja yang tidak sabar menerima cobaan dari-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak ridha dengan ketentuan-Ku, maka bertuhanlah kepada Tuhan selain Aku.” (hadist ini diriwatkan oleh al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Kabir melalui jalur Abu Hind al-Dari)
Karena itu, marilah kita sabar dan ikhlas dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, sabar dan ikhlas, akan membuahkan kebahagiaan hidup. 
IKHLAS ADALAH  ROH IBADAT

AMALAN ZAHIR ADALAH KERANGKA SEDANGKAN ROHNYA ADALAH IKHLAS YANG TERDAPAT DENGAN TERSEMBUNYI DALAM AMALAN ITU. Amal lahiriah digambarkan sebagai batang tubuh dan ikhlas pula digambarkan sebagai nyawa yang menghidupkan batang tubuh itu. Sekiranya kita kurang mendapat kesan yang baik daripada latihan kerohanian hendaklah kita merenung dengan mendalam tubuh amal apakah ia bernyawa atau tidak.
Hikmat 10 ini menghubungkan amal dengan ikhlas.  Hikmat 9 yang lalu telah menghubungkan amal dengan hal. Kedua-dua Kalam Hikmat ini membina jambatan yang menghubungkan hal dengan ikhlas, kedua-duanya ada kaitan dengan hati, atau lebih tepat jika dikatakan ikhlas sebagai suasana hati dan hal sebagai Nur Ilahi yang menyinari hati yang ikhlas. Ikhlas menjadi persediaan yang penting bagi hati menyambut kedatangan sinaran Nur Ilahi. Apabila Allah s.w.t berkehendak memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka dipancarkan Nur-Nya kepada hati hamba tersebut. Nur yang dipancar kepada hati ini dinamakan Nur Sir atau Nur Rahsia Allah s.w.t. Hati yang diterangi oleh nur akan merasai hal ketuhanan atau mendapat tanda-tanda tentang Tuhan. Setelah mendapat pertandaan dari Tuhan maka hati pun mengenal Tuhan. Hati yang memiliki ciri atau sifat begini dikatakan hati yang mempunyai ikhlas tingkat tertinggi. Tuhan berfirman bagi menggambarkan ikhlas dan hubungannya dengan makrifat:
Dan sebenarnya perempuan itu telah berkeinginan sangat kepadanya, dan Yusuf pula (mungkin timbul) keinginannya kepada perempuan itu kalaulah ia tidak menyedari kenyataan Tuhannya (tentang kejinya perbuatan zina itu). Demikianlah (takdir Kami), untuk menjauhkan dari Yusuf perkara-perkara yang tidak baik dan perbuatan yang keji, kerana sesungguhnya ia dari hamba-hamba Kami yang dibersihkan dari segala dosa. ( Ayat 24 : Surah Yusuf )  Nabi Yusuf a.s adalah hamba Allah s.w.t yang ikhlas. Hamba yang ikhlas berada dalam pemeliharaan Allah s.w.t. Apabila dia dirangsang untuk melakukan kejahatan dan kekotoran, Nur Rahsia Allah s.w.t akan memancar di dalam hatinya sehingga dia menyaksikan dengan jelas akan tanda-tanda Allah s.w.t dan sekaligus meleburkan rangsangan jahat tadi. Inilah tingkat ikhlas yang tertinggi yang dimiliki oleh orang arif dan hampir dengan Allah s.w.t. Mata hatinya sentiasa memandang kepada Allah s.w.t, tidak pada dirinya dan perbuatannya. Orang yang berada di dalam makam ikhlas yang tertinggi ini sentiasa dalam keredaan Allah s.w.t baik semasa beramal ataupun semasa diam. Allah s.w.t sendiri yang memeliharanya. Allah s.w.t mengajarkan agar hamba-Nya berhubung dengan-Nya dalam keadaan ikhlas.
Dia Yang Tetap Hidup; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah kamu akan Dia dengan mengikhlaskan amal agama kamu kepada-Nya semata-mata. Segala puji tertentu bagi Allah, Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan  sekalian alam. ( Ayat 65 : Surah al-Mu’min ) Allah s.w.t jua Yang Hidup. Dia yang memiliki segala kehidupan. Dia jualah Tuhan sekalian alam. Apa sahaja yang ada dalam alam ini adalah ciptaan-Nya. Apa sahaja yang hidup adalah diperhidupkan oleh-Nya. Jalan dari Allah s.w.t adalah nikmat dan kurniaan sementara jalan dari hamba kepada-Nya pula adalah ikhlas. Hamba dituntut supaya mengikhlaskan segala  aspek kehidupan untuk-Nya. Dalam melaksanakan tuntutan mengikhlaskan kehidupan untuk Allah s.w.t ini hamba tidak boleh berasa takut dan gentar kepada sesama makhluk.
Oleh itu maka sembahlah kamu akan Allah dengan mengikhlaskan ibadat kepada-Nya (dan menjauhi bawaan syirik), sekalipun  orang-orang kafir tidak menyukai (amalan yang demikian). ( Ayat 14 : Surah al-Mu’min ) Allah s.w.t telah menetapkan kod etika kehidupan yang perlu dijunjung, dihayati, diamalkan, disebarkan dan diperjuangkan oleh kaum muslimin dengan sepenuh jiwa raga dalam keadaan ikhlas kerana Allah s.w.t, meskipun ada orang-orang yang tidak suka, orang-orang yang menghina, orang-orang yang membangkang dan mengadakan perlawanan. Keikhlasan yang diperjuangkan dalam kehidupan dunia ini akan dibawa bersama apabila menemui Tuhan kelak.
Katakanlah: “Tuhanku menyuruh berlaku adil (pada segala perkara), dan (menyuruh supaya kamu) hadapkan muka (dan hati) kamu (kepada Allah) dengan betul pada tiap-tiap kali mengerjakan sembahyang, dan beribadatlah dengan mengikhlaskan amal agama kepada-Nya semata-mata; (kerana) sebagaimana Ia telah menjadikan kamu pada mulanya, (demikian pula) kamu akan kembali (kepada-Nya)”. ( Ayat 29 : Surah al-A’raaf )  Sekali pun sukar mencapai peringkat ikhlas yang tertinggi namun, haruslah diusahakan agar diperolehi keadaan hati yang ikhlas dalam segala perbuatan sama ada yang lahir mahu pun yang batin. Orang yang telah tumbuh di dalam hatinya rasa kasihkan Allah s.w.t akan berusaha membentuk hati yang ikhlas. Mata hatinya melihat bahawa Allah jualah Tuhan Yang Maha Agung dan dirinya hanyalah hamba yang hina. Hamba berkewajipan tunduk, patuh dan taat kepada Tuhannya. Orang yang di dalam makam ini beramal kerana Allah s.w.t: kerana Allah s.w.t yang memerintahkan supaya beramal, kerana Allah s.w.t berhak ditaati, kerana perintah Allah s.w.t wajib dilaksana, semuanya kerana Allah s.w.t tidak kerana sesuatu yang lain. Golongan ini sudah dapat menawan hawa nafsu yang rendah dan pesona dunia tetapi dia masih melihat dirinya di samping Allah s.w.t. Dia masih melihat dirinya yang melakukan amal. Dia gembira kerana menjadi hamba Allah s.w.t yang beramal kerana Allah s.w.t. Sifat kemanusiaan biasa masih mempengaruhi hatinya.
Setelah kerohaniannya meningkat hatinya dikuasai sepenuhnya oleh lakuan Allah s.w.t, menjadi orang arif yang tidak lagi melihat kepada dirinya dan amalnya tetapi melihat Allah s.w.t, Sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Apa sahaja yang ada dengannya adalah anugerah Allah s.w.t. Sabar, reda, tawakal dan ikhlas yang ada dengannya semuanya merupakan anugerah Allah s.w.t, bukan amal yang lahir dari kekuatan dirinya.
 Tingkat ikhlas yang paling rendah ialah apabila amal perbuatan bersih daripada riak yang jelas dan samar tetapi masih terikat dengan keinginan kepada pahala yang dijanjikan Allah s.w.t. Ikhlas seperti ini dimiliki oleh orang yang masih kuat bersandar kepada amal, iaitu hamba yang  mentaati Tuannya kerana mengharapkan upah daripada Tuannya itu.
 Di bawah daripada tingkatan  ini tidak dinamakan ikhlas lagi. Tanpa ikhlas seseorang beramal kerana sesuatu muslihat keduniaan, mahu dipuji, mahu menutup kejahatannya agar orang percaya kepadanya dan bermacam-macam lagi muslihat yang rendah. Orang dari golongan ini walaupun banyak melakukan amalan namun, amalan mereka adalah umpama tubuh yang tidak bernyawa, tidak dapat menolong tuannya dan di hadapan Tuhan nanti akan menjadi debu yang tidak mensyafaatkan orang yang melakukannya. Setiap orang yang beriman kepada Allah s.w.t mestilah mengusahakan ikhlas pada amalannya kerana tanpa ikhlas syiriklah yang menyertai amalan tersebut, sebanyak ketiadaan ikhlas itu.
(Amalkanlah perkara-perkara itu) dengan tulus ikhlas kepada Allah, serta tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya. (Ayat 31 : Surah al-Hajj )
“Serta (diwajibkan kepadaku): ‘Hadapkanlah seluruh dirimu menuju (ke arah mengerjakan perintah-perintah) agama dengan betul dan ikhlas, dan janganlah engkau menjadi dari orang-orang musyrik’”. Dan janganlah engkau (wahai Muhammad) menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat mendatangkan manfaat kepadamu dan tidak juga dapat mendatangkan mudarat kepadamu. Oleh itu, sekiranya engkau mengerjakan yang demikian, maka pada saat itu menjadilah engkau dari orang-orang yang berlaku zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu). ( Ayat 105 & 106 : Surah Yunus )
Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa dari kamu. (Ayat 37 : Surah al-Hajj ) Allah s.w.t menyeru sekaligus supaya berbuat ikhlas dan tidak berbuat syirik. Ikhlas adalah lawan kepada syirik. Jika sesuatu amal itu dilakukan dengan anggapan bahawa ada makhluk yang berkuasa mendatangkan manfaat atau mudarat, maka tidak ada ikhlas pada amal tersebut. Bila tidak ada ikhlas akan adalah syirik iaitu sesuatu atau seseorang yang kepadanya amal itu ditujukan. Orang yang beramal tanpa ikhlas itu dipanggil orang yang zalim, walaupun pada zahirnya dia tidak menzalimi sesiapa.
 Intisari kepada ikhlas adalah melakukan sesuatu kerana Allah s.w.t semata-mata, tidak ada kepentingan lain. Kepentingan diri sendiri merupakan musuh ikhlas yang paling utama. Kepentingan diri lahir daripada nafsu. Nafsu inginkan kemewahan, keseronokan, kedudukan, kemuliaan, puji-pujian dan sebagainya. Apa yang lahir daripada nafsu itulah yang sering menghalang atau merosakkan ikhlas.

Scan Hati: Ikhlaskah kita?

Scan Hati: Apabila rasa senang dengan pujian, rasa sakit dengan penghinaan, menunjukkan kita ada kepentingan peribadi (huzuzun nafsi). Tanda kita tidak ikhlas membuat kebaikan.
(Status FB Mohd Fadli Yusof: Monday 07 March 2011 at 6:30pm



Dalam satu hadis Qudsi Allah berfirman yang bermaksud: “Ikhlas adalah satu rahsia dalam rahsia-rahsia-Ku. Aku titiskan ia dalam hati hamba-hambaku yang Aku mengasihinya”

Kita hanya dapat mengenal simptom luarannya sahaja. Mari kita suluh hati kita, benarkah ikhlas atau sebaliknya.

Tanda seseorang itu ikhlas di antaranya:

  1. Orang puji atau keji sama sahaja. Dipuji hati tidak berbunga, dikeji hati tidak pula derita, kerana hatinya sudah dengan Allah, tidak terganggu dengan kata-kata makhluk. 
  2. Kalau dia dipuji susah hatinya, kalau dia dikeji hatinya boleh menerimanya. Hati kecilnya berkata, " Aku hamba memanglah ada cacat celanya, patutlah kena keji"
  3. Apabila letih bekerja tidak pula marah-marah dengan orang lain yang mengganggunya atau tidak membantunya.
  4. Kalau dia membuat ibadah atau buat apa-apa kerja, hatinya tidaklah pula berkata, harap-harap ada orang melihat supaya ada orang memujinya.
  5. Setiap kebaikan yang dia buat dia tidak suka orang lain melihatnya, bimbang kalau-kalau hatinya berbunga.
  6. Kalau dia rajin atau beribadah sama ada di waktu seorang atau di waktu ramai, sama saja.
  7. Dia berbuat baik bukan kerana digesa-gesa atau disuruh-suruh, kemudian membuatnya kerana malu dengan manusia.
  8. Dia berbuat bukan kerana sudah kehendak masyarakat, yang mana kalau tidak dibuat apa kata orang pula.
  9. Kalau dia dipuji dia rajin atau berbuat, kalau dia dicaci dia tidak rajin atau buat tak kisah.
  10. Kebaikan-kebaikan yang dibuatnya, dia suka sangat hendak menyebut-nyebutnya supaya semua orang tahu.
  11. Di hadapan orang dia rajin, bertertib dan berakhlak, tetapi jika berseorangan dia malas, beramal hendak cepat-cepat dan sambil lewa.
Ikhlas itu jiwa yang murni, Rahsia Allah di dalam hati, Terlalu sembunyi tapi dapat dikesan, Jika disuluh dengan saksama. 
Nista dan puji tiada berbeza - Nasyid Sifat Mahmudah oleh HijjazIkhlas itu jiwa yang murni, Rahsia Allah di dalam hati, Terlalu sembunyi tapi dapat dikesan, Jika disuluh dengan saksama. Nista dan puji tiada berbeza - Nasyid Sifat Mahmudah oleh Hijjaz

Apabila pujian tidak membanggakan kita dan kejian tidak menyakitkan, itulah petanda ikhlas. Maknanya amalan itu betul-betul dibuat kerana Allah. Kerana itu kalau manusia cerca, caci atau hina, hati pun tidak cacat, tak timbul perasaan marah, dendam atau ingin membela diri atau melawan orang yang menghina itu.

Bagaimana pula kalau orang puji kita? Adakah pujian itu tidak membekas di hati kita? Adakah rasa bangga, puas hati, rasa diri mulia disebabkan oleh pujian itu?

Kalau benar ikhlas, pujian dan kejian tidak pernah difikirkan apatah lagi hendak di harapkan. Mereka yang ikhlas sangat takut kalau-kalau Allah menolak amalan dan memurkai mereka. Sebaliknya mereka sangat ingin Allah menerima baik amalan-amalan mereka serta meredhai mereka.

Orang yang ikhlas sanggup mengetepikan kepentingan sendiri dalam usaha mencari keredaan Allah. Mereka tidak bimbang nasib diri, rugi atau untung, orang keji atau puji, menang atau kalah, yang penting supaya Allah menerima baik amalan mereka.

Lebih baik menerima kejian dari pujian, kerana jika kita dikeji, lalu kita redha, pahala di sisi Allah. Malah kejian itu membuat kita sentiasa mencari-cari kelemahan, lalu membaiki diri.

Sedangkan jika kita dipuji, bimbang-bimbang jika apa yang kita lakukan itu akan hancur lebur dalam pandangan Allah, dek kerana hati berbunga-bunga dengan pujian. Ibarat kita membangunkan rumah atau bangunan, siap-siap sahaja rumah itu, ia pun runtuh.

Kejian dari manusia itu hakikatnya teguran dari Allah, agar kita semakin berusaha menghampirkan diri kepadaNya.

Memang benar pujian boleh meningkatkan semangat, bahkan Rasulullah ﷺ juga memberi pujian kepada para sahabat. Oleh kerana kehidupan Rasulullah ﷺ dan para sahabat itu terjemahan sebenar Islam itu, mari kita lihat, bagaimana Rasulullah ﷺ memberi pujian, dan bagaimana pula sikap sahabat dalam menerima pujian.

Rasulullah ﷺ pernah memuji kepandaian Sayidina Ali dengan bersabda:

انا مدينةالعلم وعلي بابها

“Jika aku adalah gedung ilmu, maka Ali-lah pintunya”

Mendapat pujian yang begitu mulia dari Rasulullah ﷺ (Rasulullah tidak pernah memberikan pujian itu kepada sahabat lain kecuali Sayyidina Ali) tidak membuat beliau (Sayidina Ali) besar hati melainkan beliau tetap bertambah tawadhu’...pujian itu dikembalikan kepada Allah.

Sayidina Ali sentiasa amalkan doa dari Rasulullah ﷺ sebagai ubat hati, setiap kali menerima pujian.

اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِيْ مَا لاَيَعْلَمُوْنَ 

وَلاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ 

وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ 

"Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku), dan janganlah Engkau hukum aku atas apa yang dikatakan oleh orang-orang itu, Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka sangkakan."

Mari pujuk hati kita, hakikatnya segala-gala di dunia ini milik Allah. Ilmu yang ada Allah yang punya, hanya Allah pinjamkan sementara beserta amanahnya. Buat apa nak sombong? Pujian atau kejian dari manusia juga milik Allah, kembalikan kepadanya.Mana milik kita? Tidak ada milik kita kerana semua yang ada ini Allah yang punya.

Ikhlas itu adalah roh ibadah, ertinya, tiada ikhlas, tiadalah nyawa bagi ibadah itu. Ibadah yang tiada jiwa, adalah ibadah yang mati. Kalau benda yang bernyawa kalau tidak ada roh, ianya hanya jasad yang kosong.

Ertinya ibadah dan kebajikan yang tidak ikhlas (tidak ada rohnya), ibadah dan kebajikan itu tidak diterima. Biarlah ibadah dan kebajikan yang sedikit tapi murni (ikhlas), daripada banyak, ikhlasnya tidak ada, maka akan tertolak semuanya.

Oleh itu roh ibadah kenalah dijaga, kerana ia penentu ibadah atau kebaikan kita ditolak atau diterima. Bukan mudah beribadah atau membuat kebaikan dengan ikhlas, kerana ikhlas ertinya buat sesuatu amalan kebaikan semata-mata kerana Allah Taala, tidak ada sedikit pun kerana selain-Nya. Malah kalau dibuat juga kerana selain-Nya, ibadah atau kebaikan itu tidak diterima Allah SWT.

Siapa yang mengaku dia ikhlas kalaupun sebelum itu dia ikhlas, automatik keikhlasannya terbatal.  Katanya, "Ambillah! Saya ikhlas ni!"Siapa yang mengaku dia ikhlas kalaupun sebelum itu dia ikhlas, automatik keikhlasannya terbatal. Katanya, "Ambillah! Saya ikhlas ni!"


