Rabu, 30 September 2015

MELAWAN DAN MENJAWAB

Cara Menghadapi Anak Yang Melawan Dan Keras Kepala

Cara menghadapi anak yang melawan dan keras kepala dengan melihat dari diri kita, memberikan kasih sayang dan perhatian,menjadi orang tua yang bijak,dll
Cara Menghadapi Anak Yang Melawan Dan Keras KepalaAda masa ketika anak-anak berusia 2-5 tahun menjadi suka melawan dan keras kepala. Ini adalah fase yang sangat alami pada masa pertumbuhan kejiwaan anak, karena ini adalah fase dimana anak-anak mulai menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang independen dari orang-orang dewasa terutama orangtuanya.
Sebab-sebab anak suka melawan dan keras kepala:
  1. Meniru perbuatan orangtuanya yang -maaf- juga keras kepala, atau anak sering menyaksikan orangtuanya bertengkar.
  2. Orangtua terlalu memanjakan, selalu memberikan apa yang diinginkannya. Ketika suatu saat keinginan tersebut tidak dipenuhi, tentu anak akan memprotes dan melawan.
  3. Tidak adanya ikatan kasih sayang dan pengertian antara orangtua dan anak.
  4. Orangtua terlalu membiasakannya taat pada sesuatu secara fanatik.
  5. Anak-anak terlalu sering disuruh mengalah, tanpa memberi pengertian yang dapat membuatnya mengerti.
Beberapa orang tua mengeluh tentang sifat anaknya yang keras kepala. Mereka bingung bagaimana cara menasehati mereka. Bila dilarang untuk melakukan sesuatu mereka akan mengamuk, atau bahkan melawan.

Cara menghadapi anak-anak yang suka melawan dan keras kepala:

  • Lihat diri kita
Kadang kita tidak menyadari bila buah hati kita memiliki hati yang keras, salah satu sebabnya adalah diri kita sendiri. Bila kita memiliki hati yang keras, sukar dinasehati, tentu saja secara tidak langsung itu juga akan menular pada diri buah hati kita. Bila setiap hari buah hati kita melihat hal ini, tentu lama kelamaan buah hati kita akan menirunya. Bila kita saat ini terlalu sombong, marilah kita merendahkan hati kita. Bila kita kurang mau mendengarkan orang lain, maka marilah kita mulai saat ini belajar mendengarkan. Supaya kita pun juga akan semakin mengerti segala kebutuhan buah hati kita, dengan mau dan menyediakan waktu untuk buah hati kita.
  • Hendaklah lebih fleksibel, lebih memberikan kasih sayang dan pengertian kepada anak.
Kebutuhan seorang anak sebenarnya tidak banyak. Mereka menginginkan perhatian dan kasih sayang kita sebagai orang tua. Kasih sayang dan perhatian yang cukup akan meminimalisir kebutuhan anak-anak pada “materi”. Jadi kalau anak mulai minta ini itu, mudah merengek, dan cepat bosan terhadap apa yang dia beli, itu sebenarnya sebagai ungkapan atau pengaruh dari adanya bagian hati mereka yang kosong. Dan sebenarnya bagian hati yang kosong tersebut hanya bisa diisi dengan kasih sayang dan kehangatan yang ada di dalam sebuah keluarga.
  • Salurkan Hobinya
Setiap anak tentu memiliki bakat dan minat yang berbeda. Sebagai orang tua kita harus cermat mengerti hal ini. Misalnya bila buah hati kita suka mencoret-coret di atas kertas, mulailah mencoba memasukkan buah hati kita pada sanggar-sanggar melukis. Anak-anak yang normal, biasanya memiliki “kelebihan tenaga”. Itulah kenapa kita sering melihat anak-anak susah untuk diam. Dia akan selalu bergerak, dan mencari keasyikan yang bisa dia lakukan. Jadi arahkanlah “sisa tenaga” yang ada di dalam diri sang buah hati. Hal ini akan sangat bermanfaat supaya emosi mereka bisa diarahkan kepada hal-hal yang positif. Hal ini akan sangat mengurangi pengaruh-pengaruh negatif dari luar yang bisa menyebabkan mereka gampang marah, bosan, sedih, dan sifat-sifat lainnya.
  • Jadilah orang tua yang bijak
Orang tua yang bijak mempunyai kepekaan terhadap buah hatinya, selalu berusaha melakukan yang terbaik dan memberikan pilihan terbaik kepada sang buah hati. Yang terbaik bagi anak, kadang bukanlah yang terbaik bagi orang tua. Disinilah terkadang kita temukan kesalahpahaman antara orang tua dan anak. Agar pilihan orang tua dan anak bisa selaras, perlu sekali adanya komunikasi yang intens. Disinilah waktu anda sangat dibutuhkan. Bukan banyaknya waktu yang anda berikan kepada anak, melainkan kualitas kebersamaan anda pada anak. Dari kedekatan inilah, anda akan semakin memahami buah hati anda. Sehingga pemikiran kita dengan sang buah hati kita pun bisa menyatu, dan meminimalisir kesalahpahaman yang biasanya terjadi karena adanya “batas” antara orang tua dan anak. Dan dari kedekatan inilah, anda bisa menasehati anak dengan bijak.
  • Tidak Mempermalukan Anak di Depan Umum
Saat menasehati anak, akan lebih baik bila kita menasehatinya di tempat yang rahasia dan dengan suara lembut. Jangan memberikan larangan, melainkan himbauan. Jangan berkata,”Kamu tidak boleh menggambar di tembok”, tetapi katakanlah ”Kalau kamu suka menggambar besok mama belikan buku gambar yang besar.” Mengharapkan anak berubah dengan mempermalukan mereka di tempat umum bukanlah cara menasehati yang baik. Karena pada saat itu juga, kita sudah mengajarkan kepada anak kalau mempermalukan orang lain di tempat umum adalah sesuatu yang wajar dan halal.
  • Tidak Memaksa
Kita harus belajar mengatakan sesuatu kepada buah hati kita dengan lembut tanpa ada unsur pemaksaan. Kita harus belajar mengajak daripada menyuruh. Kenapa? Karena menyuruh berarti meminta seseorang melakukan sesuatu dan itu harus dilakukan sedangkan kita sendiri tidak mau melakukan hal yang sama. Sedangkan mengajak, adalah meminta seseorang melakukan sesuatu dan mau menjadi satu dengan orang yang kita minta dengan prinsip kebersamaan.
  • Saat Yang Tepat Saat menasehati
Waktu yang tepat adalah sesuatu yang penting dan perlu kita perhatikan pada saat kita hendak menasehati buah hati kita. Pilihlah saat yang tepat dimana kita bisa mentransfer “ilmu moral” kita kepada buah hati kita, tanpa dia merasa terpaksa. Contohnya adalah dengan mengajak sang buah hati untuk jalan-jalan. Setelah dia merasa senang, dan merasa lapar, anda bisa mengajak makan bersama. Dan pada saat itulah anda bisa mengobrol dan mengatakan harapan-harapan anda pada sang buah hati. Misalnya dengan mengatakan,”Mama suka kalau kamu berdandan rapi. Kamu kelihatan cantik sekali.” Atau dengan memujinya,”Wah… Anak mama sudah besar dan tambah dewasa, sudah bisa makan sendiri.” Dengan pancingan-pancingan seperti itu, biasanya anak akan menjadi lebih tertarik untuk mau mendengarkan nasihat anda, sehingga untuk kedepannya mereka pun bisa berubah sedikit demi sedikit.
  • Bersikap seimbang dalam mendidik anak. Tidak terlalu memanjakan, tapi juga tidak terlalu keras.
  • Memberikan hadiah untuk sikapnya yang baik dan memberikan hukuman jika ia melakukan pelanggaran.
  • Senantiasa berusaha untuk membuat hati anak senang dan gembira, tapi tidak berlebihan.
  • Tidak bersikap plin plan, dalam artian tidak menyuruh anak atau membiarkan anak melakukan sesuatu, tapi kemudian melarang anak melakukan hal tersebut di lain waktu.
sumber gambar : http://www.rumahbunda.com/wp-content/uploads/et_temp/anak-suka-melawan-26258_238x238.jpg

Mengapa Anak Saya Suka Melawan dan Susah Diatur?: 37 Kebiasaan orang tua yang menghasilkan perilaku buruk pada anak

Bapak dan ibu pernah mengalami salah satu atau beberapa hal dibawah ini :
  • Apakah anda mulai merasa kesulitan mengendalikan perilaku anak anda?
  • Apakah anda dan pasangan anda sering tidak sepaham dalam mendidik anak-anak?
  • Apakah anak anda selalu merengek dan memaksa dibelikan sesuatu setiap kali diajak untuk pergi dan belanja?
  • Apakah anak-anak anda sering bertengkar di rumah dan satu sama lain tidak mau mengalah?
  • Apakah anak-anak anda selalu saling mengganggu?
  • Apakah anda mengalami kesulitan karena anak anda selalu bermain di rumah dan sulit untuk mengerjakan hal-hal lain?
Jika anda menjawab ya dari salah satu pertanyaan di atas, maka ada baiknya membaca tips-tips dibawah ini.


Kebiasaan 1: Raja yang tak pernah salah
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan, tidak jarang tanpa sengaja menabrak kursi/meja. Lalu menangis. Umumnya yang dilakukan orang tua agar tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi/meja, sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama pukul kursi/mejanya…sudah cup…cup…diem ya…” Akhirnya si anak pun terdiam.

Apa akibatnya?
Ketika proses pemukulan terhadap benda yang mereka tabrak terjadi, sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak bahwa ia tidak pernah bersalah. Yang salah orang/benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa. Akibatnya setiap ia mengalami peristiwa dan terjadi kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain, dan dirinya selalu benar, sehingga yang pantas dihukum adalah orang lain yang tidak melakukan kesalahan.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yaitu mengajari ia untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi; katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang menurutnya terasa sakit) :“Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu, supaya tidak membentur lagi.


Kebiasaan 2: Berbohong kecil dan sering
Pada saat kita terburu-buru pergi bekerja, anak kita meminta ikut. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru pergi? Atau kita mengatakan, “Papa hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentaaar saja ya, sayang.” Tapi ternyata, kita pulang malam.

Apa akibatnya?
Dari contoh diatas, jika kita berbohong ringan/bohong kecil, dapat mengakibatkan anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang tua. Mereka tidak bisa membedakan pernyataan kita yang bisa dipercaya atau tidak, sehingga anak menganggap semua yang diucapkan orang tuanya adalah bohong dan mulai tidak menuruti segala perkataan kita. Awalnya, anak-anak kita adalah anak yang selalu mendengarkan kata-kata orang tuanya, karena mereka sepenuhnya percaya pada orang tuanya. Namun setelah anak beranjak besar mereka mulai tidak menurut. Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah jujur kepada anak. Ungkapkan dengan penuh kasih dan pengertian: "Sayang, Papa mau pergi bekerja. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo papa libur dan pergi ke kebun binatang, kamu bisa ikut." Hal ini memang membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu sabar dan beri pengertian kepada mereka secara terus menerus. Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan sesuatu.

Kebiasaan 3: Banyak mengancam
Pada saat kita melihat si kakak sedang menggangu adiknya, kita sering mengatakan dengan berteriak dari tempat duduk kita, “Jangan ganggu adik, nanti papa/mama marah!”

Apa akibatnya?
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa menghentikan aktifitas kita, bagi mereka itu sudah merupakan suatu ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “…nanti papa/mama marah.”

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu. Cukup dekati si anak. Tatap matanya dengan lembut, namun perlihatkan bahwa ekspresi kita tidak senang dengan tindakan mereka, dan dipertegas dengan kata-kata, “Sayang, Papa/mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini kepada adikmu. Bila kamu tidak mau meminjamkannya, Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa bermain. Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau meminjamkannya pada adikmu dan Papa/mama akan makin sayang sama kamu.” Tepati pernyataan kita itu dengan tindakan nyata.


Kebiasaan 4: Bicara tidak tepat sasaran

Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat seperti, “Papa/Mama tidak suka bila kamu begini atau begitu!” atau “Papa/Mama tidak mau melihat kamu berbuat seperti itu lagi!” Namun kita tidak menjelaskan secara rinci dan dengan baik, hal-hal yang kita inginkan.

Apa akibatnya?
Anak tidak mengerti apa yang diingini oleh orang tuanya, sehingga yang terserap oleh anak adalah hal-hal yang tidak disukai oleh orang tuanya, sehingga anak terus mencoba hal yang baru dan dari sekian banyak percobaan yang baru tersebut, ternyata selalu dikatakan salah oleh orang tuanya. Hal ini yang mengakibatkan mereka berbalik untuk dengan sengaja melakukan hal-hal yang tidak disukai orang tuanya dengan tujuan untuk membuat kesal orang tuanya karena tindakannya selalu salah di hadapan orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Sampaikanlah hal-hal yang kita inginkan secara intensif pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal yang tidak kita sukai. Dan pada waktunya, ketika mereka sudah memahami dan melakukan segala hal yang kita inginkan, ucapkanlah terima kasih dengan tulus dan penuh sayang atas segala usahanya untuk berubah.


Kebiasaan 5: Menekankan pada hal-hal yang salah
Kita selaku orang tua sering mengeluhkan perilaku anak-anak kita yang tidak pernah akur dan selalu bertengkar. Apa yang kita lakukan? Melerai atau memarahi semua pihak. Lalu kita ingat-ingat lagi, apa yang kita lakukan bila mereka bermain dengan akur atau tidak bertengkar? Seringkali kita mendiamkan mereka bukan? Tidak menyapa mereka karena beranggapan tidak perlu karena mereka sudah bermain dengan baik dan tidak bertengkar.

Apa akibatnya?
Dengan menganggap tidak perlu itulah yang membuat mereka terpicu untuk kembali bertengkar, karena dengan bertengkar, mereka mendapat perhatian dari orang tuanya. Dengan mendiamkan mereka karena tidak bertengkar, membuat mereka juga tidak tahu bila kita senang dengan kerukunan itu.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain dengan asyik dan rukun, setiap kali mereka berbagi di antara mereka dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami, misalnya :”Nah, gitu dong kalau main. Yang rukun dan mau saling meminjamkan. Papa/Mama senang dan tambah sayang.” Lalu peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan sayang.


Kebiasaan 6: Merendahkan diri sendiri

Bila anak anda terlalu asyik bermain play station sehingga mengalahkan jam belajar, apa yang anda lakukan? Mungkin kita sering mengatakan :”Ayo, matikan play station-mu itu. Awas ya, nanti dimarahi sama papa kalo pulang dari kerja.” Kita selalu menggunakan ancaman dengan figur yang ditakuti oleh si anak.

Apa akibatnya?
Dengan menggunakan ancaman, kita tidak sadar telah mengajarkan kepada anak bahwa mereka akan menurut jika mereka ditakut-takuti dahulu.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Siapkan aturan main sebelum kita bicara, setelah siap, dekati anak, tatap matanya, dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin ia berhenti bermain sekarang atau berikan pilihan, misal : “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu mau mandi sekarang atau lima menit lagi? Bila jawabannya, “lima menit lagi pa/ma.” Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah lima menit, kamu mandi ya. Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit, dengan terpaksa Papa/Mama simpan play station-nya hingga lusa.” Setelah persis lima menit, dekati si anak, tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa kompromi dan tawar menawar lagi. Jika dia tidak menepati pilihannya, langsung laksanakan konsekuensinya segera.


Kebiasaan 7: Papa dan Mama tidak kompak
Seorang ibu meminta anaknya yang menonton televisi terus-menerus untuk mengerjakan tugas sekolahnya, tapi pada saat yang bersamaan, si bapak membela si anak dengan mengatakan bahwa tidak masalah bila menonton televisi terus, dengan alasan supaya anaknya tidak stres.

Apa akibatnya?
Anak-anak pada umumnya belum dapat memahami nilai benar dan salah. Mereka lebih cepat menangkap rasa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya, sehingga si anak memberi nilai bahwa ibunya jahat dan bapaknya baik, akibatnya, setiap kali ibunya memberi perintah, ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik pembelaan bapaknya. Perlahan tapi pasti, anak akan belajar untuk terus melawan terhadap ibunya. Demikian sebaliknya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Untuk itu diperlukan peranan orang tua dalam mendidiknya. Peran itu bukan tugas ibu saja atau bapak saja, tapi keduanya. Ketika orang tua tidak kompak dalam mendidik anak-anaknya, maka anak tidak akan pernah menjadi lebih baik. Dihadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat untuk hal-hal yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak. Apabila ada pandangan yang berbeda dalam mendidik anak, bicarakan hal ini secara pribadi dengan pasangan kita.


Kebiasaan 8: Campur tangan Kakek, Nenek, Tante atau pihak lain
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha untuk kompak satu sama lain dalam mendidik anak-anaknya, tiba-tiba ada pihak ke-3, yaitu kakek, nenek, om, tante atau pihak lain di luar keluarga inti, yang muncul dan cenderung membela si anak.

Apa akibatnya?
Bila dalam satu rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat orang tua mendidik, anak akan cenderung berlindung di balik orang yang membelanya, anak juga cenderung melawan orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan yang sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua. Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.


Kebiasaan 9: Menakuti anak
Pada saat anak kita menangis dan kita berusaha untuk menenangkannya, kita sering mengatakan kepada si anak :”Eh, kalo nangis terus nanti disuntik lho …” atau “Kalo kamu nangis terus, Papa/mama panggil pak satpam ya.” Anak akhirnya memang cenderung untuk berhenti menangis atau merengek dan menuruti kita.

Apa akibatnya?
Dengan pernyataan ancaman atau menakut-nakuti, sebenarnya kita telah menanamkan rasa tidak suka atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan. Anak akan tidak suka atau takut dengan figur dokter/satpam. Pernyataan mengancam/menakuti akan semakin dipahami anak sebagai kebohongan orang tua seiring perjalanan tumbuh kembang anak.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa karena sesungguhnya anak-anak juga mampu berpikir dewasa. Jika anak minta dibelikan permen katakan padanya akibat yang dapat ditimbulkan pada gigi dari pemanis buatan itu. Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh pengertian dan tataplah matanya, “Kamu boleh menangis, tapi papa/mama tetap tidak akan membelikan permen.” Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis hingga diam dengan sendirinya.


Kebiasaan 10: Ucapan dan tindakan tidak sesuai
Ada sebagian orang tua yang menetapkan pola asuhnya dengan menggunakan cara memberi penghargaan dengan pujian atau bahkan hadiah untuk kebaikan yang dilakukan oleh anaknya. Contohnya “Jika kamu mau membersihkan tempat tidurmu, maka di akhir pekan papa/mama mengajakmu jalan-jalan”. Dan pada akhir pekan, ternyata kita tidak dapat memenuhi janjinya, sehingga anak kita menjadi marah.

Apa akibatnya?
Anak memiliki ingatan yang tajam terhadap suatu janji, jika kita tidak menepati janji, maka kita tidak dipercaya oleh anak dan selanjutnya, anak mulai tidak mau menuruti yang kita minta.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah mudah mengumbar janji pada anak dengan tujuan untuk merayunya, agar ia mau mengikuti permintaan kita. Pikirlah dahulu sebelum berjanji apakah kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut. Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi segeralah minta maaf, berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.

Kebiasaan 11: Hadiah untuk perilaku buruk anak
Pada saat kita bersama anak berada di tempat umum, si anak minta dibelikan mainan. Lalu kita katakan, "Tidak boleh." Si anak terus merengek dan rengekannya semakin kuat hingga menjadi teriakan dan ada gerakan perlawanan. Kita tetap mengatakan tidak boleh. Dan pada saat kita berada di antrian bayar kasir, dia merengek lagi dengan kekuatan penuh untuk membuat kita malu di depan umum. Dan akhirnya, tibalah saat yang dinantikan oleh anak dengan mendengar pernyataan dari kita sebagai orang tua : “Ya sudah, kamu ambil satu. Satu saja ya!”.

Apa akibatnya?
Saat kita memberi pernyataan, …”Ya sudah, kamu ambil satu.” … kita telah memberikan hadiah pada perilaku buruk yang dilakukannya. Dan sejak saat itu juga, anak mempelajari sesuatu bahwa untuk bisa mendapatkan sesuatu yang diinginkan maka dia harus membuat perlawanan yang cukup heboh di tempat yang “strategis”. Anak mempelajari bahwa apa pun permintaannya dapat dikabulkan bila melalui perlawanan yang gigih. Kejadian ini akan terus diulangi dan diuji-cobakan pada permintaan yang lain.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tetaplah berlaku konsisten, tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang ‘tega’ atau ‘kikir’. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak. Sekali kita konsisten, anak tak akan pernah mencobanya lagi. Ingat sekali lagi: tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apa pun alasannya, jangan pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.

Kebiasaan 12: Merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik
Dalam kehidupan saat ini, di mana sebagian besar orang tua banyak menghabiskan waktunya di kantor/ tempat kerja dari pada bersama anaknya, menyebabkan banyak orang tua merasa bersalah atas situasi ini. Akibatnya para orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering dilontarkan, “Biarlah dia seperti ini mungkin karena saya juga yang jarang bertemu dengannya…”

Apa akibatnya?
Semakin orang tua merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita. Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada anak kita adalah hal yang terbaik. Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak sama. Ada orang punya kelebihan pada aspek financial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, sebaliknya ada yang punya banyak waktu bersama tapi kekurangan dari sisi ekonomi. Jadi yakinlah bahwa dalam kondisi apa pun kita tetap bisa memberikan yang terbaik. Jadi, jangan pernah memaklumkan hal-hal yang tidak baik. Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya punya sedikit waktu, gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi rasa sepenuhnya dengan anak kita. Menyisihkan waktu di antara sisa-sisa tenaga kita, memang tidak mudah. Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita, maka akan terbiasa.

Kebiasaan 13: Mudah menyerah dan pasrah
Pernahkah kita mengucapkan kata-kata : “Duh.. anak saya itu memang keras betul…saya tidak sanggup lagi untuk mengaturnya.” Atau “Biar sajalah, terserah apa maunya. Saya sudah tidak sanggup lagi untuk mendidiknya.”

Apa akibatnya?
Dalam kondisi kita sebagai orang tua tidak tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas. Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih dominan dan mengatur orang tuanya. Akibat lebih lanjut orang tua sulit mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Belajar dan berusahalah dengan keras untuk menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan, tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang menyerah. Bila kita mudah menyerah, kepada siapa kita akan melimpahkan tugas kita ini dalam mendidik anak?

Kebiasaan 14: Marah yang berlebihan
Pernahkah kita memarahi anak kita karena melakukan kesalahan karena kelengahan kita menjaga mereka? Bahkan tidak jarang kita melakukan kekerasan fisik.

Apa akibatnya?
Sering kita menyamakan persepsi antara mendidik dan memarahi. Perlu diingat, memarahi adalah cara mendidik yang paling buruk. Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang mendidik mereka, melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita karena tidak bisa mengatasi masalah dengan baik dan merupakan upaya untuk melemparkan kesalahan pada anak kita. Dan setelah selesai marah kita akan menyesal dan cenderung tidak konsisten terhadap apa yang telah kita tetapkan. Rasa menyesal ini juga sering kita ganti dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal-hal yang sebelumnya kita larang. Bila hal ini terjadi, anak kita akan selalu berusaha memancing kemarahan kita, kemudian kita kembali menyesal dan si anak menikmati hasilnya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah bicara pada saat marah! Pergilah menghindar hingga amarah reda. Setelah itu bicara “tegas” dan bukan berbicara “keras”. Bicara tegas adalah bicara dengan nada yang datar, dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam-dalam. Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita rasional. Sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi, sehingga kata-kata kita tidak bisa terkontrol. Anak yang dimarahi cenderung tidak bertambah baik, ia akan menimpali dengan kesalahan yang sama. Maka bertindaklah tegas jika kita ingin anak kita menjadi lebih baik.

Kebiasaan 15: Gengsi untuk menyapa
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita telanjur marah besar terhadap anak, biasanya amarah terbawa selama berhari-hari, sehingga hubungan kita dengan anak menjadi renggang.

Apa akibatnya?
Akibat rasa kesal yang masih tersisa dan ditambah “gengsi”, kita enggan menyapa anak kita. Masing-masing pihak menunggu untuk memulai kembali hubungan yang normal.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita sebagai orang tua yang harus memulai saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda perdamaian dan mengikuti keinginan kita, jangan tunda lagi, dan bukalah pembicaraan dengannya. Ajaklah kembali bicara seperti biasanya, jika perlu mintalah maaf atas apa yang telah terjadi diantara kita dan anak kita. Anak pun akan ikutan meminta maaf, sehingga tanpa disadari oleh si anak, dia akan merasa bahwa kita tidak suka pada sikap anak kita dan bukan pada pribadi anak kita.


Kebiasaan 16: Memaklumi yang tidak pada tempatnya

Kebanyakan orang tua bila melihat anak berperilaku usil dan suka mengganggu, cenderung mengatakan: “Ya, maklumlah namanya juga anak-anak…”

Apa akibatnya?
Karena kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan oleh anak-anak, otomatis si anak berpikir bahwa perilakunya saat ini sudah benar, karena tidak ada teguran. Sehingga ia akan selalu mengulangi tindakan keliru atau buruk itu. Akan berdampak lebih buruk lagi, bila perilaku ini dipertahankan hingga ia dewasa.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kita tidak perlu memaklumi suatu hal yang tidak perlu dimaklumi. Kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali dengan tegas (ingat : bukan keras) sejak usia 2 tahun. Semakin dini usianya, semakin mudah untuk diajak kerja sama. Ia akan mau diajak bekerja sama selama kita selalu mengajaknya berdialog dari hati ke hati, tegas dan konsisten. Tidak perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa. Semakin bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku buruknya.


Kebiasaan 17: Penggunaan istilah yang tidak jelas maksudnya
Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan pernyataan seperti, “Awas ya, kalau kamu ikut Papa/mama, tidak boleh nakal!” atau “Awas, kalo mau ikut Papa/mama jangan macam-macam ya”.

Apa akibatnya?
Kita sering menggunakan istilah-istilah yang tidak memiliki maksud yang jelas seperti istilah “nakal” atau “jangan macam-macam”. Istilah ini akan membingungkan anak kita. Dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud dengan nakal, tingkah laku seperti apa yang masuk dalam kategori nakal, dan perilaku apa yang masuk kategori macam-macam. Selain bingung, anak juga akan menebak-nebak arti dari istilah nakal atau macam-macam. Sehingga, mereka mencoba-coba untuk mengetahui perilaku yang masuk kategori nakal atau macam-macam itu.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya, “Sayang, bila kamu ingin ikut Papa/mama, kamu tidak boleh minta mainan, permen dan tidak boleh berteriak di kasir seperti minggu lalu ya”. Sehingga anak jelas memahami keinginan kita dan berusaha memenuhinya. Jangan lupa untuk menetapkan kesepakatan bersama apa konsekuensinya jika hal itu dilanggar.


Kebiasaan 18: Mengharap perubahan instan
Ketika anak terlambat bangun, tidak membereskan tempat tidur atau sulit dimandikan, kita ingin bahwa anak kita berubah total dalam jangka waktu sehari.

Apa akibatnya?
Karena terbiasa hidup dalam budaya “instan” seperti mie instan, susu instan, the instan, sehingga setiap anak berbuat salah, kita sering ingin sebuah perubahan yang instan juga. Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waktu singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya. Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukannya lagi. Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan seperti banyak memberi alasan, acuh tak acuh atau marah-marah.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaan pada anak, berikanlah waktu untuk tahapan-tahapan perubahan yang rasional untuk bisa dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila mungkin ajak ia melakukan perubahan dari hal yang paling mudah. Biarkan ia memilih hal yang paling mudah menurutnya uantuk diubah. Jika ia berhasil, itu akan memotivasi anak untuk melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu dirayakan setiap perubahan yang berhasil dilakukannya, sekecil dan sesederhana apa pun perubahan tersebut. Ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah dilakukannya. Pusatkan pujian kita pada usaha kerasnya dan jangan memusatkan pada hasilnya yang kadang-kadang kurang memuaskan kita.


Kebiasaan 19: Pendengar yang buruk
Suatu hari anak kita pulang terlambat, seharusnya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat keterangan apa pun darinya dan kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap anak hendak bicara, kita selalu memotongnya. Akibatnya ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.

Apa akibatnya?
Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan dan ingin diperhatikan. Padahal keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak mendapat kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Mulai saat ini jadilah pendengar yang baik. Perhatikan setiap ucapan ceritanya, sehingga kita mengetahui permasalahan secara utuh dan benar. Cukup dengarkan dahulu dengan memberi tanggapan antusias dan empati. Tahanlah untuk tidak berkomentar apa pun sampai anak kita mengatakan, “Menurut Papa/mama bagaimana?”. Ingatlah pesan yang disampaikan oleh Tuhan melalui anggota tubuh kita, yaitu Tuhan memberi kita 2 telinga dan 1 mulut, yang artinya Tuhan menghendaki kita 2 kali mendengarkan dan 1 kali berbicara. Dan jangan dibalik.


Kebiasaan 20: Selalu menuruti permintaan anak
Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau anak laki-laki yang ditunggu-tunggu dari beberapa anak perempuan kakak-kakaknya? Atau mungkin anak yang sudah 10 tahun ditunggu-tunggu baru kita dapatkan? Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat sayang pada anaknya, sehingga setiap kemauan anak selalu dituruti.

Apa akibatnya?
Seperti seorang raja kecil, semakin hari tuntutannya semakin aneh-aneh dan kuat. Jika ini sudah menjadi kebiasaan maka kita akan sulit sekali membendungnya. Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi anak yang super egois, tidak kenal toleransi dan tidak bisa bersosialisasi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Betapapun sayangnya kita pada anak jangan pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus ditunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kita harus menerapkan pola asuh sesuai tipologi sifat dasarnya. Jika tidak, rasa sayang kita akan “kebablasan” dan menjadikannya anak yang “semau gue” atau egois/manja.


Kebiasaan 21: Terlalu banyak larangan
Seberapa banyak kita jumpai orang tua yang ingin menjadikan anaknya seperti apa yang dia inginkan secara sempurna (Perfectionist)? Yang cenderung membentuk anaknya sesuai dengan keinginannya, anaknya harus begini dan tidak boleh begitu, dilarang melakukan ini dan itu. Hal tersebut terkadang dilakukan secara berlebihan, sampai-sampai hal yang paling pribadi pun ikut-ikutan diaturnya.

Apa akibatnya?
Anak tercipta untuk menjadi dirinya sendiri dengan cara yang benar sesuai nilai-nilai yang berlaku. Pada saat kita menerapkan pola asuh perfectionist, pada saat anak tidak tahan lagi dengan cara kita. Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan cara menyakiti diri, dengan perlawanan tersembunyi atau dengan perang terbuka.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Kurangilah sifat kita yang perfeksionis. Berilah ijin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan positif. Berlatihlah untuk selalu berdialog. Bangunlah situasi saling mempercayai antara kita dan anak kita. Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan. Gunakan kesepakatan-kesepakatan untuk memberikan batas yang lebih baik.


Kebiasaan 22: Terlalu cepat menyimpulkan
Pada saat anak pulang terlambat dan hendak menceritakan penyebabnya, kita memotong pembicaraan dengan mengatakan, “sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”. Atau “Ah, Papa/mama tahu, kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”.

Apa akibatnya?
Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat anak kita sedang memberikan penjelasan dan segera menentukan kesimpulan akhir yang biasanya cenderung memojokkan anak kita. Padahal kesimpulan kita belum tentu benar dan seandainya benar cara ini akan menyakitkan hati si anak, sehingga anak akan menyimpulkan bahwa kita adalah orang tua yang sok tahu, tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan. Dan akibatnya anak malah akan benar-benar melakukan hal-hal yang kita tuduhkan kepadanya. Ia tidak pernah mau mendengarkan nasihat kita dan ia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil kesimpulan terlalu dini. Dengarkan, dengarkan dan dengarkan sambil memberi tanggapan positif dan antusias. Ada saatnya bahwa kita akan diminta bicara, tentunya setelah anak kita sudah selesai dengan penjelasannya.


Kebiasaan 23: Mengungkit kesalahan masa lalu
Seringkali kita mengungkit-ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak kita, contohnya, “Tuh kan Papa/mama bilang apa? Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalo orang tua ngomong. Dasar kamu memang anak bebal sih”.

Apa akibatnya?
Kita berharap, dengan mengungkit kejadian masa lalu mengenai catatan kesalahannya, anak akan belajar dari masalah. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahan-kesalahannya sebagai tindakan pembalasan dari sakit hatinya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita tidak ingin anak kita berperilaku buruk lagi, jangan pernah mengungkit-ungkit lagi masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkul anak kita. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahannya. Ungkapkan pernyataan seperti, “Y, sayang kita semua manusia biasa, setiap orang pasti pernah keliru dan salah. Papa/mama yakin ini adalah pelajaran berharga buat kita semua dan mulai besok kamu yang memutuskan yang terbaik”. Dan bila ternyata anak kita yang mengungkit kekeliruannya di masa lalu, kita cukup memberikan anggukan kepala serta pujian bahwa dia mau belajar dari pengalaman. Berilah pujian dengan ungkapan, “Kamu memang anak papa yang luar biasa. Papa bangga kamu bisa mengambil hikmah positif dari kejadian yang kamu alami”.


Kebiasaan 24: Suka membandingkan
Kebanyakan orang tua, entah sadar atau tidak justru sering membanding-bandingkan anaknya dengan orang lain/ satu sama lain. Contohnya, “Coba kalo kamu mau rajin belajar seperti kakak, pasti nilai rapor kamu tidak seperti ini!”.

Apa akibatnya?
Jika kita sering melakukan kebiasaan membandingkan satu dengan yang lain, maka akan mengakibatkan anak makin tidak menyukai kita dan merasa iri dan benci pada si pembanding. Sementara itu, anak si pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati. Anak yang sering dibandingkan akan menjadi anak pembangkang dan berperilaku makin buruk serta berupaya menjatuhkan si pembanding dengan berbagai cara. Kita secara tidak sadar telah memicu pertengkaran diantara anak-anak kita sendiri.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekali-kali membanding-bandingkan satu dengan lainnya, karena setiap anak terlahir dengan membawa perbedaan. Catat perubahan perilaku masing-masing anak. Jika ingin membandingkan, bandingkanlah perilaku anak yang sama di masa lalu dengan perilaku anak yang sama di masa kini. Motivasilah terus untuk maju. Pujilah segala usaha kerasnya. Berikan ungkapan, “Sayang, Papa/mama perhatikan dulu kamu itu hebat lho seringkali menolong adikmu. Tapi kok sekarang Papa/mama tidak pernah lagi melihat kamu melakukannya ya? Kenapa sayang?” atau “Eh, biasanya anak Papa/mama suka merapikan tempat tidur ya, kenapa hari ini nggak?”.


Kebiasaan 25: Paling benar dan paling tahu segalanya
Pernah tidak kita sebagai orang tua melontarkan pernyataan seperti, “Ah…kamu ini masih bau kencur tahu apa soal hidup”. Atau “Kamu tau ngga, Papa dan Mama sudah banyak makan asam garamnya kehidupan, jadi kamu ngga perlu nasihatin Papa-Mama”.

Apa akibatnya?
Jika kita memiliki kebiasaan ini, maka kita telah membuat proses komunikasi dengan anak-anak mengalami jalan buntu. Meskipun kita bermaksud menunjukkan superioritas kita di depan anak, tapi yang ditangkap anak malah semacam kesombongan yang luar biasa. Tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan nasihat orang yang sombong.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Seringkali usia orang tua dijadikan acuan tentang banyaknya pengetahuan dan pengalaman. Namun untuk saat ini, kondisi itu sudah tidak tepat lagi. Siapa yang lebih banyak mendapatkan informasi dan banyak mengikuti kegiatan baik yang bersifat bisnis atau sosial, lokal/internasiona, dialah yang lebih banyak tahu dan berpengalaman. Seperti seorang pilot, kepiawaiannya dinilai dari jumlah jam terbang, bukan dinilai berdasarkan usia. Jadi janganlah pernah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat dan paling banyak makan asam garam. Kita harus selalu ingat sifat padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita, tanpa merasa lebih rendah. Bila kita kurang setuju dengan pandangan anak kita, dukunglah idenya terlebih dahulu, kemudian ceritakan pengalaman kita yang berkaitan dengan ide tadi.


Kebiasaan 26: Saling melempar tanggung jawab
Kita sering mendengar (atau mungkin mengalami) beberapa suami terhadap istri atau sebaliknya mengungkapkan pernyataan seperti, “Kamu sih memang tidak becus mendidik anak,” kata sang suami, kemudian sang istri tak kalah sengit menjawab, “Enak saja, selama ini kamu kemana saja?” tukas sang istri. Kemudian ditanggapi lagi oleh sang suami, “Lho itukan tugas kamu mendidik anak, aku tugasnya mencari nafkah. Jadi kalo ada apa-apa sama anak, ya kamulah yang paling bertanggung jawab!”. Begitulah pertempuran mulut yang tiada berujung dan tiada berakhir.

Apa akibatnya?
Mendidik anak merupakan tanggung jawab orang tua, yaitu bapak dan ibu. Bila tidak maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil, sehingga yang sering terjadi adalah saling menyalahkan satu sama lain. Anak kita akan merasa tindakan buruknya bukan karena kesalahannya, melainkan disebabkan oleh ketidak becusan salah satu dari orang tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Hentikan saling menyalahkan sekarang juga! Ambilah tanggung jawab kita selaku orang tua secara berimbang. Keberhasilan pendidikan ada di tangan kita berdua dan merupakan kerja sama tim. Belajarlah bagaimana cara mendidik yang benar dari sumber-sumber yang tepat dan jangan pernah ada alasan tidak ada waktu. Jadi aturlah waktu kita dengan berbagai cara dan kompaklah selalu dengan pasangan. Ingat selalu pertanyaan bijak yang sebaiknya kita ajukan sebelum menyalahkan pasangan kita, dan renungkanlah, “Apa peran yang sudah saya berikan dalam proses pendidikan anak-anak saya selama ini?”


Kebiasaan 27: Kakak harus selalu mengalah
Ada seorang kakak beradik, yang diasuh oleh neneknya. Suatu hari adiknya menangis dan tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang salah dan benar, si nenek selalu memarahi si kakak. Si nenek selalu membela si adik dan melimpahkan kesalahan pada kakaknya. “Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau mengalah dengan adiknya.” Begitu ucapan yang selalu keluar dari mulut si nenek. Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.

Apa akibatnya?
Ada suatu budaya di negeri ini bahwa anak yang lebih tua harus selalu mengalah dengan saudaranya yang lebih muda, sehingga tanpa melihat siapa yang salah dan siapa yang benar, setiap kali adiknya menangis, selalu kakaknya yang disalahkan, yang mengakibatkan anak yang paling tua tidak memiliki rasa percaya diri dan membenci adiknya. Lama kelamaan si kakak mulai banyak melawan atas ketidak adilan ini dan kedua anak bersaudara ini makin sering bertengkar. Sementara si adik, yang selalu dibela, menjadi semakin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan memberontak.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan salah atas perbuatannya terlepas dari apakah ia lebih muda atau lebih tua usianya. Maka berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap dari anak kita secara berimbang pada saat mereka bertengkar. Tunjukkan hal-hal yang benar dan salah pada masing-masing. Damaikanlah mereka segera, serta jelaskan nilai-nilai benar yang berlaku dan perlu mereka taati bersama.


Kebiasaan 28: Menghukum secara fisik
Dalam kondisi emosi, kita cenderung menjadi sensitif hingga pada akhirnya suara kita yang keras berubah menjadi tindakan fisik yang menyakiti anak.

Apa akibatnya?
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, maka kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan beringas, suka menyakiti orang lain dan membangkang. Pada saat ia bersosialisasi, percaya atau tidak anak akan meniru tindakan kita yang suka memukul. Anak yang sejak kecil terbiasa dipukul oleh orang tuanya akan menyimpan dendam dalam batinnya. Rasa dendam terkadang ia lampiaskan kembali pada orangtuanya sendiri, orang lain atau teman-teman sebayanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik kepada anak, mencubit, memukul atau manampar bahkan menggunakan alat seperti ikat pinggang atau rotan. Anak kita adalah anak manusia yang telah dirancang oleh Penciptanya untuk bisa diatur dengan kata-kata. Bila kata-kata kita sudah tidak lagi didengar oleh anak, koreksilah segera diri kita, pasti ada yang salah dengan kebiasaan kita hingga anak tidak menurut. Seandainya dulu kita pernah diperlakukan demikian oleh orang tua kita, maafkanlah orang tua kita dan jangan lanjutkan kebiasaan yang sangat buruk ini pada anak kita. Hukuman pukulan lebih cocok kepada binatang daripada manusia. Gunakanlah media dialog, pujian dan kelembutan.

Kebiasaan 29: Menunda atau membatalkan hukuman
Pernahkah kita pada saat anak minta dibelikan permen atau mainan, dan anak merengek, kita lalu menjanjikan konsekuensi hukuman atau sangsi, tetapi kita menunda atau bahkan membatalkannya karena alasan lupa atau kasihan? Atau ketika anak berhenti merengek, kita menganggap masalah sudah selesai dan akhirnya kita menunda atau membatalkan hukuman.

Apa akibatnya?
Bila kita tidak melaksanakan kesepakatan, anak akan menilai kita sebagai orang tua yang selalu lupa atau hanya mengancam. Maka sering terjadi anak mempunyai pola pikir untuk selalu melanggar kesepakatan karena sangsi atau hukuman tidak pernah terjadi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita sudah punya kesepakatan dan anak melanggarnya, sangsi atau hukuman tetap berlaku. Segera laksanakan sangsi itu dan jangan menunda-nunda. Bila kita kasihan mungkin kita bisa kurangi sangsi atau hukumannya. Perlu diingat bahwa sangsi atau hukuman yang dimaksud bukanlah sangsi atau hukuman secara fisik, tetapi lebih pada pengurangan bobot kesukaannya seperti mengurangi jam menonton televisi, mengurangi jam bermain, dan lainnya.


Kebiasaan 30: Terpancing emosi
Anak-anak dalam memaksakan kehendak, biasanya sering menguji emosi kita dengan perilakunya yang mengesalkan seperti menangis, merengek, berguling atau memukul. Sehingga akhirnya kita sering terpancing, menjadi marah dan lepas kontrol atau malah cenderung mengalah. Pernahkah kita mengalaminya?

Apa akibatnya?
Bila kita terpancing, anak kitalah yang merasa menang, sehingga anak kita merasa bisa mengendalikan orang tuanya. Jika ini terjadi maka ia akan terus berusaha untuk mengulanginya pada kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar lagi.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara dan tidak menanggapi. Jangan pedulikan ulahnya. Bila anak menangis katakan padanya bahwa tangisannya tidak mengubah keputusan kita. Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si anak tidak berulah lagi. Setelah itu lakukan aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak yang berulah, hingga ia berhenti berulah. Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang memperhatikan kita, dan jangan ada pula orang lain yang berusaha menolong anak kita yang sedang berulah tadi. Sekali kita berhasil membuat anak kita mengalah, maka selanjutnya dia tidak akan mengulangi untuk yang kedua kalinya.


Kebiasaan 31: Menghukum anak saat kita marah
Seringkali bila anak kita berbuat salah, kita menjadi marah dan selalu memberikan sanksi atau hukuman, apalagi ketika emosi kita sedang memuncak. Sanksi atau hukuman yang kita berikan kebanyakan berupa hukuman secara fisik.

Apa akibatnya?
Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata-kata maupun hukuman akan cenderung untuk menyakiti dan tidak menjadikan anak kita lebih baik, sehingga akan berakibat fatal, yaitu kita telah melukai hati anak kita dan anak seringkali tidak bisa melupakannya. Selain itu anak juga bisa mendendam pada orang tuanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bila dalam keadaan marah, segeralah menjauh dari anak, seperti masuk kamar atau mandi dengan air yang sejuk. Jika kita bertekad akan memberikan sanksi/hukuman, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk sanksi/hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Pilihlah bentuk sanksi/hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main game, dsb. Harap diingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.


Kebiasaan 32: Mengejek
Ada orang tua yang suka memeloroti celana anaknya untuk jadi bahan tertawaan atau seorang anak yang sedang menyanyi dan kita mengejeknya, “Cie…cie…mirip Ariel nich ye”.

Apa akibatnya?
Orang tua yang biasa menggoda anaknya sering kali secara tidak sadar telah membuat anaknya kesal. Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau malu, sehingga hal ini akan membangun ketidak sukaan anak kepada kita akhirnya anak tidak menghargai kita lagi, karena ia menganggap kita juga seperti teman-temannya yang suka menggodanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Jika kita ingin bercanda dengan anak, pilihlah materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau merendahkan dirinya. Jagalah batas-batas dan hindari bercanda yang membuat anak kita kesal atau malu. Bila sedang bercanda, ekspresi anak kita kesal dan meminta kita segera menghentikannya, segera hentikan dan jika perlu meminta maaflah atas kejadian yang baru terjadi. Katakanlah kita tidak bermaksud merendahkannya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.


Kebiasaan 33: Menyindir
Beberapa orang tua terkadang tidak dapat menyampaikan hal-hal yang diinginkannya dengan baik dan jelas kepada anak, karena tidak tahu caranya. Karena sudah mencapai batas kesabarannya, terkadang orang tua mengungkapkan kemarahannya dengan kata-kata singkat yang pedas dengan maksud menyindir seperti, “Tumben hari gini sudah pulang” atau ”Sering-sering aja pulang malem!”.

Apa akibatnya?
Kebiasaan ini akan membuat anak semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita. Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak ingin berkomunikasi dengan kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Tak ada seorang pun yang berubah menjadi baik karena sindiran. Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan dengan kalimat yang tidak menyakiti hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/mama khawatir akan keselamatan kamu kalo kamu pulang terlalu malam.”


Kebiasaan 34: Memberikan julukan yang buruk
Kita dengan begitu mudahnya sering memberikan julukan yang buruk, seperti si gendut, si lemot, si cengeng, biang kerok, dsb.

Apa akibatnya?
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak akan mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/minder, kebencian dan perlawanan. Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan julukan tersebut pada orang tuanya. Misal, anak yang diberi julukan biang kerok, ia akan berpikir bahwa apa yang diperbuatnya tidaklah keliru, karena memang dia adalah biang kerok.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Gantilah segera julukan yang buruk dengan yang baik, seperti anak baik, anak hebat, anak bijaksana atau panggil dia dengan nama panggilan yang disukainya saja. Cobalah tanya pada anak kita, panggilan apa yang disukainya. Anak pasti akan lebih menyukai kita.


Kebiasaan 35: Mengumpan anak yang rewel
Kita sering mengalihkan perhatian anak kepada hal/barang lain pada saat anak kita marah, merengek, menangis atau meminta sesuatu dengan memaksa. Contohnya, “Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa tuh…?” atau “Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”.

Apa akibatnya?
Pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkan, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif. Ia tidak ingin dialihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat penyelesainnya. Semakin kita berusaha mengalihkannya, semakin marah anak kita.

Apa yang sebaiknya dilakukan?
Selesaikan apa yang diinginkan anak kita dengan membicarakanya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum membuat kesepakatan di rumah. Katakan secara langsung apa yang kita inginkan, seperti, “Papa/mama belum bisa membelikan mainan itu sekarang. Jadi kamu mau harus menabung dulu. Nanti papa/mama ajari kamu cara menabung. Bila kamu terus merengek, kita tidak jadi jalan-jalan dan langsung pulang”. Jika anak tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai. Untuk urusan belanja, kita masih bisa menundanya, tapi jangan sekali-kali menunda dalam mendidik anak.


Kebiasaan 36: Televisi sebagai agen pendidik anak
Menurut penelitian, sebagian besar perilaku buruk ditiru anak dari media visual dan sebagian lagi dari media cetak dan lingkungan. Jika kita membiarkan anak kita berlama-lama menonton TV, maka kita telah menyerahkan anak kita untuk dididik oleh ibu kedua.

Apa akibatnya?
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal, yaitu :
  • Terbentuk berdasarkan Siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya : kita atau TV?
  • Terbentuk oleh siapa yang lebih dia percaya, apakah pada kata-kata kita atau ketepatan waktu program-program TV?
  • Terbentuk oleh siapa yang menyampaikan lebih menyenangkan, Apakah kita atau program-program TV?
  • Terbentuk oleh siapa yang lebih sering menemaninya, kita atau program-program TV yang sangat setia menemani anak kita.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tsb diatas.
  • Ganti kegiatan menonton TV anak dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang padat bagi anak-anak.
  • Gantilah program TV di rumah dengan film-film pengetahuan yang lebih mendidik dan menantang mulai dari film kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.


Kebiasaan 37: Mengajari anak untuk membalas

Bila anak kita dipukul oleh anak lain, sering kita menjadi tidak sabar dan memprovokasi anak untuk membalas dengan tindakan yang sama seperti anak lain itu. Alasan yang sering kita utarakan adalah supaya ada keadilan, masing-masing merasakan sakit.

Apa akibatnya?
Kita telah mendidik anak kita sendiri untuk mendendam dengan selalu membalas segala bentuk pukulan atau tindakan menyakiti lain yang diterimanya. Anak akan teringat terus hal-hal yang diajarkan oleh kita tentang konsep membalas itu. Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.

Apa yang sebaiknya kita lakukan?
Lebih baik kita mengajarkan anak untuk menghindari teman-temannya yang suka menyakiti. Lalu sampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya dan ajak orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio maupun media lainnya.
 
 
 
 
 

Rabu, 21 November 2012

Cara Mengatasi Anak Suka Membangkang atau Melawan


Hati orang tua mana yang tidak sakit jika mempunyai anak yang selalu saja suka melawan? Begitu juga orang tua mana yang tidak kesal kalau anaknya selalu membangkang jika disuruh, diperintah, apalagi dinasihati orang tua? Padahal, kita selaku orang tua tentu menginginkan anak itu patuh jika diberi nasihat, disuruh, diperintah, atau dilarang melakukan sesuatu.

Mengapa Anak Suka Membangkang atau Melawan?

Perlu kita sadari, bahwa seorang dapat memperlihatkan perilaku yang tampil sebagai sikap menentang, sikap tidak mudah menerima saran-saran atau nasihat orang lain itu sangat dipengaruhi dari suasana di luar dirinya atau adanya faktor psikologis yang mempengaruhinya sebagai faktor pencetusnya. Jadi, bukan diakibatkan oleh faktor bawaan anak.

Faktor-faktor pencetus yang menjadi sumber munculnya sikap menentang (membangkang/melawan), sikap tidak mudah menerima nasihat atau saran-saran, antara lain:
1. Orang tua terlalu menekan anak.
2. Berkembang dari rasa iri hati anak.
3. Suasana hati anak yang lagi tertekan (bermasalah)
4. Berbicara pada anak pada waktu yang tidak tepat.
5. Keinginan anak yang berlebihan dan tidak terpenuhi.
6. Hubungan orang tua dan anak yang kurang harmonis.
7. Orang tua kurang peka terhadap kebutuhan anak.
8. Anak dibiarkan tumbuh tanpa bimbingan dan pengarahan.
9. Orang tua kurang memperhatikan tipe kepribadian anak.
10. Pengaruh pergaulan anak.

Bagaimana cara mengatasi anak yang suka membangkang atau melawan?

1. Lakukan pendekatan kasih sayang terhadap anak.

Kita harus dapat membangun interaksi dan komunikasi yang didasarkan pada rasa kasih sayang terhadap anak. Dengan melakukan pendekatan kasih sayang, berarti kita langsung dapat menyentuh perasaan anak.

2. Kita harus memahami watak atau tipe kepribadian anak.

Tipe-tipe anak itu, ada yang pemarah (tempramental/agresif), lembut, manja, mudah diatur, sensitif, bijaksana, dan urakan. Dengan mengetahui tipe kepribadian anak, tentu kita pun dapat memilih cara yang efektif untuk menyampaikan maksud dan keinginan kita.

3. Menggerakkan anak untuk berpikir dan berbuat dengan menyentuh titik peka anak.

Untuk menarik perhatian dan mempengaruhi anak agar dirinya dapat merespon atau menanggapi keinginan kita, maka kita dapat menyinggung titik peka anak atau memberi perhatian khusus pada hal-hal yang amat menarik perhatian anak. Caranya, kita dapat memberi sanjungan atau menaruh perhatian atau minat pada hal-hal yang menjadi perhatian khusus anak.

4. Sediakan waktu, perhatian dan kepedulian pada anak.

Hal lain yang harus kita perhatikan adalah kesediaan kita untuk mengatur waktu bersama anak sebanyak mungkin. Sebab anak sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang maupun kepedulian kita.

5. Cara menyampaikan maksud yang komunikatif.

Agar anak mau mendengar, mau mengerti, mau merespon atau mau melakukan sesuatu sesuai dengan yang kita inginkan dengan senang hati, maka dalam penyampaian maksud atau berbicara pada anak perlu diperhatikan:
a. Kondisi psikologis anak
b. Nada berbicara atau intonasi yang kita gunakan
c. Memberi rasa penting pada anak
d. Tidak menggurui, memerintah, memaksa, menekan, atau mendikte anak
e. Kembangkan komunikasi secara dua arah

6. Perhatikan dan arahkan kualitas pergaulan anak.

Sudah menjadi kewajiban kita sebagai orang tua untuk mengawasi dan mempersiapkan anak sedini mungkin, agar mampu menentukan teman bermainnya agar pergaulan anak berkualitas. Kita mempertimbangkan pergaulan yang berkualitas ini dengan menitikberatkan pada:
a. Penentuan dengan siapa anak pantas bergaul.
b. Mutu kegiatan yang bagaimana yang mampu mendorong tumbuh perilaku dan prestasi yang berkualitas.

Oleh : Nur Rokhanah
Sumber: Kiat Mengatasi Penyimpangan Perilaku Anak 2
Daftar Pustaka: Surya, Hendra. 2005. Kiat Mengatasi Perilaku Penyimpangan Perilaku Anak (2). Jakarta: PT Elex media Komputindo.
 
8 Penyebab anak berperilaku keras kepala dan suka melawan orangtua antara.
1. Sikap otoriter orangtua, yaitu orangtua terlalu menekan atau memaksa anak untuk menuruti semua kenginannya tanpa melihat kondisi dan kemampuan anak. Orangtua bersikap otoriter kepada anak biasanya karena mereka merasa serbatahu apa yang terbaik untuk anak dan apa yang harus dilakukan anak. Orangtua meyakini bahwa untuk berhasil dalam membimbing, mengarahkan perilaku, dan mendidik anak sehingga menjadi anak yang baik diperlukan cara-cara yang tegas dan keras. Anak yang merasa terus ditekan atau dipaksa dan merasa tidak mampu memenuhi semua keinginan orangtua pada akhirnya akan menunjukkan sikap melawan.
2. Berbicara kepada anak di saat yang tidak tepat. Kerap kali terjadi, misalnya orangtua meminta anak melakukan sesuatu, padahal anak tengah asyik bermain atau menikmati aktivitas kesukaannya. Anak pun merasa terganggu dengan permintaan orangtuanya tersebut. Dalam kondisi seperti ini, anak biasanya akan mengabaikan permintaan orangtuanya, menunda melaku¬kannya, atau langsung menolaknya. Jika orangtua terus memaksa, sangat mungkin akan terjadi ketegangan atau konflik dengan anak.
3. Anak sangat menginginkan sesuatu, tetapi orangtuanya tidak dapat memenuhi keinginan tersebut. Anak pun kemudian menunjukkan perilaku keras kepala atau suka melawan orangtua. Anak melakukan ini untuk mencari perhatian orangtua dan sebagai cara untuk menyampaikan protes. Anak berharap dengan perubahan perilaku yang ditunjukkannnya, orangtua mau memenuhi keinginannya.
4. Anak dibiarkan tumbuh tanpa bimbingan. Hal ini bisa terjadi ketika orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaannya atau memang orangtua kurana mampu memberi perhatian dan didikan yang dibutuhkan anak hingga nilai-nilai kebaikan, seperti sopan santun, menghargai orang lain, atau batasan benar-salah, boleh¬ tidak boleh, tidak tertanam dengan baik pada diri anak. Anak pun tumbuh menjadi pribadi yang egois dan suka melawan orangtua.
5. Pengaruh lingkungan. Anak begitu mudah meniru perilaku teman-¬temannya, orang-orang lain yang dikenalnya, atau tayangan televisi. Ketika anak mendapati teman-temannya atau orang lain menunjukkan perilaku suka melawan kepada orangtua, anak-anak pun akan dengan mudah melakukan hal yang sama.
6. Mencontoh perbuatan orangtuanya. Mungkin anak sering melihat kedua orangtuanya bertengkar atau bersikap keras kepala. Atau, anak melihat orangtuanya tidak patuh kepada nenek dan kakeknya. Anak pun dapat terdorong untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orangtuanya.
7. Anak terlalu dimanja oleh orangtuanya. Semua keinginanya selalu diberikan. Jika suatu saat ada keinginannya yang tidak dipenuhi, anak akan memprotes dan melawan.
8. Hubungan antara orangtua dan anak tidak harmonis. Ikatan kasih sayang dan pengertian antara mereka pun kurang. Kondisi ini rentan menimbulkan konflik antara orangtua dan anak.

Apa Nak Buat Dengan Anak Yang Suka Menjawab

  • 18th December 2013
Soalan:
Assalammualaikum Prof,macammana nk atasi ank yg suka melawan..ank saya perempuan 8 thn n lelaki 5 thn..klau mereka buat silap saya atau sesiapa tegur mereka akn marah blk..mcm mana nk atasinya..?
Jawapan
Anak yang suka menjawab kata-kata kita terutamanya dengan marah-marah kebanyakannya kerana mereka tidak dididik untuk bercakap dengan baik kepada Ibu bapa. Mungkin juga mereka tidak diberi ruang untuk menyatakan pendapat mereka dengan baik.
Bila anak memberi pendapat, beri masa untuk mendengar dan bila mereka sudah habis, ucap terima kasih kerana mereka boleh memberi pandangan. Dan tegur perbuatan mereka jika mereka mengeluarkan kata-kata itu dengan nada marah. Tegur dengan baik supaya mrk faham. Beritahu lain kali tidak perlu buat marah-marah. Beritahu saja pendapat mereka dan anda akan dengan. DAN ANDA PERLU LAKUKANNYA. JANGAN CAKAP SAJA. KOTAKAN KATA.
Dan satu perkara yang sangat penting, bila mereka bercakap sesuatu, jangan pula kita menjawab dengan kasar.
Keibubapaan ada kepimpinan. Kepimpinan melalui teladan.

Tiada ulasan: