20 SAHABAT NABI YANG MATI SYAHID
1.Shuhaib bin Sinan
Pada
suatu hari, ‘Ammar bin Yasir, mengisahkan peristiwa yang terjadi pada waktu
itu. “Saya berjumpa dengan Shuhaib bin Sinan di muka pintu rumah Arqam, ketika
itu Rasulullah Saw. sedang berada di dalamnya. “Hendak ke mana kamu?” tanya
saya kepadanya. “Dan, kamu hendak ke mana?” jawabnya balik bertanya.
“Saya hendak
menjumpai Muhammad Saw. untuk mendengarkan ucapannya,” kata saya. “Saya juga
hendak menjumpainya,” ujarnya pula.
Akhirnya
kami masuk ke dalam, dan Rasulullah menjelaskan tentang aqidah agama Islam.
Setelah kami meresapi yang dituturkannya, kami pun menjadi pemeluknya.
Waktu itu,
bagi fakir miskin, budak belian dan orang-orang perantau, memasuki rumah Arqam
itu merupakan suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari
manusia. Atau melangkahi batas-batas alam secara keseluruhan. Yakni, alam lama
dengan segala apa yang diwakilinya baik berupa keagamaan dan akhlak.
Shuhaib bin
Sinan adalah anak pendatang, sedang sahabat yang berjumpa di ambang pintu tadi
—’Ammar bin Yasir— adalah seorang miskin, tetapi keduanya itu berani menghadapi
bahaya, dan kenapa mereka bersedia untuk menemuinya?
Seperti
itulah, panggilan iman yang tidak dapat dibendung. Atau adanya pengaruh
kepribadian Rasulullah Saw., yang kesan-kesannya telah mengisi hati mereka
dengan hidayah dan kasih sayang (baca: akibat bosan dengan kesesatan dan
kepalsuan hidup mereka selama ini).
Shuhaib
telah menggabungkan dirinya dengan kafilah orang-orang beriman. Bahkan ia telah
membuat tempat yang luas dan tinggi dalam barisan orang-orang teraniaya dan
tersiksa!
Betapa
indahnya, kata-kata yang terucap oleh Shuhaib bin Sinan, sebagai bukti rasa
tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim yang telah bai’at kepada Nabi Saw. dan
bernaung dalam panji-panji agama Islam.
“Tidak suatu
perjuangan bersenjata yang diterjuni Rasulullah, kecuali pastilah aku
menyertainya. Dan tidak ada suatu bai’at yang dijalaninya, kecuali tentulah aku
menghadirinya. Dan tidak ada suatu pasukan bersenjata yang dikirimnya, kecuali
akau termasuk sebagai anggota rombongannya. Dan tidak pernah beliau bertempur
baik di masa-masa pertama Islam atau di masa-masa akhir, kecuali aku berada di
sebelah kanan atau di sebelah kirinya. Dan kalau ada sesuatu yang dikhawatirkan
Kaum Muslimin di hadapan mereka pasti aku akan menyerbu paling depan, demikian
pula kalau ada yang dicemaskan di belakang mereka, pasti aku akan mundur ke
belakang.
Serta aku
tidak sudi sama sekali membiarkan Rasulullah SAW. berada dalam jangkauan musuh
sampai ia kembali menemui Allah…!”
Itulah,
kata-kata yang terucap dari mulut Shuhaib bin Sinan, dan bukankah hal tersebut
merupakan suatu gambaran akan keimanan yang istimewa dan kecintaan yang luar
biasa atas Rasul-Nya?
Shuhaib bin
Sinan, telah mengawali hari-hari perjuangannya yang mulia dan cintanya yang
luhur itu pada saat hijrahnya Rasulullah Saw. Pada waktu itu, ditinggalkannya
segala emas dan perak serta kekayaan yang diperolehnya sebagai hasil perniagaan
selama bertahun-tahun di Mekah.
Dalam hal
ini, Allah berfirman, “Dan di antara manusia ada yang sedia menebus dirinya
demi mengharapkan keridlaan Allah, dan Allah Maha Penyantun terhadap
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207).
Itulah
gambaran Shuhaib yang telah menebus dirinya dalam beriman itu dengan segala
harta kekayaannya yang telah beliau usahakan selama masa mudanya.
2.Haritsah
bin Syuraqah
Suatu hari
ketika Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam berjalan di kota Madinah beliau
berpapasan dengan seorang sahabat yang bernama Haritsah bin Suraqoh. Maka
seraya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bertanya kepadanya dan mengatakan:
“Ya Haritsah bagaimana keadaanmu di pagi hari ini?”.
Maka
menjawab Haritsah: “Ya Rasulallah aku di pagi hari ini telah mencapai hakekat
keimanan”.
Ketika
mendengar jawaban tersebut Rasul pun berkata kepadanya: “Ya Haritsah segala
sesuatu ada buktinya, dan mana bukti dari hakekat imananmu?”.
Maka berkata
Haritsah: “Ya Rasulallah telah keluar dari hatiku mahabbah kepada dunia
sehingga emas dan batu sama nilainya di mataku. Ya Rasulullah seakan akan arsy
tuhanku dihadapanku sangat jelas, seakan akan penghuni surga mendapatkan ni’mat
di surga dihadapanku sangat jelas, dan seakan akan penghuni neraka di neraka
mendapatkan azab di neraka dihadapan mataku sanagat jelas. Ya Rasulallah di
malam hari aku bergadang (bermunajat) dan di siang hari aku berpuasa”.
Ketika Rasul
mendengar jawaban Haritsah seraya beliau mengatakan: “(Engkau adalah) hamba
Allah yang telah memperoleh cahaya di hatimu. Ya Haritsah engkau telah
mengetahui maka lazimilah”.
Maka
haritsah berkata kepada rasulullah: “Ya Rasulullah doakan aku, aku ingin mati
syahid di jalan Allah”. Maka Rasul-pun mendoakan agar haritsah mati syahid di
jalan Allah.
Dan
kebetulan di hari itu Rasulullah dan para sahabat keluar dari kota Madinah
untuk memerangi orang kafir Quraiys di perang Badr dan jumlah tentara orang
kafir lebih dari 950 prajurit sedang tentara Rasulullah hanyalah 313 prajurit
dan tidak memiliki persenjataan pelaikan sangat sedikit sekali dan sangat
terbatas. Akan tetapi kemenangan dari Allah diberikan kepada Rasulullah dan
para sahabat.
Sehingga di
riwayatkan bahwa yang terbunuh dari orang orang kafir 70 prajurit, dan yang
tertawan 70 prajurit. Adapun yang mati syahid dari kaum muslimin 14 sahabat dan
diantara mereka adalah Haritsah bin Suraqoh.
Maka ketika
kembali Rasulullah dan para sahabat dari medan perang beliau dihadang oleh ibu
Haritsah dan seraya mengatakan kepada rasulullah: “Ya Rasulullah dimana anakku
Haritsah?”.
Maka dijawab
oleh Rasulullah: “Wahai ibu Haritsah sabarlah sesunggahnya anakmu terbunuh
dijalan Allah”.
Maka
diulangi pertanyaan tersebut oleh ibu Haritsah kepada Rasulullah. Dan dijawab
oleh Rasul dengan jawaban yang serupa. Lantas di ulangilah untuk ketiga kalinya
pertanyaan tersebut oleh ibu Haritsah dengan menanyakan: “Ya Rasulallah aku
tahu kalau anakku terbunuh di jalan Allah akan tetapi dimana anakku apakah di
surga atau di neraka?”.
Maka
Rasulullah menjawab: ” Wahai ibu Haritsah apakah kau tidak tahu? Sesungguhnya
surga itu bukanlah hanya satu surga, akan tetapi surga itu banyak sekali
tingkatannya. Dan sesungguhnya anakmu telah mencapai surga Firdaus yang paling
tinggi”.
Diriwayatkan
oleh para ahli sejarah bahwa Haritsah terbunuh di jalan Allah ketika beliau
berusia 17 tahun.
3.Hamzah bin
Abdul Muthalib
Thabarani
telah mengeluarkan dari Al-Harits At-Taimi dia berkata: Adalah Hamzah bin Abdul
Mutthalib r.a. pada hari pertempuran di Badar membuat tanda dengan bulu burung
Na’amah (Bangau). Sesudah selesai peperangan, maka seorang dari kaum Musyrikin
bertanya: Siapa orang yang bertanda dengan bulu burung Na’amah itu?Maka orang
berkata: Dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib. Sahut orang itu lagi: Dialah orang
yang banyak mepermalukan kita di dalam peperangan itu. (Majma’uz Zawa’id 6:81)
Bazzar
mengeluarkan dari Abdul Rahman bin Auf ra. dia berkata: Bertanya Umaiyah bin
Khalaf kepadanya: Hai Abdullah! Siapa orang yang memakai bulu burung Na’amah di
dadanya pada perang Badar itu?
Jawabku: Dia
itu paman Muhammad, dialah Hamzah bin Abdul Mutthalib ra.
Berkata lagi
Umaiyah bin Khalaf: Dialah orang yang banyak mempermalukan kita dengan
senjatanya sehingga dia dapat membunuh banyak orang di antara kita. (Majma’uz
Zawa’id 6:81)
Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah ra. dia berkata: Rasulullah SAW mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah selesai peperangan, dan setelah semua orang berkumpul di sisinya: Di mana Hamzah? Maka salah seorang di situ menjawab: Tadi, saya lihat dia berperang di bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan: Aku singa Allah, dan singa RasulNya! Ya Allah, ya Tuhanku! Aku mencuci tanganku dari apa yang dibawa oleh mereka itu, yakni Abu Sufyan bin Harb dan tentera Quraisy. Dan aku memohon uzur kepadamu dari apa yang dibuat oleh mereka itu dan kekalahan mereka, yakni tentera Islam yang melarikan diri! Lalu Rasulullah SAW pun menuju ke tempat itu, dan didapati Hamzah telah gugur. Sewaktu Beliau melihat dahinya, Beliau menangis, dan melihat mayatnya dicincang-cincang, Beliau menarik nafas panjang. Kemudian Beliau berkata: Tidak ada kain kafan buatnya?! Maka segeralah seorang dari kaum Anshar membawakan kain kafan untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahwa Rasulullah SAW telah berkata: Hamzah adalah penghulu semua orang syahid nanti di sisi Allah pada hari kiamat. (Hakim 3:199)
Ibnu Ishak telah mengeluarkan dari Ja’far bin Amru bin Umaiyah Adh-Dhamri, dia berkata: Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-Khiyar pada zaman Mu’awiyah ra… dan disebutkan ceritanya hingga kami duduk bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah ra.), maka kami berkata kepadanya: Kami datang ini untuk mendengar sendiri darimu, bagaimana engkau membunuh Hamzah ra. Wahsyi bercerita: Aku akan memberitahu kamu berdua, sebagaimana aku telah memberitahu dahulu kepada Rasulullah SAW ketika Beliau bertanya ceritanya dariku.
Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth’im, dan pamannya yang bernama Thu’aimah bin Adiy telah mati terbunuh di perang Badar. Pada saat kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud, Jubair berkata kepadaku: Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau akan aku merdekakan. Begitu tentara Quraisy keluar ke medan Uhud, aku turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir untuk melempar pisau , dan sebagaimana biasanya orang Habsyi, jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua belah pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari Hamzah untuk kujadikan sasaranku, hingga aku melihatnya di antara orang yang bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus memukul dengan pedangnya segala apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga sewaktu dia datang berdekatan denganku, mudahlahlah aku melemparkan pisau racunku itu.
Hakim telah mengeluarkan dari Sabir bin Abdullah ra. dia berkata: Rasulullah SAW mencari-cari Hamzah pada hari Ubud setelah selesai peperangan, dan setelah semua orang berkumpul di sisinya: Di mana Hamzah? Maka salah seorang di situ menjawab: Tadi, saya lihat dia berperang di bawah pohon di sana, dia terus menerus mengatakan: Aku singa Allah, dan singa RasulNya! Ya Allah, ya Tuhanku! Aku mencuci tanganku dari apa yang dibawa oleh mereka itu, yakni Abu Sufyan bin Harb dan tentera Quraisy. Dan aku memohon uzur kepadamu dari apa yang dibuat oleh mereka itu dan kekalahan mereka, yakni tentera Islam yang melarikan diri! Lalu Rasulullah SAW pun menuju ke tempat itu, dan didapati Hamzah telah gugur. Sewaktu Beliau melihat dahinya, Beliau menangis, dan melihat mayatnya dicincang-cincang, Beliau menarik nafas panjang. Kemudian Beliau berkata: Tidak ada kain kafan buatnya?! Maka segeralah seorang dari kaum Anshar membawakan kain kafan untuknya. Berkata Jabir seterusnya, bahwa Rasulullah SAW telah berkata: Hamzah adalah penghulu semua orang syahid nanti di sisi Allah pada hari kiamat. (Hakim 3:199)
Ibnu Ishak telah mengeluarkan dari Ja’far bin Amru bin Umaiyah Adh-Dhamri, dia berkata: Aku keluar bersama Abdullah bin Adiy bin Al-Khiyar pada zaman Mu’awiyah ra… dan disebutkan ceritanya hingga kami duduk bersama Wahsyi (pembunuh Hamzah ra.), maka kami berkata kepadanya: Kami datang ini untuk mendengar sendiri darimu, bagaimana engkau membunuh Hamzah ra. Wahsyi bercerita: Aku akan memberitahu kamu berdua, sebagaimana aku telah memberitahu dahulu kepada Rasulullah SAW ketika Beliau bertanya ceritanya dariku.
Pada mulanya, aku ini adalah hamba kepada Jubair bin Muth’im, dan pamannya yang bernama Thu’aimah bin Adiy telah mati terbunuh di perang Badar. Pada saat kaum Quraisy keluar untuk berperang di Uhud, Jubair berkata kepadaku: Jika engkau dapat membunuh Hamzah, paman Muhammad untuk menuntut balas kematian pamanku di Badar, engkau akan aku merdekakan. Begitu tentara Quraisy keluar ke medan Uhud, aku turut keluar bersama mereka. Aku seorang Habsyi yang memang mahir untuk melempar pisau , dan sebagaimana biasanya orang Habsyi, jarang-jarang tidak mengenai sasaran apabila melempar. Apabila kedua belah pihak bertempur di medan Uhud itu, aku keluar mencari-cari Hamzah untuk kujadikan sasaranku, hingga aku melihatnya di antara orang yang bertarung, seolah-olahnya dia unta yang mengamuk, terus memukul dengan pedangnya segala apa yang datang menyerangnya, tiada seorang pun yang dapat melawannya. Aku pun bersiap untuk menjadikannya sasaranku. Aku lalu bersembunyi di balik batu berdekatan dengan pohon yang dia sedang bertarung, sehingga sewaktu dia datang berdekatan denganku, mudahlahlah aku melemparkan pisau racunku itu.
Tatkala dia
dalam keadaan begitu, tiba-tiba datang menyerangnya Sibak bin Abdul Uzza.
Hamzah melihat Sibak datang kepadanya, lalu dia berteriak: Ayo ke sini, siapa
yang mau mencari mati! Disabetnya dengan sekali ayunan kepalanya berguling di
tanah. Maka pada ketika itulah, aku terus mengacung-acungkan pisau bengkokku
itu, dan saat aku rasa sudah tepat sasaranku, aku pun melemparkannya ke Hamzah
mengenai bawah perutnya terus rnenembu bawah selangkangnya. Dia mencoba
menerkamku, tetapi dia sudah tidak berdaya lagi, aku lalu meninggalkannya di
situ hingga dia mati. Kemudian aku kembali lagi untuk mengambil pisau bengkokku
itu, dan aku membawanya ke perkemahan kami. Aku duduk di situ menunggu, dan aku
tidak punya tujuan yang lain, kecuali membunuh Hamzah agar aku dapat
dimerdekakan oleh tuanku.
Kami kembali
ke Makkah, seperti yang dijanjikan oleh tuanku, aku dimerdekakan. Aku terus
tinggal di Makkah. Dan apabila kota Makkah ditaklukkan oleh Rasulullah SAW aku
pun melarikan diri ke Tha’if dan menetap di sana. Ketika rombongan orang-orang
Tha’if bersiap-siap hendak menemui Rasulullah SAW untuk memeluk Islam, aku
merasa serba salah tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Aku berfikir,
apakah aku harus melarikan diri ke Syam, atau ke Yaman, ataupun ke
negeri-negeri lainnya, sampai kapan aku akan menjadi orang buruan?! Demi Allah,
aku merasakan diriku susah sekali.
Tiba-tiba
ada orang yang datang kepadaku memberi nasehat: Apa yang engkau takutkan?
Muhammad tidak membunuh orang yang masuk ke dalam agamanya, dan menyaksikan
syahadat kebenaran! Aku tidak punya jalan lain kecuali menerima nasehat itu.
Aku pun menuju ke Madinah untuk menemui Rasulullah SAW. Tanpa diduga tiba-tiba
Beliau melihatku berdiri di hadapannya menyaksikan syahadat kebenaran itu.
Beliau lalu menoleh kepadaku seraya berkata: Apakah engkau ini Wahsyi? Jawabku:
Saya, wahai Rasulullah! Beliau berkata lagi: Duduklah! Ceritakanlah bagaimana
engkau rnembunuh Hamzah?! Aku lalu menceritakan kepadanya seperti aku
menceritakan sekarang kepada kamu berdua.
Setelah
selesai bercerita, Beliau berkata kepadaku: Awas! Jangan lagi engkau datang
menunjukkan wajahmu kepadaku! Karena itu aku terus-menerus menjauhkan diri dari
Rasulullah SAW supaya Beliau tidak melihat wajahku lagi, sehinggalah Beliau
wafat meninggalkan dunia ini. Kemudian saat kaum Muslimin keluar untuk
berperang dengan Musailimah Al-Kazzab, pemimpin kaum murtad di Yamamah, aku
turut keluar untuk berperang melawannya. Aku bawa pisau bengkok yang membunuh
Hamzah itu. Ketika orang-orang sedang bertempur, aku mencuri-curi masuk dan aku
lihat Musailimah sedang berdiri dan di tangannya pedang yang terhunus, maka aku
pun membuat persiapan untuk melemparnya dan di sebelahku ada seorang dari kaum
Anshar yang sama tujuan denganku. Aku terus mengacung-acungkan pisau itu ke
arahnya, dan setelah aku rasa bidikanku sudah cukup tepat, aku pun
melemparkannya, dan mengenainya, lalu orang Anshar itu menghabisi hidupnya
dengan pedangnya. Aku sendiri tidak memastikan siapa yang membunuh Musailimah
itu, apakah pisau bengkokku itu, ataupun pedang orang Anshar tadi, hanya Tuhan
sajalah yang lebih mengetahui. Jika aku yang membunuhnya, maka dengan demikian
aku telah membunuh orang yang terbaik pada masa hidup Rasulullah SAW dan aku
juga membunuh orang yang paling jahat sesudah masa Beliau. (Al-Bidayah
Wan-Nihayah 4:18)
Bukhari
telah mengeluarkan dari Ja’far bin Amru sebagaimana cerita yang sebelumnya,
ketika orang ramai berbaris untuk berperang, keluarlah Sibak bin Abdul Uzza
sambil berteriak: Siapa yang akan melawanku? Hamzah pun datang untuk
melawannya, lalu Hamzah berkata kepadanya: Hai Sibak! Hai putera Ummi Anmar,
tukang sunnat orang perempuan! Apakah engkau hendak melawan Allah dan RasulNya?
Hamzah lalu menghantamnya dengan suatu pukulan yang keras menghabisinya.
4.Zaid bin
Haritsah
Zaid bin
Haritsah, seorang yang dilukiskan oleh para ahli sejarah dengan perawakan
biasa, pendek, kulitnya coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek,
adalah termasuk pahlawan-pahlawan Islam yang besar.
Sudah lama
sekali Su’da, isteri Haritsah, berniat hendak berziarah ke kaum keluarganya di
kampung Bani Maan. Ia sudah gelisah dan seakan-akan tak sabar lagi menunggu
waktu keberangkatanya. Pada suatu pagi yang cerah, suaminya (ayah Zaid)
mempersiapkan kendaraan dan perbekalan untuk keperluan itu. Kelihatan Su’da
sedang menggendong anaknya yang masih kecil, Zaid bin Haritsah. Di waktu ia
akan menitipkan isteri dan anaknya kepada rombongan kafilah yang akan berangkat
bersama dengan isterinya, menyelinaplah rasa sedih di hatinya disertai perasaan
aneh: menyuruh agar ia turut serta mendampingi anak dan isterinya. Karena ia
harus menyelesaikan tugas dan pekerjaannya, perasaan gundah itu hilang jua.
Kafilah pun berangkat meninggalkan kampung itu; Harisah pun mengucapkan selamat
jalan kepada isteri dan anaknya ….
Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan itu.
Haritsah melepas kepergian isteri dan anaknya dengan air mata berlinang. Isteri dan anaknya pun sangat sedih dalam peristiwa perpisahan itu.
Setelah
mereka berdua sampai di tempat tujuan, beberapa waktu kemudian terjadilah
musibah yang menimpa penduduk kampung Bani Maan. Kampung itu habis
porak-poranda diserang oleh gerombolan perampok Badui. Semua barang berharga
milik penduduk kampung itu dikuras habis; penduduknya ditawan dan digiring oleh
para perampok itu sebagai tawanan, termasuk si kecil Zaid bin Haritsah.
Dengan
perasaan duka, pulanglah Su’da untuk menyusul suaminya seorang diri. Demi
Haritsah mengetahui kejadian itu, ia pun jatuh tak sadarkan diri. Dengan
tongkat di pundaknya segera ia berjalan mencari anak kesayangannya. Padang
pasir dijelajahinya, kampung demi kampung diselidikinya. Sesekali ia bertanya
kepada kabilah yang lewat; kalau-kalau ada yang tahu keberadaan anaknya
tersayang, Zaid. Usahanya itu pun belum menunjukan hasil.
Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada Siti Khadijah. Pada waktu itu, Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi rasul oleh Allah SWT).
Ketika kabilah perampok yang menyerang desa Bani Maan berhasil dengan rampokannya, mereka pergi ke pasar Ukaz menjual barang-barang dan tawanan hasil rampokannya. Si kecil Zaid dibeli oleh Hakim bin Hizam. Pada kemudian harinya ia memberikannya kepada Siti Khadijah. Pada waktu itu, Khadijah ra telah menjadi isteri Muhammad bin Abdullah (sebelum diangkat menjadi rasul oleh Allah SWT).
Selanjutnya
Khadijah memberikan khadamnya Zaid sebagai pelayan bagi Muhammad. Beliau pun
menerimanya dengan senang hati, lalu segera memerdekannya. Dengan pribadinya
yang besar dan jiwanya yang mulia, Zaid diasuh dan dididiknya dengan segala
kelembutan dan kasih sayang seperti terhadap anaknya sendiri.
Pada salah
satu musim haji, sekelompok orang dari desa tempat Haritsah tinggal berjumpa
dengan Zaid di Mekah. Mereka menyampaikan kerinduan ayah bunda Zaid. Zaid balik
menyampaikan pesan salam rindu dan hormatnya kepada kedua orang tuanya. Kepada
para hujaj atau jamaah haji itu, Zaid berkata, “Tolong beritakan kepada kedua
orang tuaku bahwa aku di sini tinggal bersama seorang ayah yang paling mulia.”
Begitu ayah
Zaid mengetahui di mana anaknya berada, segera ia mengatur perjalanan ke Mekah
bersama seorang saudaranya. Sesampainya di Mekah, ia menanyakan di mana rumah
Muhammad. Setelah bertemu dengan Muhammad, Harisah berkata, “Wahai Ibnu Abdul
Muththalib…!, wahai putera dari pemimpin kaumnya! Anda termasuk penduduk tanah
Suci yang biasa membebaskan orang tertindas, yang suka memberi makanan para
tawanan. Kami datang ini kepada anda hendak meminta anak kami. Sudilah kiranya
menyerahkan anak itu kepada kami dan bermurah hatilah menerima uang tebusannya
seberapa adanya?”
Muhammad
merasakan benar bahwa hati Zaid telah lekat dan terpaut kepadanya, tetapi dalam
pada itu merasakan pula hal seorang ayah terhadap anaknya. Maka kata Muhammad
kepada Haritsah,”Panggilah Zaid itu ke sini, suruh ia memilih sendiri.
Seandainya dia memilih Anda, maka akan saya kembalikan kepada Anda tanpa
tebusan. Sebaliknya, jika ia memilihku, maka demi Allah aku tak hendak menerima
tebusan dan tak akan menyerahkan orang yang telah memilihku!”
Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegirangan karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”
Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya dihadapannya, beliau langsung bertanya, “Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu,” jawab Zaid.” Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku.”
Mendengar ucapan Muhammad yang demikian, wajah Haritsah berseri-seri kegirangan karena tak disangkanya sama sekali keluar darinya kemurahan seperti itu, lalu ucapnya: “Benar-benar Anda telah menyadarkan kami dan Anda beri pula keinsafan di balik kesadaran itu!”
Kemudian Muhammad menyuruh seseorang untuk memanggil Zaid. Setibanya dihadapannya, beliau langsung bertanya, “Tahukah Engkau siapa orang-orang ini?” “Ya, tahu,” jawab Zaid.” Yang ini ayahku, sedangkan yang seorang lagi adalah pamanku.”
Kemudian
Muhammad mengulangi lagi apa yang telah dikatakannya kepada ayahnya tadi, yaitu
tentang kebebasan memilih orang yang disenanginya.
Tanpa
berpikir panjang, Zaid menjawab, “Tak ada orang pilihanku, kecuali Anda
(Muhammad)! Andalah ayah, dan Andalah pamanku!”
Mendengar
itu, kedua mata Muhammad basah dengan air mata karena rasa syukur dan haru.
Lalu dipegangnya tangan Zaid, dibawanya ke pekarangan Ka’bah, tempat
orang-orang Quraisy sedang banyak berkumpul, lalu serunya:
“Saksikan
oleh kalian semua bahwa mulai saat ini Zaid adalah anakku… yang akan menjadi
ahli warisku dan aku jadi ahli warisnya.”
Mendengar
ucapan itu hati Harits seakan-akan berada diawang-awang karena suka citanya,
sebab ia bukan saja telah menemukan kembali anaknya bebas merdeka tanpa
tebusan, malahan sekarang diangkat anak pula oleh seseorang yang termulia dari
suku Quraisy yang terkenal dengan sebutan “Ash-Shadiqul Amin”(orang lurus
terpercaya), keturunan Bani Hasyim, tumpuan penduduk kota Mekah seluruhnya.
Meskipun
telah sekian lama merindukan anaknya kembali, Zaid dan pamannya pulang dengan
hati yang tenteram karena anaknya berada dalam naungan keluarga yang termulia,
keluarga Muhammad.
Muhammad
telah mengangkat Zaid sebagai anak angkat, maka menjadi terkenallah ia
diseluruh Mekah dengan nama “Zaid bin Muhammad.”
Pada suatu
hari yang cerah, seruan wahyu yang pertama datang kepada Muhammad,“Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan! Ia menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang telah
mengajari manusia dengan kalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya.” (al-Alaq: 1-5).
Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya, “Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” (al-Muddatsir: 1-3)
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (genggaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 67)
Kemudian datang susul-menyusul wahyu berkikutnya kepadanya, “Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah.” (al-Muddatsir: 1-3)
“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (genggaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 67)
Tidak tak
lama setelah Muhammad memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu
tersebut, jadilah Zaid sebagai orang yang kedua masuk Islam, bahkan ada yang
mengatakan sebagai orang yang pertama.
Rasul sangat
sayang sekali kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar
disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya,
sertaiterpelihara lidah dan tangannya.
Semua itu
menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan”
sebagaimana yang telah dipanggilkan sahabat-sahabat rasul kepadanya. Berkatalah
Aisyah ra, “Setiap Rasulullah mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh
Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih
hidup sesudah Rasul, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah.”
Suatu ketika
Rasulullah saw berdiri melepas bala tentara Islam yang akan berangkat menuju
medan perang Muktah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama
yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:
“Kalian
semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia tewas, pimpinan
akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib; dan seandainya Jafar tewas pula,
maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah ibnul Rawahah.”
Sampai ke
tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah saw. Siapakah sebenarnya Zaid
ini?
Ia seorang
anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu dibebaskan Rasul dan
dimerdekakannya. Ia seorang laki-laki yang berperawakan pendek, berkulit coklat
kemerahan, hidung pesek, tapi ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh
serta berjiwa merdeka. Karena itulah, ia mendapt temapat yang tinggi di dalam
Islam dan di hati Rasululah saw.
Rasulullah
saw menikahkan Zaid dengan Zainab. Sayangnya, pernikahannya tidak berumur
panjang dan berakhir dengan perceraian. Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid
hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafaat Rasulullah, dan karena
tidak sampai hati menolak Zaid sendiri. Maka Rasulullah saw mengambil tanggung
jawab terhadap rumah tangga Zaid ini yang telah pecah itu. Rasulullah merangkul
Zainab dengan menikahinya sebagai isterinya, kemudian mencarikan Ummu Kultsum
binti ‘Uqbah yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.
Karena
peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di kalangan masyarakat kota madinah.
Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasul menikahi bekas isteri anak angkatnya.
Tantangan
dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah SWT dengan wahyu-Nya yang
membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adaptasi dengan anak
sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu.
Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut:
“Muhammad
bukanlah bapak dari seorang laki-laki (yang ada bersama) kalian. Tetapi, ia
adalah Rasul Allah dan Nabi penutup. (al-Ahzab: 40)
Dengan
turunnya wahyu tersebut, Zaid kemudian dipanggil dengan sebutan “Zaid bin
Haritsah.”
Dan
sekarang….Tahukah anda bahwa kekuatan Islam yang pernah maju ke medan perang
“Al-Jumuh” komandannya adalah Zaid bin Haritsah? Kekuatan-kekuatan laskar Islam
yang begerak maju ke medan pertempuran at-Tharaf, al-’Ish, al-Hismi dan
lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga? Begitulah,
sebagaimana yang pernah kita dengar dari Aisyah ra sebelumnya, “Setiap Nabi
mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti ia yang diangkat menjadi
pemimpinnya.”
Suatu ketika
datanglah perang Muktah yang terkenal itu. Adapun orang-orang Romawi dengan
kerajaan mereka yang telah tua bangka secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap
kekuatan Islam, bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam
keselamatan mereka. Terutama di daerah jajahan mereka, Syam (Syiria) yang
berbatasan dengan negara dari agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju
dalam membebaskan negara-negara tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak
dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Syria sebagai batu loncatan
untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik
orang-orang Romawi dan tuan terakhir mereka yang hendak menumpas kakuatan Islam
dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang yang ahli strategi, Nabi memutuskan
untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak sebelum diserang di daerahnya
sendiri.
Demikianlah,
pada bulan Jumafil Ula, tahun yang kedelapan Hijriah, tentara Islam maju
bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Demi mereka sampai di perbatasannya, mereka
dihadapi tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, dengan mengerahkan juga
kabilah-kabilah atau suku-suku badui yang diam di perbatasan. Tentara Romawi
mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam
mengambil posisi di dekat negeri kecil yang bernama Muktah yang kemudian
dijadikan nama pertempuran ini.
Rasulullah
saw mengetahui benar arti penting dan bahayannya peperangan ini. Oleh sebab
itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam
bertakarub mendekatkan mendekatkan diri kepada Ilahi, sedangkan di siang hari
sebagai pendekar pejuang pembela agama. Tiga orang pahlawan itu adalah mereka
yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, yang tiada berkeinginan
kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat
Allah, yang mengharap semata-mata ridha Illahi dengan menemui wajah-Nya Yang
Maha Mulia kelak.
Mereka
bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah: Zaid bin Haritsah, Ja’far
bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, moga-moga Allah rela kepada mereka
dan menjadikan mereka rela kepada-Nya, serta Allah merelakan pula seluruh
sahabat lainya.
Rasul
berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Rasul
melepas mereka dengan amanat, “Kalian harus tunduk kepada Zaid bin Harits
sebagai pimpinan, seandainya ia gugur pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi
Thalib, dan senadainya Ja’far gugur pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah
bin Rawabah.”
Ja’far bin
Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah Zaid, meskipun keberanian dan
ketangkasanya serta keturunan dan kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan
orang yang paling dekat kepada Rasul dari segi hubungan keluarga, sebagai anak
pamannya sendiri.
Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yang tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakikat kemanusiaan.
Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.
Beginilah contoh dan teladan yang diperlihatkan Rasul dalam mengukuhkan suatu prinsip. Islam sebagai suatu agama baru mengikis habis segala hubungan lapuk yang didasarkan pada darah dan turunan atau yang ditegakkan atas yang batil dan rasialisme. Islam mengganti sistem-sistem yang tidak baik itu atas bimbingan dan hidayah Ilahi yang berpokok kepada hakikat kemanusiaan.
Ketika Rasulullah memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuarn yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu lalu Ja’far, kemudian Ibnu Abi Rawahah, ternyata ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.
Demi Kaum
Muslimin melihat tentara romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang
dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duka sama sekali, mereka
terkejut. Tetapi kapankah pertarungan yang didasari iman mempertimbangkan
jumlah bilangan?
Ketika
itulah, disana, merek amaju terus tanpa gentar, tak perduli dan tak
menghiraukan besarnya musuh. Didepan sekali kelihatan dengan tangkasnya
mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji
Rasulullah SAW. maju menyerbu laksana topan, dicelah-celah desingan anak panah,
ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari
kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan
Allah, yaknitempat pembaringan disisi Allah, karen sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya
Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang Mu’min dengan surga sebagai
imbalannya.” (QS. at-Taubah: 111)
Zaid tak
sempat melihat pasir Balqa’, bahkan pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia
langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau
berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa irulah
hari istirahat dan kemenanggannya.
Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menbas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya kekampung kedamaian, surga yang kekal disisi Allah.
Ia telah terjun ke medan laga dengan menerpa, menbas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya kekampung kedamaian, surga yang kekal disisi Allah.
Ia telah
menemui tempat peristirahatannya yang akhir. Rohnya yang melayang dalam
perjalannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus
sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya
semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua
Ja’far melesit maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya. untuk
menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ketanah.
5.Ja’far bin
Abi Thalib
Beliau
adalah sepupu sekaligus sahabat Rasulullah yang mirip dengan Rasulullah baik
ujud tubuh, tingkah laku atau budi pekertinya. Beliau diberi gelar “Bapak Si
Miskin”, “Si Bersayap Dua di Surga” atau Si Burung Surga”. Salah seorang
pelopor ternama Islam, beliau dan istrinya (Amma binti Umais) termasuk dalam
golongan orang-orang yang pertama masuk Islam.
Sewaktu Rasulullah memilih sahabat-sahabatnya yang akan hijrah ke Habsyi (Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Ja’far bersama istrinya tampil mengemukakan diri hingga tinggal disana selama beberapa tahun. Disana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu: Muhammad, Abdullah, dan ‘Auf.
Sewaktu Rasulullah memilih sahabat-sahabatnya yang akan hijrah ke Habsyi (Ethiopia), maka tanpa berfikir panjang Ja’far bersama istrinya tampil mengemukakan diri hingga tinggal disana selama beberapa tahun. Disana mereka dikaruniai Allah tiga orang anak yaitu: Muhammad, Abdullah, dan ‘Auf.
Selama di
Ethiopia, maka Ja’far bin Abi Thaliblah yang tampil menjadi juru bicara yang
lancar dan sopan. Allah mengaruniakan kepadanya hati yang tenang, akal fikiran
yang cerdas, jiwa yang mampu membaca situasi dan kondisi serta lidah yang
fasih.
Hal itu
terbukti ketika berdialog dengan Negus, Raja Ethiopia pada saat kaum muslimin
hijrah kesana. Kaum Quraisy tidak senang dan merasa cemas ketika kaum muslimin
hijrah ke Ethiopia, khawatir kalau-kalau kaum muslimin di tempatnya yang baru
menjadi bertambah kuat dan jumlahnya semakin banyak. Karena itulah para pemimin
Quraisy mengirimkan dua utusannya yaitu Abdullah bin Rabi’ah dan Amar bin Ash
(keduanya waktu itu belum masuk Islam) untuk menyampaikan harapan Quraisy agar
Negus mengusir kaum muslimin yang hijrah dan menyerahkannya kepada mereka.
Negus
merupakan seorang raja yang imannya kuat. Dalam lubuk hatinya, ia menganut
agama Nasrani secara murni dan padu, jauh dari penyelewengan dan lepas dari
fanatik buta dan menutup diri. Nama baiknya dan ksiah perjalanan hidupnya yang
adil tersebar kemana-mana. Karena itulah Rasulullah memilih negerinya menjadi
tempat hijrah bagi sahabat-sahabatnya dan karena itu pula kaum kafir Quraisy
khawatir kalau tipu muslihatnya menjadi gagal sehingga utusannya dibekali
sejumlah hadiah yang berharga untuk pembesar-pembesar dan pejabat gereja disana
dengan tujuan agar para pendeta itu berpihak kepada mereka. Kedua utusan itu
terus-menerus membangkitkan dendam kebencian di antara para pendeta terhadap
kaum muslimin.
Pada saat
Negus, dihadapkan dengan utusan Quraisy dan kaum muhajirin Islam, utusan
Quraisy kembali mengulangi tuduhan terhadap kaum muslimin bahwa kaum muslimin
itu adalah orang-orang bodoh dan tolol yang meninggalkan agama nenek moyang
mereka tetapi tidak pula hendak memasuki agamanya Negus dan bahkan datang
dengan agama baru yang mereka ada-adakan sehingga utusan itu meminta mereka
dikembalikan pada kaumnya. Negus pun bertanya kepada kaum muslimin, agama
apakah yang menyebabkan mereka meninggalkan bangsanya tetapi juga tidak
memandang perlu pula terhadap agamanya(Nasrani).
Ja’far pun
bangkit berdiri untuk menunaikan tugas yang telah diamanahkan padanya oleh
kawan-kawannya sesama Muhajirin yang mereka tetapkan dalam rapat yang diadakan
sebelumnya. Dengan pandangan ramah penuh kecintaan kepada baginda raja yang
telah baik menerima mereka, beliau berkata:
“Wahai
paduka yang mulia! Dahulu ami memang orang-orang jahil dan bodoh; kami
menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan pekerjaan-pekerjaan keji,
memutuskan silaturahmi, menyakiti tetangga dan orang yang berhampiran. Yang
kuat waktu itu memakan yang lemah. Hingga datanglah masanya Allah mengirimkan
Rasul-Nya kepada kami dari kalangan kami. Kami kenal asal-usulnyam
kejujurannya, ketulusan dan kemuliaan jiwanya. Ia mengajak kami untuk
mengesakan Allah dan mengabdikan diri pada-Nya, dan agar membuang jauh-jauh apa
yang pernah kami sembah bersama bapak-bapak kami dulu, berupa batu-batu dan berhala.
Beliau menyuruh kami bicara benar, menunaikan amanah, menghubungkan
silaturahmi, berbuat baik kepada tetangga dan menahan diri dari menumpahkan
darah yang dilarang Allah.
Dilarangnya
kami berbuat keji dan zina, mengeluarkan ucapan bohong, memakan harta anak
yatim, dan menuduh berbuat jahat terhadp wanita yang baik-baik. Lalu kami
benarkan ia dan kami beriman kepadanya, dan kami ikuti dengan taat apa yang
disampaikannya dari Tuhannya. Lalu kami beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan tidak kami persekutukan sedikitpun juga, dan kami haramkan apa yang
dihalalkan-Nya untuk kami. Karenanya kaum kami memusuhi kami dan menggoda kami
dari agama kami, agar kami kembali menyembah berhala lagi, dan kepada
perbuatan-perbuatan jahat yang pernah kami lakukan dulu. Maka sewaktu mereka
memaksa dan menganiaya kami, dan menggecet hidup kami dari agama kam, kami
keluar hijrah ke negeri paduka, dengan harapan akan mendapatkan perlindungan
paduka dan terhindar dari perbuatan mereka.”
Ja’far
mengucapkan kata-kata yang mempesona itu laksana cahaya fakar sehingga
membangkitkan perasaan dan keharuan pada jiwa Negus. Ketika Negus menanyakan
wahyu yang dibawa dari Rasulullah, Ja’far langsung membacakan bagian dari surat
Maryam. Mendengarnya, Negus langsung menangis, begitu pula dengan para pendeta
dan pembesar lainnya. Selanjutnya Negus mengatakan kepada kaum Quraisy bahwa
sesungguhnya yang dibaca tadi dan yang dibawa oleh Isa a.s. sama memcancar dari
satu pelita, karena itu utusan Quraisy dipersilahkan pergi dan beliau tidak akan
menyerahkan kaum muslimin kepada mereka.
Tetapi
keesokan harinya kedua utusan itu kembali menghadap Raja Negus hendak
memojokkan kaum muslimin telah mengucapkan suatu ucapan keji yang merendahkan
kedudukan Isa sehingga hal itu cukup menggoncangkan Negus dan para pengikutnya.
Negus pun memanggil kaum muslimin kembali untuk menanyai bagaimana sebenarnya
pandangan Agama Islam tentang Isa al-Masih.
Ja’far pun bangkit sekali lagi dan berujar: ”Kami akan mengatakan tentang Isa a.s , sesuai dengan keterangan yang dibawa Nabi kami Muhammad saw, bawa:
Ja’far pun bangkit sekali lagi dan berujar: ”Kami akan mengatakan tentang Isa a.s , sesuai dengan keterangan yang dibawa Nabi kami Muhammad saw, bawa:
“Ia adalah
seorang hamba Allah dan Rasul-Nya serta kalimah-Nya yang ditiupkan-Nya kepada
Maryam dan ruh daripada-Nya…”
Negus
bertepuk tangan tanda setuju seraya mengumumkan bahwa memang begitulah yang
dikatakan al-Masih tentang dirinya. Akhirnya Negus mempersilahkan kaum muslimin
itu untuk tinggal bebas di negerinya dan akan melindungi mereka serta mengusir
para utusan Quraisy dengan mengembalikan hadiah-hadiahnya.
Di kala
Rasulullah bersama kaum muslimin sedang bersukacita dengan kemenangan atas
jatuhnya Khaibar, tiba-tiba muncullah Ja’far bin Abi Thalib kembalu pulang dari
Ethiopia bersama sisa muhajirin lainnya yang baru kembali dari sana. Betapa
sukacitanya Nabi karena kedatangan mereka, dipeluknya Ja’far sambil berkata:
“Aku tak tahu entah mana yang lebih menggembirakanku, apakah dibebaskannya khaibar atau
kembalinya Ja’far!”
Sekembalinya
ke Madinah jiwa Ja’far bergelora dan dipenuhi keharuan karena mendengar berita
dan cerita tentang sahabat-sahabatnya kaum muslimin, baik yang gugur sebagai
syuhada, maupun yang masih hidup selaku pahlawan-pahlawan yang berjasa dari
perang Badar, perang Uhud, Khandak dan yang lainnya. Beliau pun merindukan
kesempatan dan peluang untuk berjuang pula sebagai syahid di jalan Allah.
Ketika
perang Muktah, Ja’far memandang peperangan ini sebagai peluang yang sangat baik
dan satu-satunya kesempatan seumur hidup untuk merebut salah satu di antara dua
kemungkinan; membuktikan kejayaan besar bagi agama Allah dalam hidupnya atau ia
akan beruntung menemui syahid di jalan Allah. Ja’far termasuk di antara tiga
serangkai yang diangkat Rasulullah menjadi panglima pasukan dan pemimpinnya di
perang Muktah ini. Tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang beserta
persenjataan yang tak tertandingi tidak membuat Ja’far menjadi gentar, tetapi
justru membangkitkan semangat juang yang tinggi pada dirinya, karena sadar akan
kemuliaan seorang mu’min yang sejati, dan sebagai pahlawan yang ulung haruslah
kemampuan juangnya berlipat ganda dari musuh.
Sewaktu
panji-panji pasukan hampir terlepas dari tangan Zaid bin Haritsah, dengan
cepatnya disambar oleh Ja’far dan ia terus menyerbu ke tengah-tengah barisan
musuh dan mengayunkan pedangnya ke sehala jurusan mengenai musuhnya. Tentara
Romawi terus mengepungnya dan mereka menebas tangan kanannya hingga putus,
tetapi sebelum panji jatuh ke tanah, cepat disambarnya dengan tangan kirinya.
Lalu mereka ebas pula tangan kirinya, tetapi Ja’far mengepit panji itu dengan
kedua pangkal lengannya ke dada. Ia bertekad akan memikul tanggung jawab untuk
tidak membiarkan panji Rasulullah jatuh menyentuh tanah selagi ia masih hidup.
Di saat jasadnya telah kaku tetapi panji masih tertancap di antara kedua lengan
dan dadanya, datanglah Abdullah bin Rawahah membelah barisan musuh dan merenggut
panji itu.
Demikianlah Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menempuh suatu kematian agung yang tiada taranya. Begitulah caranya ia menghadap Allah, berselimut darah kepahlawanannya. Menurut Abdullah bin Umar, ketika mendapati jasadnya, didapati luka-luka bekas tusukan pedang dan lemparan tombak lebih dari 90 tempat di tubuh Ja’far. Dan Rasulullah bersabda mengenai dirinya:
“Aku telah melihatnya di surga…., kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan…!”
Demikianlah Ja’far mempertaruhkan nyawa dalam menempuh suatu kematian agung yang tiada taranya. Begitulah caranya ia menghadap Allah, berselimut darah kepahlawanannya. Menurut Abdullah bin Umar, ketika mendapati jasadnya, didapati luka-luka bekas tusukan pedang dan lemparan tombak lebih dari 90 tempat di tubuh Ja’far. Dan Rasulullah bersabda mengenai dirinya:
“Aku telah melihatnya di surga…., kedua bahunya yang penuh bekas-bekas cucuran darah penuh dihiasi dengan tanda-tanda kehormatan…!”
(diambil
dari buku Karakteristik Perihidupan 60 Sahabat Rasulullah)
6.Zubair bin
Awwam
Setiap kali
nama Thalhah disebut, nama Zubair juga disebut. Dan setiap kali disebut nama
Zubair, nama Thalhah pun pasti disebut.
Sewaktu
Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya di Makkah sebelum hijrah,
beliau mempersaudarakan Thalhah dengan Zubair. Sudah sejak lama Nabi SAW
bersabda tentang keduanya secara bersamaan, seperti sabda beliau, “Thalhah
dan Zubair adalah tetanggaku di surga.”
Keduanya masih kerabat Rasulullah. Thalhah masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Murrah bin Ka’ab, sedangkan Zubair masih keturunan kakek buyut Rasulullah yang bernama Qusai bin Kilab. Shafiyah, ibu Zaubair, juga bibi Rasulullah.
Thalhah dan Zubair mempunyai banyak kesamaan dalam menjalani roda kehidupan. Masa remaja, kekayaan, kedermawanan, keteguhan dalam beragama dan keberanian mereka hampir sama. Keduanya termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, dan termasuk sepuluh orang yang dikabarkan oleh Rasul masuk surga, termasuk enam orang yang diamanahi Khalifah Umar untuk memilih khalifah pengganti. Bahkan, hingga saat kematian keduanya sama persis.
Seperti yang telah kita sebutkan, Zubair termasuk orang-orang yang masuk Islam di masa-masa awal, karena ia termasuk tujuh orang pertama yang masuk Islam, dan sebagai perintis perjuangan di rumah Arqam. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Ia telah diebri petunjuk, cahaya, dan kebaikan saat remaja.
Ia ahli menunggang kuda dan memiliki keberanian, sejak kecil. Bahkan, ahli sejarah menyebutkan bahwa pedang pertama yang dihunuskan untuk membela Islam adalah pedang Zubair bin Awwam.
Di masa-masa awal, saat jumlah kaum muslimin masih sedikit dan masih bermarkas di rumah Arqam, terdengar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Zubair langsung menghunus pedang lalu berkeliling kota Makkah laksana tiupan angin kencang, padahal usianya masih muda belia.
Yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek kebenaran berita tersebut. Seandainya berita itu benar, ia bertekad menggunakan pedangnya untuk memenggal semua kepala orang-orang kafir Quraisy atau ia sendiri yang gugur.
Di satu tempat, di bagian kota Makkah yang agak tinggi, ia bertemu Rasulullah. Rasulullah menanyakan maksudnya. Ia menceritakan berita yang ia dengar dan menceritakan tekadnya. Maka, beliau berdoa agar Zubair selalu diberi kebaikan dan pedangnya selalu diberi kemenangan.
Sekalipun Zubair seorang bangsawan terpandang, namun ia juga merasakan penyiksaan Quraisy. Orang yang disuruh menyiksanya adalah pamannya sendiri. Ia pernah diikat dan dibungkus tikar lalu diasapi hingga kesulitan bernapas. Di saat itulah sang paman berkata, “Larilah dari Tuhan Muhammad, akan kubebaskan kamu dari siksa ini.”
Meskipun masih muda belia, Zubair menjawab dengan tegas, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan kembali kepada kekafiran untuk selama-lamanya.”
Zubair ikut dalam perjalanan hijrah ke Habasyah dua kali. Kemudian ia kembali, untuk mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah, hingga tidak satu pun peperangan yang tidak ia ikuti.
Banyaknya bekas luka pedang dan tombak di tubuhnya adalah bukti keberanian dan kepahlawanannya.
Marilah kita dengarkan cerita seorang rekannya yang melihat bekas luka yang hampir memenuhi sekujur tubuhnya.
“Aku pernah bersama Zubair bin Awwam dalam satu perjalanan dan aku melihat tubuhnya. Ada banyak bekas sabetan pedang. Di dadanya ada beberapa lubang bekas tusukan tombak dan anak panah. Aku berkata kepadanya, ‘Demi Allah, yang kulihat ditubuhmu belum pernah kulihat di tubuh orang lain.’ Ia menjawab, “Demi Allah, semua luka-luka ini kudapat bersama Rasulullah dalam peperangan membela agama Allah.”
Seusai Perang Uhud, dan pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan pulang ke Makkah, Zubair dan Abu Bakar diperintahkan Rasulullah memimpin kaum muslimin mengejar mereka agar mereka menganggap kaum muslimin masih mempunyai kekuatan, sehingga mereka tidak berpikir untuk menyerbu Madinah.
Abu Bakar dan Zubair membawa 70 tentara muslim. Sekalipun Abu Bakar dan Zubair sebenarnya sedang mengikuti satu pasukan yang menang perang dan berjumlah jauh lebih besar, namun kecerdikan dan siasat yang dipergunakan keduanya berhasil mengecoh mereka. Mereka menyangka bahwa pasukan yang dipimpin Abu Bakar dan Zubair adalah pasukan perintis dan di belakang pasukan ini masih ada pasukan yang jauh lebih besar. Tentu saja ini membuat mereka takut. Mereka pun mempercepat langkah menuju Makkah.
Di perang Yarmuk, Zubair memerankan satu pasukan tersendiri. Ketika banyak prajuritnya yang lari ketakutan melihat jumlah pasukan Romawi yang begitu banyak, ia berteriak, “Allaahu Akbar”, lalu menyerbu pasukan Romawi sendirian dengan pedangnya.
Ia sangat rindu untuk syahid. Ia berkata, “Thalhah bin Ubaidillah memberi nama anak-anaknya dengan nama nabi-nabi padahal tidak ada nabi setelah Muhammad SAW. Karena itu, aku memberi nama anak-anakku dengan nama para syuhada dengan harapan mereka syahid.”
Ada yang diberi nama Abdullah dari nama Abdullah bin Jahsy. Ada yang diberi nama Mundzir dari nama Mundzir bin Amru. Ada yang diberi nama Urwah dari nama Urwah bin Amru. Ada yang diberi nama Hamzah dari nama Hamzah bin Abdul Muthalib. Ada yang diberi nama Ja’far dari nama Ja’far bin Abi Thalib. Ada yang diberi nama Mushab dari nama Mushab bin Umair. Ada yang diberi nama Khalid dari nama Khalid bin Sa’id. Seperti itulah, semua anaknya diberi nama dengan nama-nama para syuhada dengan harapan bisa syahid seperti mereka.
Disebutkan dalam buku sejarah, “Zubair tidak pernah menjadi bupati atau gubernur. Tidak pernah menjadi petugas penarik pajak atau cukai. Ia tidak pernah menduduki jabatan kecuali sebagai pejuang perang membela agama Allah.”
Ia sangat percaya dengan kemampuannya di medan perang dan itulah kelebihannya. Meskipun pasukannya berjumlah 100 ribu prajurit, namun ia seakan-akan sendirian di arena pertempuran. Seakan-akan dia sendiri yang memikul tanggung jawab perang.
Keteguhan hati di medan perang dan kecerdasannya dalam mengatur siasat perang adalah keistimewaannya.
Ia melihat gugurnya sang paman, yaitu Hamzah, di Perang Uhud, di Perang Uhud. Ia juga melihat bagaimana tubuh pamannya dicabik-cabik oleh pasukan kafir. Ia berdiri dekat jenazah sang paman. Gigi-giginya terdengar gemeretak dan genggaman pedangnya semakin erat. Hanya satu yang dipikirkannya, yaitu balas dendam. Akan tetapi, wahyu segera turun melarang kaum muslimin melakukan balas dendam.
***
Ketika pengepungan terhadap bani Quraidzah sudah berjalan lama tanpa membawa hasil, Rasulullah menugaskan Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Keduanya berdiri di depan benteng musuh yang kuat dan berkata, “Demi Allah, mari kita rasakan apa yang dirasakan hamzah. Atau, akan kita buka benteng mereka.” Keduanya melompat ke dalam benteng. Dengan kecerdasannya, ia berhasil membuat takut orang-orang yang berada dalam benteng dan berhasil membuka pintu benteng sehingga pasukan Islam berhamburan menyerbu ke dalam benteng.
***
Di perang hunain, suku Hawazin yang dipimpin Malik bin Auf menderita kekalahan yang memalukan. Tidak bisa menerima kekalahan yang diderita, Malik beserta beberapa prajuritnya bersembunyi di sebuah tempat, mengintai pasukan Islam, dan bermaksud membunuh para panglima Islam. Ketika Zubair mengetahui kelicikan Malik, ia langsung menyerang mereka seorang diri dan berhasil mengobrak-abrik mereka.
Rasulullah sangat sayang kepada Zubair. Beliau bahkan pernah menyatakan kebanggaannya atas perjuangan Zubair. “Setiap nabi mempunyai pembela dan pembelaku adalah Zubair bin Awwam.”
Bukan karena sebagai saudara sepupu dan suami dari Asma binti Abu Bakar yang bergelar “Dzatun Niqatain” (memiliki dua selendang), melainkan karena pengabdiannya yang luar biasa, keberaniannya yang tiada dua, kepemurahannya yang tidak terkira, dan pengorbanan diri serta hartanya untuk Allah, Tuhan alam semesta.
***
Ia seorang yang berbudi tinggi dan berakhlak mulia. Keberanian dan kepemurahannya bagai dua kuda yang digadaikan.
Ia seorang pebisnis sukses. Harta kekayaannya melimpah ruah. Semuanya ia dermakan untuk kepentingan Islam hingga saat mati mempunyai utang.
Kedermawanan, keberanian, dan pengorbanannya bersumber dari sikap tawakalnya yang sempurna kepada Allah. Karena dermawannya, sampai-sampai ia rela mendermakan nyawanya u. Islam.
Sebelum meninggal, ia berpesan kepada anaknya untuk melunasi utang-utangnya, “Jika kamu tidak mampu melunasinya, mintalah kepada pelindungku.”
Sang anak bertanya, “Siapa pelindung yang ayah maksud?”
Zubair menajwab, “Allah! Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Di kemudian hari, sang anak bercerita, “Demi Allah, setiap kali aku kesulitan membayar utangnya, aku berkata, ‘Wahai Pelindung Zubair, lunasilah utangnya.’ Maka Allah melunasi utangnya.”
Di perang Jamal, seperti yang tersebut dalam kisah Thalhah, perjalanan hidup Zubair berakhir.
Setelah ia mengetahui duduk permasalahannya, lalu meninggalkan peperangan, ia dikuntit oleh sejumlah orang yang menginginkan perang tetap berkecamuk. Ketika Zubair sedang melaksanakan shalat, mereka menikam Zubair.
Setelah itu, si pembunuh pergi menghadap Khalifah Ali, mengabarkan bahwa ia telah membunuh Zubair. Ia berharap kabar itu menyenangkan hati Ali karena yang ia tahu, Ali memusuhi Zubair.
Ketika Ali mengetahui ada pembunuh Zubair yang hendak menemuinya, ia langsung berseru, “Katakanlah kepada pembunuh Zubair putra Shafiah bahwa orang yang membunuh Zubair tempatnya di neraka.”
Ketika pedang Zubair ditunjukkan kepada Ali, ia menciumnya. Lalu ia menangis dan berkata, “Demi Allah, sekian lama pedang ini melindungi Nabi dari marabahaya.”
***
Adakah kata yang lebih indah dari kata-kata Khalifah Ali untuk melepas kepergian Zubair?
Salam sejahtera untukmu, wahai Zubair, di alam kematian.
Beribu salam sejahtera untukmu, wahai pembela Rasulullah. [sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW]
7. Abbad bin
Bisyr
Abbad bin
Bisyr adalah seorang sahabat yang tidak asing dalam sejarah dakwah Islam. Ia
tidak hanya termasuk di antara para ‘abid (ahli ibadah), tapi juga tergolong
kalangan para pahlawan yang gagah berani dalam menegakkan kalimah Allah. Tidak
hanya itu, ia juga seorang penguasa yang cakap, berbobot dan dipercaya dalam
urusan harta kekayaan kaum Muslimin.
Ketika Islam
mulai tersiar di Madinah, Abbad bin Bisyr Al-Asyhaly masih muda. Dalam kegiatan
sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap seperti
orang-orang yang sudah dewasa, kendati usianya belum mencapai dua puluh lima
tahun.
Dia
mendekatkan diri kepada seorang dai dari Makkah, yaitu Mush’ab bin Umair. Dalam
tempo singkat, hati keduanya terikat dalam ikatan iman yang kokoh. Abbad mulai
belajar membaca Al-Qur'an kepada Mush’ab. Suaranya merdu, menyejukkan dan
menawan hati. Oleh karena itu, ia terkenal di kalangan para sahabat sebagai
imam dan pembaca Al-Qur'an.
Pada suatu
malam ketika Rasulullah Saw sedang melaksanakan shalat tahajud di rumah Aisyah
yang berdempetan dengan masjid. Terdengar oleh beliau suara Abbad bin Bisyr
membaca Al-Qur'an dengan suara yang merdu.
“Ya Aisyah,
suara Abbad bin Bisyrkah itu?” tanya Rasulullah.
“Betul, ya
Rasulullah!” jawab Aisyah.
Rasulullah
berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!”
Abbad bin
Bisyr turut berperang bersama Rasulullah Saw dalam tiap peperangan yang beliau
pimpin. Dalam peperangan-peperangan itu dia bertugas sebagai pembawa Al-Qur'an.
Ketika
Rasulullah kembali dari Perang Dzatur Riqa’, beliau beristirahat dengan seluruh
pasukan Muslim di lereng sebuah bukit. Setibanya di tempat perhentian di atas
bukit Rasulullah bertanya, “Siapa yang bertugas jaga malam ini?”
Abbad bin
Bisyr dan Ammar bin Yasir berdiri, “Kami, ya Rasulullah!” kata keduanya serentak.
Rasulullah telah menjadikan keduanya bersaudara ketika kaum Muhajirin baru tiba
di Madinah.
Ketika
keduanya keluar ke pos penjagaan, Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa di antara
kita yang berjaga terlebih dahulu?”
“Aku yang
tidur lebih dahulu,” jawab Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh
dari tempat penjagaan.
Dalam
suasana malam yang tenang dan hening, Abbad shalat malam dan larut dalam
manisnya ayat-ayat Al-Qur'an yang dibacanya. Dalam shalat itu ia membaca surat
Al-Kahfi dengan suara memilukan bagi siapa saja yang mendengarnya.
Ketika Abbad
tenggelam dalam mahabbah dengan Rabb-nya, seorang laki-laki datang dengan
tergesa-gesa dan melihat seorang hamba Allah sedang beribadah. Lelaki itu yakin
bahwa Rasulullah ada di tempat itu dan orang yang sedang shalat itu adalah
pengawal yang bertugas jaga.
Orang itu
menyiapkan anak panah dan memanah Abbad dengan tepat mengenai tubuhnya. Abbad
mencabut anak panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan
tenggelam dalam shalat. Orang itu memanah lagi dan mengenai Abbad dengan jitu.
Abbad kembali mencabut anak panah lalu meneruskan ibadahnya. Kemudian orang itu
memanah lagi. Abbad mencabut lagi anak panah dari tubuhnya seperti dua anak
panah terdahulu.
Giliran jaga
bagi Ammar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak ke dekat saudaranya yang tidur,
lalu membangunkannya seraya berkata, “Bangunlah! Aku terluka parah dan lemas.”
Sementara
itu, melihat mereka berdua, si pemanah buru-buru melarikan diri. Ammar menoleh
ke arah Abbad dan melihat darah bercucuran dari tiga luka di tubuhnya.
“Subhanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan aku ketika panah pertama
mengenaimu?” tanyanya keheranan.
“Aku sedang
membaca Al-Qur'an dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum
selesai. Demi Allah, kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas jaga
yang dibebankan Rasulullah, menjaga pos perkemahan kaum Muslimin, biarlah
tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dalam shalat,” jawab Abbad.
Ketika
perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk pada masa Khalifah Abu Bakar
Ash-Shiddiq, khalifah menyiapkan pasukan besar untuk menindas kekacauan yang
ditimbulkan oleh Musailamah Al-Kadzab. Abbad bin Bisyr termasuk pelopor dalam
pasukan tersebut.
Abbad dan
pasukannya menyerbu dan memecah pasukan musuh, serta menebar maut dengan
pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al-Kadzab terdesak
mundur dan melarikan diri ke Kebun Maut.
Di sana,
dekat pagar tembok Kebun Maut, Abbad gugur sebagai syahid. Tubuhnya penuh
dengan luka bekas bacokan pedang, tusukan lembing, dan panah yang menancap.
Para sahabat hampir tak ada yang mengenalinya, kecuali setelah melihat beberapa
tanda di bagian tubuhnya yang lain.
8.Tsabit bit
Qais
Juru Bicara
Rasulullah صلى ا لله
عليه وسلم
Hassan adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam. Sedangkan Tsabit adalah juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam. Kalimat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan mempesonakan.
Hassan adalah penyair Rasulullah dan penyair Islam. Sedangkan Tsabit adalah juru bicara Rasulullah dan juru bicara Islam. Kalimat dan kata-kata yang keluar dari mulutnya kuat, padat, keras, tegas dan mempesonakan.
Pada tahun
datangnya utusan-utusan dari berbagai penjuru Semenanjung Arabia, datanglah ke
Madinah perutusan Bani Tamim yang mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam, “Kami datang akan berbangga diri kepada anda, maka idzinkanlah
kepada penyair dan juru bicara kami menyampaikannya.” Maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wassalam tersenyum, lalu katanya, “Telah kuidzinkan bagi juru bicara
kalian, silakan!”
Juru bicara
mereka Utharid bin Hajib pun berdirilah dan mulai membanggakan
kelebihan-kelebihan kaumnya. Setelah selesai, Nabi pun berkata kepada Tsabit
bin Qeis, “Berdirilah dan jawablah!”
Tsabit
bangkit menjawahnya, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Langit dan bumi
adalah ciptaan-Nya, dan titah-Nya telah berlaku padanya. Ilmu-Nya meliputi
kerajaan-Nya, tidak satu pun yang ada, kecuali dengan karunia-Nya. Kemudian
dengan qodrat-Nya juga, dijadikanNya kita golongan dan bangsa-bangsa. Dan Ia
telah memilih dari makhluk-Nya yang terbaik seorang Rasul-Nya. Berketurunan,
berwibawa dan jujur kata tuturnya. Dibekali-Nya Al-Quran, dibebani-Nya amanat.
Membimbing ke jalan persatuan ummat. Dialah pilihan Allah dari yang ada di alam
semesta. Kemudian ia menyeru manusia agar beriman kepada-Nya, maka berimanlah
orang-orang muhajirin dari kaum dan karib kerabatnya, yakni orang-orang yang
termulia keturunannya, dan yang paling baik amal perbuatannya. Dan setelah itu,
kami orang-orang Anshar, adalah yang pertama pula memperkenankan seruannya.
Kami adalah pembela-pembela Agama Allah dan penyokong-penyokong
Rasul-Nya….”
Di Medan
Jihad
Tsabit telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak perjuangannya menakjubkan, sangat menakjubkan! Dalam peperangan-peperangan menumpas orang-orang murtad, ia selalu berada di barisan terdepan, membawa bendera Anshar, dan menebaskan pedangnya yang tak pernah menumpul dan tak pernah berhenti.
Tsabit telah menyaksikan perang Uhud bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan peperangan-peperangan penting sesudah itu. Corak perjuangannya menakjubkan, sangat menakjubkan! Dalam peperangan-peperangan menumpas orang-orang murtad, ia selalu berada di barisan terdepan, membawa bendera Anshar, dan menebaskan pedangnya yang tak pernah menumpul dan tak pernah berhenti.
Di perang
Yamamah, Tsabit melihat terjadinya serangan mendadak yang dilancarkan oleh
tentara Musailamatul Kaddzab terhadap Muslimin di awal pertempuran, maka
berserulah ia dengan suaranya yang keras memberi peringatan, “Demi Allah, bukan
begini caranya kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam!”
Kemudian ia pergi tak seberapa jauh, dan tiada lama kembali sesudah membalut
badannya dengan balutan jenazah dan memakai kain kafan, lain berseru lagi, “Ya
Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang dibawa mereka,
yakni tentara Musailamah, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang
diperbuat mereka, yakni Kaum Muslimin yang kendor semangat dalam
peperangan!”
Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin.
Maka segeralah bergabung kepadanya Salim bekas sahaya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam, sedang ia adalah pembawa bendera muhajirin.
Keduanya
menggali lobang yang dalam untuk mereka berdua. Kemudian mereka masuk dengan
berdiri di dalamnya, lain mereka timbunkan pasir ke badan mereka sampai
menutupi setengah badan… Demikianlah mereka berdiri tak ubah bagai dua tonggak
yang kokoh, setengah badan mereka terbenam ke dalam pasir dan terpaku ke dasar
lobang, sementara setengah bagian atas dadanya, kening dan kedua lengan mereka
siap menghadapi tentara penyembah berhala dan orang-orang pembohong. Tak
henti-hentinya mereka memukulkan pedang terhadap setiap tentara Musailamah yang
mendekat, sampai akhirnya kedua mereka mati syahid di tempat itu, dan reduplah
sudah sinar sang surya mereka!
Peristiwa
syahidnya kedua pahlawan ra ini bagaikan pekikan dahsyat yang menghimbau Kaum
Muslimin agar segera kembali kepada kedudukan mereka hingga akhirnya mereka
berhasil menghancurkan tentara Musailamah, mereka tersungkur menutupi tanah
bekas mereka berpijak.
9.Suhail bin
Amr
Ketika masih
musyrik ia adalah seorang yang sangat gigih dan keras menentang perjuangan
dakwah Rasulullah Saw. Melihat Suhail berada dalam barisan tawanan Perang
Badar, Umar bin Khathab berkata kepada Rasulullah Saw. “Wahai Rasulullah,
biarkan aku menjatuhkan dua gigi depan Suhail supaya dia tidak menghinamu lagi
sejak saat ini.”
“Wahai Umar” jawab Rasul dengan lembut, “Semoga suatu saat Suhail akan berada dalam kondisi yang engkau sukai”.
“Wahai Umar” jawab Rasul dengan lembut, “Semoga suatu saat Suhail akan berada dalam kondisi yang engkau sukai”.
Saat
perjanjian Hudaibiyah, Suhail bin Amr kembali berkonfrontasi dengan kaum
muslimin. Ia menjadi juru bicara dari kalangan Musyrikin. Perjanjian Hudaibiyah
yang terjadi pada bulan Zulkaedah tahun keenam hijrah (628 M) ditandatangani
antara pihak Musyrikin Mekah yang diwakili oleh Suhail dengan Rasulullah.
Perjanjian ini berisi janji untuk melakukan gencatan senjata selama sepuluh
tahun.
Ucapan Nabi
kepada Umar saat perang Badar tentang Suhail bin Amr terbukti saat Fathu Makkah
tahun 8 H. Setelah masuk islam, kehidupan Suhail benar-benar berubah. Ia
menjadi seorang yang pemurah, dermawan, banyak melaksanakan shalat, puasa,
sedekah, membaca Al-Quran dan menangis karena takut kepada Allah. Ia adalah
seorang pejuang yang gagah berani dan perkasa di medan laga. Ia juga menjadi
seoarang ahli pidato yang sangat terkenal dalam Islam.
Suhail memperoleh syahid pada saat perang Yarmuk tahun 15 H. Ia mati syahid bersama Ikrimah bin Abi Jahal dan Al Harits bin Hisyam. Saat itu mereka bertiga kehausan. Para sahabat membawa air kepada Ikrimah. Melihat Suhail kehausan, Ikrimah meminta memberikan air itu kepada Suhail. Suhail sangat ingin minum. Namun di titik nafas penghabisan itu ia melihat Al-Harits bin Hisyam juga sedang kehausan. Ia minta air itu diberikan saja kepada Al Harits. Ketika air itu tiba, ternyata Al Harits sudah meninggal. Air itu segera dibawa ke Ikrimah lagi, ternyata dia sudah tak bernafas. Langsung dibawa kepada Suhail, ternyata kondisi Suhail pun sama, sudah tak bernyawa.
Suhail memperoleh syahid pada saat perang Yarmuk tahun 15 H. Ia mati syahid bersama Ikrimah bin Abi Jahal dan Al Harits bin Hisyam. Saat itu mereka bertiga kehausan. Para sahabat membawa air kepada Ikrimah. Melihat Suhail kehausan, Ikrimah meminta memberikan air itu kepada Suhail. Suhail sangat ingin minum. Namun di titik nafas penghabisan itu ia melihat Al-Harits bin Hisyam juga sedang kehausan. Ia minta air itu diberikan saja kepada Al Harits. Ketika air itu tiba, ternyata Al Harits sudah meninggal. Air itu segera dibawa ke Ikrimah lagi, ternyata dia sudah tak bernafas. Langsung dibawa kepada Suhail, ternyata kondisi Suhail pun sama, sudah tak bernyawa.
Akhirnya
mereka bertiga syahid tanpa ada satupun yang meminum air tersebut. Meninggal
dalam pengorbanan dan kesetiaan kepada sahabat. Mereka tetap setia hingga nafas
yang terakhir.
10.Mus’ab
bin Umair
Mus’ab bin
Umair adalah sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang sangat berjasa
dan menjadi teladan kepada umat Islam sepanjang zaman. Sebelum memeluk Islam,
dia berperawakan lemah lembut, suka berpakaian kemas, mahal dan indah. Malah
dia selalu bersaing dengan kawan-kawannya untuk berpakaian sedemikian. Keadaan
dirinya yang mewah dan rupanya yang kacak menyebabkan Mus’ab menjadi kegilaan
gadis di Makkah. Mereka sentiasa berangan-angan untuk menjadi isterinya.
Mus’ab
sebenarnya adalah anak yang paling disayangi ibunya berbanding adik adiknya
yang lain. Apa sahaja permintaannya tidak pernah ditolak. Oleh itu tidaklah
mengherankan apabila ibunya begitu marah selepas mendapat tahu Mus’ab telah
menganut Islam. Ibunya telah mengurung dan menyiksa Mus’ab selama beberapa hari
dengan harapan dia akan meninggalkan Islam. Tindakan ibunya tidak sedikit pun
menimbulkan rasa takut pada Mus’ab, sebaliknya dia tidak jemu-jemu membujuk
ibunya memeluk Islam kerana sayang pada ibunya. Mus’ab membuat pelbagai usaha
tetapi semua tindakannya hanya menambahkan lagi kemarahan dan kebencian ibunya.
Pada suatu hari Mus’ab melihat ibunya dalam keadaan pucat lesu. Dia pun menanyakan sebabnya. Kata ibunya, dia telah berniat di hadapan berhala bahwa dia tidak akan makan dan minum sehingga Mus’ab meninggalkan Islamnya. Mendengar jawaban ibunya, Mus’ab berkata kepada ibunya: “Andaikata ibu mempunyai seratus nyawa sekalipun, dan nyawa ibu keluar satu demi satu, nescaya saya tetap tidak akan meninggalkan Islam sama sekali”.
Mendengar jawaban Mus’ab yang begitu tegas dan berani, ibunya pun mengusir Mus’ab dari rumah, maka Tinggallah Mus’ab bersama-sama Rasulullah dan sahabat-sahabat yang sangat daif ketika itu. Untuk meneruskan kehidupannya, Mus’ab berusaha sendiri bekerja mencari nafkah dengan menjual kayu api. Apabila sampai berita ini kepada ibunya, dia merasa amat marah dan malu kerana kebangsawanannya telah dicemari oleh sikap Mus’ab. Adik-beradik Mus’ab juga sering menemui dan memujuknya supaya kembali menyembah berhala. Tetapi Mus’ab tetap mempertahankan keimanannya.
Pada suatu hari Mus’ab melihat ibunya dalam keadaan pucat lesu. Dia pun menanyakan sebabnya. Kata ibunya, dia telah berniat di hadapan berhala bahwa dia tidak akan makan dan minum sehingga Mus’ab meninggalkan Islamnya. Mendengar jawaban ibunya, Mus’ab berkata kepada ibunya: “Andaikata ibu mempunyai seratus nyawa sekalipun, dan nyawa ibu keluar satu demi satu, nescaya saya tetap tidak akan meninggalkan Islam sama sekali”.
Mendengar jawaban Mus’ab yang begitu tegas dan berani, ibunya pun mengusir Mus’ab dari rumah, maka Tinggallah Mus’ab bersama-sama Rasulullah dan sahabat-sahabat yang sangat daif ketika itu. Untuk meneruskan kehidupannya, Mus’ab berusaha sendiri bekerja mencari nafkah dengan menjual kayu api. Apabila sampai berita ini kepada ibunya, dia merasa amat marah dan malu kerana kebangsawanannya telah dicemari oleh sikap Mus’ab. Adik-beradik Mus’ab juga sering menemui dan memujuknya supaya kembali menyembah berhala. Tetapi Mus’ab tetap mempertahankan keimanannya.
Sewaktu
ancaman dan seksaan kaum Quraisy ke atas kaum Muslim menjadi-jadi, Rasulullah
telah mengarahkan supaya sebahagian sahabat berhijrah ke Habysah. Mus’ab turut
bersama-sama rombongan tersebut. Sekembalinya dari Habsyah, keadaan beliau
semakin berubah. Kurus kering dan berpakaian compang-camping lantaran
penyiksaan Quraisy ke atasnya. Keadaan itu menimbulkan rasa sedih di dalam hati
Rasulullah. Kata-kata Rasulullah mengenai Mus’ab sering disebut-sebut oleh
sahabat:, “Segala puji bagi bagi Allah yang telah menukar dunia dengan
penduduknya. Sesungguhnya dahulu saya melihat Mus’ab seorang pemuda yang hidup
mewah ditengah-tengah ayah bondanya yang kaya raya. Kemudian dia meninggalkan
itu semua kerana cinta kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Apabila ibu
Mus’ab mendapat tahu mengenai kepulangannya, dia memujuk anaknya supaya kembali
kepada berhala. Dia mengutuskan adik Mus’ab yang bernama Al-Rum untuk
memujuknya. Namun Mus’ab tetap dengan pendiriannya. Bagaimanapun tanpa
pengetahuan ibunya, Al-Rum juga sudah memeluk Islam tetapi dia merahsiakannya.
Mus’ab, adalah orang pertama diutus oleh Nabi ke Madinah untuk berdakwah. Hasil
dakwahnya, pada tahun tersebut 12 orang Madinah Masuk Islam dan bertemu dengan
Nabi di Musim Haji untuk mengikat janji setia dengan Nabi (Perjanjian
A’qabah 1). Pada tahun berikutnya 70 lagi orang Madinah masuk Islam dan
datang ke Mekah di musim Haji untuk berjanji setia dengan Nabi(Perjanjian
A’qabah 2). Kejayaan cemerlangnya inilah, pembuka jalan kepada Nabi dan
para sahabat untuk berhijrah ke Madinah.
Sewaktu terjadi peperangan Uhud, Mus’ab ditugaskan memegang bendera-bendera Islam. Peringkat kedua peperangan telah menyebabkan kekalahan di pihak tentera Muslimin. Tetapi Mus’ab tetap tidak berganjak dari tempatnya dan menyeru: Muhammad adalah Rasul, dan sebelumnya telah banyak diutuskan rasul.
Sewaktu terjadi peperangan Uhud, Mus’ab ditugaskan memegang bendera-bendera Islam. Peringkat kedua peperangan telah menyebabkan kekalahan di pihak tentera Muslimin. Tetapi Mus’ab tetap tidak berganjak dari tempatnya dan menyeru: Muhammad adalah Rasul, dan sebelumnya telah banyak diutuskan rasul.
Ketika itu,
seorang tentera berkuda Quraisy, Ibn Qamiah menyerbu ke arah Mus’ab dan menetak
tangan kanannya yang memegang bendera Islam. Mus’ab menyambut bendera itu
dengan tangan kirinya sambil mengulang-ulang laungan tadi. Laungan itu
menyebabkan Ibn Qamiah bertambah marah dan menetak tangan kirinya pula. Mus’ab
terus menyambut dan memeluk bendera itu dengan kedua-dua lengannya yang kudung.
Akhirnya Ibn Qamiah menikamnya dengan tombak. Maka gugurlah Mus’ab sebagai
syuhada’ Uhud.
Al-Rum, Amir
ibn Rabiah dan Suwaibit ibn Sad telah berusaha mendapatkan bendera tersebut
daripada jatuh ke bumi. Al- Rum telah berjaya merebutnya dan menyaksikan
sendiri syahidnya Mus’ab. Al- Rum tidak dapat lagi menahan kesedihan melihat
kesyahidan abangnya. Tangisannya memenuhi sekitar bukit Uhud. Ketika hendak
dikafankan, tidak ada kain yang mencukupi untuk menutup jenazahnya. Keadaan itu
menyebabkan Rasulullah tidak dapat menahan kesedihan hingga bercucuran air mata
baginda. Keadaannya digambarkan dengan kata-kata yang sangat masyhur:
“Apabila ditarik kainnya ke atas, bahagian kakinya terbuka. Apabila ditarik kainnya ke bawah, kepalanya terbuka. Akhirnya, kain itu digunakan untuk menutup bahagian kepalanya dan kakinya ditutup dengan daun-daun kayu.”
“Apabila ditarik kainnya ke atas, bahagian kakinya terbuka. Apabila ditarik kainnya ke bawah, kepalanya terbuka. Akhirnya, kain itu digunakan untuk menutup bahagian kepalanya dan kakinya ditutup dengan daun-daun kayu.”
Demikian
kisah kekuatan peribadi seorang hamba Allah dalam mempertahankankebenaran dan
kesucian Islam. Beliau jugalah merupakan pemuda dakwah yangpertama mengetuk
setiap pintu rumah di Madinah sebelum berlakunya hijrah.
Kisahnya
mempamerkan usaha dan pengorbanannya yang tinggi untuk menegakkan kebenaran.
Semua itu adalah hasil proses tarbiyah yang dilaksanakan oleh Rasulullah.
Mus’ab telah menjadi saksi kepada kita akan ketegasan mempertahankan aqidah yang tidak berbelah bagi terhadap Islam sekalipun teruji antara kasih sayang kepada ibunya dengan keimanan. Mus’ab lebih mengutamakan kehidupan Islam yang serba sederhana berbanding darjat dan kehidupan serba mewah. Dia telah menghabiskan umurnya untuk Islam, meninggalkan kehebatan dunia, berhijrah zahir dan batin untuk mengambil kehebatan ukhrawi yang sejati sebagai bekalan akhirat.
Mus’ab telah menjadi saksi kepada kita akan ketegasan mempertahankan aqidah yang tidak berbelah bagi terhadap Islam sekalipun teruji antara kasih sayang kepada ibunya dengan keimanan. Mus’ab lebih mengutamakan kehidupan Islam yang serba sederhana berbanding darjat dan kehidupan serba mewah. Dia telah menghabiskan umurnya untuk Islam, meninggalkan kehebatan dunia, berhijrah zahir dan batin untuk mengambil kehebatan ukhrawi yang sejati sebagai bekalan akhirat.
11. Sumayyah
Dialah
Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughiroh. Beliau
dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekkah sehingga
tidak ada kabilah yang dapat membela, menolak dan mencegah kezaliman atas
dirinya, karena dia hidup sebatang kara. Posisinya menjadi sulit dibawah
naungan aturan yang berlaku pada masa Jahiliyah.
Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Huzaifah. Dia akhirnya dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini. Beliau hidup bersamanya dalam suasana yang tenteram. Tidak berselang lama dari pernikahan tersebut, merekapun dikaruniai dua orang anak, yaitu ‘Ammar dan Ubaidullah
Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindungannya kepada Bani Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Huzaifah. Dia akhirnya dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah, tokoh yang kita bicarakan ini. Beliau hidup bersamanya dalam suasana yang tenteram. Tidak berselang lama dari pernikahan tersebut, merekapun dikaruniai dua orang anak, yaitu ‘Ammar dan Ubaidullah
Tatkala
‘Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki beliau
mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam kepada beliau. Maka berfikirlah ‘Ammar bin Yasir sebagaimana
yang difikirkan oleh penduduk Mekkah, sehingga kesungguhan beliau di dalam
berfikir dan lurusnya fitrah beliau, menggiringnya untuk memeluk Dienul
Islam.
‘Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya.
‘Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya.
Beliau
menceritakan kejadian yang beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian menawarkan kepada keduanya untuk
mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata Yasir dan Sumayyah menyahut
dakwah yang penuh berkah tersebut dan bahkan mengumumkan keislamannya sehingga
Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.
Dari sinilah
dimulai sejarah yang agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan permulaan
dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk pertama kalinya.
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena ‘Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir menyikapinya dengan menentang dan memusuhi mereka.
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena ‘Ammar dan keluarganya tidak memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya dengan kuat sehingga orang-orang kafir menyikapinya dengan menentang dan memusuhi mereka.
Bani Makhzum
segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan bermacam-macam
siksaan agar mereka keluar dari dien mereka. Mereka memaksa dengan cara
menyeret mereka ke padang pasir tatkala cuaca sangat panas dan menyengat.
Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan pasir yang
sangat panas, kemudian meletakkan diatas dadanya sebongkah batu yang berat,
akan tetapi tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan
Ahad….Ahad…., beliau ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang diucapkan juga
oleh Yasir, ‘Ammar dan Bilal.
Suatu ketika
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menyaksikan keluarga muslim tersebut
yang tengah tersiksa secara kejam, maka beliau menengadahkan tangannya ke
langit dan berseru :
"Bersabarlah keluarga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga"
Sumayyah mendengar seruan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertambah tegar dan optimis dengan kewibawaan imannya. Dia mengulang-ulang dengan berani: "Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar".
"Bersabarlah keluarga Yasir karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga"
Sumayyah mendengar seruan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertambah tegar dan optimis dengan kewibawaan imannya. Dia mengulang-ulang dengan berani: "Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar".
Sehingga
bagi beliau kematian adalah sesuatu yang sepele dalam rangka memperjuangkan
aqidahnya. Di hatinya telah dipenuhi kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla, maka dia
menganggap kecil setiap siksaan yang dilakukan oleh para Thaghut yang zhalim,
yang mana mereka tidak kuasa menggeser keimanan dan keyakinannya sekalipun
hanya satu langkah semut.
Sementara
Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar dari
istrinya. Sumayyah pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan
suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam.
Tatkala para
Thaghut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang oleh
Sumayyah maka musuh Allah, Abu jahal melampiaskan keberangannya kepada Sumayyah
dengan menusukkannya sangkur yang berada dalam genggamannya ke tubuhnya. Maka
terbanglah nyawa beliau dari raganya yang beriman dan bersih. Dan beliau adalah
wanita pertama yang syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah memberikan contoh
yang baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan, yang mana
beliau telah mengerahkan segala apa yang beliau miliki, dan menganggap remeh
kematian dalam rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan
nyawanya yang mahal dalam rangka meraih keridhaan Rabb-nya. "Dan
mendermakan jiwa adalah puncak tertinggi dari kedermawanan".
(Diambil
dari buku Mengenal Shahabiah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan sedikit
perubahan, penerbit Pustaka AT-TIBYAN)
12. Amar bin
YAsir
Sesungguhnya
Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka membaiatnya di
bawah pohon…(Al-Fath : 18). Ayat ini menurut para mufasir berhubungan para
sahabat Nabi yang memberikan baiatnya kepada Rasulullah. Salah satu dari mereka
itu bernama Ammar Bin Yasir. Ia seorang putra dari Sumayyah yang dikenal
sebagai syahidah pertama dalam Islam. Ammar berkulit sawo matang dan berperawakan
tinggi. Kedua matanya hitam kebiru-biruan. Pundaknya bidang dan rambutnya
lebat.
Ia masuk Islam ketika berada di Ka`bah tidak sengaja mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Muhammad SAW. Karena terasa berbeda dengan lantunan syair-syair Arab maka Ammar menelusurinya. Maka larangan untuk tidak mendekati Muhammad SAW tidak digubrisnya. Akhirnya Ammar pun sengaja datang ke Darul Arqam. Di depan rumah itu Ammar kepergok Suhaib Bin Sanan.
“Mau apa kau ke sini,” tanya Ammar mendahului. ”Aku mau menemui Muhammad dan ingin mendengarkan ajaran-ajarannya,” jawab Suhaib singkat. “Aku pun begitu,” ungkap Ammar. Dan setelah itu mereka masuk dan mendengarkan tausiyah Rasulullah hingga menjelang malam. Besoknya Ammar datang lagi dan masuk Islam. Ia menghafal ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah SAW. Ia membacanya secara lunak. Hari berikutnya membaca secara keras dan makin keras hingga terdengar ke luar rumah.
Ammar selain berjasa dalam membangun masjid pertama, Quba, juga ikut berjuang bersama Nabi dalam perang Badr, Uhud, Khaibar, Khandak dan peperangan lainnya. Ammar bersama orangtuanya, Sumayyah Binti Kahiyyat dan Yasir pernah disiksa oleh Abu Jahal Bin Hisyam ditengah-tengah padang pasir, ramdha. Saat tahu tentang itu, Rasulullah datang dan berkata, “hai keluarga Yasir, sabarlah! kalian dijanjikan pahala surga.”
Bahkan mereka diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan agama Islam. Kedua orangtua Ammar, Yasir dan Sumayah, tetap berpegang teguh memegang Islam dengan berani berujar di hadapan para musyrikin, “kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Mendengar itu para musyrikin marah dan akhirnya membunuh keduanya dengan tombak. Atas tindakan itu, akhirnya Ammar tidak bisa apa-apa selain menuruti kaum musyrikin. Ia dihadapan para pemuka musyrikin melontarkan cacian dan makiannya kepada Rasulullah dan langsung menyatakan keluar dari agama Islam. Kejadian itu pun diketahui Nabi. Selang beberapa hari setelah kejadian itu turunlah ayat kepada Nabi, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa)” (QS An-nahl:106). Berdasarkan ayat ini umat Islam pada waktu itu diizinkan untuk melakukan taqiyah dalam rangka menjaga keselamatan. Inilah yang dilakukan Ammar yang terpaksa mencaci maki Nabi dan menyatakan keluar dari Islam untuk penyelamatan jiwanya. Dan tindakan taqiyah yang dilakukan Ammar tadi dibenarkan oleh Nabi, “Kalau mereka kembali menyiksamu lagi, ucapkan cacianmu padaku; Allah akan mengampunimu dikarenakan kamu terpaksa melakukannya.”
Ada hadits lain yang berkenaan dengan Ammar, yaitu dari Khalid Bin Walid yang berkata bahwa dirinya pernah bertengkar dengan Ammar. Lalu mengadukannya kepada Nabi. Saat itu Rasulullah SAW langsung berkata, “Hai Khalid, siapa yang memaki-maki Ammar Bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.” Inilah pujian yang menyatakan kedudukan Ammar Bin Yasir dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Selain tercatat sebagai muslim yang taat, Ammar juga termasuk orang berusaha mendamaikan pertengkaran antara Anshar dan Muhajirin saat peristiwa Saqifah, yang merebutkan kepemimpinan Islam pasca wafat Nabi. Orang-orang Anshar mengajukan Saad Bin Ubadah dan orang-orang muhajirin menunjuk Abu Bakar. Ammar ketika melihat perseturuan itu memberikan nasehat kepada kedua kelompok tersebut. Sebagai jalan keluarnya, Ammar mengadakan rapat yang disebut Majelis Syura. Konsep inilah bukti kontribusi gagasan/ide dari Ammar Bin Yasir pada Islam. Ammar juga pada masa khalifah Umar Bin Khattab diamanahi sebagai gubernur Kufah, Irak.
Bahkan pada masa khalifah Utsman Bin Affan, Ammar memberikan nasehat kepadanya. Terutama masalah pengangkatan pejabat-pajabat teras yang berasal dari keluarga Utsman. Atas tindakannya itu Ammar dianggap orang yang berusaha melakukan sabotase terhadap pemerintah. “Alhamdulillah, ternyata penegak kebenaran selalu dihinakan,” ucap Ammar ketika Hasyim Bin Walid Bin Mughira mengejeknya. Kemudian dalam buku Syarh Nahjul Balaghah dikabarkan tubuhnya dipukuli beberapa kaum musyrikin hingga pingsan. Dalam keadaan itulah sebagian kaum muslimin membawanya ke rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi. Ammar pingsan cukup lama hingga beberapa waktu tidak shalat—karena tidak sadar. Ketika sadar dari pingsan Ammar berkata, “Alhamdulillah bukan sekali ini aku disakiti, dahulu juga dianiaya ketika membela Rasulullah.”
Menurut sejarah Ammar Bin Yasir wafat dimasa khalifah Ali Bin Abi Thalib, yaitu pada usia 94 tahun, saat perang Siffin kepalanya terlepas dari badan. Ali Bin Abi Thalib kemudian menshalatkan dan menguburkannya di Riqqah, 300 km dari kota Damaskus, Suriyah.
Begitulah perjuangan seorang muslim di masa awal Islam. Meskipun penuh cobaan dari kaum musyrikin, tetapi kepatuhan dan ketangguhannya dalam memeluk Islam betul-betul sebuah teladan yang harus diikuti umat Islam.
Ia masuk Islam ketika berada di Ka`bah tidak sengaja mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan Muhammad SAW. Karena terasa berbeda dengan lantunan syair-syair Arab maka Ammar menelusurinya. Maka larangan untuk tidak mendekati Muhammad SAW tidak digubrisnya. Akhirnya Ammar pun sengaja datang ke Darul Arqam. Di depan rumah itu Ammar kepergok Suhaib Bin Sanan.
“Mau apa kau ke sini,” tanya Ammar mendahului. ”Aku mau menemui Muhammad dan ingin mendengarkan ajaran-ajarannya,” jawab Suhaib singkat. “Aku pun begitu,” ungkap Ammar. Dan setelah itu mereka masuk dan mendengarkan tausiyah Rasulullah hingga menjelang malam. Besoknya Ammar datang lagi dan masuk Islam. Ia menghafal ayat-ayat Al-Quran yang disampaikan Rasulullah SAW. Ia membacanya secara lunak. Hari berikutnya membaca secara keras dan makin keras hingga terdengar ke luar rumah.
Ammar selain berjasa dalam membangun masjid pertama, Quba, juga ikut berjuang bersama Nabi dalam perang Badr, Uhud, Khaibar, Khandak dan peperangan lainnya. Ammar bersama orangtuanya, Sumayyah Binti Kahiyyat dan Yasir pernah disiksa oleh Abu Jahal Bin Hisyam ditengah-tengah padang pasir, ramdha. Saat tahu tentang itu, Rasulullah datang dan berkata, “hai keluarga Yasir, sabarlah! kalian dijanjikan pahala surga.”
Bahkan mereka diancam akan dibunuh jika tidak meninggalkan agama Islam. Kedua orangtua Ammar, Yasir dan Sumayah, tetap berpegang teguh memegang Islam dengan berani berujar di hadapan para musyrikin, “kami yang sudah suci dengan Islam tidak mau mengotorinya lagi.” Mendengar itu para musyrikin marah dan akhirnya membunuh keduanya dengan tombak. Atas tindakan itu, akhirnya Ammar tidak bisa apa-apa selain menuruti kaum musyrikin. Ia dihadapan para pemuka musyrikin melontarkan cacian dan makiannya kepada Rasulullah dan langsung menyatakan keluar dari agama Islam. Kejadian itu pun diketahui Nabi. Selang beberapa hari setelah kejadian itu turunlah ayat kepada Nabi, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (Dia tidak berdosa)” (QS An-nahl:106). Berdasarkan ayat ini umat Islam pada waktu itu diizinkan untuk melakukan taqiyah dalam rangka menjaga keselamatan. Inilah yang dilakukan Ammar yang terpaksa mencaci maki Nabi dan menyatakan keluar dari Islam untuk penyelamatan jiwanya. Dan tindakan taqiyah yang dilakukan Ammar tadi dibenarkan oleh Nabi, “Kalau mereka kembali menyiksamu lagi, ucapkan cacianmu padaku; Allah akan mengampunimu dikarenakan kamu terpaksa melakukannya.”
Ada hadits lain yang berkenaan dengan Ammar, yaitu dari Khalid Bin Walid yang berkata bahwa dirinya pernah bertengkar dengan Ammar. Lalu mengadukannya kepada Nabi. Saat itu Rasulullah SAW langsung berkata, “Hai Khalid, siapa yang memaki-maki Ammar Bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.” Inilah pujian yang menyatakan kedudukan Ammar Bin Yasir dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Selain tercatat sebagai muslim yang taat, Ammar juga termasuk orang berusaha mendamaikan pertengkaran antara Anshar dan Muhajirin saat peristiwa Saqifah, yang merebutkan kepemimpinan Islam pasca wafat Nabi. Orang-orang Anshar mengajukan Saad Bin Ubadah dan orang-orang muhajirin menunjuk Abu Bakar. Ammar ketika melihat perseturuan itu memberikan nasehat kepada kedua kelompok tersebut. Sebagai jalan keluarnya, Ammar mengadakan rapat yang disebut Majelis Syura. Konsep inilah bukti kontribusi gagasan/ide dari Ammar Bin Yasir pada Islam. Ammar juga pada masa khalifah Umar Bin Khattab diamanahi sebagai gubernur Kufah, Irak.
Bahkan pada masa khalifah Utsman Bin Affan, Ammar memberikan nasehat kepadanya. Terutama masalah pengangkatan pejabat-pajabat teras yang berasal dari keluarga Utsman. Atas tindakannya itu Ammar dianggap orang yang berusaha melakukan sabotase terhadap pemerintah. “Alhamdulillah, ternyata penegak kebenaran selalu dihinakan,” ucap Ammar ketika Hasyim Bin Walid Bin Mughira mengejeknya. Kemudian dalam buku Syarh Nahjul Balaghah dikabarkan tubuhnya dipukuli beberapa kaum musyrikin hingga pingsan. Dalam keadaan itulah sebagian kaum muslimin membawanya ke rumah Ummu Salamah, salah seorang istri Nabi. Ammar pingsan cukup lama hingga beberapa waktu tidak shalat—karena tidak sadar. Ketika sadar dari pingsan Ammar berkata, “Alhamdulillah bukan sekali ini aku disakiti, dahulu juga dianiaya ketika membela Rasulullah.”
Menurut sejarah Ammar Bin Yasir wafat dimasa khalifah Ali Bin Abi Thalib, yaitu pada usia 94 tahun, saat perang Siffin kepalanya terlepas dari badan. Ali Bin Abi Thalib kemudian menshalatkan dan menguburkannya di Riqqah, 300 km dari kota Damaskus, Suriyah.
Begitulah perjuangan seorang muslim di masa awal Islam. Meskipun penuh cobaan dari kaum musyrikin, tetapi kepatuhan dan ketangguhannya dalam memeluk Islam betul-betul sebuah teladan yang harus diikuti umat Islam.
13.Zaid bin
Khattab
Zaid bin
Khattab adalah saudara Umar bin Khattab. Ia lebih dahulu masuk Islam dan baik
Islamnya. Ia seorang mujahid yang banyak kembali kepada Allah.
Suatu hari Rasulullah SAW menyampaikan sebuah pernyataan, "Diantara kalian ada seorang laki-laki yang kecemasannya terhadap neraka lebih besar daripada gunung Uhud."
Pada peristiwa setelah wafatnya rasul, timbul gerakan yang mengkalim bahwa Musailamah adalah nabi. Adalah Rajjal bin Anfawah yang menipu banyak orang dengan mengatakan : bahwa aku mendengar Muhammad berkata, bahwa ia telah bersama-sama dengan Musailamah bin hubaib dalam hal kenabian."
Zaid bin Khattab adalah orang yang paling cemas terhadap gerakan Musailamah dan Rajjal. Ia begitu berani mati syahid dengan berbagai cara.
Pada perang Uhud baju perangnya hilang, maka Umar bin Khattab menawari dia untuk mengenakan baju perangnya.
Zaid berkata, "aku ingin mereguk manisnya mati syahid sebagaimana yang engkau inginkan. Maka a pun perang tanpa pakaian perang.
Pada peristiwa Perang Yamamah prajurit muslim memerangi tentara Musailamah. Ia melihat prajurit muslim ketakutan karena banyaknya yang terbunuh sebagai syuhada. maka ia berpekik: wahai saudara-saudara..kalian harus teguh..hanyamlah musuhmu..majulah kedepan. Demi allah aku tidak akan berbicara sampai Allah mengalahkan mereka atau sampai aku menjumpai Allah lalu aku bicara kepada-Nya dengan argumen yang akan aku sampaikan."
Ia lalu mencari Musailamah, tetapi pasukannya menyembunyikannya. Maka ia mencari Rajjal sampai ia menemukannya lalu menebas kepalanya yang membuat rasa takut muncul pada diri Musailamah dan Mahkan bin Thufail.
Ketika tentara Islam mengetahui kematian Rajjal, maka mereka yang terluka bangkit dan berperang dengan gigih, sementara Zaid rindu akan syurga. Maka ia menerobos pasukan sampai ia tewas dalam keadaan syahid.
Pulanglah prajurit Islam tanpa Zaid. Dan menangislah Umar bin Khattab seraya berkata, "Semoga Allah menghujani rahmat kepada Zaid. Ia telah mendahului aku memeluk Islam dan telah mendahului aku menjadi syahid."
Umar selalu mengenangnya, ia berkata, "Tidaklah angin berhembus melainkan aku mencium bau harum Zaid."
Semoga Allah meridhoi Zaid bin Khattab.
Suatu hari Rasulullah SAW menyampaikan sebuah pernyataan, "Diantara kalian ada seorang laki-laki yang kecemasannya terhadap neraka lebih besar daripada gunung Uhud."
Pada peristiwa setelah wafatnya rasul, timbul gerakan yang mengkalim bahwa Musailamah adalah nabi. Adalah Rajjal bin Anfawah yang menipu banyak orang dengan mengatakan : bahwa aku mendengar Muhammad berkata, bahwa ia telah bersama-sama dengan Musailamah bin hubaib dalam hal kenabian."
Zaid bin Khattab adalah orang yang paling cemas terhadap gerakan Musailamah dan Rajjal. Ia begitu berani mati syahid dengan berbagai cara.
Pada perang Uhud baju perangnya hilang, maka Umar bin Khattab menawari dia untuk mengenakan baju perangnya.
Zaid berkata, "aku ingin mereguk manisnya mati syahid sebagaimana yang engkau inginkan. Maka a pun perang tanpa pakaian perang.
Pada peristiwa Perang Yamamah prajurit muslim memerangi tentara Musailamah. Ia melihat prajurit muslim ketakutan karena banyaknya yang terbunuh sebagai syuhada. maka ia berpekik: wahai saudara-saudara..kalian harus teguh..hanyamlah musuhmu..majulah kedepan. Demi allah aku tidak akan berbicara sampai Allah mengalahkan mereka atau sampai aku menjumpai Allah lalu aku bicara kepada-Nya dengan argumen yang akan aku sampaikan."
Ia lalu mencari Musailamah, tetapi pasukannya menyembunyikannya. Maka ia mencari Rajjal sampai ia menemukannya lalu menebas kepalanya yang membuat rasa takut muncul pada diri Musailamah dan Mahkan bin Thufail.
Ketika tentara Islam mengetahui kematian Rajjal, maka mereka yang terluka bangkit dan berperang dengan gigih, sementara Zaid rindu akan syurga. Maka ia menerobos pasukan sampai ia tewas dalam keadaan syahid.
Pulanglah prajurit Islam tanpa Zaid. Dan menangislah Umar bin Khattab seraya berkata, "Semoga Allah menghujani rahmat kepada Zaid. Ia telah mendahului aku memeluk Islam dan telah mendahului aku menjadi syahid."
Umar selalu mengenangnya, ia berkata, "Tidaklah angin berhembus melainkan aku mencium bau harum Zaid."
Semoga Allah meridhoi Zaid bin Khattab.
14.Abdullah
bin Zubair
Nama
lengkapnya Abdullah bin az-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul
Uzza bi Qushai. Beliau adalah anak dari bibi Rasulullah. Ibunya bernama Asma
binti Abu Bakar as-Siddiq. Pangilannya Abu Bakar. Gelarnya ‘Aidzullah’ (yang
berlindung pada Allah). Ayahnya az-Zubair bin al-Awwam adalah termasuk pengikut
setia (hawariy) Rasulullah dan salah satu dari sepuluh sahabat yang dikabarkan
akan masuk surga.
Mengenai kelahirannya, Asma (ibunya) bercerita bahwa suatu hari ketika sedang hamil tua keluar rumah. kira-kira kandungan itu sudah berumur sembilan bulan. Ibunya pergi ke Madinah dan berhenti di Quba ketika dirinya merasa bayinya hendak keluar. Firasatnya itu betul. Tak lama setelah berhenti sejenak di Quba, bayinya lahir. Setelah ibunya membawa bayi itu ke tempat Rasulullah agar didoakan. Rasulullah pun mengunyah kurma hingga lembut kemudian menyuapkan kepada bayi itu sembari berdo’a. Jadi pertama-pertama yang masuk di tenggorokan bayi itu adalah suapan Rasulullah. Bayi itu diberinama Abdullah. Itulah awal kelahiran bayi muslim dalam Islam setelah terjadi peristiwa hijrah ke Madinah yang langsung disuapi dan dimanai Rasulullah.
Kelahirannya disambut meriah dan riang gembira oleh umat Islam yang ada di Madinah. kenapa demikian? Konon ceritanya bahwa orang-orang Yahudi telah menyihir hingga umat Islam tidak melahirkan bayi. Beruntunglah Abdullah mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah sejak kecil. Maka tidak heran jika pada umur 7 atau 8 tahun memberikan sumpah setia kepada Rasulullah untuk tegaknya ajaran Islam. kehadirannya disambut Rasulullah dengan senyum ketika dirinya menyatakan diri untuk memberikan sumpah setia (bai’ah) (lihat Shohih Bukhri; 2146).
Sejak dirinya memberikan sumpah setia (bai’ah), waktunya digunakan untuk menimba ilmu langsung dari Rasulullah. Seakan-akan tidak ada jalan melainkan jalan ke rumah Rasulullah yang dituju. Apalagi Aisyah, istri Rasulullah, adalah bibinya yang baik hati. Sehingga dirinya merasa benar-benar seperti anaknya. Maka tidak mengherankan jika beliau diantara para sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah langsung. Dan juga dari ayah, paman (Abu Bakar), ibu dan bibinya (Aisyah). Dalam masalah ibadah beliau juga sangat tekun dan istiqomah serta penuh khusyu’. Mujahid berkata, “Ibn Zubair jika sedang sholat badanya seperti tiang (khusyu’). Seperti halnya Abu Bakar.” Tsabit al-Banany bercerita, “Suatu hari saya lewat di samping Ibn Zubair yang berada di belakang tempat sedang sholat. Dirinya seperti kayu yang ditancapkan; tidak bergerak (karena khusyu’).
Dari Utsmanbin Tholhah berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dapat dikalahkan dari Ibn Zuabair; dalam keberanian, ibadah dan kepandian beretorika (balaghoh).” Dari ibunya berkata, “Ibn Zubair selalu sholat malam dan berpuasa di siang hari.” Dari Muslim bin Niyaqb berkata; “Ibn Zubair suatu hari ruku’. Waktu itu kami membaca surah al-Baqoroh, Ali Imron, an-Nisa dan al-Maidah. (Hingga surah itu selesai dibaca) beliau belum mengangkat kepalanya.” Tidak mengherankan jika di kalangan sahabat beliau dikenal dengan sebutan ‘Hamam al-Masjid”(merpati masjid).
Kurang lebih 8 tahun 4 bulan beliau bergaul dekat dengan Rasulullah. Setelah beliau ditinggal Rasulullah menghadap sang Kholik.
Suatu hari beliau sedang bermain dengan anak-anak seusinya. Peristiwa itu terjadi pada waktu kholifah Umar bin Khottob. Ketika Umar datang, kawan-kawannya itu lari menjauh sementara dirinya masih berdiri di tempatnya. Umar bertanya, “Kenapa tidak ikut lari bersama kawan-kawanmu?” beliau menjawab, “Saya tidak berbuat jahat dan dosa, kenapa harus lari. Dan jalan pun tidak sempit hingga aku beri jalan untukmu.” Mendengar jawab itu, Umar pun kemudian pergi melewati jalan itu.
Mengenai keberaniannya, Mush’ab bin Abdullah berkata, “Ayahku bercerita padaku dan juga az-Zubair bin Hubaib. Suatu hari Ibn az-Zubair berkata. “Kelompok Jurjair dengan jumlah tentara 120 ribu orang menyerang kami. Kemudian mereka mencoba mengepung kami yang jumlahnya cuma 20 ribu.” Dalam riwayat Hisyam bin Urwah diceritakan bahwa bahwa pada waktu peran Jamal, Ibn az-Zubair diambil di tenggah-tengah orang-orang yang terbunuh (beliau masih hidup). Tubuhnya terkena luka parah akibat terkena 70 lebih pukulan dan tusukan.”
Dari Urwah diceritakan bahwa Ibn Zubair ikut membonceng kuda di belakang ayahnya pada waktu terjadi perang Yarmuk. Waktu itu berumur 20 tahun. Beliau juga ikut dalam penaklukan Afrika pada masa kholifah Utsman. Begitu juga beliau menjaga Kholifah Utsman di rumahnya.
Setelah wafatnya Muawwiyah bin Abu Sufyan, kekholifahan digantikan anaknya, Yazid. Yazid menyuruh beliau untuk memberikan sumpah setia atas kekholifahannya itu. Hanya saja beliau enggan memenuhi permintaannya. Beliau lebih memilih pergi jauh ke Mekkah. Sikapnya itu membuat Yazid marah. Tapi apa hendak dikata. Beliau memang enggan.
Beberapa tahun kemudian akhirnya Yazid wafat. Maka beliau dibai’ah untuk mengantikan khilafah itu. Beliau pun menerima. Beliau memerintah di Mesir, Hijaz, Yaman, Iraq, Khurosan dan sebagian besar Syam. Semua penduduk patuh dan taat kepada beliau. Madinah Munawaroh dijadikan sebagai ibuk kota pemerintahannya. Masa kekholifahannay hingga tahun 9 Hijriah.
Diantara proyek pembangunan yang beliau lakukan adalah pembaharuan dan renovasi Ka’bah dengan tidak membuah tiang-tiang penting yang diletakkan nabi Ibrahim. Prestasi lain yaitu beliau orang pertama yang membuat mata uang dirham berbentuk bulat. Uang dirham itu di salah satu sisinya bertulis Muhammad Rasulullah. Dan pada sisi lainnya, “Amrullah bil fawa’ wal adl.”
Selama hidupnya dalam perjuangan menengakkan Islam, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 32 hadits. Pada tahun 73 Hijriah beliau wafat di Mekkah setelah terbunuh oleh al-Hajaj bin Yusuf dalam peperangan dengan orang-orang Umawiyah. Hari wafatnya adalah hari Selasa, Jumadil Awwal tahun 73. waktu itu beliau berumur 72 tahun. Dikuburkan di Madinah. Kuburannya sekarang di masjid Nabawi bersampingan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Beberapa hari kemudian ibunya, Asma, meninggal dunia.
Mengenai kelahirannya, Asma (ibunya) bercerita bahwa suatu hari ketika sedang hamil tua keluar rumah. kira-kira kandungan itu sudah berumur sembilan bulan. Ibunya pergi ke Madinah dan berhenti di Quba ketika dirinya merasa bayinya hendak keluar. Firasatnya itu betul. Tak lama setelah berhenti sejenak di Quba, bayinya lahir. Setelah ibunya membawa bayi itu ke tempat Rasulullah agar didoakan. Rasulullah pun mengunyah kurma hingga lembut kemudian menyuapkan kepada bayi itu sembari berdo’a. Jadi pertama-pertama yang masuk di tenggorokan bayi itu adalah suapan Rasulullah. Bayi itu diberinama Abdullah. Itulah awal kelahiran bayi muslim dalam Islam setelah terjadi peristiwa hijrah ke Madinah yang langsung disuapi dan dimanai Rasulullah.
Kelahirannya disambut meriah dan riang gembira oleh umat Islam yang ada di Madinah. kenapa demikian? Konon ceritanya bahwa orang-orang Yahudi telah menyihir hingga umat Islam tidak melahirkan bayi. Beruntunglah Abdullah mendapatkan didikan langsung dari Rasulullah sejak kecil. Maka tidak heran jika pada umur 7 atau 8 tahun memberikan sumpah setia kepada Rasulullah untuk tegaknya ajaran Islam. kehadirannya disambut Rasulullah dengan senyum ketika dirinya menyatakan diri untuk memberikan sumpah setia (bai’ah) (lihat Shohih Bukhri; 2146).
Sejak dirinya memberikan sumpah setia (bai’ah), waktunya digunakan untuk menimba ilmu langsung dari Rasulullah. Seakan-akan tidak ada jalan melainkan jalan ke rumah Rasulullah yang dituju. Apalagi Aisyah, istri Rasulullah, adalah bibinya yang baik hati. Sehingga dirinya merasa benar-benar seperti anaknya. Maka tidak mengherankan jika beliau diantara para sahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah langsung. Dan juga dari ayah, paman (Abu Bakar), ibu dan bibinya (Aisyah). Dalam masalah ibadah beliau juga sangat tekun dan istiqomah serta penuh khusyu’. Mujahid berkata, “Ibn Zubair jika sedang sholat badanya seperti tiang (khusyu’). Seperti halnya Abu Bakar.” Tsabit al-Banany bercerita, “Suatu hari saya lewat di samping Ibn Zubair yang berada di belakang tempat sedang sholat. Dirinya seperti kayu yang ditancapkan; tidak bergerak (karena khusyu’).
Dari Utsmanbin Tholhah berkata, “Ada tiga perkara yang tidak dapat dikalahkan dari Ibn Zuabair; dalam keberanian, ibadah dan kepandian beretorika (balaghoh).” Dari ibunya berkata, “Ibn Zubair selalu sholat malam dan berpuasa di siang hari.” Dari Muslim bin Niyaqb berkata; “Ibn Zubair suatu hari ruku’. Waktu itu kami membaca surah al-Baqoroh, Ali Imron, an-Nisa dan al-Maidah. (Hingga surah itu selesai dibaca) beliau belum mengangkat kepalanya.” Tidak mengherankan jika di kalangan sahabat beliau dikenal dengan sebutan ‘Hamam al-Masjid”(merpati masjid).
Kurang lebih 8 tahun 4 bulan beliau bergaul dekat dengan Rasulullah. Setelah beliau ditinggal Rasulullah menghadap sang Kholik.
Suatu hari beliau sedang bermain dengan anak-anak seusinya. Peristiwa itu terjadi pada waktu kholifah Umar bin Khottob. Ketika Umar datang, kawan-kawannya itu lari menjauh sementara dirinya masih berdiri di tempatnya. Umar bertanya, “Kenapa tidak ikut lari bersama kawan-kawanmu?” beliau menjawab, “Saya tidak berbuat jahat dan dosa, kenapa harus lari. Dan jalan pun tidak sempit hingga aku beri jalan untukmu.” Mendengar jawab itu, Umar pun kemudian pergi melewati jalan itu.
Mengenai keberaniannya, Mush’ab bin Abdullah berkata, “Ayahku bercerita padaku dan juga az-Zubair bin Hubaib. Suatu hari Ibn az-Zubair berkata. “Kelompok Jurjair dengan jumlah tentara 120 ribu orang menyerang kami. Kemudian mereka mencoba mengepung kami yang jumlahnya cuma 20 ribu.” Dalam riwayat Hisyam bin Urwah diceritakan bahwa bahwa pada waktu peran Jamal, Ibn az-Zubair diambil di tenggah-tengah orang-orang yang terbunuh (beliau masih hidup). Tubuhnya terkena luka parah akibat terkena 70 lebih pukulan dan tusukan.”
Dari Urwah diceritakan bahwa Ibn Zubair ikut membonceng kuda di belakang ayahnya pada waktu terjadi perang Yarmuk. Waktu itu berumur 20 tahun. Beliau juga ikut dalam penaklukan Afrika pada masa kholifah Utsman. Begitu juga beliau menjaga Kholifah Utsman di rumahnya.
Setelah wafatnya Muawwiyah bin Abu Sufyan, kekholifahan digantikan anaknya, Yazid. Yazid menyuruh beliau untuk memberikan sumpah setia atas kekholifahannya itu. Hanya saja beliau enggan memenuhi permintaannya. Beliau lebih memilih pergi jauh ke Mekkah. Sikapnya itu membuat Yazid marah. Tapi apa hendak dikata. Beliau memang enggan.
Beberapa tahun kemudian akhirnya Yazid wafat. Maka beliau dibai’ah untuk mengantikan khilafah itu. Beliau pun menerima. Beliau memerintah di Mesir, Hijaz, Yaman, Iraq, Khurosan dan sebagian besar Syam. Semua penduduk patuh dan taat kepada beliau. Madinah Munawaroh dijadikan sebagai ibuk kota pemerintahannya. Masa kekholifahannay hingga tahun 9 Hijriah.
Diantara proyek pembangunan yang beliau lakukan adalah pembaharuan dan renovasi Ka’bah dengan tidak membuah tiang-tiang penting yang diletakkan nabi Ibrahim. Prestasi lain yaitu beliau orang pertama yang membuat mata uang dirham berbentuk bulat. Uang dirham itu di salah satu sisinya bertulis Muhammad Rasulullah. Dan pada sisi lainnya, “Amrullah bil fawa’ wal adl.”
Selama hidupnya dalam perjuangan menengakkan Islam, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 32 hadits. Pada tahun 73 Hijriah beliau wafat di Mekkah setelah terbunuh oleh al-Hajaj bin Yusuf dalam peperangan dengan orang-orang Umawiyah. Hari wafatnya adalah hari Selasa, Jumadil Awwal tahun 73. waktu itu beliau berumur 72 tahun. Dikuburkan di Madinah. Kuburannya sekarang di masjid Nabawi bersampingan dengan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar. Beberapa hari kemudian ibunya, Asma, meninggal dunia.
15. Abu
Ayyub Al-Anshari
Ketika
Rasulullah memasuki kota Madinah, unta yang beliau tunggangi bersimpuh di depan
rumah Bani Malik bin Najjar. Maka beliau pun turun dari atasnya dengan penuh
harapan dan kegembiraan.
Salah
seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri karena kegembiraan yang
membuncah. Ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya, kemudian
mempersilakan Rasulullah masuk ke dalam ruma. Nabi SAW pun mengikuti sang
pemilik rumah.
Siapakah
orang beruntung yang dipilih sebagai tempat persinggahan Rasulullah dalam
hijrahnya ke Madinah ini, di saat semua penduduk mengharapkan Nabi mampir dan
singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu
Malik bin Najjar.
Pertemuan
ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah pergi ke
Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di
antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan
Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi
pembela.
Dan kini,
ketika Rasulullah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat
agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah terlimpahkan kepada
Abu Ayub, karena rumahnya dijadikan tempat pertama yang didiami Rasulullah.
Beliau akan tinggal di rumah itu hingga selesainya pembangunan masjid dan bilik
beliau di sampingnya.
Sejak
orang-orang Quraisy bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang
Madinah, sejak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktifitasnya dengan berjihad di
jalan Allah. Ia turut bertempur dalam Perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pendek
kata, hampir di tiap medan tempur, ia tampil sebagai pahlawan yang siap
mengorbankan nyawa dan harta bendanya.
Semboyan
yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun siang, dengan suara keras atau
perlahan adalah firman Allah SWT, "Berjuanglah kalian, baik di
waktu lapang, maupun waktu sempit..." (QS At-Taubah: 41).
Sewaktu
terjadi pertikaian antara Ali dan Muawiyah, Abu Ayub berdiri di pihak Ali tanpa
sedikit pun keraguan. Dan kala Khalifah Ali bin Abi Thalib syahid, dan khilafah
berpindah kepada Muawiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tak ada yang
diharapkannya dari dunia selain tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang
dalam barisan kaum Muslimin.
Demikianlah,
ketika diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah Konstantinopel,
ia segera memegang kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid yang sejak lama
ia dambakan.
Dalam
pertempuran inilah ia menderita luka berat. Ketika komandannya datang
menjenguk, nafasnya tengah berlomba dengan keinginannya menghadap Ilahi. Maka
bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Muawiyah, "Apakah
keinginan anda wahai Abu Ayub?"
Abu Ayub
meminta kepada Yazid, bila ia telah meninggal agar jasadnya dibawa dengan
kudanya sejauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan
dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang
jalan itu, sehingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas
kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan.
Dan sungguh,
wasiat Abu Ayub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota
Konstantinopel yang sekarang yang sekarang bernama Istanbul, di sanalah
terdapat pekuburan laki-laki besar.
Hingga
sebelum tempat itu dikuasai orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk
Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang
mencengangkan, para ahli sejarah yang mencatat peristiwa-peristiwa itu berkata,
"Orang-orang Romawi sering berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan
meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan."
Jasad Abu
Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, namun ringkikan kuda dan gemerincing
pedang tak terdengar lagi. Waktu telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di
tempat tujuan. Abu Ayub telah menghadap Ilahi di tempat yang ia dambakan.
16.Amr bin
Jamuh
Ia adalah
ipar dari Abdullah bin Amr bin Haram, karena menjadi suami dari saudara
perempuan Hindun binti Amar; Ibnul Jamuh merupakan salah seorang tokoh penduduk
Madinah dan salah seorang pemimpin Bani Salamah...
Ia didahului
masuk Islam oleh putranya Mu'adz bin Amr yang termasuk kelompok 70 peserta
bai'at 'Aqabah. Bersama shahabatnya Mu'adz bin Jabal, Mu'adz bin Amr ini
menyebarkan Agama Islam di kalangan penduduk Madinah dengan keberanian luar
biasa sebagai layaknya pemuda Mu'min yang gagah perwira...
Telah
menjadi kebiasaan bagi golongan bangsawan di Madinah, menyediakan di rumah
masing~masing duplikat berhala-berhala besar yang terdapat di tempat-tempat
pemujaan umum yang dikunjungi oleh orang banyak. Maka sesuai dengan
kedudukannya sebagai seorang bangsawan dan pemimpin Amru bin Jamuh juga
mendirikan berhala di rumahnya yang dinamakan Manaf.
Putranya,
Mu'adz bin Amr bersama temannya Mu'adz bin Jabal telah bermufakat akan
menjadikan berhala di rumah bapaknya itu sebagai barang permainan dan
penghinaan. Di waktu malam mereka menyelinap ke dalam rumah, lain mengambil
berhala itu dan membuangnya ke dalam lubang yang biasa digunakan manusia untuk
membuang hajatnya.
Pagi harinya
Amr tidak melihat Manaf berada di tempatnya yang biasa, maka dicarinyalah
berhala itu dan akhirnya ditemukannya di tempat pembuangan hajat. Bukan main
marahnya Amr, lalu bentaknya: "Keparat siapa yang telah melakukan
perbuatan durhaka terhadap tuhan-tuhan kita malam tadi...?" Kemudian
dicuci dan dibersihkannya berhala itu dan dibelinya wangi-wangian.
Malam
berikutnya, berdua Mu'adz bin Amr dan Mu'adz bin Jabal memperlakukan berhala
itu seperti pada malam sebelumnya. Demikianlah pula pada malam-malam
selanjutnya. Dan akhirnya setelah merasa bosan, Amar mengambil pedangnya lalu
menaruhnya di leher Manaf, sambil berkata: ''Jika kamu betul-betul dapat
memberikan kebaikan, berusahalah untuk mempertahankan dirimu ... !''
Pagi-pagi
keesokan harinya Amr tidak menemukan berhalanya di tempat biasa... tetapi
ditemukannya di tempat pembuangan hajat, dan tidak sendirian, berhala itu
terikat bersama bangkai seekar aniing dengan tali yang kuat. Selagi ia dalam
keheranan, kekecewaan serta amarah, tiba-tiba datangtah ke tempatnya itu
beberapa orang hangsawan Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk kepada
berhala yang tergeletak tidak berdaya dan terikat pada bangkai anjing itu,
mereka mengajak akal budi dan hati nurani Amr bin Jamuh untuk berdialog serta
membeberkan kepadanya perihal Tuhan yang sesungguhnya, Yang Maha Agung lagi
Maha Tinggi, yang tidak satupun yang menyamai-Nya. Begitupun tentang Muhammad
saw, orang yang jujur dan terpercaya, yang muncul di arena kehidupan ini untuk
memberi bukan untuk menerima, untuk memberi petunjuk dan bukan untuk
menyesatkan. Dan mengenai Agama Islam yang datang untuk membebaskan manusia
dari belenggu segala macam belenggu dan menghidupkan pada mereka ruh Allah serta
menerangi dalam hati mereka dengan cahaya-Nya.
Maka dalam
beberapa saat, Amr telah menemukan diri dan harapannya... Beberapa saat
kemudian ia pergi, dibersihkahnya pakaian dan badannya lalu memakai minyak
wangi dan merapikan diri, kemudian dengan kening tegak dan jiwa bersinar ia
pergi untuk bai'at kepada Nabi teiakhir, dan menempati kedudukannya di barisan
orang-orang beriman.
Mungkin ada
yang bertanya, kenapa orang-orang seperti Amr ibnul Jamuh, yang merupakan
pemimpin dan bangsawan di kalangan suku bangsanya, kenapa mereka sampai
mempercayai berhala-berhala itu sedemikian rupa? Kenapa akal fikiran mereka tak
dapat menghindarkan diri dari kekebalan dan ketololan itu? Dan kenapa sekarang
ini, setelah mereka menganut Islam dan memberikan pengurbanan, kita menganggap
mereka sebagai orang-orang besar?
Di masa
sekarang ini, pertanyaan seperti itu mudah saja timbul, karena bagi anak kecil
sekalipun tak masuk dalam akalnya akan mendirikan di rumahnya barang yang
terbuat dari kayu lalu disembahnya, walaupun masih ada para ilmuwan yang
menyembah patung.
Tetapi di
zaman yang silam, kecenderungan-kecenderungan manusia terbuka luas untuk
menerima perbuatan-perbuatan aneh seperti itu di mana kecerdasan dan daya fikir
mereka tiada berdaya menghadapi arus tradisi kuno tersebut.
Sebagai
contoh dapat kita kemukakan di sini, Athena. Yakni Athena di masa Perikles,
Pythagoras dan Socrates! Athena yang telah mencapai tingkat berfikir yang
menakjubkan, tetapi seluruh penduduknya, baik para filosof, tokoh-tokoh
pemerintahan sampai kepada rakyat biasa, mempercayai patung-patung yang
dipahat, dan memujanya sampai taraf yang amat hina dan memalukan! Sebabnya
ialah karena rasa keagamaan di masa-masa yang telah jauh berselang itu tidak
mencapai garis yang sejajar dengan ketinggian alam fikiran mereka.
Amr ibnul
Jamuh telah menyerahkan hati dan hidupnya kepada Allah Rabbul-Alamin. Dan
walaupun dari semula ia telah berbai'at pemurah dan dermawan, tetapi Islam
telah melipatgandakan kedermawanannya ini, hingga seluruh harta kakayaannya
diserahkannya untuk Agama dan kawan-kawan seperjuangannya.
Pernah
Rasulullah saw menanyakan kepada segolongan Bani Salamah yaitu suku Amr ibnul
Jamuh, katanya: "Siapakah yang menjadi pemimpin kalian, hai Bani
Salamah?" Ujar mereka: "Al-Jaddu bin Qeis, hanya sayang ia
kikir...". Maka sabda Rasulullah pula: "Apa lagi penyakit yang lebih
parah dari kikir! Kalau begitu pemimpin kalian ialah si Putih Keriting, Amr
ibnul Jamuh...!'' Demikianlah kesaksian dari Rasulullah saw ini merupakan
penghormatan besar bagi Amr! Dan mengenai ini seorang penyair Anshar pernah
berpantun:
"Amr
ibnul Jamuh membiarkan kedermawanannya merajalela, dan memang wajar, bila ia
dibiarkan berkuasa, jika datang permintaan, dilepasnya kendali hartanya,
silakan ambil, ujarnya, karena esok ia akan kembali, berlipat ganda!"
Dan
sebagaimana ia dermawan membaktikan hartanya di jalan Allah, maka Amr ibnul
Jamuh tak ingin sifat pemurahnya akan kurang dalam menyerahkan jiwa raganya!
Tetapi betapa caranya? Kakinya yang pincang menjadi penghadang badannya untuk
ikut dalam peperangan. Ia mempunyai empat orang putra, semuanya beragama islam
dan semuanya satria bagaikan singa, dan ikut bersama Nabi saw dalam setiap
peperangan serta tabah dalam menunaikan tugas perjuangan.
Amr telah
berketetapan hati dan telah menyiapkan peralatannya untuk turut dalam perang
Badar, tetapi putra-putranya memohon kepada Nabi agar ia mengurungkan maksudnya
dengan kesadaran sendiri, atau bila terpaksa dengan larangan dari Nabi.
Nabi pun
menyampaikan kepada Amr bahwa Islam membebaskan dirinya dari kewajiban perang,
dengan alasan ketidakmampuan disebabkan cacad kakinya yang berat itu. Tetapi ia
tetap mendesak dan minta diizinkan, hingga Rasulullah terpaksa mengeluarkan
perintah agar ia tetap tinggal di Madinah.
Kemudian
datanglah Masanya perang Uhud. Amr lalu pergi menemui Nabi saw, memohon
kepadanya agar diizinkan turut, katanya: "Ya Rasulallah, putra-putraku
bermaksud hendak menghalangiku pergi bertempur bersama anda. Demi Allah, aku
amat berharap kiranya dengan kepincanganku ini aku dapat merebut surga!''
Karena
permintaannya yang amat sangat, Nabi saw memberinya izin untuk turut. Maka
diambilnya alat-alat senjatanya, dan dengan hati yang diliputi oleh rasa puas
dan gembira, ia berjalan berjingkat-jingkat. Dan dengan suara beriba-iba ia
memohon kepada Allah: "Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk menemui
syahid, dan janganlah aku dikembalikan kepada keluargaku!"
Dan kedua
pasukan pun bertemulah di hari uhud itu. Amr ibnul Jamuh bersama keempat
putranya maju ke depan menebaskan pedangnya kepada tentara penyeru kesesatan
dan pasukan syirik.
Di
tengah-tengah pertarungan yang hiruk-pikuk itu Amr melompat dan bersijingkat,
dan sekali lompat pedangnya menyambar satu kepala dari kepala-kepala orang
musyrik. Ia terus melepaskan pukulan-pukulan pedangnya ke kiri ke kanan dengan
tangan kanannya, sambil menengok ke sekelilingnya, seolah-olah mengharapkan
kedatangan Malaikat dengan secepatnya yang akan menemani dan mengawalnya masuk
surga.
Memang, ia
telah memohon kepada Tuhannya agar diberi syahid dan ia yakin bahwa Allah swt
pastilah akan mengabulkannya. Dan ia rindu, amat rindu sekali akan berjingkat
dengan kakinya yang pincang itu dalam surga, agar ahli surga itu sama
mengetahui bahwa Muhammad Rasulullah saw itu tahu bagaimana caranya memilih shahabat
dan bagaimana pula mendidik dan menempa manusia.
Dan apa yang
ditunggu-tunggunya itu pun tibalah, suatu pukulan pedang yang berkelebat,
memaklumkan datangnya saat keberangkatan, yakni keberangkatan seorang syahid
yang mulia, menuju surga jannatul khuldi, surga Firdausi yang abadi!
Dan tatkala
Kaum Muslimin memakamkan para syuhada mereka, Rasulullah saw mengeluarkan
perintah:
"Perhatikan,
tanamkanlah jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr ibnul Jamuh di makam yang
satu, karena selagi hidup mereka adalah dua orang shahabat yang setia dan
saling menyayangi!"
Kedua
shahabat yang saling menyayangi dan telah menemui syahid itu dikuburkan dalam
sebuah makam, yakni dalam pangkuan tanah yang menyambut jasad mereka yang suci
setelah menyaksikan kepahlawanan mereka yang luar biasa.
Dan setelah
waktu berlalu selama 46 tahun di pemakaman dan penyatuan mereka, datanglah
banjir besar yang melanda dan menggenangi tanah pekuburan disebabkan digalinya
sebuah mata air yang dialirkan Muswiyah melalui tempat itu. Kaum Muslimin pun
segera memindahkan kerangka para syuhada.
Kiranya
mereka sebagai dilukiskan oleh orang-orang yang ikut memindahkan mereka:
"Jasad mereka menjadi lembut, dan ujung-ujung anggota tuhuh mereka jadi
melengkung!"
Ketika itu
Jabir bin Abdullah masih hidup. Maka bersama keluarganya ia pergi memindahkan
kerangka bapaknya Abdullah bin Amr bin Haram serta kerangka bapak kecilnya Amr
ibnul Jamuh... Kiranya mereka dapati kedua mereka dalam kubur seolah-olah
sedang tidur nyenyak. Tak sedikit pun tubuh mereka dimakan tanah, dan dari
kedua bibir masing-masing belum hilang senyuman manis alamat ridha dan bangga
yang telah terlukis semenjak mereka dipanggil untuk menemui Allah dulu.
Apakah anda
sekalian merasa heran? Tidak, janganlah merasa heran! Karena jiwa-jiwa besar
yang suci lagi bertaqwa, yang mampu mengendalikan arah tujuan hidupnya, membuat
tubuh-tubuh kasar yang menjadi tempat kediamannya, memiliki semacam ketahanan
yang dapat menangkis sebab-sebab kelapukan dan mengatasi bencana-bencana tanah.
17.Abdullah
bin Amr bin Haram
Ketika para
sahabat Anshar yg b'jumlah 70 orang itu mengangkat bai'at kepada Rasulullah
S'AW (bai'at Aqabah II), ia termasuk salah seorang dari mereka. Ketika Baginda
Nabi S'AW memilih wakil dari masing-masing perutusan itu, ia ditunjuk sebagi
delegasi dari suku Bani Salamah. Dan ketika ia pulang ke kota Madinah, ia
mengerahkan segenap jiwa dan raga, harta benda, dan bahkan keluarganya demi
kejayaan Islam.
Dialah Abdullah bin Amr bin Haram,,,sahabat dengan jiwa besar. Org lebih mengenalnya sebagai Abu Jabir. Tiada yang membuat hatinya girang melebihi ihwal kepindahan Rasulullah S'AW ke kota Madinah. Baginya,,,,Sang Nabi S'AW adalah firdaus yang senantiasa menentramkan siang dan malamnya.
Di perang Badar, ia mjd Ksatria yg b'tempur dg gagah berani,,,memberangus syetan2 pengibar panji kesyirikan. Sedang di pertempuran Uhud,,,ia menyambut syahidnya. Ia gugur sebagai pahlawan mukminin. Yang menakjubkan,,,ia merasakan hal itu jauh sebelum perang berkecamuk. Tatkala hendak berangkat bertempur,,,bayang2 ajal itu sudah meliputi benaknya. Namun ia bukannya sedih,,,,bermuram durja,,,atau pun ketakutan. Ia malah bersuka cita. Hatinya berbunga-bunga. Sebab itu,,,ia memanggil putra kecintaannya,,Jabir bin Abdullah,,,sahabat yang disayang Nabi S'AW.
"Anakku,,ayah merasa yakin akan gugur dlm peperangan ini," demikian ia memulai wasiatnya. "Bahkan mungkin aku akan menjadi syahid pertama di antara kaum muslimin. Ketahuilah,,,,demi ALLAH,,,setelah Rasul,,,tak ada yang lebih kucintai dari anak-anakku. Akan tetapi anakku,,,ayah mempunyai beberapa hutang. Kumohon,,,bayarkanlah hutang-hutang ayah itu. Dan pesankanlah kepada saudara-saudaramu agar senantiasa berbuat baik..."
Pagi-pagi keesokan harinya,,,,bala tentara muslimin bertolak untuk menghadapi orang-orang Quraisy. Derap langkah kaki berbaur dengan debu-debu padang pasir yang bersemburatan di Bukit Uhud. Dari seberang sana,,,pasukan Quraisy bergerak dlm jml yg besar. Mereka bertemu di sebuah medan gersang yang menawarkan kematian.
Perang dahsyat pun tak terelakkan. Pedang dan tombak saling berbenturan. Anak panah berlesatan di udara mengusung maut. Pada mulanya tentara muslimin beroleh kemenangan. Tentara musuh berhasil dipukul hingga terdesak mundur. Namun mereka terlalu cepat puas. Merasa di atas angin,,,pasukan mulai sibuk memunguti rampasan perang. Disiplin prajurit runtuh. Strategi tak lagi dijalankan dengan benar.
Parahnya,,,pasukan pemanah yg mjd tumpuan utama di atas bukit itu turun tanpa dikomando siapa-siapa. Mereka ikut-ikutan mengumpulkan barang-barang yg ditinggalkan empunya. Suasana pun kacau balau. Pertahanan muslimin terbuka lebar.
Pada saat itu,,,tentara Quraisy menghimpun kembali sisa-sisa kekuatannya. Dilihat oleh mereka kaum muslimin tengah lengah. Dengan perhitungan yg tepat,,,mereka kemudian melancarkan serangan mendadak dari arah belakang. Karuan saja tentara muslimin pontang-panting. Syahid demi syahid berjatuhan bak bunga yg luruh di musim gugur.
Dlm perang ini,,,,Abdullah bin Amr bertempur layaknya Ksatria. Semangatnya tak t'bendung. Ia terus maju menerobos tanggul pertahanan musuh. Hingga akhirnya firasat yg telah dirasakannya itu mjd nyata. Ajal menemuinya. Ia meninggal selaku pahlawan Islam yg bakal abadi namanya. Dan itulah pertempuran terakhirnya,,sekaligus lembaran penutup dari kisah hidupnya yg dipenuhi kemuliaan.
Manakala pertempuran telah usai,,,Jabir bin Abdullah mencari jasad ayahnya di antara puing-puing perang yg lengang itu. Apa yg disaksikannya sungguh pemandangan yang memiriskan. Para syuhada itu mengalami perlakuan yang keji dan biadab. Tubuh-tubuh mereka dincincang oleh org2 musyrikin. Tak luput pula sang ayah terkasih, Abdullah bin Amr.
Jabir dan keluarga bersedih hati. Air mata tak kuasa ditahan kala menyaksikan kondisi kepala keluarga yg selama ini mereka kasihi. Saat itulah Rasulullah S'AW lewat. Melihat suasana haru biru itu,,,beliau S'AW berkata,,,"Kalian tangisi atau tidak,,,para malaikat akan tetap menaunginya dengan sayap2 mereka.
Dan ketika tiba waktu pemakaman Abu Jabir,,,Rasulullah S'AW menitahkan sebuah amar,,,"Kuburkan Abdullah bin Amr bin Haram bersama Amr bin Jamuh dlm satu liang! Selagi di dunia mereka adalah dua sahabat yg saling setia dan penuh kasih."
Setelah Abu Jabir tiada,,,baginda Rasul S'AW mengungkapkan sebuah kabar yg melukiskan kegemaran Abu Jabir untuk mjd syahid. Kpd Jabir,,,beliau S'AW berkisah,,,"Hai Jabir,,,tak seorang pun diajak bercakap oleh ALLAH SWT kecuali dari balik tabir. Tapi ALLAH SWT Berbicara langsung dengan bapakmu. ALLAH SWT berfirman begini,,,"Hai hamba-Ku,,,,mintalah pada-Ku,,,pasti Kuberi!". Maka bapakmu berujar, "Duhai Tuhanku,,,kubermohon pada-Mu untuk mengembalikan diriku ke dunia,,,agar aku bisa menjadi syahid sekali lagi." ALLAH SWT menjawab dg firman-Nya, "Ketentuan dari-Ku telah pasti. Mereka takkan dikembalikan ke dunia lagi."
Kalau begitu wahai Tuhan,,,mohon sampaikan kepada orang-orang setelahku segala nikmat yang Engkau limpahkan kepada kami." pinta Abdullah.
Taken from: Majalah Islam Cahaya Nabawiy.....
Dialah Abdullah bin Amr bin Haram,,,sahabat dengan jiwa besar. Org lebih mengenalnya sebagai Abu Jabir. Tiada yang membuat hatinya girang melebihi ihwal kepindahan Rasulullah S'AW ke kota Madinah. Baginya,,,,Sang Nabi S'AW adalah firdaus yang senantiasa menentramkan siang dan malamnya.
Di perang Badar, ia mjd Ksatria yg b'tempur dg gagah berani,,,memberangus syetan2 pengibar panji kesyirikan. Sedang di pertempuran Uhud,,,ia menyambut syahidnya. Ia gugur sebagai pahlawan mukminin. Yang menakjubkan,,,ia merasakan hal itu jauh sebelum perang berkecamuk. Tatkala hendak berangkat bertempur,,,bayang2 ajal itu sudah meliputi benaknya. Namun ia bukannya sedih,,,,bermuram durja,,,atau pun ketakutan. Ia malah bersuka cita. Hatinya berbunga-bunga. Sebab itu,,,ia memanggil putra kecintaannya,,Jabir bin Abdullah,,,sahabat yang disayang Nabi S'AW.
"Anakku,,ayah merasa yakin akan gugur dlm peperangan ini," demikian ia memulai wasiatnya. "Bahkan mungkin aku akan menjadi syahid pertama di antara kaum muslimin. Ketahuilah,,,,demi ALLAH,,,setelah Rasul,,,tak ada yang lebih kucintai dari anak-anakku. Akan tetapi anakku,,,ayah mempunyai beberapa hutang. Kumohon,,,bayarkanlah hutang-hutang ayah itu. Dan pesankanlah kepada saudara-saudaramu agar senantiasa berbuat baik..."
Pagi-pagi keesokan harinya,,,,bala tentara muslimin bertolak untuk menghadapi orang-orang Quraisy. Derap langkah kaki berbaur dengan debu-debu padang pasir yang bersemburatan di Bukit Uhud. Dari seberang sana,,,pasukan Quraisy bergerak dlm jml yg besar. Mereka bertemu di sebuah medan gersang yang menawarkan kematian.
Perang dahsyat pun tak terelakkan. Pedang dan tombak saling berbenturan. Anak panah berlesatan di udara mengusung maut. Pada mulanya tentara muslimin beroleh kemenangan. Tentara musuh berhasil dipukul hingga terdesak mundur. Namun mereka terlalu cepat puas. Merasa di atas angin,,,pasukan mulai sibuk memunguti rampasan perang. Disiplin prajurit runtuh. Strategi tak lagi dijalankan dengan benar.
Parahnya,,,pasukan pemanah yg mjd tumpuan utama di atas bukit itu turun tanpa dikomando siapa-siapa. Mereka ikut-ikutan mengumpulkan barang-barang yg ditinggalkan empunya. Suasana pun kacau balau. Pertahanan muslimin terbuka lebar.
Pada saat itu,,,tentara Quraisy menghimpun kembali sisa-sisa kekuatannya. Dilihat oleh mereka kaum muslimin tengah lengah. Dengan perhitungan yg tepat,,,mereka kemudian melancarkan serangan mendadak dari arah belakang. Karuan saja tentara muslimin pontang-panting. Syahid demi syahid berjatuhan bak bunga yg luruh di musim gugur.
Dlm perang ini,,,,Abdullah bin Amr bertempur layaknya Ksatria. Semangatnya tak t'bendung. Ia terus maju menerobos tanggul pertahanan musuh. Hingga akhirnya firasat yg telah dirasakannya itu mjd nyata. Ajal menemuinya. Ia meninggal selaku pahlawan Islam yg bakal abadi namanya. Dan itulah pertempuran terakhirnya,,sekaligus lembaran penutup dari kisah hidupnya yg dipenuhi kemuliaan.
Manakala pertempuran telah usai,,,Jabir bin Abdullah mencari jasad ayahnya di antara puing-puing perang yg lengang itu. Apa yg disaksikannya sungguh pemandangan yang memiriskan. Para syuhada itu mengalami perlakuan yang keji dan biadab. Tubuh-tubuh mereka dincincang oleh org2 musyrikin. Tak luput pula sang ayah terkasih, Abdullah bin Amr.
Jabir dan keluarga bersedih hati. Air mata tak kuasa ditahan kala menyaksikan kondisi kepala keluarga yg selama ini mereka kasihi. Saat itulah Rasulullah S'AW lewat. Melihat suasana haru biru itu,,,beliau S'AW berkata,,,"Kalian tangisi atau tidak,,,para malaikat akan tetap menaunginya dengan sayap2 mereka.
Dan ketika tiba waktu pemakaman Abu Jabir,,,Rasulullah S'AW menitahkan sebuah amar,,,"Kuburkan Abdullah bin Amr bin Haram bersama Amr bin Jamuh dlm satu liang! Selagi di dunia mereka adalah dua sahabat yg saling setia dan penuh kasih."
Setelah Abu Jabir tiada,,,baginda Rasul S'AW mengungkapkan sebuah kabar yg melukiskan kegemaran Abu Jabir untuk mjd syahid. Kpd Jabir,,,beliau S'AW berkisah,,,"Hai Jabir,,,tak seorang pun diajak bercakap oleh ALLAH SWT kecuali dari balik tabir. Tapi ALLAH SWT Berbicara langsung dengan bapakmu. ALLAH SWT berfirman begini,,,"Hai hamba-Ku,,,,mintalah pada-Ku,,,pasti Kuberi!". Maka bapakmu berujar, "Duhai Tuhanku,,,kubermohon pada-Mu untuk mengembalikan diriku ke dunia,,,agar aku bisa menjadi syahid sekali lagi." ALLAH SWT menjawab dg firman-Nya, "Ketentuan dari-Ku telah pasti. Mereka takkan dikembalikan ke dunia lagi."
Kalau begitu wahai Tuhan,,,mohon sampaikan kepada orang-orang setelahku segala nikmat yang Engkau limpahkan kepada kami." pinta Abdullah.
Taken from: Majalah Islam Cahaya Nabawiy.....
18.Habib bin
Zaid
Dalam sebuah
rumah penuh keharuman iman di setiap sudutnya; di lingkungan keluarga yang di
dahinya tampak membayangkan gambaran pengorbanan, di sanalah Habib bin
Zaid dibesarkan.
Ayah Habib, Zaid bin ‘Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Dia termasuk kelompok tujuh puluh yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.
Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Muhammad Rasulullah.
Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Karenanya, Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, “Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga.”
Nur Ilahi (cahaya iman) telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda remaja, sehingga sangat kokoh melekat di hatinya.
Telah ditakdirkan Allah dia bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun mengambil saham beserta kelompok tujuh puluh untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah. Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah.
Maka sejak hari itu dia lebih mencintai Rasulullah dari pada ibu bapaknya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya dari pada dirinya sendiri.
Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam peperangan Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam peperangan Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut mengambil saham, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi sesudah kedua peperangan itu dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.
Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya milyunan kaum muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang. Marilah kita simak kisah ganas ini dari awalnya.
Pada tahun kesembilan hijriyah tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di bumi Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.
Diantara itu terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Nejed. Mereka menambatkan onta-ontanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang diantara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.
Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Nejed, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting diantaranya ialah karena fanatik kesukuan.
Seorang dari pendukungnya berkata, “Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad).
Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Muhammad Rasulullah:
“Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu…
Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy.
Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan.”
Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah SAW bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat Anda berdua (mengenai pernyataan Musailamah ini)"?
Jawab mereka, “Kami sependapat dengan Musilamah!”
Sabda Rasulullah SAW,
“Demi Allah! Seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian.”
Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut:
“Dengan nama Allah yh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong.
Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar)
Adapun sesudah itu…
Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang taqwa.”
Surat balasan tersebut dikirimkan beliau melalui kedua utusan Musailamah.
Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. beliau menunjuk Habib bin Zaid, yaitu pahlawan yang kita ceritakan ini, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, sejak dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu atau bermalas-malasan. Gunung yang tinggi didakinya, lembah yang dalam dituruninya. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Nejed. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.
Ketika membaca surat tersebut dadanya turun naik karena iri dan dengki. Mukanya menguning memancarkan kejahatan dan kepalsuan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.
Besuk pagi Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya kiri-kanan. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Kemudian diperintahkannya membawa Habib bin Zaid ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.
Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak yang penuh kedengkian, kesombongan dan kepongahan. Dia berdiri tegap, kokoh dan kuat. Musailamah bertanya kepada Habib, “Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?”
“Ya, benar! Aku emngakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib bin Zaid tegas.
Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku Rasulullah?” Tanya Musailamah.
Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati.
“Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu,” jawab Habib bin Zaid.
Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, “Potong tubunya sepotong!”
Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.
Musailamah bertanya kembali, “Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?”
Jawab Habib, “Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”
Tanya Musailamah, “Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?”
Jawab Habib, “Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!”
Musailamah menyuruh potong pula bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat Habib yang keras hati dan tetap menantang. Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, Habib tetap berkata, “Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”
Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang pandai bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan Nabi SAW dengan siapa dia telah berjanji setia pada malam Aqabah, yaitu Muhammad Rasulullah.
Setelah berita kematian Habib bib Zaid disampaikan orang kepada ibunya Nasibah bin Maziniyah, ia berucap, “Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinyua ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya.”
Bbrp lama sesudah kematian Habib bib Zaid, tibalah hr yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar mengerahkan kaum muslimin memerangi Nabi-nabi palsu. Antara lain nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya Abdullah bin Zaid.
Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, kelihatan Nasibah membelah barisan demi barisan bagaikan seekor singa. Nasibah berteriak, “Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!”
Waktu ditemukannya, didapatinya Musailamah telah tewas tersungkur di medan pertempuran, dengan darahnya membasahi pedang kaum muslimin. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur pula sebagai syahidah. Keduanya telah tewas. Namun keduanya berbeda arah. Nasibah pergi ke surga, sedangkan Musailamah menuju ke neraka.[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]
Ayah Habib, Zaid bin ‘Ashim, adalah salah seorang dari rombongan Yatsrib yang pertama-tama masuk Islam. Dia termasuk kelompok tujuh puluh yang melakukan baiat dengan Rasulullah di Aqabah. Bersama Zaid bin Ashim turut pula di baiat istri dan dua orang putranya.
Ibu Habib, Ummu Amarah Nasibah Al-Maziniyah, merupakan wanita pertama yang memanggul senjata untuk mempertahankan agama Allah dan membela Muhammad Rasulullah.
Saudaranya, Abdullah bin Zaid, adalah pemuda yang mempertaruhkan lehernya sebagai tebusan dalam perang Uhud, untuk melindungi Rasul yang mulia. Karenanya, Rasulullah berdoa bagi keluarga tersebut, “Semoga Allah melimpahkan barakah dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga.”
Nur Ilahi (cahaya iman) telah menyinari hati Habib bin Zaid sejak dia masih muda remaja, sehingga sangat kokoh melekat di hatinya.
Telah ditakdirkan Allah dia bersama-sama ibu, bapak, bibi, dan saudaranya pergi ke Makkah, turun mengambil saham beserta kelompok tujuh puluh untuk melakukan baiat dengan Rasulullah SAW dan melukis sejarah. Habib bin Zaid mengulurkan tangannya yang kecil kepada Rasulullah sambil mengucapkan sumpah setia pada malam gelap gulita di Aqabah.
Maka sejak hari itu dia lebih mencintai Rasulullah dari pada ibu bapaknya sendiri. Dan Islam lebih mahal baginya dari pada dirinya sendiri.
Habib bin Zaid tidak turut berperang dalam peperangan Badar, karena ketika itu dia masih kecil. Begitu pula dalam peperangan Uhud, dia belum memperoleh kehormatan untuk ikut mengambil saham, karena dia belum kuat memanggul senjata. Tetapi sesudah kedua peperangan itu dia selalu ikut berperang mengikuti Rasulullah SAW, dan bertugas sebagai pemegang bendera perang yang dibanggakan.
Pengalaman-pengalaman perang yang dialami Habib bagaimana pun besar dan mengejutkannya, pada hakikatnya tiada lain ialah merupakan proses mematangkan mental Habib untuk menghadapi peristiwa yang sungguh mengguncangkan hati, seperti terguncangnya milyunan kaum muslimin sejak masa kenabian hingga masa kita sekarang. Marilah kita simak kisah ganas ini dari awalnya.
Pada tahun kesembilan hijriyah tiang-tiang Islam telah kuat tertancap dalam di bumi Arab. Jamaah dari seluruh pelosok Arab berdatangan ke Yatsrib menemui Rasulullah SAW, masuk Islam di hadapan beliau, dan berjanji (baiat) patuh dan setia.
Diantara itu terdapat pula rombongan Bani Hanifah dari Nejed. Mereka menambatkan onta-ontanya di pinggir kota Madinah, dijaga oleh beberapa orang kawannya. Seorang diantara penjaga ini bernama Musailamah bin Habib Al-Hanafy. Para utusan yang tidak bertugas menjaga kendaraan, pergi menghadap Rasulullah SAW. Di hadapan beliau mereka menyatakan masuk Islam beserta kaumnya. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan hormat dan ramah tamah. Bahkan beliau memerintahkan supaya memberi hadiah bagi mereka dan bagi kawan-kawannya yang tidak turut hadir, karena bertugas menjaga kendaraan.
Tidak berapa lama setelah para utusan Bani Hanifah ini sampai di kampung mereka, Nejed, Musailamah bin Habib Al-Hanafy murtad dari Islam. Dia berpidato di hadapan orang banyak menyatakan dirinya Nabi dan Rasul Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya menjadi Nabi untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Muhammad bin Abdullah untuk kaum Quraisy. Bani Hanifah menerima pernyataan Musailamah tersebut dengan berbagai alasan. Tetapi yang terpenting diantaranya ialah karena fanatik kesukuan.
Seorang dari pendukungnya berkata, “Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (Musailamah) lebih saya sukai dari pada kebenaran orang Mudhar (Muhammad).
Tatkala pengikut Musailamah bertambah banyak dan kuat, dia mengirim surat kepada Muhammad Rasulullah:
“Teriring salam untuk Anda. Adapun sesudah itu…
Sesungguhnya aku telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, dan separuh lagi untuk kaum Quraisy.
Tetapi kaum Quraisy berbuat keterlaluan.”
Surat tersebut diantar oleh dua orang utusan Musailamah kepada Rasulullah SAW. Selesai membaca surat itu, Rasulullah SAW bertanya kepada keduanya, “Bagaimana pendapat Anda berdua (mengenai pernyataan Musailamah ini)"?
Jawab mereka, “Kami sependapat dengan Musilamah!”
Sabda Rasulullah SAW,
“Demi Allah! Seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, sesungguhnya kupenggal leher kalian.”
Rasulullah membalas surat Musailamah sebagai berikut:
“Dengan nama Allah yh Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah pembohong.
Keselamatan hanyalah bagi siapa yang mengikuti petunjuk (yang benar)
Adapun sesudah itu…
Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah, Dialah yang berhak mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendakinya.
Kemenangan adalah bagi orang-orang yang taqwa.”
Surat balasan tersebut dikirimkan beliau melalui kedua utusan Musailamah.
Musailamah bertambah jahat, dan kejahatannya semakin meluas. Rasulullah mengirim surat lagi kepada Musailamah, memperingatkan supaya dia menghentikan segala kegiatannya yang menyesatkan itu. beliau menunjuk Habib bin Zaid, yaitu pahlawan yang kita ceritakan ini, untuk mengantarkan surat tersebut kepada Musailamah. Ketika itu Habib masih muda belia. Tetapi dia pemuda mukmin yang beriman kuat, sejak dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
Habib bin Zaid berangkat melaksanakan tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya dengan penuh semangat, tanpa merasa lelah dan membuang-buang waktu atau bermalas-malasan. Gunung yang tinggi didakinya, lembah yang dalam dituruninya. Akhirnya sampailah dia ke perkampungan Nejed. Maka diberikannya surat Rasulullah itu langsung kepada Musailamah.
Ketika membaca surat tersebut dadanya turun naik karena iri dan dengki. Mukanya menguning memancarkan kejahatan dan kepalsuan. Lalu diperintahkannya kepada pengawal supaya mengikat Habib bin Zaid.
Besuk pagi Musailamah muncul di majelisnya diiringkan para pembesar dan pengikutnya kiri-kanan. Dia menyatakan majelis terbuka untuk orang banyak. Kemudian diperintahkannya membawa Habib bin Zaid ke hadapannya. Habib masuk ke dalam majelis dalam keadaan terbelenggu, dan berjalan tertatih-tatih karena beratnya belenggu yang dibawanya.
Habib bin Zaid berdiri di tengah-tengah orang banyak yang penuh kedengkian, kesombongan dan kepongahan. Dia berdiri tegap, kokoh dan kuat. Musailamah bertanya kepada Habib, “Apakah kamu mengaku Muhammad itu Rasulullah?”
“Ya, benar! Aku emngakui Muhammad sesungguhnya Rasulullah!” jawab Habib bin Zaid tegas.
Musailamah terdiam karena marah. “Apakah kamu mengakui, aku Rasulullah?” Tanya Musailamah.
Habib bin Zaid menjawab dengan nada menghina dan menyakitkan hati.
“Agaknya telingaku tuli. Aku tidak pernah mendengar yang begitu,” jawab Habib bin Zaid.
Wajah Musailamah berubah. Bibirnya gemeretak karena marah. Lalu katanya kepada algojo, “Potong tubunya sepotong!”
Algojo menghampiri Habib bin Zaid, lalu dipotongnya bagian tubuh Habib, dan potongan itu menggelinding di tanah.
Musailamah bertanya kembali, “Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah?”
Jawab Habib, “Ya, aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”
Tanya Musailamah, “Apakah kamu mengakui aku Rasulullah?”
Jawab Habib, “Telah kukatakan kepadamu, telingaku tuli mendengar ucapanmu itu!”
Musailamah menyuruh potong pula bagian lain tubuh Habib, dan potongannya jatuh di dekat potongan yang pertama. Orang banyak terbelalak melihat Habib yang keras hati dan tetap menantang. Musailamah terus bertanya, dan algojo terus pula memotong-motong tubuh Habib berkali-kali sesuai dengan perintah Musailamah. Walaupun begitu, Habib tetap berkata, “Aku mengakui sesungguhnya Muhammad Rasulullah!”
Separuh tubuh Habib telah terpotong-potong dan potongannya berserakan di tanah. Separuhnya lagi bagaikan onggokan daging yang pandai bicara. Akhirnya, jiwa Habib melayang menemui Tuhannya. Kedua bibirnya senantiasa mengucapkan Nabi SAW dengan siapa dia telah berjanji setia pada malam Aqabah, yaitu Muhammad Rasulullah.
Setelah berita kematian Habib bib Zaid disampaikan orang kepada ibunya Nasibah bin Maziniyah, ia berucap, “Seperti itu pulalah aku harus membuat perhitungan dengan Musailamah Al-Kadzdzab. Dan kepada Allah jua aku berserah diri. Anakku Habib bin Zaid telah bersumpah setia dengan Rasulullah SAW sejak kecil. Sumpah itu dipenuhinyua ketika dia muda belia. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya.”
Bbrp lama sesudah kematian Habib bib Zaid, tibalah hr yang dinanti-nantikan Nasibah. Khalifah Abu Bakar mengerahkan kaum muslimin memerangi Nabi-nabi palsu. Antara lain nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab. Kaum muslimin berangkat untuk memerangi Musailamah. Dalam pasukan itu terdapat Nasibah Al-Maziniyah dan putranya Abdullah bin Zaid.
Ketika perang di Yamamah itu telah berkecamuk, kelihatan Nasibah membelah barisan demi barisan bagaikan seekor singa. Nasibah berteriak, “Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!”
Waktu ditemukannya, didapatinya Musailamah telah tewas tersungkur di medan pertempuran, dengan darahnya membasahi pedang kaum muslimin. Tidak lama kemudian, Nasibah pun gugur pula sebagai syahidah. Keduanya telah tewas. Namun keduanya berbeda arah. Nasibah pergi ke surga, sedangkan Musailamah menuju ke neraka.[sumber: Kepahlawanan Generasi Shahabat Rasulullah SAW]
19. Ikrimah
bin Abu Jahal
Ketika pembebasan
Makkah, Ikrimah bin Abu Jahal termasuk orang yang dihukum mati. Namun,
karena sifat pemaaf Rasulullah SAW, Ikrimah yang kala itu sempat melarikan
diri, akhirnya diampuni.
Rasulullah
SAW bersabda di hadapan para sahabat, "Ikrimah bin Abu Jahal akan datang
ke tengah-tengah kalian semua sebagai mukmin dan muhajir."
Tak berapa
lama, Ikrimah dan istrinya tiba di majlis Rasulullah. Di hadapan beliau,
Ikrimah mengucapkan syahadat.
"Demi Allah, tak satu sen pun dana yang telah saya keluarkan untuk memberantas agama Allah di masa lalu, melainkan mulai saat ini saya tebus dengan mengorbankan hartaku berlipat ganda demi agama Allah. Tak ada seorang pun mukmin yang gugur di tanganku, melainkan akan kutebus dengan membunuh kaum musyrikin berlipat ganda," ujar Ikrimah.
Ikrimah menepati janji. Setelah masuk Islam, ia menjadi seorang hamba yang rajin beribadah.
Seringkali dia menangis dengan air mata berlinang merenungi ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dibacanya. Ia pun menggabungkan diri dalam setiap pasukan perang kaum muslimin di barisan paling depan.
"Demi Allah, tak satu sen pun dana yang telah saya keluarkan untuk memberantas agama Allah di masa lalu, melainkan mulai saat ini saya tebus dengan mengorbankan hartaku berlipat ganda demi agama Allah. Tak ada seorang pun mukmin yang gugur di tanganku, melainkan akan kutebus dengan membunuh kaum musyrikin berlipat ganda," ujar Ikrimah.
Ikrimah menepati janji. Setelah masuk Islam, ia menjadi seorang hamba yang rajin beribadah.
Seringkali dia menangis dengan air mata berlinang merenungi ayat-ayat suci Al-Qur'an yang dibacanya. Ia pun menggabungkan diri dalam setiap pasukan perang kaum muslimin di barisan paling depan.
Ketika
terjadi perang Yarmuk, Ikrimah maju berperang seperti kesetanan. Melihat
tindakan seperti itu, Khalid bin Walid yang menjadi panglima pasukan segera mengejar,
"Ikrimah, engkau jangan bodoh! Kembali! Kematianmu adalah kerugian besar
bagi kaum muslimin."
Ikrimah tidak memperdulikan peringatan tersebut, "Biarkan saja, ya Khalid! Biarkan saya menebus dosa-dosa yang telah lalu. Saya telah memerangi Rasulullah dalam beberapa medan peperangan. Pantaskah setelah masuk Islam saya lari dari tentara Romawi ini? Tidak! Sekali-kali tidak!" Kemudian ia berteriak, "Siapakah yang berani mati bersama saya?"
Beberapa orang segera melompat ke samping Ikrimah. Kemudian menerjang ke depan, menghalau pasukan lawan yang terus maju. Akhirnya, walau korban berjatuhan mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dengan kemenangan yang gemilang.
Di akhir pertempuran, di bumi Yarmuk berjejer tiga mujahid muslim terkapar dalam keadaan kritis! Mereka yang menderita luka-luka sangat parah itu adalah Al-Harits bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabiah, dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Al-Harits minta air minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikrimah!" ujar Al-Harits.
Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat 'Ayyasy menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada 'Ayyasy!" ujar Ikrimah.
Ketika air minum didekatkan ke mulut 'Ayyasy, dia telah meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun keduanya pun telah meninggal.
Ikrimah tidak memperdulikan peringatan tersebut, "Biarkan saja, ya Khalid! Biarkan saya menebus dosa-dosa yang telah lalu. Saya telah memerangi Rasulullah dalam beberapa medan peperangan. Pantaskah setelah masuk Islam saya lari dari tentara Romawi ini? Tidak! Sekali-kali tidak!" Kemudian ia berteriak, "Siapakah yang berani mati bersama saya?"
Beberapa orang segera melompat ke samping Ikrimah. Kemudian menerjang ke depan, menghalau pasukan lawan yang terus maju. Akhirnya, walau korban berjatuhan mereka berhasil memukul mundur pasukan Romawi dengan kemenangan yang gemilang.
Di akhir pertempuran, di bumi Yarmuk berjejer tiga mujahid muslim terkapar dalam keadaan kritis! Mereka yang menderita luka-luka sangat parah itu adalah Al-Harits bin Hisyam, 'Ayyasy bin Abi Rabiah, dan Ikrimah bin Abu Jahal.
Al-Harits minta air minum. Ketika air didekatkan ke mulutnya, ia melihat Ikrimah dalam keadaan seperti yang ia alami. "Berikan dulu kepada Ikrimah!" ujar Al-Harits.
Ketika air didekatkan ke mulut Ikrimah, ia melihat 'Ayyasy menengok kepadanya. "Berikan dulu kepada 'Ayyasy!" ujar Ikrimah.
Ketika air minum didekatkan ke mulut 'Ayyasy, dia telah meninggal. Orang yang memberikan air minum segera kembali ke hadapan Harits dan Ikrimah, namun keduanya pun telah meninggal.
20. Abdullah
bin Rawahah
Waktu itu,
Rasulullah sedang duduk di suatu dataran tinggi di kota Makkah, menyambut para
utusan yang datang dari Yatsrib (Madinah) dengan sembunyi-sembunyi agar tidak
diketahui kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari 12 orang utusan
suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum Anshar (penolong
Rasul).
Mereka akan
berbaiat kepada Rasulullah, yang kelak disebut dengan Baiat Aqabah Ula
(pertama). Merekalah pembawa dan penyiar Islam pertama ke Yatsrib. Dan baiat
merekalah yang membuka jalan bagi hijrahnya Nabi beserta pengikut beliau, yang
pada gilirannya membawa kemajuan bagi Islam. Salah seorang dari utusan yang
dibaiat itu adalah Abdullah bin Rawahah.
Ibnu Rawahah
adalah seorang penulis dan penyair ulung. Untaian syair-syairnya begitu kuat
dan indah didengar. Sejak memeluk Islam, ia membaktikan kemampuan bersyairnya
untuk mengabdi bagi kejayaan Islam. Rasulullah sangat menyukai dan menikmati
syair-syairnya, serta serta sering menganjurkan kepadanya untuk lebih tekun
lagi membuat syair.
Pada suatu
hari, Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba datanglah
Abdullah bin Rawahah. Lalu Nabi bertanya kepadanya, "Apa yang kau lakukan
jika hendak mengucapkan syair?"
Abdullah
menjawab, "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan."
Ia kemudian
mengucapkan syair tanpa pikir panjang. "Wahai putra Hasyim, sungguh Allah
telah melebihkanmu dari seluruh manusia dan memberimu keutamaan, di mana orang
lain takkan iri. Dan sungguh aku menaruk firasat baik yang kuyakini pada
dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka. Seandainya
engkau bertanya dan meminta pertolongan kepada mereka untuk memecahkan
persolan, tiadalah mereka hendak menjawab atau membela. Karena itu Allah
mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang engkau bawa. Sebagaimana Ia telah
mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa."
Mendengar
itu, Rasulullah gembira dan ridha kepadanya. Beliau bersabda, "Dan kamu
pun akan diteguhkan Allah."
Ketika
Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada Umrah Qadha, Ibnu Rawahah berada di
depan beliau sambil bersyair, "Oh Tuhan, kalaulah tidak karena Engkau,
niscaya kami tidaklah akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedekah dan shalat.
Maka mohon turunkan sakinah atas kami dan teguhkan pendirian kami jika musuh
datang menghadang. Sesungguhnya orang-orang yang telah aniaya terhadap kami,
bila mereka membuat fitnah, akan kami tolak dan kami tentang."
Suatu ketika
Abdullah bin Rawahah sangat berduka dengan turunnya ayat, "Dan
para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat." (QS
Asy-Syu'ara: 224).
Namun
kedukaannya terhibur dengan turunnya ayat lain, "Kecuali
orang-orang (penyair) yang beriman, beramal saleh, banyak ingat kepada Allah,
dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya." (QS Asy-Syu'ara:
227).
Ketika kaum
Muslimin terjun ke medan perang demi membela kalimat Allah, Abdullah bin
Rawahah turut tampil membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandaq,
Hudaibiyah, dan Khaibar. Ia menjadikan kalimat syairnya sebagai slogan
perjuangan. "Wahai diri! Seandainya kamu tidak tewas terbunuh dalam
perang, maka kamu akan mati juga!"
Pada waktu
Perang Mu'tah, balatentara Romawi sedemikian besarnya, hampir 200.000 orang.
Sementara barisan kaum Muslimin sangat sedikit. Ketika melihat besarnya pasukan
musuh, salah seorang berkata, "Sebaiknya kita kirim utusan kepada
Rasulullah, memberitakan jumlah musuh yang besar. Mungkin kita akan dapat
bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita
patuhi."
Namun
Abdullah bin Rawahah berdiri di depan barisan pasukan Muslim. "Kawan-kawan
sekalian," teriaknya, "Demi Allah, sesungguhnya kita berperang
melawan musuh-musuh kita bukan berdasarkan bilangan, kekuatan atau jumlah
pasukan kita. Tapi kita memerangi mereka demi mempertahankan agama kita ini,
yang dengan memeluknya, kita dimuliakan Allah. Ayo, maju! Salah satu dari dua
kebaikan pasti kita raih; kemenangan atau syahid di jalan Allah."
Dengan
bersorak-sorai, kaum Muslimin yang berjumlah sedikit namun besar imannya itu
menyatakan setuju. Mereka berteriak, "Sungguh, demi Allah, benar apa yang
dikatakan Ibnu Rawahah!"
Perang pun
berkecamuk. Pemimpin pasukan pertama, Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid.
Demikian pula dengan pemimpin kedua, Ja'far bin Abi Thalib. Abdullah bin
Rawahah kemudian meraih panji perang dari tangan Ja'far dan terus memimpin
pasukan. Ia pun terus menerjang barisan tentara musuh yang menyerbu bak air
bah. Abdullah bin Rawahah pun gugur sebagai syahid, menyusul dua sahabatnya;
Zaid dan Ja'far.
Pada saat
pertempuran berkecamuk dengan sengit di Balqa', bumi Syam, Rasulullah SAW
tengah berkumpul dengan para sahabat dalam suatu majelis. Tiba-tiba beliau
terdiam, dan air mata menetes di pipinya. Rasulullah memandang para sahabatnya
lalu berkata, "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur
bersamanya hingga gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh
Ja'far, ia bertempur dan syahid juga. Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah
bin Rawahah dan ia bertempur, lalu gugur sebagai syahid."
Rasulullah
kemudian terdiam sebentar, sementara mata beliau masih berkaca-kaca,
menyiratkan kebahagiaan, ketentraman dan kerinduan. Kemudian beliau bersabda,
"Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku di surga."
Tiada ulasan:
Catat Ulasan