Usaha yang IKHLAS (Part 1)
Syarat untuk setiap amalan itu diterima oleh Allah swt ada dua yakni syarat lahiriah dan bathiniah. Dari syarat zahirnya adalah mengikuti rukun-rukun dan kaifiat sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw.
Dari segi batinnya pula ada dua perkara. Perkara yang pertama adalah IMAN. Hanya amalan orang yang beriman sahaja yang diterima dan diberi ganjaran oleh Allah swt diakhirat kelak. Amalan yang dilakukan oleh orang yang belum beriman tidak diterima Allah swt dan tidak akan mendapat apa-apa ganjaran di akhirat, mungkin akan dibalas didunia ini.
Syarat yang kedua adalah IKHLAS iaitu melakukan setiap amalan semata-mata kerana Allah swt, bukan kerana nama, supaya dipuji dan disanjung oleh masyarakat, bukan juga untuk mendapat kepentingan dunia secara peribadi.
IKHLAS adalah rahsia Allah swt, tiada siapa yang mengetahui apa yang ada dalam hati setiap manusia hatta Malaikat yang mencatit amalan baik dan buruk dan juga Malaikat yang membawa amalan baik kelangit. IKHLAS adalah seumpama seekor semut hitam di atas batu yang hitam didalam laut dalam yang kelam di malam yang gelap gelita.
Lawan kepada IKHLAS adalah RIYA’ ataupun menunjuk-nunjuk. Sifat RIYA ini adalah satu sifat yang paling dibenci oleh Allah swt selepas TAKABUR.
Amalan yang tidak IKHLAS walaupun sebesar Gunung Uhud tidak akan dipandang oleh Allah swt hatta diberi sebarang pahala atau ganjaran di akhirat nanti. Amalan yang dibuat secara IKHLAS walaupun bersedeqah sebiji tamar akan dipandang oleh Allah swt dan diberi ganjaran sebesar Gunung Uhud.
Apakah itu IKHLAS? IKHLAS adalah IMAN dan IMAN itu adalah IKHLAS. Maksudnya disini apabila kita benar-benar seorang yang beriman dan yakin dengan kebesaran Allah swt, yakin dengan kehidupan Akhirat yang kekal selamanya dan yakin dengan ganjaran pahala oleh Allah swt, maka kita akan melakukan setiap amal kebajikan semata-mata untuk mendapat keredhaan Allah swt.
Di akhirat nanti pada permulaan hisab, maka Malaikat akan memanggil 3 golongan. Yang pertama seorang Alim dan ditanya apakah amalan si fulan semasa hayatnya didunia. Maka Alim itu akan menjawab yang Allah swt telah menganugerahkan kepadanya ilmu agama dan dia mengajarkan siang dan malam.
Kemudian Allah swt memberitahu yang dia adalah seorang penipu, iaitu Alim tadi menimba ilmu supaya orang menyanjunginya dan memanggilnya ulama besar lalu si Alim tadi terus dicampakkan kedalam neraka Jahannam.
Yang kedua seorang syuhada atau seorang yang mati syahid di jalan Allah semasa berjihad. Maka Allah swt akan menanya kepada si syahid tadi apakah yang dibuat semasa hayatnya. Maka si fulan itu tadi menjawab yang dia telah menggunakan masa dan diri untuk berjuang di jalan Allah sehingga terkorban syahid di dalam peperangan.
Kemudian Allah menjawab yang dia telah berdusta. Si fulan itu tadi sebenarnya berjihad dijalan Allah agar dipanggil pahlawan ataupun perwira dan mahu supaya disanjung sebagai seorang yang berani. Maka si fulan itu juga dicampakkan ke dalam neraka Jahannam dengan kepala dahulu.
Yang ketiga seorang hartawan. Allah akan menyoalnya apakah amalan si fulan semasa hidup didunia. Maka orang itu akan menjawab yang dia telah dianugerahkan harta yang melimpah ruah oleh Allah dan dia telah membelanjakan hartanya siang dan malam kepada fakir miskin, anak yatim dan orang yang memerlukan.
Kemudian Allah swt akan menempelaknya dengan mengatakan yang dia adalah berbohong. Si hartawan itu sebenarnya menderma agar masyarakat menyanjungnya dan memberi gelaran dermawan yang tidak lokek memberi bantuan. Dia juga turut dicampakkan ke dalam neraka Jahannam.
Bagaimana untuk mendapatkan hakikat IKHLAS dalam setiap amalan kita?
Adakah patut untuk kita meninggalkan amalan kerana takut datang sifat RIYA dalam hati kita?
Amalan kita terbahagi kepada dua yakni amalan secara sunyi diri dan yang kedua amalan secara terang-terangan. Kedua-dua amalan tersebut ada kelebihan masing-masing. Contohnya solat fardhu lebih afdhal jika dikerjakan secara berjemaah tetapi solat sunat lebih afdhal jika dikerjakan secara seorang diri.
Begitu juga dengan sedekah, kadang2 lebih afdhal jika diberi secara sembunyi untuk mengelakkan ada unsur riya tetapi kadang2 lebih baik diberi secara terang dengan niat untuk menggalakkan supaya orang ramai turut menderma dan bersedekah.
Untuk mendapatkan hakikat Ikhlas bukan suatu perkara yang mudah dan datang dengan masa yang singkat. Sesuatu amal kebajikan hendaklah dikerjakan secara berterusan ataupun istiqamah tanpa berhenti. Amalan yang istiqamah atau konsisten walaupun amalan itu kecil lebih baik daripada amalan yang besar tanpa istiqamah.
Sebagai contoh adalah lebih baik jika kita membaca satu mukasurat dari Al-Quran setiap hari dengan istiqamah daripada kita membaca satu juzuk dan meninggalkan bacaan kita buat suatu masa yang lama.
Mungkin dipermulaannya ada perasaan untuk menunjuk ataupun riya tetapi janganlah kita tinggalkan terus amalan itu tetapi teruskan amalan itu. Percayalah lama-kelamaan sifat menunjuk itu akan hilang dan segala pujian dari orang ramai tidak akan memberi apa-apa kesan kepada hati kita.
Sekiranya kita pergi solat berjemaah 5 waktu setiap hari, mulanya mungkin kita akan rasa yang jiran-jiran memerhatikan kita dan kemudian memuji kita tetapi lama-kelamaan kita tidak akan makan dengan pujian dan pedulikan pandangan orang sekeliling dan kita akan buat semata-mata untuk mendapat keredhaan Allah swt.
Jangan pula kita tinggalkan amalan baik kita kerana takut berlaku riya ataupun bangga diri. Sebagai contoh kita tidak mahu solat kerana tidak mahu orang memuji kita dan kita berasa riya.
Meninggalkan sesuatu amalan kerana takut menjadi RIYA itulah RIYA yang paling besar. Jadi, pokoknya kita kena teruskan apa2 sahaja amal kebajikan seperti sedekah, gotong-royong, membantu orang yg susah, berdakwah dan juga amalan2 yang lain baik yang fardhu mahupun yang sunat.
Sebelum melakukan apa sahaja amalan, betulkan niat kita semata-mata kerana Allah. Selalulah periksa setiap amalan kita sebelum, ketika dan selepas. Selepas melakukan amal kebajikan banyakkan istighfar mohon keampunan kepada Allah sekiranya ada niat yang tidak baik dalam amalan kita.
Jangan sekali-kali ceritakan apa yang telah kita lakukan kepada sesiapa pun, biarlah menjadi rahsia antara kita, malaikat dan Allah swt. Kalau kita selalu ceritakan kebaikan kita kepada orang lain takut nanti syaitan akan membisikkan agar timbul perasaan riya dalam hati kita.
Berdoalah kepada Allah sungguh-sungguh agar dia menerima setiap amalan kita dan berdoalah agar Allah swt mengurniakan kepada kita hati yang tulus dan hanya mengharapkan keredhaanNya. Semoga kita semua termasuk didalam golongan mereka yang dipanggil didalam AL-Quran sebagai Mukhlisina Lahuddin yakni mereka yang ikhlas dalam beragama. Aamin. Wallahu'alam.
Bersambung di akan datang dengan topik:-
Soalan : Adakah salah sekiranya kita beribadat kerana mengharapkan pahala, balasan, ganjaran dan Syurga dari Allah swt?
Posted by Abu Hanifah
ALANGKAH SUSAHNYA UNTUK BERLAKU IKHLAS

Ikhlas adalah salah satu daripada sifat-sifat mahmudah yang
paling tinggi selepas iman. Ia adalah rahsia Tuhan, para
malaikat pun tidak tahu. Yang punya diri pun tidak dapat
mengesannya. Ia adalah penentu apakah amalan seseorang itu
diterima atau ditolak oleh Allah. Ada para Sahabat bila mendengar tentang ikhlas itu dari Rasulullah SAW mereka menangis.Mereka merasa tidak selamat. Mereka merasakan tidak mungkin memperolehi sifat ikhlas yang begitu tinggi kedudukan dan nilainya itu.

Oleh kerana susahnya untuk mendapatkan sifat ikhlas itu,
Islam tidak membenarkan seseorang itu mengaku dia adalah
ikhlas. Siapa yang mengaku dia ikhlas kalaupun sebelum itu
dia ikhlas, automatik keikhlasannya terbatal. Kalau begitu, salah sekali selama ini yang berlaku di dalam kehidupan kita, seolah-olah telah menjadi budaya apabila seseorang itu memberi,menolong, membantu dengan berkata:
“Ambillah! Saya ikhlas ni!”

“Saya telah tolong dia dengan ikhlas. Kemudian dia memusuhi
saya.”

“Saya hendak tolong awak ini dengan ikhlas! Tapi saya sedih,
awak menolaknya.”

“Saya ikhlas hendak bagi sebanyak ini, saya bagilah!”

Di dalam menulis surat selalu ditutup dengan perkataan,
“Saya yang ikhlas.”

Orang yang mengaku ikhlas, ertinya dia mengaku orang yang
paling baik. Di dalam ajaran Islam, mengaku baik itu adalah
satu kesalahan. Siapa yang mengaku ikhlas, siang-siang lagi ternafi keikhlasannya. Tiada yang mengetahui seseorang itu ikhlas sekalipun yang punya diri, walaupun malaikat, melainkan Allah sahaja yang Maha Mengetahui.

Oleh itu tiada seorang yang berhak mengaku ikhlas. Cuma
berusahalah untuk menjadi orang yang ikhlas. Moga-moga kita
ikhlas. Setelah kita berbuat demikian moga-moga setiap amal
yang kita buat itu diterima oleh Allah SWT.

APA ERTI IKHLAS?
Erti ikhlas itu ialah murni, bersih. Sesuatu benda itu kalau
jenisnya sahaja, tidak bercampur jenis lain, dianggap benda itu bersih, murni, tidak dinodai oleh benda-benda lain. Sebagai contoh, kalau air itu semata-mata air, kalau air itu tercampur sabun, nila atau tepung, air itu tidak khalis. Ertinya air itu tidak murni lagi. Tidak mutlak lagi. Tidak bersih, tidak pure kerana tercampur benda lain yang bukan jenisnya. Ertinya air telah ternoda atau dinodai oleh benda yang lain. Atau ia telah diwarnai oleh benda lain.

Begitulah kita beramal, berusaha dan berjuang seperti bersembahyang,puasa, zakat, naik haji, membaca Al Quran,
mengajar, berdakwah, memberi, menolong, motivasi, forum,
ceramah dan belajar adalah kerana Allah Taala, kerana suruhan-Nya, kerana perintah-Nya, kerana keredhaan-Nya, kerana arahan-Nya, kerana mentaati-Nya dan patuh kepada-Nya.

Jadi perkara yang kita buat itu, seperti contoh-contoh di atas kerana-Nya adalah satu, tujuannya satu, didorong oleh satu, iaitu Allah SWT. Demi untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Tidak bercampur dengan kerana-kerana yang lain selain kerana Allah Taala. Itulah yang dikatakan orang yang ikhlas, iaitu dia membuat kerja-kerja tadi kerana-Nya murni. Tujuannya bersih. Dorongan dari satu iaitu Allah SWT.
Jika niat atau dorongannya telah tercampur dengan kerana-kerana lain atau ada terselit niat-niat lain di dalam kerana Allah itu, dorongannya bukan satu lagi tapi sudah menjadi dua atau tiga. Misalnya, niat membuat kerja itu dicampur sama kerana riyak, megah, nama, glamour, pangkat, duit, kerana orang minta,kerana takut orang tidak suka, untuk mental exercise, kerana boring di rumah, kerana hendak lari daripada masalah, kerana ingin sokongan atau undi, kerana hendak menguji kemampuan,kerana hendak berlawan, kerana hadiah, kerana piala, kerana kawan. Maka orang itu sudah tidak khalis lagi di dalam kerjakerjanya.Ikhlas sudah tiada, sudah tidak murni, ikhlasnya telah
ternoda.

Justeru apa yang dibuat itu ‘kerana Allah’nya telah bercampurdengan kerana-kerana yang lain. Oleh itu ‘kerana Allah’nya sudah tidak bersih atau tidak murni lagi, niatnya telah bersekutu.Niatnya telah syirik, iaitu syirik khafi. Di Akhirat nanti Allah meminta orang itu, “Pergilah minta pahala daripada orang yang awak keranakan itu.” Allah Taala tidak akan membalas kebaikan apa-apa kepada orang itu kerana tujuan dia beramal itu tidak kepada Allah lagi atau tidak sepenuhnya kerana Allah Taala tapi ada kerana yang lain selain Allah Taala.

Untuk berlaku ikhlas di dalam sebarang perbuatan kita amat
susah sekali. Terutama kerja-kerja dan amalan yang ada hubung kait dengan kepentingan umum atau dengan orang ramai atau amalan yang terdedah kepada pandangan umum seperti ceramah,dakwah,mengajar,belajar,gotong-royong,membaca Al
Quran di hadapan khalayak, forum, wawancara, memberi hadiah,
memberi bantuan di hadapan umum atau di hadapan orang ramai. Lebih-lebih lagi bagi orang yang jarang memikirkan hati, kurang muhasabah hatinya, hatinya dibiar atau terbiar,
jarang diambil tahu atau diambil kira, selalunya lebih banyak terjebak kepada tidak ikhlas. Ramai yang nawaitunya tercampur dengan hal-hal huzuzunnafsi, kepentingan atau tujuan diri sama ada disedari atau tidak disedari kerana kurang menyuluh hati.

Adakalanya amalan itu awal-awal lagi nawaitu atau niatnya
telah rosak. Ibarat membuat rumah atau bangunan di atas
lumpur maka awal-awal lagi rumah atau bangunan itu runtuh
di awalnya lagi. Kalau tidak di awalnya, rosak pula di pertengahan jalan. Kadang-kadang di awal-awal dan di pertengahan jalan masih hatinya kerana Allah, tidak bercampur kerana kerana yang lain selain Allah Taala, tapi dia terjebak di hujung atau di akhir perbuatannya.

Di sini saya datangkan contoh bagaimana ia boleh terjadi.
a. Niat rosak di awal lagi.
Katalah kita hendak berdakwah di satu tempat pada hari sekian sekian.Sama ada kita yang membuat program itu,penduduk tempat itu menjemput kita. Hati kecil kita pun
berkata:
“Ha! Inilah masanya aku akan popular.”
“Aku akan terkenal!”
“Adalah peluang duit poket!”
“Aku akan hentam puak-puak ini yang menjadi musuh aku
selama ini.”
“Barulah mereka tahu siapa aku!”
“Padanlah muka mereka nanti!”

Usaha dakwahnya rosak sama sekali! Di awal-awal lagi sudah
tidak ada keikhlasannya. Bukan kerana Allah Taala tapi kerana diri kita sendiri atau kerana tujuan menghentam, tapi kita menggunakan hak-hak Allah sebagai alat. Ini ibarat melukis di atas air atau membangunkan rumah di atas lumpur.

b. Rosak di pertengahan.
Bagaimana pula rosak di tengah-tengah atau di dalam perjalanannya.

Mula-mula memang dibuat kerana Allah. Hati berkata: “Aku wajib menyampaikan seruan Allah itu. Lebih-lebih lagi
peluang sudah ada atau sudah terbuka.”

“Aku mesti mengisi program itu. Aku tidak ada apa-apa
keuzuran. Kalau aku tidak mengisi program itu nanti Allah
marah.
Insya-Allah aku akan pergi berdakwah di tempat itu.”
Waktu sedang menyampaikan dakwah dengan petahnya,
dengan bahasa yang indah, dalil-dalil dan hujah-hujah yang
fasih, orang ramai pun mengangguk-angguk. Begitu ceria muka
mereka mendengarnya dan menerima apa yang kita sampaikan
menunjukkan ada respon dari orang ramai. Hati kita pun berbunga.

Syaitan pun menghembus-hembuskan ke dalam hati
untuk kita lupa dengan Allah. Kita pun terasa luar biasa. Hati kita pun membisikkan kepada kita:
“Hebat aku ni!”
“Boleh tahan juga aku ini.”
“Payah juga orang lain hendak menandingi aku.”

Di pertengahan dia rosak. Rosak di dalam perjalanan. Keikhlasannya tadi telah diungkaikannya semula. Dia telah berkongsi niat di antara Allah dengan dirinya sendiri, syirik khafi.Ibadahnya atau kebaikannya berdakwah itu telah dibatalkan.Ibarat membuat rumah atau bangunan, sedang membinanya belum pun siap lagi telah diruntuhkan semula.

c. Rosak di hujung.
Di awalnya sebelum berdakwah itu niatnya sudah bagus. Dia
hendak berdakwah di tempat dan masa sekian-sekian, tujuannya
betul kerana Allah. Dia ingin menunaikan tanggungjawab untuk
menyampaikan risalah Tuhan kepada umat. Apabila sampai
masanya, berhadapan dengan orang ramai, dia pun menyampaikan
dakwahnya.
Di waktu itu hatinya masih baik. Belum tergugat lagi. ‘Kerana Allah Taala’nya masih belum terungkai lagi. Tapi dalam perjalanan pulang dari majlis dakwah itu, ada kawan yang sama-sama berada di dalam keretanya pun bercakap:“Ustaz bercakap tadi sedap betul.”

“Saya tengok orang ramai di majlis itu mengangguk saja
tanda memberi respon.”
“Ustaz ni kalau terus-menerus boleh membuat dakwah ini,
ustaz akan lebih lagi lincah dan matang.”

Hatinya terus berbunga. Ujub pun datang. Syaitan membisikkan
di dalam hatinya bahawa dia orang yang mampu dan
berkebolehan. Dia telah lupa kemampuan itu anugerah dari
Allah Taala yang Maha Pengurnia. Patut dia malu kepada Tuhan
kerana Allah Taala telah memberi dia berkebolehan di dalam
berceramah atau pidato.

Maka terbatal pula ibadahnya. Pahala dakwahnya malam itu
telah terkorban. Ibarat membangunkan rumah atau bangunan,
siap-siap sahaja rumah itu, ia pun runtuh.

Apa yang kita bawa ini adalah sebagai satu contoh. Kita
bolehlah kiaskan kepada usaha-usaha dan kerja-kerja yang lain.

Apakah usaha dan kerja itu kita buat kerana Allah atau kerana kita seratus peratus atau bercampur kerana Allah dengan kerana kita.

Berdasarkan apa yang kita tulis ini, masya-Allah, terasa
sungguh oleh kita susahnya untuk menjadi orang yang ikhlas,
sedangkan ikhlas itu adalah roh ibadah. Penentu apakah ibadah-ibadah itu tertolak atau diterima.

Wahai Tuhan, rasanya kami belum berbuat apa-apa sebelum
ini, kalaupun ada berbuat, sudah tentu payah sekali hendak
mengelakkan daripada huzuzunnafsi ini. Iaitu ada tujuan kerana diri. Kalaulah bukan bantuan dan pimpinan-Mu Tuhan, rasanya sebarang amalan yang kami buat mungkin tertolak semuanya.

Para pembaca, di sinilah rahsianya mengapa kadang-kadang
usaha dan perjuangan kita itu tidak berkesan, walaupun usaha
sudah dilakukan, respon orang ramai pun ada, tapi kesannya
tiada. Orang ramai tidak juga berubah dari dakwah kita itu. Apa yang diucapkan oleh mulut kita tidak sama di hati. Apa yang dicakapkan oleh mulut kita sudah cantik, tidak ada cacat celanya, tapi cacat di hati. Jadi apa yang diucapkan oleh mulut itu hanya jatuh di mulut orang ramai. Orang ramai memuji-muji kita,mengulas-ulas dan memperpanjang-panjangkan ceramah kita.Namun hati tidak berubah apa-apa kerana di sini terhijab bantuan daripada Allah Taala disebabkan niat atau hati kita telah rosak oleh mazmumah riyak dan lain-lain lagi. Di waktu itu sifat-sifat taqwa kita sudah ternafi. Allah Taala tidak akan menolong orang yang tidak bertaqwa.

Oleh itu marilah kita membuat kerja-kerja kebaikan dengan
hati yang tunduk, yang tawadhuk, penuh malu kepada Tuhan,
rasa takut dan cemas. Takut kalau-kalau amalan kita itu ditolak oleh Allah Taala. Firman Allah:
Maksudnya: “Ikhlas itu satu rahsia dalam rahsia-Ku,
Aku titiskan ia dalam hati hamba-hamba-Ku yang Aku
kasihi.” (Hadis Qudsi)

Maksudnya: “Sesungguhnya Allah Taala tidak memandang
gambaran lahir kamu tapi dia melihat apa yang ada di
dalam hati kamu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Marilah kita berhati-hati moga-moga kita selamat.
Ya Allah, berilah kami selalu hidayah dan taufik-Mu agar
perjalanan lahir dan batin kami berjalan selari menuju
keredhaan-Mu, ya Allah!
Walid:
pernah dengar seorang ustaz kata.....kalau nak dapatkan ikhlas salah satu caranya ialah beristiqamah dengan amalan itu. contohnya solat berjemaah...walau dalam apa keadaan sekali pun, tiba waktu solat, kita dah berada di masjid untuk bersolat berjemaah. tidak kira di tempat kerja, di rumah, di bandar mahu pun dalam musafir (kalau musafir lebih afdal di jamak dan qasar dgn berjemaah juga). maka tidaklah kita melakukan amalan itu kerana sebab keadaan selesa, sebab sihat, sebab tak hujan, sebab tak sibuk, sebab rumah dekat, sebab ada kenderaan....dan mcm2 sebab. kita lakukan semua itu kerana Allah jua. pokok nya hati...

wallahuklam
ria_firdaus:
 :)



Yang Terlupa Dari Keikhlasan



Nasihat untuk Muslimah



Ikhlas, suatu kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kaum muslimin. Sebuah kata yang singkat namun sangat besar maknanya. Sebuah kata yang seandainya seorang muslim terhilang darinya, maka akan berakibat fatal bagi kehidupannya, baik kehidupan dunia terlebih lagi kehidupannya di akhirat kelak. Ya itulah dia, sebuah keikhlasan. Amal seorang hamba tidak akan diterima jika amal tersebut dilakukan tidak ikhlas karena Allah.

Allah berfirman yang artinya,

“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Qs. Az Zumar: 2)

Keikhlasan merupakan syarat diterimanya suatu amal perbuatan di samping syarat lainnya yaitu mengikuti tuntunan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas), dan tidaklah akan bermanfaat pula perkataan, perbuatan dan niat seorang hamba kecuali yang sesuai dengan sunnah (mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam)”

Apa Itu Ikhlas ?

Banyak para ulama yang memulai kitab-kitab mereka dengan membahas permasalahan niat (dimana hal ini sangat erat kaitannya dengan keikhlasan), di antaranya Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, Imam Al Maqdisi dalam kitab Umdatul Ahkam, Imam Nawawi dalam kitab Arbain An-Nawawi dan Riyadhus Shalihin-nya, Imam Al Baghowi dalam kitab Masobihis Sunnah serta ulama-ulama lainnya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya keikhlasan tersebut. namun, apakah sesungguhnya makna dari ikhlas itu sendiri ?

Ukhti muslimah, yang dimaksud dengan keikhlasan adalah ketika engkau menjadikan niatmu dalam melakukan suatu amalan hanyalah karena Allah semata, engkau melakukannya bukan karena selain Allah, bukan karena riya (ingin dilihat manusia) ataupun sum’ah (ingin didengar manusia), bukan pula karena engkau ingin mendapatkan pujian serta kedudukan yang tinggi di antara manusia, dan juga bukan karena engkau tidak ingin dicela oleh manusia. Apabila engkau melakukan suatu amalan hanya karena Allah semata bukan karena kesemua hal tersebut, maka ketahuilah saudaraku, itu berarti engkau telah ikhlas. Fudhail bin Iyadh berkata, “Beramal karena manusia adalah syirik, meninggalkan amal karena manusia adalah riya.”

Dalam Hal Apa Aku Harus Ikhlas ?

Sebagian manusia menyangka bahwa yang namanya keikhlasan itu hanya ada dalam perkara-perkara ibadah semata seperti sholat, puasa, zakat, membaca al qur’an , haji dan amal-amal ibadah lainnya. Namun ukhti muslimah, ketahuilah bahwa keikhlasan harus ada pula dalam amalan-amalan yang berhubungan dengan muamalah. Ketika engkau tersenyum terhadap saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau mengunjungi saudarimu, engkau harus ikhlas. Ketika engkau meminjamkan saudarimu barang yang dia butuhkan, engkau pun harus ikhlas. Tidaklah engkau lakukan itu semua kecuali semata-mata karena Allah, engkau tersenyum kepada saudarimu bukan karena agar dia berbuat baik kepadamu, tidak pula engkau pinjamkan atau membantu saudarimu agar kelak suatu saat nanti ketika engkau membutuhkan sesuatu maka engkau pun akan dibantu olehnya atau tidak pula karena engkau takut dikatakan sebagai orang yang pelit. Tidak wahai saudariku, jadikanlah semua amal tersebut karena Allah.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ada seorang laki-laki yang mengunjungi saudaranya di kota lain, maka Allah mengutus malaikat di perjalanannya, ketika malaikat itu bertemu dengannya, malaikat itu bertanya, “Hendak ke mana engkau ?” maka dia pun berkata “Aku ingin mengunjungi saudaraku yang tinggal di kota ini.” Maka malaikat itu kembali bertanya “Apakah engkau memiliki suatu kepentingan yang menguntungkanmu dengannya ?” orang itu pun menjawab: “Tidak, hanya saja aku mengunjunginya karena aku mencintainya karena Allah, malaikat itu pun berkata “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa sesungguhnya Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena-Nya.” (HR. Muslim)

Perhatikanlah hadits ini wahai ukhti, tidaklah orang ini mengunjungi saudaranya tersebut kecuali hanya karena Allah, maka sebagai balasannya, Allah pun mencintai orang tersebut. Tidakkah engkau ingin dicintai oleh Allah wahai ukhti ?

Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah engkau menafkahi keluargamu yang dengan perbuatan tersebut engkau mengharapkan wajah Allah, maka perbuatanmu itu akan diberi pahala oleh Allah, bahkan sampai sesuap makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu.” (HR Bukhari Muslim)

Renungkanlah sabda beliau ini wahai ukhti, bahkan “hanya” dengan sesuap makanan yang seorang suami letakkan di mulut istrinya, apabila dilakukan ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberinya pahala. Bagaimana pula dengan pengabdianmu terhadap suamimu yang engkau lakukan ikhlas karena Allah ? bukankah itu semua akan mendapat ganjaran dan balasan pahala yang lebih besar? Sungguh merupakan suatu keberuntungan yang amat sangat besar seandainya kita dapat menghadirkan keikhlasan dalam seluruh gerak-gerik kita.

Berkahnya Sebuah Amal yang Kecil Karena Ikhlas

Ukhti muslimah yang semoga dicintai oleh Allah, sesungguhnya yang diwajibkan dalam amal perbuatan kita bukanlah banyaknya amal namun tanpa keikhlasan. Amal yang dinilai kecil di mata manusia, apabila kita melakukannya ikhlas karena Allah, maka Allah akan menerima dan melipat gandakan pahala dari amal perbuatan tersebut. Abdullah bin Mubarak berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niat, dan betapa banyak pula amal yang besar menjadi kecil hanya karena niat.”

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Seorang laki-laki melihat dahan pohon di tengah jalan, ia berkata: Demi Allah aku akan singkirkan dahan pohon ini agar tidak mengganggu kaum muslimin, Maka ia pun masuk surga karenanya.” (HR. Muslim)

Lihatlah ukhti, betapa kecilnya amalan yang dia lakukan, namun hal itu sudah cukup bagi dia untuk masuk surga karenanya. Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu ada seekor anjing yang berputar-putar mengelilingi sumur, anjing tersebut hampir-hampir mati karena kehausan, kemudian hal tersebut dilihat oleh salah seorang pelacur dari bani israil, ia pun mengisi sepatunya dengan air dari sumur dan memberikan minum kepada anjing tersebut, maka Allah pun mengampuni dosanya.” (HR Bukhari Muslim)

Subhanallah, seorang pelacur diampuni dosanya oleh Allah hanya karena memberi minum seekor anjing, betapa remeh perbuatannya di mata manusia, namun dengan hal itu Allah mengampuni dosa-dosanya. Maka bagaimanakah pula apabila seandainya yang dia tolong adalah seorang muslim ? Dan sebaliknya, wahai ukhti, amal perbuatan yang besar nilainya, seandainya dilakukan tidak ikhlas, maka hal itu tidak akan berfaedah baginya. Dalam sebuah hadits dari Abu Umamah Al Bahili, dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan pahala dan agar dia disebut-sebut oleh orang lain?” maka Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu pun mengulangi pertanyaannya tiga kali, Rasulullah pun menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amalan kecuali apabila amalan itu dilakukan ikhlas karenanya.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Daud dan Nasai). Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seseorang yang dia berjihad, suatu amalan yang sangat besar nilainya, namun dia tidak ikhlas dalam amal perbuatannya tersebut, maka dia pun tidak mendapatkan balasan apa-apa.

Buah dari Ikhlas

Untuk mengakhiri pembahasan yang singkat ini, maka kami akan membawakan beberapa buah yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas. Seseorang yang telah beramal ikhlas karena Allah (di samping amal tersebut harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), maka keikhlasannya tersebut akan mampu mencegah setan untuk menguasai dan menyesatkannya. Allah berfirman tentang perkataan Iblis laknatullah alaihi yang artinya: Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka.” (Qs. Shod: 82-83). Buah lain yang akan didapatkan oleh orang yang ikhlas adalah orang tersebut akan Allah jaga dari perbuatan maksiat dan kejelekan, sebagaimana Allah berfirman tentang Nabi Yusuf yang artinya “Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas. “ ( Qs. Yusuf : 24). Pada ayat ini Allah mengisahkan tentang penjagaan Allah terhadap Nabi Yusuf sehingga beliau terhindar dari perbuatan keji, padahal faktor-faktor yang mendorong beliau untuk melakukan perbuatan tersebut sangatlah kuat. Akan tetapi karena Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang ikhlas, maka Allah pun menjaganya dari perbuatan maksiat. Oleh karena itu wahai ukhti, apabila kita sering dan berulang kali terjatuh dalam perbuatan kemaksiatan, ketahuilah sesungguhnya hal tersebut diakibatkan minim atau bahkan tidak adanya keikhlasan di dalam diri kita, maka introspeksi diri dan perbaikilah niat kita selama ini, semoga Allah menjaga kita dari segala kemaksiatan dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas. Amin ya Rabbal alamin.

***

Penulis: Abu ‘Uzair Boris Tanesia
Muroja’ah: Ust. Ahmad Daniel, Lc. 


Ilmu Martabat Tujuh (dr maksud surah Ikhlas)
Elias Hj Idris
Oleh: jaketkulit (TKO)

Martabat Tujuh 


                                                  Avatar 'ikanlepu' (TKO)

1.1 Alam Ahdah

Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub, iaitu pada martabat 'ahdah' di mana belum ada sifat, belum ada ada asma', belum ada afa'al dan belum ada apa-apa lagi, iaitu pada martabat 'La Takyin', Zat Ul-Haki telah menegaskan untuk memperkenalkan Diri-Nya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan ditajallikan-Nya Diri-Nya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.

Adapun martabat 'ahdah' ini terkandung di dalam surah al-Ikhlas pada ayat pertama, iaitu (QulhuwallahuAhad), iaitu 'sa' pada Zat semata-mata dan inilah yang dinamakan Martabat Zat.

Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ul-Haki) Tuhan Rabbul-Jalal adalah dengan dia semata-mata, iaitu dinamakan juga Diri Sendiri.

Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya, iaitu 'wujud hakiki lagi qodim'.

Pada masa ini tidak sifat, tidak asma dan tidak afa'al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dalam keadaan ini dinamakan 'Ainul Kaffur' dan diri zat dinamakan 'ahdah' jua atau dinamakan 'Kunnah Zat' (Kunhi Zat).

1.2 Alam Wadah 

Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat, iaitu 'La Tak Yin Sani' - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak, iaitu ada permulaannya.

Martabat ini dinamakan martabat noktah mutlak atau dipanggil juga 'Sifat Muhammadiah'.

Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat 'wahdah' yang terkandung ia pada ayat 'Allahus-Shomad', iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 petala bumi.

Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh diumpamakan seperti sepohon pokok besar subur yang masih di dalam keadaan sifat biji, tetapi ia telah wujud, tidak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia dinamakan Sabit Nyata Pertama, martabat 'La Takyin Awwal', iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata (wujud pada Allah) tetapi tidak zahir.

Maka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi beras'ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata, iaitu di dalam keadaan apa yang dikenali 'Roh Addhafi'.

Pada peringkat ini sebenarnya pada 'Hakiki Sifat' (Kesempurnaan Sifat) Zat Ul-Haki yang ditajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ia terhimpun dan tersembunyi di samping telah zahir pada hakikinya.

1.3 Alam Wahdiah

Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat "La takyin Awal", maka Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diri-Nya ke satu martabat as'ma yakni pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal), iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai-cerai atau di namakan "Hakikat Insan."

Martabat ini terkandung ia di dalam "Lam yalidd" iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin.

Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat ditentukan bangsa masing-masing, tetapi pada masa ini ia belum terzahir lagi di dalam ilmu Allah swt, iaitu dalam keadaan "Ainul Sabithaah" (A'yan sabithah). Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia Allah, belum terzahir malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi.

Ini dinamakan juga martabat wujud Ardhofi dan martabat wujud am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah dan Ilmu Allah.

Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah swt dalam hakiki dalam batin, iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh - pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.

1.4 Alam Roh 

Pada peringkat keempat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diri-Nya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamakan roh.

Jadi pada peringkat ini ia dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh. Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia di mana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa'alnya.

Ia menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah), iaitu nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah.

Tubuh ini dinamakan Jisim Latif, iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ia tidak akan mengalami cacat-cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis, asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan 'KholidTullah'.

Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Walam Yalidd". Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.

1.5 Alam Misal 

Alam Misal adalah peringkat kelima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahsia diri-Nya untuk ditanggung oleh manusia.

Untuk menyatakan dirinya Allah swt terus menyatakan diri-Nya melalui diri rahsia-Nya secara lebih nyata dengan membawa diri rahsia-Nya untuk dikandung pula oleh bapa, iaitu dinamakan Alam Misal.

Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah di mana unsur rohani, iaitu diri rahsia Allah belum bercantum dengan badan kebendaan. Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut.

Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan Alam Misal di mana proses peryataan ini, pengwujudan Allah swt pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.

Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai ditajallikan kepada ubun-ubun bapa, iaitu permidahan dari alam Roh ke alam Bapa (misal).

Alam Misal ini terkandung ia di dalam "Walam yakullahu" dalam surah Al-Ikhlas, iaitu dalam keadaan tidak boleh dibagaikan.

Dan seterusnya menjadi "Di", "Wadi", "Mani" yang kemudiannya disalurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.

Maka terbentuklah apa yang di katakan "Maknikam" ketika berlakunya persetubuhan di antara laki-laki dengan perempuan (ibu dan bapa).

Perlu diingat tubuh rahsia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya, tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi terzahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.

1.6 Alam Ijsan 

Pada peringkat keenam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang dikandung oleh bapa , maka berpindah pula diri rahsia ini melalui "mani" bapa ke dalam rahim ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.

Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat "Inssanul-Kamil", iaitu batang diri rahsia Allah telahpun di'Kamil'kan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi "Kamilul-Kamil".

Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan rohani dan jasmani. Kemudian lahirlah seorang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya martabat kanak-kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan "Insanul-Kamil".

Pada martabat ini terkandung ia di dalam "Kuffuan", iaitu bersekutu dalam keadaan "Kamilul-Kamil" dan nyawa pun dimasukkan ke dalam tubuh manusia.

Selepas cukup tempoh dan ketikanya maka diri rahsia Allah swt yang menjadi "Kamilul-Kamil" itu dilahirkan dari perut ibunya, maka di saat itu sampailah ia ke martabat Alam Insan.

1.7 Alam Insan

Pada alam ketujuh, iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam "Ahad", iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengwujudan dan peryataan diri rahsia Allah swt di dalam tubuh badan insan yang mulai bernafas dan dilahirkan ke alam maya yang fana ini.

Maka pada alam Insan ini dapatlah dikatakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh alam yang ditempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martabat ke satu martabat.

Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermula dari alam maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali ke asalnya mula kembalimu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah-lengah lagi.

Tiada ulasan: