Rabu, 16 Julai 2014

PERINTAH BERPEGANG TEGUH KEPADA AL QURAN DAN AS SUNNAH

11 Oktober 2009

Perintah Berpegang Teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah

Sumber : Rasuldahri.com

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata" (QS. Al-Ahzab : 36)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An Nisaa', 4:59)


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali 'Imraan, 3:31)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُون
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(QS. Ali 'Imraan, 3:132)


فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS. An Nisaa', 4:65)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, iaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
(QS. An Nisaa', 4:69)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“…dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman."
(QS. Al Anfaal, 8:1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَوَلَّوْا عَنْهُ وَأَنْتُمْ تَسْمَعُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya),”
(QS. Al Anfaal, 8:20)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahawa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.”
(QS. Al Anfaal, 8:24)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al Anfaal, 8:46)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At Taubah, 9:71)

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
(QS. An Nuur, 24:56)

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (iaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. Al Ahzab, 33:21)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(QS. At Taghaabun, 64:12)

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلاغُ الْمُبِينُ

“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-(Nya) dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahawa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(QS. Al Maa'idah, 5:92)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami taat". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. An Nuur, 24:51)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
(QS. An Nuur, 24:52)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al Hujuraat, 49:1)

Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru (dalam agama), kerana setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat”
(H.R. Abu Daud dan Tirmizi)

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dan perkara yang paling buruk adalah perkara yang baru dan setiap bid'ah adalah tersesat"
(H.R. Muslim)

ثَلاَثٌ مَنْكُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلاِيْمَانِ اَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
"Tiga perkara yang menjadikan kamu memperolehi kemanisan (kesempurnaan) iman iaitu mencintai Allah dan RasulNya lebih dari selain keduanya".
(H.R. Bukhari (15), al-Ilm. Muslim (60) al-Iman. Turmizi (2548) al-Iman An-Nasaii (4903) al-Iman wa-Syari'uhu. Ibn Majah (4023) al-Fitan. Ahmad (11679) Musnad al-Mukathirin.)

فَوَالَّذِى نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى اَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
"Maka demi jiwaku yang di dalam genggamanNya, tidak sempurna iman salah seorang kamu sehingga aku dijadikan lebih dicintai dari orang tuanya dan anaknya".
(H.R. Bukhari)

لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّىاَكُوْنَ اَحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْنَ
"Tidak sempurna iman salah seorang kamu sehinggalah aku dijadikan lebih dicintai dari orang tuanya, anaknya dan manusia keseluruhannya".
(H.R. Bukhari)

“Apabila aku perintahkan agar kamu melakukan perkara maka lakukanlah dia sekadar kemampuanmu, dan apabila aku larang kamu agar jangan melakukan sesuatu, maka jauhilah perkara tersebut.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)

“Berpeganglah kamu sekelian dengan Kitab Allah, halalkanlah apa yang telah dihalalkan dan haramkanlah apa yang telah diharamkan.”
(H.R. Abu Daud, sahih)

“Maka sesiapa yang fitrahnya diarahkan kepada sunnahku, maka dia telah mendapat petunjuk dan sesiapa yang fitrahnya terarah kepada selainnya maka ia telah binasa.”
(H.R. Ahmad dan Ibn Hibban)

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ، لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ

"Sentiasa ada segolongan dari umatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah."
(H.R. Muslim)


PERINTAH BERPEGANG TEGUH PADA SUNNAH 

Berpegang teguh dengan sunnah adalah jaminan keistiqomahan, keselamatan, dan merupakan satu-satunya tangga yang dapat mengantarkan kepada tingkatan tertinggi serta sarana yang memadai untuk bergabung dengan orang-orang yang mulia.

Orang yang menjaga sunnah pasti terjaga dan yang memperhatikannya pasti diperhatikan. Barangsiapa yang mengikuti sunnah pasti berada diatas jalan yang lurus.

Telah banyak nash syar’i (Al-Qur’an dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan perkataan shahabat serta tabi’in radhiyallahu ‘anhum yang mengandung motivasi dan anjuran untuk mencintai dan memegang sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

A. Dari Al-Qur’an diantaranya :

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Qs. Al-Ahzaab : 21.

Firman-Nya:

“Katakanlah: "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Qs. Ali ‘Imran : 31.

Firman-Nya:

“Dan apa yang datang kepada kalian dari Rasul, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” Qs. Al-Hasyr : 7.

Firman-Nya:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” Qs. Al-Ahzaab : 36.


Ayat-Ayat diatas menunjukkan secara jelas bagi kita bagaimana semestinya kita menempatkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yakni wajib mengambilnya dan merupakan kewajiban yang tidak ada tawar menawar lagi. Kemudian menjadikan sunnah itu sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada Alloh.

B. As-Sunnah

Hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti As-Sunnah diantaranya :

Diriwayatkan dari shahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu dia berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika berkhutbah memerah kedua mata beliau, tinggi suaranya dan memuncak kemarahannya dan seakan-akan seperti pemberi peringatan pada sebuah pasukan yang bersabda :

صَبَّحَكُمْ وَمَسَاكُمْ .....

“Waspadalah kalian dipagi hari dan sore hari.

Dan melanjutkan sabdanya :

أَمَّا بَعْدُ : فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ الله ، وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ ( صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ) ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا , وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap bid’ah adalah sesat.” Hr. Muslim.

Dari ‘Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menasihati kami dengan nasihat yang membuat air mata bercucuran dan hati menjadi bergetar. Kami mengatakan : “Wahai Rasulullah sesungguhnya ini merupakan nasihat perpisahan, maka apa yang engkau amanatkan/wasiyatkan kepada kami?
Beliau menjawab :

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا، لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلاَّ هَالِك. وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ .....

“Sungguh aku telah tinggalkan kalian diatas jalan yang sangat putih, malamnya seperti siangnya. Tidaklah menyimpang darinya sepeninggalku kecuali pasti binasa. Barangsiapa yang hidup diantara kalian maka dia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafaa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk….” Hr. Al-Musnad.

Dan dalam lafadz yang lain, dari Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu ‘anhu juga dia berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat shubuh bersama kami, kemudian menghadap kepada kami. Beliau menasihati kami dengan nasihat yang sangat berkesan. Membuat air mata bercucuran dan hati menjadi bergetar, kami berkata : “Wahai Rasulullah, seolah-olah ini suatu nasihat perpisahan, maka wasiyatilah kami.”
Lalu beliau bersabda :

َأوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهَ ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدٌ حَبَشِيًا ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بََعْدِي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا ، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ. عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Aku wasiyatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Alloh, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyi. Sesungguhnya barangsiapa yang hidup setelahku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para al-Khulafaa ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham. Hati-hati dari perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), maka sesungguhnya setiap perkara yang baru tersebut adalah bid’ah dan bid’ah itu adalah sesat.” Hr. Ashabus sunan kecuali An-Nasaai.

C. Perkataan Shahabat, Tabi'in dan Ulama.

Adapun perkataan shahabat, tabi’in dan ‘Ulama dalam memberikan semangat untuk berpegang teguh dengan Sunnah sangatlah banyak, diantara :
Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam sunan-nya (1/44). Dari Yunus bin Yazid dari Az-Zuhri dia berkata : “Dahulu ‘Ulama kami mengatakan :

(( الإِعْتِصَامُ بِالسُّنََّة نَجَاةٌ ))

“Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”


Al-Mawarzi dalam kitab As-Sunnah (hal. 29), dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya rahimahullah dia berkata :

(( السُّنَنَ وَالسُّنَنَ فَإِنَّ السُنَنَ قِوَامُ الدِّيْن ))

“Perhatikan sunnah, perhatikan sunnah, karena sesungguhnya sunnah itu adalah tonggak agama.”

Disebutkan dalam kitab Al-Hulyah (10/190) dari Abu Muhammad Sahl bin Abdulloh At-Tusturi dia berkata : “Landasan pokok kami ada enam (6) hal, yakni :
1- Berpegang tegug dengan Kitab Alloh Ta’aala.
2- Mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
3- Memakan yang halal.
4- Menahan diri dari perbuatan mengganggu orang lain.
5- Menjauhi perbuatan dosa.
6- Taubat serta menunaikan hak-hak.”

FAIDAH BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH 

Ketika seorang Muslim mau menjaga Sunnah, sebagaimana penjagaannya terhadap makanan dan minuman yang dengannya badan menjadi tegak dan kuat, maka ketika itu pula akan melimpah padanya faidah-faidah diniyyah dan duniawiyyah.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan :“Didalam mengikuti/berpegang teguh dengan sunnah terdapat keberkahan berupa mencocoki syari’at, keridhaan Alloh, ketinggian derajat, ketentraman hati, ketenangan badan, menjadikan kebencian syaithan, serta berjalan diatas jalan yang lurus.

Diantara faidah berikutnya :
A- Orang yang berpegang teguh dengan sunnah adalah orang yang paling berbahagia diakhirat dan diantara makhluq-makhluq didunia. Diantara kebahagiaan tersebut adalah mendatangkan kecintaan dan ampunan Alloh Ta’aala.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Qs. Ali ‘Imran : 31.

“Dan apa yang datang kepada kalian dari Rasul, Maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” Qs. Al-Hasyr : 7

Lalu apakah setelah keterangan tersebut masih pantas bagi seorang yang berakal untuk menggampangkan dalam menjalankan sunnah, lalu mengatakan : “Ini hanya kebiasaan saja, bukan kewajiban; maka tidak ada artinya untuk mengikutinya.” Maka sesungguhnya yang demikian itu akan terkunci darinya pintu besar diantara pintu-pintu kebahagiaan.

Maka seandainya setiap individu dari generasi umat ini tumbuh, dimana dihadapannya adalah sirah (perjalanan hidup) Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, yang senantiasa mengambil adab dan akhlaq darinya sesuai dengan kemampuannya; niscaya akan tumbuh suatu generasi yang keimanannya laksana gunung yang akan menjadikan rasa takut dihati musuh-musuh sejauh perjalanan sebulan. Karena berpegang teguh dengan sunnah merupakan bentuk berpegang teguh (menolong ) agama Alloh.

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” Qs. Al-Hajj : 40.

Ketahuilah bahwa kunci kebahagiaan adalah dengan ittiba’ (mengikuti) sunnah, mensuri teladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada seluruh amalan, perilaku, gerakan serta diamnya. Sampaipun dalam perkara makan, berdiri, tidur maupun pembicaraan. Jadi bukan hanya dalam ibadah semata; karena tidak diperbolehkan menyepelakan sunnah pada selain ibadah bahkan pada seluruh kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam.

B- Mendapatkan keutamaan yang besar dan bertambah tinggi keutamaannya.
Terutama dimasa-masa manusia berpaling dari sunnah dan menyakiti/mengganggu orang yang berpegang teguh dengan sunnah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامِ الصَّبْرِ ، لِلْمُتَمَسِّك فِيْهِنَّ يَوْمَئِذٍ بِمَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ : أَجْرُ خَمْسِيْنَ مِنْكُمْ. قَالُوا : يَا نَبِيَّ الله! أَوْ مِنْهُمْ ؟ قَالَ : بَلْ مِنْكُمْ

“Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari kesabaran, bagi orang yang berpegang teguh dengan sunnah disaat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang beramal dari kalian.”
Mereka bertanya : “Wahai Nabi Alloh, bukannya lima puluh dari mereka?”
Beliau menjawab : “Tidak, bahkan lima puluh kali lipat dari pahala kalian.”
(Hr. Al-Marwazi dalam As-Sunnah ( hal 9 ).

Dalam Hr. At-Tirmidzi ( 5/257 ). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya dibelakang kalian ada hari-hari kesabaran, bagi orang yang berpegang teguh dengan sunnah disaat itu seperti menggenggan bara api. Pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang beramal seperti kalian.”

C- Terjaga dari keterjerumusan kedalam bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama)
Kaum salaf berkata : “Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan” Maka berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan dari segala yang membuat seorang Muslim itu durhaka kepada Rabb-nya; dan yang paling besar bahayanya adalah bid’ah dimana itu adalah pos menuju kepada kekufuran.”

Amalan bid’ah akan menyebar luas dan berkembang dengan suburnya pada komunitas masyarakat yang didalamnya telah padam cahaya sunnah.

D- Merupakan bentuk pengagungan syi’ar-syi’ar Alloh.
Makna mengagungkan disini adalah memulyakan, menegakkan dan menyempurnakannya sekuat kemampuan.

“Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” Qs. Al-Hajj

Dan pengagungan syi’ar-syi’ar ini tidaklah ditegakkan kecuali dengan hati yang telah mencapai puncak ketaqwaan. Maka orang yang mengagungkannya akan terbukti ketaqwaannya dan benar/jujur keimanannya. Sebab pengagungan terhadapnya merupakan konsekuensi dari mengagungkan dan memulyakan Alloh.

E- Mendapatkan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikitpun.
Dari shahabat Jarir bin ‘Abdillah, … bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً ، فَلَهُ أَجْرُهَا وََأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْء

“Barangsiapa yang memberi contoh yang baik dalam Islam, baginya pahala dan pahala orang yang beramal dengannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.” Hr. Muslim dalam shahihnya (2/704).

F- Terjaga dari perpecahan.
Alloh Ta’aala Berfirman :
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” Qs. Ali ‘Imran : 105.

Berkata Qotadah dalam menafsirkan Ayat ini : “(Yang dimaksud) adalah mereka ahlu bid’ah. Selesai ucapan beliau.

Mereka adalah orang yang selalu berselisih dan berpecah dikarenakan sikap mereka meninggalkan sunnah dan mengikuti selain jalan sunnah.”

Karena yang namanya persatuan adalah sepakat didalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan al-Khulafaa ar-Rasyidin. Sehingga orang-orang yang tidak diatas sunnah tersebut, maka hakikatnya mereka sedang berpecah dan bercerai-berai dari jalan persatuan yang digariskan dalam Islam.

Para shahabat adalah hujjah ::



عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنها موعظة مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة
Dari Abi Nujaih ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi pelajaran kepada kami sehingga hati kami takut kepadanya dan mata mencucurkan air mata. Kami berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya pelajaran ini adalah pelajaran orang yang akan berpisah ? Oleh karena itu, berilah kami nasihat”. Beliau bersabda : “Aku wasiatkan hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kendati kalian diperintah oleh seorang budak, karena orang-orang yang hidup sepeninggal kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham. Tinggalkanlah hal-hal yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607; At-Tirmidzi no. 2676; Ahmad 4/126-127; Ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah no. 43,44; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 27; Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Atsar 2/69; Al-Baghawi no. 102; Al-Ajjuri dalam Asy-Syari’ah hal. 46; Al-Baihaqi 6/541; Al-Lalika’i dalam Ushulul-I’tiqad no. 81; Al-Marwadzi dalam As-Sunnah no. 69-72; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220, 10/115; dan Al-Hakim 1/95-97. Hadits tersebut berkualitas shahih].
Banyak pelajaran yang dapat diambil terkait dengan hadits di atas. Akan tetapi, di sini saya hanya akan sedikit menyinggung permasalahan terkait dengan judul tema yang diangkat.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Karena orang-orang yang hidup sepeninggal kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham” ; adalah penjelasan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang akan terjadi pada umat, yaitu banyaknya perselisihan dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perpecahan umat beliau menjadi tujuh kelompok dimana semua kelompok tersebut tersebut masuk neraka kecuali satu; yaitu kelompok yang berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah para shahabat. Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin sepeninggal beliau. As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iyadl [Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits; 1424].
Ibnu Rajab menjelaskan :
وفي أمره صلى الله عليه وسلم باتباع سنته وسنة الخلفاء الراشدين بعد أمره بالسمع والطاعة لولاة الأمور عموما دليل على أن سنة الخلفاء الراشدين متبعة كاتباع السنة بخلاف غيرهم من ولاة الأمور
“Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para al-khulafaur-rasyidin setelah mendengar dan taat kepada pemimpin merupakan bukti bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin harus diikuti sebagaimana halnya mengikuti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ini tidak berlaku bagi sunnah para pemimpin selain al-khulafaur-rasyidin” [ibid; hal. 342].
Dari penjelasan Ibnu Rajab tersebut jelaslah bagi kita bahwasannya sunnah al-khulafaur-rasyidin mempunyai kedudukan khusus yang berbeda dengan kedudukan selainnya. Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menjelaskan (dalam ceramah beliau di Unibraw Malang tanggal 7 Desember 2004) bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah satu. Karena itulah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي]; lalu setelah itu beliau berkata : [عضوا عليها بالنواجذ] dengan lafadh yang satu (tunggal/mufrad). Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak berkata : [عضوا عليهما بالنواجذ]. Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya shahabat-shahabat yang pilihan. Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini :
إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيء
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek” [HR. Ahmad no. 3600 dan dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijalnya adalah tsiqat].
Ibnul-Qayyim berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah beliau dengan sunnahnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, beliau bersungguh-sunguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun hal itu dianggap sebagai sunnah beliau. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena beliau mensyaratkan hal itu dengan menjadi ketetapan Al-Khulafaur-Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkan ketika mereka menjadi khalifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin” [I’lamul-Muwaqqi’in 2/388; Darul-Hadits; 1422].
Apa yang menjadi ketetapan/sunnah dari Al-Khulafaur-Rasyidin memerlukan perincian sebagaimana diterangkan oleh para ulama dalam kajian ilmu Ushul-Fiqh. Jikalau salah satu atau lebih dari Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut berkata atau berbuat tanpa ada pertentangan dari yang lain, maka inilah sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang diterima. Bahkan inilah yang disebut ijma’. Kesepakatan Al-Khulafaur-Rasyidin adalah maksum. Hal ini didasari oleh hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الله تعالى قد أجار أمتي من أن تجتمع على ضلالة
“Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku dari bersepakat di atas kesesatan” [Shahih bi syawahidihi sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah no. 80-85].
Adapun jika terdapat perselisihan pendapat, maka hal itu dirinci :
  1. Jikalau yang berselisih pendapat itu salah satu atau lebih pembesar shahabat (Al-Khulafaur-Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, atau Ibnu Mas’ud) di satu pihak dengan selain mereka di pihak lain; maka pendapat yang diunggulkan adalah pendapat para pembesar shahabat dengan syarat tidak bertentangan (kontradikstif) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah.
  2. Jikalau yang berselisih pendapat itu antar pembesar shahabat, maka dalam hal ini tidak ada kecondongan. Pendapat yang dipilih adalah yang paling dekat dengan dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah).
Mungkin dari sini timbul pertanyaan : “Apakah Sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut bukan merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?”. Maka kita jawab : Bukan !! Perhatikan hadits ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu di atas. Penyebutan [وإياكم ومحدثات الأمور] “Tinggalkanlah hal-hal yang baru” ; diucapkan setelah kalimat [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ] “Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham”. Ini menunjukkan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin dan para shahabat lainnya yang telah diterima bukanlah sesuatu hal yang muhdats (sehingga disebut bid’ah). Apalagi jika hal itu adalah ijma', maka kedudukannya semakin kuat sebagaimana tertandas dalam hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary di atas.
Contoh dalam kasus ini dapat saya cuplikkan dari penjelasan Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul-Ulum wal-Hikam; yaitu tentang beberapa keputusan ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu di masa pemerintahannya yang kemudian disepakati oleh para shahabat lainnya di masa itu. Misalnya keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang masalah warisan seperti al-aul, dan dalam masalah suami dan ibu bapak, serta istri dan bapak-ibu bahwa ibu mendapat sepertiga dari sisa warisan. Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang orang yang melakukan hubungan suami-istri hendaknya orang tersebut tetap melanjutkan ibadah hajinya namun ia wajib menggantinya di tahun lain dan menyembelih unta. Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang istri orang hilang dan kesamaan pendapatnya dengan khalifah lain dari keempat khalifah. Contoh lain adalah kesepakatan Umar bin Khaththab dengan para shahabat tentang talak tiga dan keharaman mut’ah bagi para wanita. Contoh lain adalah perbuatan ‘Umar bin Khaththab membentuk dewan, menentukan pajak terhadap lahan yang dikuasai kaum muslimin dengan senjata, pemberian jaminan kepada orang kafir dzimmi dengan syarat-syarat yang disyaratkan kepada mereka, dan lain-lain.
Kebenaran kesepakatan ‘Umar bin Khaththab dengan para shahabat yang tidak ada penentangan di dalamnya semasa kekhalifahannya diperkuat oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
رأيتني في المنام أنزع على قليب فجاء أبو بكر فنزع ذنوبا أو ذنوبين وفي نزعه ضعف والله يغفر له ثم جاء عمر بن الخطاب فاستحالت غربا فلم أر أحدا يفري فريه حتى روى الناس وضربوا بعطن وفي رواية فلم أر عبقريا من الناس ينزع نزع ابن الخطاب وفي رواية أخرى حتى تولى الحوض يتفجر
“Di mimpiku aku melihat diriku menarik air dari sumur kemudian Abu Bakar datang lalu menarik air beberapa timba atau dua timba, namun tarikannya lemah. Lalu Allah mengampuninya. Kemudian anak Khaththab (Umar) datang, lalu timba-timba tersebut menjadi besar. Aku tidak melihat orang yang bekerja secermat ‘Umar hingga manusia minum dengan puas dan unta mereka minum dengan puas serta berhenti di mata air”. Di riwayat lain : “Aku tidak melihat orang cerdas dari manusia yang menarik seperti tarikan anak Khaththab”. Di riwayat lain : “Hingga ia pergi sedang kolam tetap memancarkan air” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/368, Al-Bukhari no. 3664, dan Muslim no. 2392. Hadits tersebut dishahihkan oleh Ibnu Hibban no. 6898].
Itu merupakan pertanda bagi ‘Umar bin Khaththab tidaklah wafat hingga ia meletakkan segala hal pada tempatnya dan segala sesuatu menjadi tegak. Ini disebabkan karena masa kekhalifahannya lama, konsentrasi dan perhatiannya terhadap segala peristiwa. Ini berbeda dengan masa kekhalifahan Abu Bakar yang singkat. Beliau sibuk dengan penaklukan dan pengiriman pasukan untuk perang yang menyebabkan tidak bisa konsentrasi terhadap segala peristiwa. Bisa jadi, peristiwa terjadi di jaman Abu Bakar, namun tidak dilaporkan kepadanya dan baru dilaporkan pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khaththab. Hingga pada akhirnya ‘Umar bin Khaththab pada masa kekhalifahannya mampu membawa manusia kepada kebenaran.
Sedangkan hal-hal yang tidak disepakati ‘Umar bun Khaththab dengan para shahabat dan ‘Umar mempunyai pendapat pribadi di dalamnya, maka orang lain boleh berbeda pendapat dengannya, seperti dalam masalah kakek dengan saudara-saudara laki-laki dalam masalah warisan dan masalah talak tiga sekaligus; maka pendapat ‘Umar bin Khaththab dalam masalah tersebut bukan merupakan hujjah bagi orang lain dari para shahabat. Wallaahu a’lam [selesai nukilan dari Jami’ul-Ulum wal-Hikam hal. 344-355].

Contoh di atas memberi gambaran kepada kita bahwa apa yang disepakati oleh para shahabat merupakan hujjah dan apa yang mereka perselisihkan harus ditinjau mana yang lebih dekat dengan kebenaran.
Lantas,…. apakah seorang shahabat atau salah satu dari Al-Khulafaur-Rasyidin bisa dikatakan berbuat salah jika mereka berijtihad bertentang dengan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ? Maka kita jawab : Ya, bisa ! Para shahabat bahkan bisa berbuat kesalahan atas ijtihad mereka. Contohnya adalah sebagai berikut :
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين
Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam)…….. [HR. Abu Dawud 1/307. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].
Dalam hadits di atas telah diceritakan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan melakukan shalat tamam empat raka’at ketika di Mina yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulunya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan ‘Utsman). Maka perbuatan ‘Utsman tersebut diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud. Dalam hal ini, yang benar adalah bahwa shalat di Mina (ketika mabit dalam ibadah haji) dilakukan secara qashar. Bukan tamam.
Contoh lain adalah tentang masalah nikah mut’ah. Ibnu ‘Abbas dan sebagian kecil shahabat lain (Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Salamah bin Umayyah bin Khalaf, dan Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf radliyallaahu ‘anhum) membolehkan nikah mut’ah. Tentu hal ini bertentangan dengan pendapat jumhur shahabat dan juga apa yang telah shahih dari hadits nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka, apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma tersebut tidaklah teranggap, walau beliau di kalangan shahabat merupakan pembesar/ulama.
أن عليا رضى الله تعالى عنه قال لابن عباس إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر
Bahwasannya ‘Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan melarang makan daging himar jinak (yang dipakai alat angkut) di masa perang Khaibar” [HR. Bukhari no. 4825].
Bahkan ada riwayat yang menyatakan kerasnya penyelisihan sebagian shahabat terhadap pendapat Ibnu ‘Abbas tersebut sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Syihab, dia menyatakan : “Telah memberitahukan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair :
أن عبد الله بن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك
Bahwa Abdullah bin Az-Zubair pernah menjadi khathib di Makkah, waktu itu beliau mengatakan : “Sesungguhnya sebagian orang telah dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya, yaitu mereka berfatwa tentang bolehnya bikah mut’ah”. Beliau menyindir seseorang, maka orang tersebut memanggil Abdullah bin Az-Zubair dan berkata : “Sesungguhnya engkau adalah orang yang kaku dan keras. Demi umurku, sesungguhnya mut’ah telah dilakukan di jaman pimpinan orang-orang yang bertaqwa (yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam)”. Maka berkatalah Abdullah bin Az-Zubair kepada orang tersebut : “Silakan kamu mencoba sendiri (yaitu nikah mut’ah). Demi Allah, kalau seandainya kamu melakukannya, maka aku akan merajammu dengan batu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Imam An-Nawawi menerangkan bahwa yang berdebat dengan Abdullah bin Az-Zubair waktu itu adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
Inti yang ingin saya katakan adalah bahwa : Perselisihan di kalangan shahabat tetap harus dikembalikan kepada nash, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. Dalam kasus Ibnu ‘Abbas, tidak boleh kita bermut’ah hanya karena mengikuti ijtihad beliau. Mungkin hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam belum sampai padanya dengan jelas sehingga para shahabat dengan keras mengingkarinya. Tetap kita katakan bahwa pendapat Ibnu ‘Abbas itu salah.
Itulah sedikit yang bisa saya sampaikan. Ringkas memang, tapi harapan saya dapat memberikan sedikit gambaran tentang realitas kehujjahan shahabat dan berbagai khilaf yang mungkin timbul di antara mereka sehingga kita bisa arif untuk menyikapinya.
Abul-Jauzaa' Al-Atsary

Sahabat Rasulullah Memiliki Manhaj Ilmiyah Yang Teliti Dalam Istidlal Dan Istimbat

SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MEMILIKI MANHAJ ILMIYAH


Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Bagian Pertama dari Empat Tulisan [1/4]



Terdapat hadits-hadits yang menjelaskan bahwa sahabat memiliki manhaj ilmiyah yang teliti dalam istidlal (pengambilan dalil) dan istimbat (pengambilan hukum). Diantaranya.

[1]. Hadits Irbaad bin Saariyah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid'ahan dan setiap kebid'ahan adalah kesesatan" [1]

Wahai saudara seiman semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala menunjuki engkau kepada kebenaran, bahwa kata penghubung ini tidak menunjukkan bahwa para Khulafaur Rasyidin memiliki sunnah selain sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi sesungguhnya mereka hanya mengikuti sunnahnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setapak demi setapak, oleh karena itu mereka disifatkan dengan Hidayah (petunjuk) dan Rusyd (kepandaian) lalu beliau menyandarkan sunnah kepada mereka karena mereka adalah yang paling pas dan ahlinya serta paling benar dalam memahaminya.

Pemahaman ini telah mutawatir dari para ahli ilmu :

[a]. Ibnu Hazm Al-Andalusiy telah menegaskan secara gamblang dalam kitabnya Al-Ihkaam fi Ushulil Ahkaam 6/72-78 : Adapun sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Hendaklah berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin" maka telah kita ketahui bahwa beliau tidak memerintahkan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan dan kita telah mendapatkan para Khalifah Rasyidin setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak berselisih, kalau begitu mesti ada satu dari tiga kemungkinan yaitu :

Pertama
Kita mengambil semua yang mereka perselisihkan dan ini tidak mungkin dan tidak bisa, karena berkumpul padanya dua hal yang bertentangan. Maka tidak mungkin seorang mewariskan kepada kakeknya sedang saudara-saudaranya tidak mendapat apa-apa. Berdasarkan pendapat Abu Bakar dan Aisyah, si kakek mendapatkan sepertiga sedang sisanya untuk saudara-saudaranya. Berdasarkan pendapat Umar si kakek mewarisi seper-enam dan sisanya untuk saudara-saudaranya berdasarkan pendapat Ali. Demikianlah pada setiap perselisihan mereka, maka hal ini adalah bathil karena perbuatan ini di luar kemampuan manusia ini satu sisi.

Atau (Kedua)
Kita bebas untuk mengambil sesuai dengan kehendak kita. Cara ini merupakan hal yang keluar dari agama Islam, karena menunjukkan agama Allah ini diserahkan sepenuhnya kepada kehendak kita semata, lalu setiap orang dari kita mengharamkan sekehendaknya dan menghalalkan sekehendaknya, seorang dari kita mengharamkan sesuatu dan yang lain menghalalkannya. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu" [Al-Maidah : 3] dan firman-Nya.

"Artinya : Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.." [Al-Baqarah : 229] serta :

"Artinya : Dan janganlah kamu berbantah-bantahan" [Al-Anfal : 46]

Membatalkan kemungkinan ini dan menunjukkan semua yang telah diharamkan di saat itu maka dia haram sampai hari kiamat, dan semua yang telah diwajibkan pada waktu itu maka wajib sampai hari kiamat serta semua yang dihalalkan pada waktu itu maka halal sampai hari kiamat.

Demikian juga seandainya memang demikian tentu jika kita mengambil pendapat yang lainnya, maka ketika itu kita bukanlah orang yang mengikuti sunnahnya mereka lalu kita telah menyelisihi hadits tersebut dan merekapun demikian mau tidak mau. Sungguh hal ini mengingatkan saya akan seorang mufti (ahli fatwa) di tempat kami di Andalus yang bodoh, biasanya datang kepadanya dua orang yang menjadi sandaran fatwa-fatwanya waktu itu, lalu dia menulis di bawah fatwa-fatwanya : Saya berpendapat sesuai dengan pedapat dua orang syaikh tersebut. Lalu ditaqdirkan kedua syaikh tersebut berselisih, ketika dia menulis dibawah fatwanya apa yang telah kami sebutkan berkatalah kepadanya sebagian orang yang hadir : Kedua syaikh tersebut telah berselisih ?!. Maka dia menjawab : Dan saya berselisih sesuai dengan perselisihan keduanya.[2]

Abu Muhammad berkata : kalau begitu, dua kemungkinan tersebut batil dan tidak bisa kecuali kemungkinan yang ketiga yaitu : Kita mengambil kesepakatan mereka, dan itu tidak lain pada semua kesempatan para sahabat dan itiba' mereka kepada sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta pendapat mereka yang sesuai dengannya. Demikian juga karena Rasulullah ketika memerintahkan untuk mengikuti para Khulafaur Rasyidin pasti tidak lepas dari salah satu dari dua kemungkinan :

Pertama
Beliau membolehkan mereka membuat sunnah yang menyelisihi sunnahnya dan tidak ada seorang muslimpun yang berpendapat demikian, dan siapa saja yang membenarkan hal ini maka dia telah kafir, murtad serta halal darah dan hartanya. Karena agama ini secara keseluruhan berisi kewajiban atau selainnya, haram atau halal tidak ada pembagian agama selain pembagian tersebut. Siapa yang berpendapat bahwa para Khulafaur Rasyidin memiliki sunnah yang tidak pernah disunnahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam maka dia telah membolehkan untuk mereka, mengharamkan sesuatu yang telah halal di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau meninggal atau menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mewajibkan sesuatu kewajiban yang tidak pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajibkan dan tidak pernah beliau hapus sampai meninggal. Maka siapa yang membenarkan satu dari semua kemungkinan ini maka dia telah kafir musyrik menurut kesepakatan umat Islam seluruhnya, wabillahi taufiq kemungkinan ini batil walillahilhamd.

Kedua
Mengikuti mereka dalam mencontoh sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikianlah yang benar dan hadits ini tidak sama sekali tidak menunjukkan kecuali kemungkinan ini.

[b]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Harraaniy dalam Majmu 'Fatawa 1/182 : Adapun sunnah para Khulafaur Rasyidin adalah sunnah yang mereka laksanakan dengan perintah dari beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga termasuk sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka tidak ada dalam agama satu kewajibanpun kecuali yang telah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wajibkan, tidak ada keharaman kecuali yang diharamkannya, tidak ada hal-hal yang sunnah kecuali yang disunnahkannya dan tidak ada kemakruhan kecuali yang dimakruhkannya serta tidak ada yang mubah kecuali yang telah dimubahkannya.

[c]. Al-Fulaaniy berkata dalam Ieqaadz Humami Ulil Absar hal.23 : Dan dikatakan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar da Umar agar diketahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan dalam keadaan di atasnya.

Saya katakan : Seharusnya kita membawakan hadits :

"Fa'alaiykum bisunnatiy wa-sunnati al-khulafaai Ar-Rasyidiin"

Kepada makna diatas sehingga tidak ada permasalahan lagi tentang penunjukkan kata penghubung tersebut, para khalifah tidak memiliki sunnah yang diikuti kecuali yang telah ada pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam.

[d]. Al-Qaariy berkata dalam Mirqatul Mafatih 1/199 : Karena mereka tidak beramal kecuali dengan sunnahku, penyandaran sunnah kehadapan mereka mungkin karena pengetahuan mereka terhadap sunnah atau karena istimbath (penentuan hukum) dan pilihan mereka terhadap sunnah.

[e]. Hal ini disepakati oleh Al-Alamah Al-Mubarok Fuuriy dalam Tuhfatul Ahwadziy 3/50 dan 7/420 dan beliau menyatakan : Yang dimaksud dengan sunnah para Khulafaur Rasyidin adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan jalan hidup Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam kemudian beliau menukil pernyataan Al-Qaariy terdahulu dan berkata lagi (3/51) : Maka kalau begitu kamu telah mengetahui yang dimaksud dengan sunnah para Khulafaur Rasyidin adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan jalan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian beliaupun menukil perkataan As-Syaukaniy : Sesungguhnya para ulama telah panjang lebar membahas hal ini dan mulai menafsirkannya dalam beberapa hal yang amat disayangkan, yang seharusnya diambil dan dijadikan pedoman adalah beramal dengan penunjukkan susunan katanya yang disesuaikan dengan penunjukkan bahasa Arab, karena As-Sunnah (menurut bahasa Arab) adalah jalan hidup sehingga seakan-akan beliau berkata : Berpegang teguhlah kepada jalan hidupku dan jalan hidup Khulafaur Rasyidin sedangkan jalan hidup mereka sesunguhnya adalah jalan hidup Rasulullah itu sendiri karena mereka adalah orang yang paling semangat dan paling beramal dengannya dalam segala sesuatu dan keadaan, mereka menjauhkan diri dari penyelisihan sunnah dalam perkara yang paling kecil apalagi perkara-perkara besar dan mereka jika tidak mendapatkan dalil dalam Al-Kitab dan Sunnah Rasulullah beramal dengan ijtihad mereka setelah penelitian, pembahasan, musyawarah dan perenungan. Dan ijitihad mereka ketika tidak ada dalil merupakan sunnah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jika kamu tanyakan : Jika apa yang mereka amalkan dari ijtihad merupakan sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak ada faedahnya sabda Rasulullah : dan sunnah para Khulafaur Rasyidin.?

Saya jawab : Faedahnya adalah di antara manusia ada yang tidak mendapatkan zamannya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mendapatkan zamannya para khalifah rasyidin atau mendapatkan zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan zaman para Khulafaur Rasyidin akan tetapi mendapatkan satu kejadian yang terjadi di zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam lalu para khalifah melakukannya, maka beliau menjelaskan Sunnah para Khulafaur Rasyidin menghilangkan kebimbangan dan prasangka salah pada sebagian orang.

Adapun faedah terkecil dari hadits ini adalah semua pendapat/pandangan yang bersumber/keluar dari mereka walaupun termasuk sunnahnya sebagaimana telah dijelaskan terdahulu akan tetapi pandangan/pendapat mereka itu lebih baik dari pendapat selain mereka ketika tidak ada dalil.

Kesimpulannya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak menisbatkan baik pelaksanaan amalan atau peninggalannya kepada dirinya atau kepada para sahabatnya di masa beliau hidup padahal tidak ada faidah menisbatkan hal tersebut kepada selainnya padahal telah dinisbatkan kepada dirinya, karena beliaulah tempat panutan dan teladan. Inilah yang saya dapati dalam tafsir hadits ini sedang saya ketika meneliti belum menemukan sesuatu yang sesuai dengannya dari pendapat para ulama.[3] Maka jika hal itu benar berarti dari Allah dan jika salah berarti dari kesalahan saya dan dari syaithan dan saya beristighfar (memohon ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. (dinukil secara ringkas).

Al-Mubarak Fuuriy dalam kitab Tuhfahnya (3/50-51) menukil pernyataan Al-Alaamah Ash-Shan'aniy : adapun hadits.

"Artinya : (Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian)"

Yang dimaksud dengan Sunnah para Khulafaur Rasyidin hanyalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan jalan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari jihad melawan musuh-musuh, mengokohkan syiar-syiar agama dan yang lainnya, karena hadits ini umum untuk semua khalifah yang rasyid dan tidak khusus hanya syaikhan (Abu Bakar dan Umar) dan karena telah dimaklumi dalam kaidah-kaidah syariat tidak bolehnya seorang khalifah rasyid untuk membuat syariat yang bukan dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kesimpulannya
Sunnah para Khulafaur Rasyidin adalah pemahaman para sahabat terhadap agama ini, karena mereka berada diatas apa yang dibawa Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam secara pemahaman dan prakteknya, dan ini dijelaskan oleh :


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1]. Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (4608), At-Tirmidziy (2676) dan Ibnu Majah (44,43) dari jalan periwayatan Abdurrahman bin Amru As-Sulamiy darinya. Saya berkata dia seorang tabi'in yang diriwayatkan haditsnya oleh sejumlah orang-orang tsiqot dan ditsiqotkan oleh Ibnu Hibban, beliau dalam meriwayatkan hadits ini diikuti oleh Hujr bin Hujr dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dalam shahihnya (5) serta Ibnu Abi 'Ashim dalam As-Sunnah (32, 57) dan Hujr ini seorang tabi'in yang tidak meriwayatkan darinya kecuali Khalid bin Mi'daan dan di tsiqohkan oleh Ibnu Hibban. hadits ini memiliki jalan lain dari Yahya bin Abil mutha', beliau berkata : Saya mendengar Al-Irbaadh bin Saariyah, lalu menyebutkan haditsnya, dikeluarkan oleh Ibnu Majjah (42) dan Al-Hakim (1/97) dan perawi haditsnya tsiqah kecuali Duhaim mengisyaratkan bahwa riwayat Yahya bin Abuil Mutha' dari Al-Irbaadh mursal. Saya katakan : Yahya telah mendengar dari Al-Irbaadha dan sanad kepadanya shahih. hadits ini juga punya jalan periwayatan yang lain. Sehingga dia itu shahih tanpa keraguan dan ahli imu telah sepakat dalam menshahihkan hadits ini kecuali Ibnul Qathan Al-Faasy. Dan bantahannya ada pada tempat yang lain. Insya Allah.
[2]. Ini contoh tentang seorang yang berlagak alim yang muncul sebelum waktunya dan karbitan.
[3]. Telah lalu beberapa pendapat yang baik dari pendapat-pendapat mereka

ASSUNNAH


Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan suatu nikmat yang sangat agung dan besar dibandingkan dengan sekian banyak kenikmatan lainnya kepada kaum muslimin, yaitu kesempurnaan Syari’at Islam. Allah ta’ala tidak mewafatkan Rasul-Nya kecuali setelah menyempurnakan dan meridhoi agama Islam atas beliau dan umatnya. Allah telah menurunkan satu ayat Al-Qur’an sebelum meninggalnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan yang paling mulia pada saat Hajjatul Wadaa’ (haji terakhir yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yaitu:
اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لـكـم الإ سلام دينا {سورة المائدة آية 3}
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam untuk kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridloi Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al Maidah: 3)
Berkata Ibnu Abbas menafsirkan ayat tersebut:
“Allah telah mengkhabarkan kepada Nabi-Nya dan orang-orang beriman bahwa Dia telah menyempurnakan atas mereka Al Iman (Dienul Islam), maka mereka tidak membutuhkan tambahan selain dari Syari’at Islam. selama-lamanya. Allah telah menyempurnakan dienul Islam, maka Dia tidak akan menguranginya selama-lamanya dan sungguh Allah telah meridhainya, maka Dia tidak akan
memurkainya selama-lamanya”.(Tafsir Ibnu Katsir, Juz II,Hal.12)
Oleh sebab itulah Golongan Yahudi iri terhadap kaum muslimin dengan ayat yang mulia ini. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim yang menyebutkan seorang laki-laki Yahudi datang kepada Umar bin Khothob dan berkata: “Sekiranya turun kepada kami (golongan Yahudi) satu ayat dalam kitab kalian (Al-Qur’an) yang selalu kalian baca, maka akan kami jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘ied (hari raya)”. Barkata Umar: ‘Ayat yang mana ?! Berkata seorang Yahudi tersebut: “Al yauma akmaltu …..” .
Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan kesempurnaan Dienul Islam. Maka, siapa pun yang keluar darinya akan binasa. Beliau bersabda yang artinya : “Sesungguhnya aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih. Keadaan malamnya seperti siangnya, tidak (seorang pun) menyimpang /menyeleweng darinya setelah sepeninggalku kecuali dia binasa”
Dengan demikian, maka tidak boleh seorang muslim menambahkan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh-Nya dalam agama. Tidak boleh beribadah kecuali yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya. Wajib atas seluruh umat muslimin untuk tunduk dan patuh kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengadakan bid’ah dalam Diinul Islam yang tidak diidzinkan Allah dan tidak disyariatkan atas Rasul-Nya. Meskipun dianggap baik bid’ah tersebut dan diberi bumbu/hiasan padanya. Karena Agama Islam telah sempurna dan selainnya adalah bid’ah dan sesat.
Sungguh banyak sekali nash di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perkataan para sahabat , dan generasi salaf (generasi tabi’in dan atba’ut-tabi’in) yang menjelaskan perintah untuk berpegang teguh kepada sunnah, berjalan diatasnya, dan mencintainya serta melarang untuk tidak mengadakan bid’ah dan berhati-hati dengannya (bid’ah). Perkara tersebut telah masyhur dikalangan Ahlus Sunnah.
Pada pembahasan ini akan kami sebutkan sebagiannya, yang insya Allah cukup bagi mereka yang menginginkan kebenaran dan berakal. Allah Ta’ala berfirman :
وأن هذا صرا طي مستقيما فا تبعو ه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله ذلكم وصا كم به لعلكم تتقو ن {سورة الأ نعام آية 153}
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diwasiatkan Allah agar kalian bertaqwa.” (QS. Al An’aam: 153)
Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan untuk mengikuti kitab-Nya:
اتبعوا ما أنزل اليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء قليلا ما تذكرون {سورة الأ عراف آية 3}
”Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Robb kalian dan janganlah kalian mengikuti wali-wali (pemimpin-pemimpin) selain-Nya, sangat sedikit dari kalian yang mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al A’raf: 3).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah sebagai bentuk konsekuensi mencintai-Nya.
وَمَا آتَاكُمُ الرسول فخذوه وما نهاكم عـنه فانتهوا {سورة الحشر آية 7}
”Dan apa yang diberikan (diperintahkan) Rasul kepada kalian, maka terimalah (jalankanlah) dan apa yang dilarangnya atas kalian, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al Hasyr: 7).
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله ورسوله ولا تولوا عنه وأنتم تسمعون {سورة الأ نفال آية 20}
“Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kalian berpaling dari-Nya, sedangkan kalian mendengar (apa yang diserukan atas kalian)”. (QS. Al Anfaal: 20).
Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan untuk mengikuti Rasulullah sebagai bentuk konsekuensi mencintai-Nya.
قل إنكنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله و يغفرلكم ذنوبكم
{سورة آل عمرن آية 31}
Katakanlah (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imron: 31).
Sebaliknya, Allah mengkhabarkan bahwa menyelisihi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan sebab awal datangnya fitnah dan adzab. Allah berfirman :
فليحذر الذين يخا لفون عن أمره أن تصيـبهم فتنة أو يصيـبهم عذاب أليم {سورة النورآية 63}
“Maka peringatkanlah orang-orang yang menyelisihi perintahnya untuk takut akan terkena fitnah atau adzab yang pedih.” (QS. An Nuur: 63).
Allah Ta’ala juga mewasiatkan setelah mengikuti Rasul-Nya , agar mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang-orang beriman. Karena mereka telah menyandarkan jalannya kepada jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Dia menjanjikan kepada orang-orang yang tidak mengikuti jalan tersebut dengan neraka Jahannam. Allah berfirman :
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا {سورة النساء آية 115}
“Barangsiapa yang menentang Rasul (Muhammad ) sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan ia dalam kesesatan yang telah dikuasainya, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-seburuk tempat kembali”. (QS. An Nisaa’: 115).
Selain memerintahkan untuk mengikuti perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya, yang hal itu merupakan sebab seseorang mendapatkan hidayah dan kebahagiaan, Allah Ta’ala juga telah memperingatkan dari perkara-perkara yang memalingkan pe rintah-Nya, yaitu mengikuti hawa nafsu, berbuat bid’ah dan selainnya yang menjadi penyebab kebinasaan. Allah Ta’ala berfirman:
ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله إن الله لا يهدى القوم الظالمين {سورة القصص آية 50}
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tanpa petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dholim.” (QS. Al Qashash: 50)
Demikianlah, banyak sekali kita temukan ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk ittiba’ (mengikuti perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya) dan melarang mengikuti hawa nafsu serta berbuat bid’ah. Terkadang kita jumpai di sebagian ayat-ayat Al Qur’an perintah untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya saja.
Di sebagian lainnya, perintah untuk mengikuti kitab-Nya (Al Qur’an) .Penyebutan pahala, hidayah, kemenangan, kebahagiaan, dan rahmat dari Allah pada mereka yang ittiba’ , serta penyebutan adzab dan siksa kepada mereka yang menyelisihi perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya sehingga dengannya mendapatkan fitnah dan dimasukkan neraka Jahannam. Itu semua menunjukkan pentingnya hal tersebut sebagai perkara yang ushul (pokok) dan mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam Dinul Islam. (bersambung…Insya Allah)
(Diterjemahkan oleh Al Ustad Abu ‘Isa Nurwahid dari Kitab Mauqifu Ahlussunnati wal Jama’ati min Ahlil Ahwa’i wal Bida’i)
Footnote :
1 (Shahih Bukhori [Kitab Al Iman, Bab Ziyaadatu Al Iman wa Nuqshonih], dan Fathu Al-Baari, Juz I, Hal. 105, No. hadits: 45; Shahih Muslim [Kitab At-tafsir] Juz IV, Hal. 2313, No. hadits: 3617).
2 (Musnad Imam Ahmad, Juz XI, Hal. 126; Sunan Ibnu Majah, Juz I, Hal. 16. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dzilal Al-Jannah dari Kitab As-Sunan Ibnu Abi ‘Aashim, Hal. 26, hadits No. 37-38, 39).
===============================================
Adapun di dalam hadits-hadits, diantaranya hadits dari Jabir bin Abdillah yang panjang, dimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Sungguh aku telah tinggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al Qur’an)” .
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Dan perkara yang paling jelek (jahat) adalah mengadakan perkara baru (bid’ah dalam agama), dan seluruh bid’ah adalah sesat.”
Irbadl bin Sariyah berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ‘Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin seorang budak Habsyi. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rosyidin Al-Mahdiyyin (para khalifah yang terbimbing dan yang mendapatkan petunjuk ),gigitlah dengan gigi geraham, dan berhati-hatilah kalian
dengan perkara yang baru (dalam agama) karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Setiap amalan mempunyai masa semangat dalam mengamalkannya, dan setiap masa semangat ada masa lelah. Barang siapa lelahnya diatas sunnahku (dalam rangka menjalankan sunnah) maka dia sesungguhnya telah mendapatkan petunjuk (terbimbing). Barang siapa lelahnya tidak di atas sunnah (dalam rangka menjalankan amal tidak di atas sunnah) maka dia sesungguhnya telah binasa” .
Dan masih banyak hadits lainnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tinggi dalam memberikan nasehat kepada manusia, orang yang paling tinggi dalam memberikan kebaikan kepada umatnya dan orang yang paling
mengetahui keadaan umatnya. Sehingga beliau memerintahkan dan mewasiatkan kepada umatnya agar senantiasa berpegang teguh kepada Al Qur’an dan mengikuti sunnahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan mereka agar berhati-hati dengan perkara yang baru (dalam Islam). Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan dan memperingatkan akan terjadinya perselisihan dan perpecahan serta timbulnya bid’ah-bid’ah pada umat beliau. Dan beliau juga menunjukkan jalan yang selamat dari perpecahan dan bid’ah tersebut, yaitu dengan berpegang teguh dengan sunnahnya dan sunnah para khalifah setelahnya yang terbimbing dan mendapatkan petunjuk. Mudah-mudahan Allah تعالي yang maha luas kemuliaanya memberikan balasan yang setinggi-tingginya kepada beliau atas nasehat dan bimbingan yang telah beliau berikan kepada umatnya.
Adapun atsar dari para sahabat banyak sekali, diantaranya:
Berkata Muadz bin Jabal di Syam yang artinya: “Wahai manusia tetaplah kalian di atas ilmu sebelum diangkatnya ilmu, dan ketahuilah bahwa diangkatnya ilmu itu adalah dengan meninggalnya ahli ilmu (ulama). Berhati-hatilah kalian dari bid’ah, berbuat bid’ah dan melampaui batas (dalam ibadah). Dan tetaplah kalian di atas perkara orang-orang terdahulu (generasi salaf)” .
Berkata seorang laki-laki kepada Ibnu Abbas Radhiallahu anhumaa: “Berilah wasiat kepadaku”. Berkata Ibnu Abbas kepadanya: “Tetaplah engkau bertak-
wa kepada Allah dan istiqomah,ikutilah dan jangan berbuat bid’ah” .
Berkata Abdullah bin Umar yang artinya: “Setiap perkara bid’ah adalah sesat meskipun dianggap baik oleh manusia. “
Ini adalah perkataan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didasari akal yang sempurna dan pandangan yang sangat dalam mengenai agama. Mereka membaca, mempelajari dan menggali dienul Islam kemudian mengamalkannya dan berhenti (tidak berbuat bid’ah). Sesungguhnya tidak ada generasi sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih alim dan faqih dalam agama Islam daripada para sahabat . Mereka adalah generasi yang mempunyai sifat-sifat sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud yang artinya : “Generasi terbaik dari umat ini, generasi yang paling tinggi kebaikan hatinya, generasi yang paling tinggi ilmunya dan generasi yang paling sedikit takallufnya” .
Dengan demikian, maka wajib bagi kaum muslimin untuk ittiba’ (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) dan berhenti (cukup dengan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak melakukan perkara bid’ah). Sebagaimana para sahabat dalam menjalankan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka memperingatkan manusia dengan peringatan yang sangat keras dari perbuatan-perbuatan bid’ah, demikian juga yang telah dilakukan generasi salaf. Mereka telah mendapatkan keutamaan dan barokah dalam mengikuti para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengambil wasiat-wasiat yang berlandaskan Al Qur’an dan As-Sunnah dalam berpegang teguh
pada sunnah dan berhati-hati dari bid’ah.
Saya akan sebutkan perkataan generasi salaf (terdahulu) setelah para sahabat , yaitu dari tabi’in dan lainnya, dalam menetapkan perkara yang pokok ini dikarenakan mempunyai kedudukan yang agung dalam agama Islam dan agar diketahui bahwa perkara ini disepakati (ijma’) oleh seluruh generasi salaf. Orang yang menyimpang darinya pasti sesat, mubtadi’(ahlul bid’ah) dan menyimpang dari dienul Islam.
Berkata Ayub As-Sikhtyani yang artinya: “Tidaklah seseorang yang berbuat bid’ah menambah kesungguhannya (dalam menjalankan bid’ah) kecuali Allah تعالي semakin menjauhkan dia dari-Nya” .
Berkata Yunus bin ‘Ubaid kepada anaknya yang duduk (bermajlis) dengan seorang tokoh mu’tazilah yang menyeru kepada kebid’ahannya yang bernama ‘Amru bin ‘Ubaid yang artinya: “Wahai anakku, aku melarangmu dari berbuat zina, mencuri, dan minum khamr. Sekiranya engkau bertemu Allah تعالي dengan membawa dosa-dosa tersebut lebih aku cintai daripada engkau membawa pemikiran sesat Amru dan para pengikutnya” .
Berkata Imam Syafi’i yang artinya: “Seseorang yang diuji oleh Allah تعالي dengan dosa-dosa yang diharamkan-Nya selain dari syirik itu lebih baik baginya dari pada dia di uji dengan Al Kalam (berbicara dan memahami ilmu agama Allah dengan
pemikiran sesat yang menyimpang dari bimbingan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam )” . Penjelasan dari Al Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan salaful ummah (para sahabat, tabi’in dan atba’ut-tabi’in) di atas menunjukkan wajibnya mengikuti Al Qur’an dan Sunnah, serta generasi pertama dari umat ini yang telah dipersaksikan dengan segala kebaikan dan keutamaannya. Dengan demikian, seluruh bid’ah adalah haram, sesat dan binasa. Tidak ada kebaikan sedikitpun pada perbuatan bid’ah dan bahkan dicela dan dihinakan oleh para ulama, demikian pula orang-orang yang melakukannya.
(Tamat)
(Diterjemahkan oleh Al Ustad Abu ‘Isa Nur wahid dari Kitab Mauqifu Ahlussunnati wal Jama’ati min Ahlil Ahwa’i wal Bida’i)
Definisi “Sunnah”
Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halaby
Makna sunnah sebagai hidayah yang menyeluruh dan jalan yang sempurna adalah seluruh perkara yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifat (baik sifat akhlak maupun jasmani/badan), dan perkara yang ditinggalkan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Contoh perkataan adalah seperti pada hadits : ” Innamal a’malu bin niyat …“ (“Sesunguhnya setiap amalan tergantung dari niatnya …“)
 Perbuatan, seperti hadits yang ternukil di dalamnya penjelasan dari Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat atau beramal demikian dan demikian.
 Ketetapan, seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang sahabat berbuat atau beramal satu perkara yang kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya (perkara tersebut).
 Yang berkaitan dengan badan/jasmani, seperti hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tinggi dan tidak pendek. Sifat yang berkaitan dengan akhlak seperti hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Baik dalam berbicara”, “Hidup amalan dan perkataannya“.
 Perkara yang ditinggalkan, yaitu seluruh perkara yang tidak dikerjakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adanya sebab. Ini juga sunnah. Seperti hadits yang menceritakan tiga orang sahabat yang datang ke rumah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan ibadah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu salah seorang dari mereka berkata: “Aku akan shalat lail (tahajud) selamanya”. Yang kedua berkata: “Aku akan puasa terus dan tidak berbuka”. Yang ketiga berkata: “Aku akan menjauhi wanita dan tidak menikah”. Maka, setelah sampai khabar tersebut kepadanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertaqwa kepada Allah diantara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur ,dan aku menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari, No. 5063; Muslim, No. 1401).
Maka perkara ibadah yang ditinggalkan Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh dikerjakan oleh seorang muslim meskipun dihiasi dengan dalil yang batil atau dengan syubhat. Seperti perkataan: “Kami mengerjakan yang demikian atas dasar maslahat”, atau “Demi menyatukan hati kaum muslimin.”
Demikian makna sunnah Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu ‘Isa Nurwahid dari Syarah Hadits Irbadl bin Sariyyah {HR.Imam Ahmad, dan lainnya})
1)(Shohih Musllim, Juz II, Hal. 890 No. 1218; Shohih Sunan Abu Dawud, Juz II, Hal. 462, No. 1905; Ibnu Majah, Juz II, Hal. 1205, No. 3074).
2)(Shohih Muslim, Juz II, Hal. 592, No. 867. Dari jalan Jabir bin Abdillah ).
3)(HR. Ahmad, Juz IV, Hal. 126; Abu Dawud, Juz V, Hal. 13; Tirmidzi, Juz VII, Hal. 438; Ibnu Majah, Juz I, Hal.15, hadits No.42; Ad-Darimi, Juz I, Hal. 57; dan yang lainnya seperti Al-Hakim, Ibnu Abi ‘Aashim, Ibnu Baththah, Al-Ajury, Al-Lalikaiy. Berkata Syaikh Nashiruddin Al-Albany: “Sanadnya shahih.” Lihat Misykat Al-Mashobikh, Juz I, Hal. 58, No.165).
4)(HR. Ibnu Hibban, Juz I, hal. 110; Imam Ahmad, Juz II, hal. 188, 210, 158, 165; Ibnu Abi ‘Ashim dalam Sunnah-nya, hal.28, no. 51). Berkata Syaikh Al Albani mengenai hadist ini: Hadits Shahih di atas syarat Bukhori dan Muslim. (Lihat Dzilalu Al Jannah dengan Kitab As-Sunnah, hal. 28 dan Shahih At Targhib Wa At-Tarhib, Juz I, hal. 98).
5) (Al Bida’u wa An-Nahyu anha, hal. 25).
6)(Riwayat Al Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 24; Ad-Darimi dalam Sunnah-nya, juz I, hal. 66; Ibnu Baththoh dalam Al Ibanatu Al Kubro, juz I, hal 319 dan 337; Al Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz I, hal. 214).
7)(Riwayat Al Marwadzi dalam As-Sunnah, hal. 24; Ibnu Baththoh dalam Al Ibanatu Al Kubro, juz I, hal 339; Al Lalika’i dalam
Syarah Ushul I’tiqod Ahlussunnah, juz I, hal. 92).
8 ) (Bagian dari atsar yang diriwayatkan oleh Al Baghawi dari Abdullah bin Mas’ud ra dalam kitab Syarh As-Sunnah, juz I, hal 214).
9)(Riwayat Ibnu Al Jauzy dalam Talbis Iblis; As-Suyuthi dalam Al Amru bil Al Ittiba’, hal. 81).
10)(Riwayat Abu Nu’aim dalam Al Khilyah, juz III, hal. 20-21; Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlussunnah, juz IV, hal.
741).
11)(Riwayat Al Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlussunnah, juz I, hal. 146; Abu Nu’aim dalam Al Khilyah, juz XI, hal. 111; Nashru Al Maqdisi dalam mukhtasar Kitab Al Hujjah ‘Ala Taariki Al Mahajjah, hal. 455; Al Baghawi dalam Syarh As-Sunnah, juz I, hal 217).
Referensi : Buletin Da’wah Al Atsary, Semarang Edisi 04/1427H

Berpegang Dengan Al Quran Dan As Sunnah, Mengikuti Atsar Salafus Shalih, Dan Menjauhi Bid’ah

1.    Allah Ta’ala berfirman :
“Hai  orang-orang  yang  beriman,  bertakwalah  kepada  Allah  dengan  sebenar- benar takwa dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. Dan berpeganglah kamu semua dengan tali Allah dan jangan berpecah-belah. Dan ingatlah nikmat          Allah terhadapmu ketika kamu saling bermusuhan maka Dia satukan  hati  kamu  lalu  kamu  menjadi  bersaudara  dengan  nikmat-Nya  dan ingatlah ketika kamu berada di bibir jurang neraka lalu Dia. selamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat-Nya agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran : 102-103)
2.    Allah Ta’ala berfirman :
“Dan  sesungguhnya  inilah  jalan-Ku  yang  lurus  maka  ikutilah  dia  dan  jangan kamu  ikuti  jalan-jalan  (lainnya)  sebab  jalan-jalan  itu  akan  mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Allah berwasiat kepada kamu mudah- mudahan kamu bertaqwa.” (QS. Al An’am : 153)
3.    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Berpeganglah  d e n g a n      sunnahku   dan  sunnah   Khulafaur   Rasyidin   yang terbimbing,  gigitlah  dengan  gerahammu  dan  hati-hatilah  kamu  terhadap perkara yang baru karena sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Ahmad 4/126, At Tirmidzy 2676, Al Hakim 1/96, Al Baghawy 1/205 nomor
102)
4.    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
Sesungguhnya  Allah meridlai tiga perkara untuk kamu –di antaranya beliau bersabda– : “ … dan hendaknya kamu semua berpegang dengan tali Allah.” (Hadits dikeluarkan oleh Al Baghawy 1/202 nomor 101)
5.    Hudzaifah bin Al Yaman radliyallahu ‘anhu berkata :
“Hai para Qari’ (pembaca Al Quran) bertaqwalah kepada Allah dan telusurilah jalan orang-orang sebelum kamu sebab demi Allah seandainya kamu melampaui mereka sungguh kamu melampaui sangat jauh dan jika kamu menyimpang ke kanan dan ke kiri maka sungguh kamu telah tersesat sejauh- jauhnya.” (Al Lalikai 1/90 nomor 119, Ibnu Wudldlah dalam Al Bida’ wan Nahyu ‘anha 17, As Sunnah Ibnu Nashr 30)
6.    Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :
“Ikutilah  dan  jangan  berbuat  bid’ah!  Sebab  sungguh  itu  telah  cukup  bagi kalian. Dan (ketahuilah) bahwa setiap bid’ah adalah sesat.” (Ibnu Nashr 28 dan
Ibnu Wudldlah 17)
7.    Imam Az Zuhry berkata, ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan : “Berpegang dengan As Sunnah itu adalah keselamatan. Dan ilmu itu tercabut
dengan segera maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al Lalikai 1/94 nomor 136 dan Ad Darimy 1/58 nomor 16)
8.    Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :
“Berpeganglah kamu dengan ilmu (As Sunnah) sebelum diangkat dan berhati- hatilah  kamu  dari  mengada-adakan  yang  baru  (bid’ah)  dan  melampaui batas dalam berbicara dan membahas suatu perkara, hendaknya kalian tetap berpegang dengan contoh yang telah lalu.” (Ad Darimy 1/66 nomor 143, Al Ibanah Ibnu Baththah 1/324 nomor 169, Al Lalikai 1/87 nomor 108, dan Ibnu Wadldlah 32)
9.    Dan ia juga mengatakan bahwa :
“Sederhana  dalam As Sunnah lebih baik daripada  bersungguh-sungguh  di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr 30, Al Lalikai 1/88 nomor 114, dan Al Ibanah
1/320 nomor 161)
10.   Sa’id bin Jubair (murid dan shahabat Ibnu Abbas) berkata –mengenai ayat– :
“Dan beramal shalih kemudian mengikuti petunjuk.” (QS. Thaha : 82)
Yaitu  senantiasa  berada  di  atas  As Sunnah  dan mengikuti  Al Jama’ah.  (Al
Ibanah 1/323 nomor 165 dan Al Lalikai 1/71 nomor 72)
11.   Imam Al Auza’i berkata :
“Kami senantiasa mengikuti sunnah kemanapun ia beredar.” (Al Lalikai 1/64 nomor 47)
12.   Imam Ahmad bin Hambal berkata :
“Berhati-hatilah kamu jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa’ sedikit atau pun banyak. Dan berpeganglah dengan Ahli Atsar dan Sunnah.” (As Siyar 11/231)
13.   Umar     bin     Abdul     Aziz      dalam     risalahnya       untuk     salah      seorang aparatnya mengatakan :
Dari Umar bin Abdul Aziz Amirul Mukminin kepada Ady bin Arthaah :
“Segala puji hanya bagi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali
Dia.
Kemudian daripada itu :
Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam (menjalankan) perintah-Nya dan ikutilah sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tinggalkanlah  apa yang  diada-adakan  ahli bid’ah  terhadap sunnah yang telah berlalu dan tidak mendukungnya, tetaplah kamu berpegang dengan sunnah karena sesungguhnya  ia telah diajarkan  oleh orang yang tahu    bahwa             perkara             yang         menyelisihinya       adalah                      kesalahan                     atau kekeliruan, kebodohan, dan keterlaluan (ghuluw). Maka ridlailah untuk dirimu apa yang diridlai  oleh kaum itu (shahabat)  untuk  diri mereka sebab  mereka sesungguhnya  berhenti  dengan  ilmu  dan  menahan  diri  dengan  bashirah yang tajam dan mereka dalam menyingkap hakikat segala perkara lebih kuat (mampu)   apabila     di             dalamnya       ada balasan      yang     baik.          Jika       kamu mengucapkan  bahwa  ada  suatu  perkara  yang  terjadi  sesudah  mereka maka ketahuilah tidak ada yang mengada-adakan  sesuatu sesudah mereka melainkan orang-orang yang mengikuti sunnah yang bukan sunnah mereka (shahabat) dan menganggap dirinya tidak membutuhkan mereka. Padahal para shahabat itu adalah pendahulu bagi mereka. Mereka telah berbicara mengenai agama ini dengan apa yang mencukupi dan mereka telah jelaskan segala  sesuatunya  dengan  penjelasan  yang  menyembuhkan,  maka  siapa yang  lebih  rendah  dari  itu  berarti  kurang  dan  sebaliknya  siapa  yang melampaui mereka berarti memberatkan. Maka sebagian manusia ada yang telah mengurangi hingga mereka kaku sedangkan para shahabat itu berada di antara keduanya yaitu di atas jalan petunjuk yang lurus.” (Asy Syari’ah
212)
14.   Ibnu Baththah berkata :
“Sungguh  demi  Allah,  alangkah  mengagumkannya  kecerdasan  kaum  itu, betapa  jernihnya  pikiran  mereka,  dan  alangkah  tingginya  semangat  mereka dalam  mengikuti  sunnah  nabi  mereka  dan kecintaan  mereka  telah mencapai puncaknya hingga mereka sanggup untuk mengikutinya dengan cara seperti itu. Oleh sebab itu ikutilah tuntunan orang-orang berakal seperti mereka ini –wahai saudara-saudaraku– dan telusurilah jejak-jejak mereka niscaya kalian akan berhasil menang dan jaya.” (Al Ibanah 1/245)
15.   Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma berkata :
“Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.”
(Al I’tisham 1/112)
16.   Al Auza’i berkata :
“Berpeganglah      dengan      atsar     Salafus     Shalih     meskipun      seluruh      manusia menolakmu  dan jauhilah pendapatnya  orang-orang  (selain mereka)  meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.” (Asy syari’ah 63)
Sumber:
Terjemah kitab “Lamudduril Manstur Minal Qaulil Matsur” Bab I

Kedudukan Perintah Berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah lebih kuat dibandingkan Al-Qur’an dan Ahlul Bait

Tentunya kita sering membaca artikel-artikel dari kalangan syi’ah yang mengolok-olok ahlus sunnah dengan mengatakan bahwa hadits perintah berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah kedudukannya adalah lemah, sedangkan hadits tsaqalain yaitu Al-Qur’an dan Ahlul Bait kedudukannya shahih, sehingga mereka mengatakan bahwa ahlus sunnah sebenarnya tidak punya pegangan yang kuat.
Mungkin jika kita kurang berfikir kritis, kita akan langsung mengiyakan hal tersebut, padahal perintah untuk berpegang teguh kepada As-Sunnah adalah perintah Allah yang banyak sekali disebutkan dalam Al-Qur’an, sehingga kedudukannya jauh lebih kuat dibandingkan hadits tsaqalain. Sedangkan hadits tsaqalain sendiri pada kenyataannya adalah perintah untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan perintah untuk memperhatikan ahlul bait.
Lalu apa yang dimaksud dengan sunnah disini? As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri (pensyariatan) bagi ummat Islam (Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan)
Contoh-contoh ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk berpegang kepada As-Sunnah
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin[314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.S. An Nisa’: 69)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” 
(QS. Al Ahzaab: 21)
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (Q.S. An Nisa’: 80)
Dan masih buaaanyak lagi…
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Abu Hurairah).

 “Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam sementara seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan itu berada di neraka.”  (HR. an-Nasa`i)
“Orang yang berpegangan kepada sunahku pada saat umatku dilanda kerusakan maka pahalanya seperti seorang syahid.”  (HR. Ath-Thabrani)

 “Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”  (HR. Al-‘Irbadh bin Sariyah)
“Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk (Allah). Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
“Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku.” (HR. Bukhari)
Kesimpulan : Berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah diperintahkan oleh Allah dalam Kitabullah, dan Rasul-Nya dala hadits-hadits beliau, sehingga jika kita berpegang kepada Kitabullah, secara otomatis kita wajib berpegang kepada Sunnah Rasul shalallahu ‘alaihi wasalam, hal ini menunjukkan perintah berpegang kepada sunnah bersamaan dengan Kitabullah adalah sangat kuat, bahkan seandainya tidak ada satu hadits pun yang memerintahkan hal ini, cukuplah perintah ini kita dapatkan dari Al-Qur’an.
Wassalam



Buletin At Tauhid Edisi 2 Tahun X

Salah Kaprah Memaknai Sunnah

Sebagian besar orang menganggap sunnah berarti adalah perkara yang tidak wajib sehingga boleh untuk ditinggalkan. Pengertian ini tidak salah secara mutlak.Namun, itu hanya sebagian dari makna sunnah. Agar tidak salah, penting bagi kita untuk mendefinisikan sunnah dengan benar.
Sunnah secara bahasa berarti jalan atau metode, baik itu jalan yang baik maupun jalan yang jelek. Hal ini bisa dilihat dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Barangsiapa yang mencontohkan jalan (sunnah) yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan (sunnah) yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim). Dalam hadits ini, Nabi membagi ada sunnah yang baik dan sunnah yang jelek. Inilah makna sunnah secara bahasa.
Adapun secara istilah, makna sunnah memiliki beberapa pengertian :
1) Menurut istilah ulama ahli hadits, yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, pembenaran, maupun sifat-sifat yang ada pada diri beliau. Baik sebelum beliau diutus menjadi Nabi maupun sesudahnya.
2). Menurut istilah ulama ahli ushul, yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan berasal dari Al Qur’an.
3). Menurut ulama ahli fikih, sunnah adalah perkara yang tidak wajib, artinya pelakunya berhak mendapat pahala dan jika meninggalkan tidak berdosa.
Adapun makna sunnah menurut salafus shalih lebih luas dari makna di atas. Yang dimaksud sunnah adalah segala sesuatu yang sesuai dengan Al Qur’an dan jalan hidup Nabi beserta para sahabatnya, baik dalam masalah akidah, ibadah, maupun muamalah. Lawan dari makna ini adalah bid’ah. Sehingga dikatakan : “orang tersebut di atas sunnah”, yakni jika amalannya sesuai dengan Al Qur’an dan petunjuk (sunnah) Nabi. Dan dikatakan : “orang tersebut di atas bid’ah”, yakni apabila amalannya menyelisihi Al Qur’an dan sunnah Nabi, atau menyelisihi salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “As Sunnah adalah segala sesuatu yang merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan”. (Lihat pembahasan ini dalam Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah)

Perintah Berpegang Teguh dengan Sunnah

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku telah tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”(HR. Al Hakim, derajat : shahih).
Dalam hadits di atas, Nabi yang mulia memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah, yang merupakan jalan beragama yang telah ditempuh oleh Nabi dan para sahabatnya.
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. “ (QS. Al Hasyr:7)

Tegar di Atas Sunnah Jalan Keluar dari Fitnah

Perpecahan dalam umat ini adalah suatu keniscayaan. Inilah sunnatullah, ketetapan Allah yang pasti terjadi. Digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kondisi perpecahan umat ini dalam sabda beliau, “Ketahuilah, umat-umat sebelum kalian dari golongan ahlul kitab telah terpecah menjadi tujuh puh dua golongan, dan umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka, satu golongan akan masuk surga yaitu al jama’ah” (HR. Ahmad, derajat : hasan).
Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Semua golongan tersebut akan masuk neraka kecuali satu gologan : yaitu orang yang berjalan di atas ajaran agamaku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi, derajat : hasan).
Dua hadits di atas adalah berita yang shahih dari Nabi akan adanya perpecahan yang terjadi dalam umat ini. Demikian pula realita yang kita dapati kaum muslimin berpecah-belah menjadi banyak golongan. Lalu siapakah golongan yang selamat? Merekalah orang-orang yang senantiasa bepegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah serta memahaminya sesuai dengan pemahaman yang diajarkan Nabi kepada para sahabat beliau dan telah mereka amalkan. Inilah kelompok yang selamat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian, kelak dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaknya kalian tetap berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya. Gigitlah dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian dengan perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap ajaran yang baru dalam agama Islam adalah termasuk perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i, derajat : hasan shahih). Berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah dan khulafaur rasyidin dan para sahabat, inilah solusi keluar dari fitnah perpecahan umat, tidak ada jalan lain.
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat perintah ketika terjadi perselisihan untuk berpegang teguh dengan sunnah Nabi dan khulfaur rasyidin. Yang dimaksud sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya berpegang teguh dengan keyakinan, perkataan, dan perbuatan Nabi dan khulfaur rasyidin. Inilah sunnah yang sempurna. Oleh karena itu para ulama salaf di masa silam tidak menamakan sunnah kecuali mencakup seluruh perkara tadi” (lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam)
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “ (QS. An Nisaa’ : 59)

Bahaya Menyelisihi Sunnah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisaa’ : 115)
Sikap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya harus mendengar dan taat, serta tidak boleh menolak segala sesuatau yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allah meniadakan iman bagi orang yang enggan dan menolak untuk mengikuti sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’:65)

Menjadi Asing Ketika Komitmen dengan Sunnah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Islam bermula dalam keadaan asing dan akan kembali asing seperti awal mulanya. Maka keberuntungan bagi orang-orang yang asing” (HR. Muslim). Demikianlah, keadan yang akan terjadi bagi orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah. Akan dianggap orang yang asing karena banyaknya orang-orang yang tidak mengetahui sunnah dan menyelisihi sunnah.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa memberikan taufik kepada kita semua di atas jalan kebenaran. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi utama : Minhaaj Al Firqatin Naajiyah dan Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah
Penulis : Ustadz dr. Adika Mianoki (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Tiada ulasan: