Selasa, 29 September 2015

HUKUM MEMUJI2

Hukum Memuji Orang

hukum Memuji Makhluk

Berikut penjelasan Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah di dalam syarah Riyadhush Shalihin Muallif (Imam Nawawi) rahimahullah menyebutkan di dalam kitabnya Riyadhush Shalihin ketika menjelaskan perihal pujian manusia, apakah diperbolehkan seseorang memuji orang lain atas sesuatu yang memang ada pada diri orang itu, ataukah tidak boleh?
Maka permasalahan ini tergantung pada beberapa keadaan :
1. Pertama, apabila di dalam pujian tersebut terkandung kebaikan dan adanya dorongan untuk memiliki sifat yang terpuji dan berakhlaq mulia, maka hal ini tidak mengapa dikarenakan adanya dorongan tersebut.
Apabila Anda melihat seseorang yang mulia, pemberani, mengutamakan orang lain dan suka berbuat baik kepada orang lain, kemudian Anda menyebutkan kebaikan-kebaikan tersebut di depannya dalam rangka untuk memberikan dorongan dan dukungan sehingga orang tersebut akan senantiasa menjaga sifat-sifat itu tetap ada pada dirinya, maka hal ini adalah sebuah kebaikan, dan sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
وتعاونوا على البر والتقوى
(artinya) dan tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa…
2. Keadaan kedua, Anda memuji seseorang dalam rangka menjelaskankedudukannya yang utama di antara manusia, menyebarkannya supayamanusia menghormatinya sebagaimana yang diperbuat oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam terhadap Abu Bakar dan ‘Umar -semoga Allah meridhai keduanya-.
Adapun mengenai Abu Bakar, suatu hari Rasulullah Shallallohu ‘alaihiwa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Siapakah di antara kalian
yang pada hari ini berpuasa?” Abu Bakar berkata, “saya!” Beliau
bertanya kembali, “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telahmengiringi jenazah?” Abu Bakar berkata, “Saya!” Beliau bertanya,
“Siapakah di antara kalian yang pada hari ini telah menengok orangsakit?” Lagi-lagi Abu Bakar menjawab, “Saya!”
Maka Nabi Shallalohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
perkara-perkara yang (aku sebutkan-pent) tadi terkumpul pada seseorangmelainkan ia akan masuk surga”.
Demikian pula saat beliau Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabdamengenai orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya (pada hari kiamat-pent) . Abu Bakar berkata,
“Wahai Rasulullah (Shallallohu ‘alaihi wa sallam), sesungguhnya sebelah sarungku melorot kecuali apabila saya menjaganya.” Beliaushallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Kamu bukanlah
orang yang melakukannya karena sombong.”
Begitu pula beliau Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar
“Sesungguhnya tidaklah kamu melalui sebuah jalan melainkan syaitan akan melalui jalan yang lain.” Yakni apabila kamu (‘Umar) melalui sebuah jalan maka syaitan akan menyingkir dan pergi melalui jalan yang lain.
Perkataan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam di atas adalah untuk menjelaskan keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallohu ‘anhuma. Maka yang demikian ini tidak mengapa.
3. Keadaan ketiga, seseorang memuji orang lain secara berlebihan sehingga mensifati dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaannya.
Hal ini terlarang dan merupakan satu bentuk kedustaan dan penipuan.
Misalnya seseorang memuji kepada seorang pemimpin atau pejabat atau yang semisal dengan mereka, di mana sebenarnya mereka tidak pantas mendapatkan pujian itu karena memang tidak memiliki sifat-sifat yang
terpuji. Maka ini hukumnya haram dan juga terdapat bahaya bagi orang yang dipuji.
4. Keadaan keempat, pujian kepada seseorang yang sesuai dengan keadaannya, akan tetapi dikhawatirkan orang yang dipuji itu akan tertipu oleh dirinya sendiri, merasa dirinya memiliki keutamaan dan ketinggian dibanding orang lain. Hal ini hukumnya juga haram.
Muallif (Imam Nawawi rahimahullah) menyebutkan beberapa hadits berkaitan dengan permasalahan ini, bahwasannya ada seorang lelaki memuji orang lain di sisi Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, “Celaka kamu, engkau telah memotong leher saudaramu!” yakni seakan-akan engkau telah menyembelih saudaramu dikarenakan pujianmu kepadanya, karena itu akan membuatnya merasa tinggi dan lebih daripada orang lain. Dan sungguh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan supaya menaburkan debu kepada orang yang terlalu banyak memuji, yaitu orang yang dikenal selalu memuji-muji orang-orang yang memiliki kedudukan dan kemuliaan di mana pun mereka hadir. Dan al maddah (orang yang terlalu banyak memuji) tidak sama
dengan al madih (orang yang memuji). Al madih adalah orang yang memuji sesekali saja. Sedangkan al maddah (ini yang disebut oleh Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Miqdad radhiyallohu ‘anhu-pent), tidaklah dia duduk di depan seorang pembesar atau pemimpin atau seorang hakim atau seorang ‘alim atau yang semisal mereka melainkan dia akan memujinya. Orang seperti inilah yang layak ditaburkan debu ke mukanya.
Karena ada seseorang yang memuji ‘Utsman radhiyallohu ‘anhu maka
Miqdad berjongkok dan menaburkan ke mukanya. Kemudian ‘Utsman bertanya mengapa dia melakukan hal tersebut. Miqdad berkata, sesungguhnya Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat orang-orang yang suka memuji, maka taburkanlah debu ke muka mereka!”
Bagaimanapun, seyogyanya bagi setiap orang untuk tidak berbicara kecuali yang baik. Karena Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam.” Dan Alloh lah yang Maha memberikan petunjuk.
Selesai perkataan Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah
Saya tambahkan penjelasan dari Ustadz Badrussalam, apabila kita hendak memuji seseorang, jangan puji di depannya, tetapi pujilah ketika dia tidak berada di tempat tersebut.
Allohu a’lam

Bolehkah Memuji Seseorang Dihadapannya?

Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin telah menjelaskan secara rinci dalam syarh kitab Riyadhus Shalihin (hal. 564-565) berkaitan dengan hukum memberikan pujian kepada saudara semuslim di hadapannya. Beliau berpendapat, ada beberapa rincian dalam hal ini

4613 5
itsar2
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau dan seluruh shahabat beliau
‘Amma ba’du
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin telah menjelaskan secara rinci dalam syarh kitab Riyadhus Shalihin (hal. 564-565) berkaitan dengan hukum memberikan pujian kepada saudara semuslim di hadapannya. Beliau berpendapat, ada beberapa rincian dalam hal ini:

Kondisi pertama

Jika pujian tersebut di dalamnya terdapat kebaikan dan dorongan motivasi untuk memiliki sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang mulia, maka pujian tersebut boleh, karena bertujuan untuk memotivasi saudaranya. Jika engkau melihat seseorang yang dermawan dan pemberani, dan ia mencurahkan dirinya dan berbuat baik kepada orang lain, maka engkau menyebut dirinya dengan apa yang ada pada dirinya dengan tujuan memotivasi dan mendorongnya agar ia senantiasa berada di dalam kebaikan. Ini adalah suatu hal yang baik, dan termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan” (QS. Al Maidah: 2)

Kondisi kedua

Jika memujinya untuk menjelasakan kepada orang lain tentang keutamaannya, menyebarkan dan memuliakannya di hadapan manusia, maka hal itu boleh. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Mengenai Abu Bakar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada suatu hari, “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang mengiringi jenazah?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi bertanya, “Siapa yang bersedakah?” Abu Bakr menjawab, “Saya” Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang menjenguk orang yang sakit?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidaklah semua hal itu terkumpul pada seseorang kecuali dia akan masuk surga.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata tentang ‘Umar, “Sesungguhnya setan tidak akan melewati suatu jalan kecuali jalan yang berlainan dengan jalanmu (‘Umar)”.
Dua riwayat di atas menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.

Kondisi ketiga

Memujinya secara berlebihan dan mensifati dengan apa yang tidak ada pada dirinya, maka hal ini hukumnya haram dan sama dengan menipu. Contohnya mengatakan bahwa seseorang itu adalah seorang pemimpin, menteri, atau kata-kata semisalnya, berlebih-lebihan dan mensifatinya dengan pujian padahal hal itu tidak dijumpai pada dirinya . Hal ini jelas haram dan membahayakan bagi yang dipuji.

Kondisi keempat

Memuji realita yang sebenarnya ada di dalam dirinya, namun dikhawatirkan yang dipuji tertipu dengan dirinya sendiri, menjadi besar hati, dan merasa tinggi dibandingkan yang lainnya. Maka hal ini hukumnya juga haram dan tidak boleh dilakukan.

[diterjemahkan dari: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?p=171912]

Bahaya Memuji Orang Lain dan Gila Pujian


Sebagian orang mungkin gila akan pujian sehingga yang diharap-harapkan adalah komentar baik orang lain. Padahal pujian seringkali menipu. Begitu pula kita pun sering berperilaku memuji orang lain di hadapannya. Dari satu sisi kala menimbulkan sisi negatif, ini adalah suatu hal yang tidak baik. Coba baca hadits-hadits berikut yang dibawakan oleh Imam Bukhari dalam kitab Al Adabul Mufrod dengan beberapa tambahan bahasan lainnya.

Memuji Orang Lain di Hadapannya Sama dengan Menyembelihnya
Dari Abu Bakrah, ia menceritakan bahwa ada seorang pria yang disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang hadirin memuji orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
ويحك قطعت عنق صاحبك، (يقوله مراراً)، إن كان أحدكم مادحاً لا محالة، فليقل: أحسِبَ كذا وكذا- إن كان يرى أنه كذلك – وحسيبه الله، ولا يزكي على الله أحداً
“Celaka engkau, engkau telah memotong leher temanmu (berulang kali beliau mengucapkan perkataan itu). Jika salah seorang di antara kalian terpaksa/harus memuji, maka ucapkanlah, ”’Saya kira si fulan demikian kondisinya.” -Jika dia menganggapnya demikian-. Adapun yang mengetahui kondisi sebenarnya adalah Allah dan  janganlah mensucikan seorang di hadapan Allah.” (Shahih): [Bukhari: 52-Kitab Asy Syahadat, 16-Bab Idza Dzakaro Rojulun Rojulan]
Abu Musa berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang pria berlebih-lebihan dalam memuji seorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
أهْلَكْتُم- أو قطعتم ظهرَ – الرجل
”Kalian telah membinasakan atau mematahkan punggung orang itu.”(Shahih): [Bukhari: 78-Kitab Al Adab, 54-Bab Maa Yukrohu Minat Tamaduh. Muslim: 53-Kitab Az Zuhd, hal. 67]
Dari Ibrahim At Taimiy dari ayahnya, ia berkata, “Kami duduk bersama Umar [ibnul Khaththab radliallahu ‘anhu]. Lalu ada seorang pria memuji orang lain yang berada di hadapannya. Umar lalu berkata,
عقرت الرجل، عقرك الله
“Engkau telah menyembelih orang itu, semoga Allah menyembelihmu.”(Hasan secara sanad)
’Umar berkata,
المدح ذبح
“Pujian itu adalah penyembelihan.”(Shahih secara sanad)
Muhammad (guru imam Bukhari-ed) berkata,
يعني إذا قبلها
“(Hal itu berlaku) apabila ia senang akan pujian yang diberikan kepadanya.”

Boleh Memuji Jika Aman dari Fitnah (Sisi Negatif)
Dari Abu Hurairah, ia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نعم الرجل أبو بكر، نعم الرجل عمر، نعم الرجل أبو عبيدة، نعم الرجل أسيد بن حُضير، نعم الرجل ثابت بن قيس بن شماس، نعم الرجل معاذ بن عمرو بن الجموح، نعم الرجل معاذ بن جبل
“Pria terbaik adalah Abu Bakr, ‘Umar, Abu ‘Ubaidah, Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais bin Syammas, Mu’adz bin Amru ibnul Jamuh dan Mu’adz bin Jabal.” Kemudian beliau mengatakan,
وبئس الرجل فلان، وبئس الرجل فلان
Pria terburuk adalah fulan dan fulan.” Beliau menyebutkan tujuh nama. (Shahih) Ash Shahihah (875): [Saya tidak mendapatkannya di salah satu kitab induk hadits yang enam]. Saya (Syaikh Al Albani) berkata: “Bahkan hadits ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi. Silakan lihat Ash Shahihah.”

Menyiramkan (pasir) ke Wajah Orang–orang  yang Doyan Memuji
Dari Abu Ma’mar, ia berkata, “Ada seorang pria berdiri memuji salah seorang gubernur. Miqdad [ibnul Aswad] lalu menyiramkan pasir ke wajahnya dan berkata,
أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نحثي في وجوه المداحين التراب
“Kami diperintahkan oleh Rasulullah untuk menyiramkan pasir ke wajah orang-orang yang memuji.” (Shahih) Ash Shahihah (912), [Muslim: 53-Kitab Az Zuhd, hal. 68]
Dari Atha’ ibnu Abi Rabah bahwa ada seorang pria memuji orang lain di hadapan Ibnu Umar. Ibnu Umar lalu menyiramkan pasir pada mulutnya dan berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا رأيتم المداحين، فاحثوا في وجوههم التراب
“Jika kalian melihat orang-orang yang doyan memuji maka siramkanlah pasir ke wajahnya .”(Shahih) Ash Shahihah (912)
Dari Mihjan Al Aslamy berkata, “Raja’ berkata,
أقبلت مع محجن ذات يوم حتى انتهينا إلى مسجد أهل البصرة، فإذا بريدة على باب من أبواب المسجد جالسٌ، قال: وكان في المسجد رجل يقال له: سكبة، يطيل الصلاة، لما انتهينا إلى باب المسجد – وعليه بردة- وكان بريدة صاحب مزاحاتٍ. فقال: يا محجن! أتصلي كما يصلي سكبة؟ فلم يرد عليه محجن،ورجع،
”Saya berjalan bersama Mihjan pada suatu hari hingga kami sampai di masjid milik penduduk Basrah. Pada saat itu Buraidah [ibnul Hushaib] sedang duduk di salah satu pintu masjid. Pada masjid itu terdapat seorang pria bernama Sukbah sedang melaksanakan shalat dalam tempo yang terhitung lama. Ketika kami tiba di pintu masjid –di mana Buraidah sedang duduk disana-, Buraidah berkata -Buraidah adalah seorang yang suka bergurau-,
يا محجن! أتصلي كما يصلي سكبة؟
“Wahai Mihjan, apakah engkau shalat seperti shalatnya Sukbah?” Mihjan tidak menjawabnya tetapi dia lalu pulang.
Raja’ berkata, ”Mihjan lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang tanganku lalu kami pergi bersama hingga menaiki gunung Uhud. Kemudian beliau menatap kota Madinah, beliau lalu bersabda,
ويل أمها من رية، يتركها أهلها كأعمر ما تكون؛ يأتيها الدجال، فيجد على باب كل من أبوابها ملكاً، فلا يدخلها
”Kota ini (Madinah) terancam bahaya. Dia ditinggalkan oleh penghuninya dalam keadaan makmur. Dajjal mendatanginya lalu mendapati malaikat pada setiap pintunya, maka dia tidak dapat memasukinya.”
Beliau lalu turun kembali. Ketika kami sampai di masjid,  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria melaksanakan shalat, sujud dan ruku’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya kepadaku,
من هذا؟
”Siapa dia?”
Saya berkata dengan nada memujinya,
يا رسول الله ! هذا فلان، وهذا
”Wahai Rasulullah, dia adalah fulan dan kondisinya demikian …” Beliau lalu bersabda,
أمسك، لا تُسمعه فتهلكه
“Cukup jangan engkau memperdengarkan pujianmu sehingga engkau membinasakannya.”
Mihjan berkata, ”Beliau lalu pergi. Ketika sampai di kamarnya beliau seolah meniup dua tangannya sambil bersabda,
إن خير دينكم أيسره، إن خير دينكم أيسره
“Sesungguhnya sikap beragama yang terbaik adalah mengerjakan kewajiban agama sesuai dengan kemampuan.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. (Hasan) Ash Shahihah (1635)

Jangan Tertipu dengan Pujian Orang Lain
Ibnu ‘Ajibah mengatakan, “Janganlah engkau tertipu dengan pujian orang lain yang menghampirimu. Sesungguhnya mereka yang memuji tidaklah mengetahui dirimu sendiri kecuali yang nampak saja bagi mereka. Sedangkan engkau sendiri yang mengetahui isi hatimu. Ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa yang begitu girang dengan pujian manusia, syaithon pun akan merasuk dalam hatinya.” (Lihat Iqozhul Himam Syarh Matn Al Hikam, Ibnu ‘Ajibah, hal. 159, Mawqi’ Al Qaroq, Asy Syamilah)

Doa yang Diucapkan Ketika Dipuji Orang Lain
Lihatlah apa yang dilakukan oleh Abu Bakr Ash Shidiq tatkala beliau dipuji oleh orang lain. Beliau–radhiyallahu ‘anhu- pun berdo’a,
اللَّهُمَّ أَنْتَ أَعْلَمُ مِنِّى بِنَفْسِى وَأَنَا أَعْلَمُ بِنَفْسِى مِنْهُمْ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْ لِى مَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِى بِمَا يَقُوْلُوْنَ
Allahumma anta a’lamu minni bi nafsiy, wa anaa a’lamu bi nafsii minhum. Allahummaj ‘alniy khoirom mimmaa yazhunnuun, wagh-firliy maa laa ya’lamuun, wa laa tu-akhidzniy bimaa yaquuluun.
[Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka] ( Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, 4/228, no.4876. Lihat Jaami’ul Ahadits, Jalaluddin As Suyuthi, 25/145, Asy Syamilah)
Selalu Raih Ikhlas dan Jangan Cari Muka (Cari Pujian)
Abul Qosim juga mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.”
Dzun Nuun menyebutkan tiga tanda ikhlas:
1. Tetap merasa sama antara pujian dan celaan orang lain.
2. Melupakan amalan kebajikan yang dulu pernah diperbuat.
3. Mengharap balasan dari amalan di akhirat (dan bukan di dunia).
(Lihat At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, An Nawawi, hal. 50-51, Maktabah Ibnu ‘Abbas, cetakan pertama, tahun 1426 H)
Jika kita sedang melakukan suatu amalan maka hendaklah kita tidak bercita-cita ingin mendapatkan pujian makhluk. Cukuplah Allah saja yang memuji amalan kebajikan kita. Dan seharusnya yang dicari adalah ridho Allah, bukan komentar dan pujian manusia.
Semoga yang sederhana ini bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.

@ Ummul Hamam – Riyadh KSA, 14 Dzulqo’dah 1432 H (12/10/2011)
www.rumaysho.com


Memuji Manusia dan Aturannya dalam Islam



اَلنَّاسُ يَمْحُوْنَكَ لِمَا يَظُنُّوْنَهُ فِيْكَ فَكُنْ اَنْتَ ذَامَّا لِنَفْسِكَ لِمَا تَعْلَمُهُ مِنْهَا٠ 
“Apabila manusia memujimu, karena ia menyangka ada sesuatu pada dirimu. Oleh sebab itu hendaklah engkau mencari dirimu sendiri, karena engkau lebih mengetahui hakikat dirimu." 
Umumnya apabila manusia memuji seseorang, karena ada sesuatu yang dimiliki oleh orang yang dipuji, dan ia mengharap akan mendapatkan sesuatu yang diingininya itu. Dipujinyalah orang tersebut karena sesuatu kepentingan tertentu. 
Memuji manusia pada dasarnya tidak dilarang dalam agama, selama pujian itu tidak merusakkan orang lain, atau membuat orang lain menjadi angkuh, atau ia merasa, dengan pujian itu ia mendapat kesempatan untuk menghina atau mencari keuntungan. Terutama pujian yang sangat berlebih-lebihan. 
Memuji manusia yang sangat berlebih-lebihan akan menyamai manusia terhadap Khalik, Pencipta alam semesta. Sebab, yang berhak menerima Puja dan puji setinggi-tingginya hanyalah Allah semata. Segala yang tinggi, mulia dan bermartabat dan mendapat pujian dunia, adalah pujian palsu. Lahir dari ketidakjujuran insan pada dirinya sendiri. Pujian kepada sesamanya, bagaimanapun ikhlasnya, memiliki kehendak khusus walaupun sedikit. Memuji dengan maksud seperti ini tidak ditemukan dalam pujian seorang hamba terhadap Allah. Pujian seorang terhadap Al Khalik adalah pujian hakiki, karena memang Allah adalah Dzat yang Maha Agung dan Maha Suci. Pujian yang lahir dari pengabdian dirinya sebagai hamba. Allah adalah Dzat yang bagi-Nya semesta alam memberikan puja dan puji. Dia adalah Rabbul Alamin, dan pujian bagi Allah dengan mengucapkan Al Hamdu Lillahi Rabbil Alamin. 
Seorang hamba janganlah bergembira mendapat pujian dari sesama manusia. Sebab, di saat seseorang sedang mendapat pujian dari orang lain, berarti ia telah memberi kesempatan kepada setan menyelusup ke dalam hatinya. Di saat itu setan membesar-besarkan hatinya dan membangga-banggakan jiwanya, kemudian membakar pula sifat - sifat angkuh lalu menenggelamkan dirinya sedikit-demi sedikit. 
Apabila ada orang memuji dirimu banyak atau sedikit, hendaklah engkau mencela dan mencaci dirimu, sebab engkau lebih mengetahui tentang dirimu sendiri, kebaikan dan kejelekannya. Engkau pun lebih tahu kekurangan dan kejelekan dirimu yang sedang ditutupi oleh Allah swt. 
Janganlah memuji dan jangan pula suka dipuji, agar terhindar dari sifat-sifat buruk seperti munafik, ujub, lupa diri, dan sifat-sifat buruk lainnya akibat kelemahan manusia. Agar diri kita terhindar dari sifat - sifat tersebut di atas hendaklah senantiasa berdoa:
 اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِىْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ وَاغْفِرْلِى مَالاَ يَعْلَمُوْنَ وَلاَ تُؤَاخِذْنِىْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ ٠ 
"Ya Allah, jadikanlah kami lebih baik dari apa yang mereka duga dan janganlah engkau siksa kami, karena apa yang mereka ucapkan, dan ampunilah kami dari apa yang mereka itu tidak tahu.” 
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila kalian membenci atas dirimu hendaklah kalian alihkan untuk memuji kepada Allah swt. Karena orang yang memuji Allah itu adalah orang yang dekat dengan Allah. Orang yang berlebihan memuji manusia adalah yang lupa bahwa Allah bersifat Maha Tinggi lagi terpuji." 
Sangat penting diingat oleh hamba Allah, bahwa setiap orang memiliki kelebihan yang tidak sama di antara satu dengan lainnya. Kelebihan itu adalah anugerah Allah swt yang wajib dihargai. Ia harus yakin pada dirinya sendiri tentang apa yang ada padanya, sehingga tidak mudah ia terpesona atas pujian manusia terhadapnya. Ia harus malu kepada Allah, apabila ia menerima pujian, dan ingin memelihara pujian terhadap dirinya. 
Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
 اَلْمُؤْمِنُ اِذَا مُدِحَ اسْتَحْيَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى اَنْ يُثْنَى عَلَيْهِ بِوَصْفٍ لاَ يَشْهَدُهُ مِنْ نَفْسِهِ٠ 
“Orang beriman itu apabila mendapat pujian, maka ia merasa malu terhadap Allah swt atas pujian yang diterimanya, apabila sifat- sifat yang dimaksud tidak dimilikinya sama sekali." 
Perlu diketahui bahwa orang mukmin yang hakiki, tidak menginginkan pujian apapun bagi dirinya. Ia tidak ingin menyaksikan di hadapan manusia adanya pujian untuknya, karena di hadapan Allah ia akan menjadi orang yang hina dan sangat malu. Dia tidak ingin hal ini terjadi, karena memuji manusia, tidak lain memuji ciptaan Allah seperti makhluk lainnya untuk dirinya. Ia tidak ingin dianggap seperti orang dungu yang suka dipuji, dan tidak menghargai pemberian Allah kepada manusia. 
Ditegaskan lagi oleh syekh Ataillah:
 اَجَهْلُ النَّاسِ مَنْ تَرَكَ يَقِيْنَ مَا عِنْدَهُ لِظَنِّ مَاعِنْدَ النَّاسِ ٠ 
"Adapun manusia yang paling bodoh, ialah orang yang suka mengabaikan keyakinan dirinya, karena mengikuti dugaan yang ada pada orang lain." 
Orang yang paling tergiur oleh pujian dari manusia dan paling suka kalau mendapat pujian, sedangkan ia sendiri lebih tahu tentang dirinya, dosa dan kesalahannya, kelemahan dan kekurangannya, orang seperti ini adalah termasuk orang bodoh di sisi Allah. Orang seperti ini suka mengabaikan keyakinan dirinya, karena suka kepada pujian. Padalul ia sendiri memiliki kemampuan diri dan potensi yang tidak memerlukan sanjungan dan pujian. 
Kadang-kadang orang yang menunjukkan senangnya dengan kita, lalu memuji dan menyanjung kita, ibarat orang yang menyiram minyak wangi Pada baju kita. Wanginya hanya sekadar di kulit dan terasa di hidung kita untuk sementara. Sedangkan orang yang menyiram bau wangi itu sendiri sebenarnya tidak menyukai kita. Ia memberi sanjungan dengan maksud dan menghancurkan. Apabila ada manusia yang berilmu dan beragama, terpengaruh oleh bujuk rayu orang yang suka menghembus-hembuskan pujian, maka ia telah masuk ke dalam perangkap orang bodoh yang merusak iffah agamanya. 
Seorang ahli makrifat mengibaratkan orang yang terkena racun sanjungan dan pujian itu seperti orang yang suka diejek-ejek dan dihina-hina dengan pujian pula. Ia memuji, sekaligus ia mengejek dan mencela, seperti kalimat: "Kotoranmu saja harum baunya, apalagi hatimu." Kita senang dan tersanjung mendengar pujian itu, maka kita pun telah terperangkap masuk lembah kedunguan diri kita sendiri. Sesungguhnya kejahilan kita itu lebih kotor dari kotoran kita sendiri 
Oleh sebab itu, seperti kata Mu'adz Ar Razi, hendaklah engkau menghindarkan diri dari rayuan orang jahil seperti itu, agar engkau tidak termakan oleh sanjungan orang jahil. Peliharalah kesucian dirimu, bersihkan aib dirimu, sehingga dalam hidupmu engkau tidak memerlukan pujian orang lain, karena engkau sendiri tahu potensi yang ada pada dirimu, dan keyakinan yang engkau miliki. 
Sesungguhnya bagi orang mukmin, layaknya pujian itu hanyalah untuk Allah semata. Dialah Penguasa langit, bumi dan seisinya, Raja dan penguasa di dunia dan akhirat. Maka tiada puji sanjungan, atau pujaan dan pujian kecuali baginya. Ucapan Muslim sejati itu adalah: “Al HAMDU LILLAHI RABBlL ALAMIN.” 
Pujian dan sanjungan yang diberikan orang kepada kita selalu bersifat sementara. Tidak pernah ada orang yang memuji manusia itu terus menerus. Seorang hakim pernah dipuji oleh orang awam, maka si hakim pun menangis tersedu-sedu. Seorang temannya bertanya: “Mengapa engkau menangis, padahal engkau mendapat pujian?" Jawab si hakim: "Orang ini tidak akan memuji dan menyanjungku kalau ia tahu sifat dan kelemahan diriku." 
Kembalikanlah semua pujian itu kepada Allah, karena Dialah yang patut mendapat pujian. Segala puja dan puji itu hanyalah milik Allah Pemelihara alam semesta. 
Syekh Ahmad Ataillah berkata:
 اِذَا اَطْلَقَ الثَّنَاءَ عَلَيْكَ وَ لَسْتَ بِأَهْلٍ فَاثْنِ عَلَيْهِ بِمَا هُوَ اَهْلُهُ٠ 
“Jika Allah membiarkan manusia mengulurkan lidahnya memujimu, padahal engkau sendiri tidak patut menerima pujian itu, maka pujilah Allah karena Dialah yang berhak untuk dipuji." 
Orang mukmin ialah orang yang tidak membiarkan dirinya hanyut dalam pujian manusia yang sebenarnya akan membawanya ke lembah kehinaan. Ia harus berusaha menghindarkan diri dari tingkah seperti itu. Sebab, apabila Allah membiarkan dirinya terkena getah lidah orang yang memuji, maka ia akan hanyut dalam perbuatan yang sangat merugikan agamanya. Ia akan kehilangan muru'ah-nya dan terpesona oleh godaan yang merusak hati dan pikirannya. Padahal ia sendiri tahu semua puji sanjung itu bukan miliknya, dan ia tidak berhak menerima itu semua. Hanya Allah jualah yang berhak menerima puja dan puji karena Allah jualah Pemilik alam semesta. 
Janganlah engkau hidup dalam suasana sanjungan dan pujian manusia, karena hidup seperti ini akan membuat engkau lari dari keadaan sebenarnya. Engkau akan kehilangan dirimu sendiri dan selain itu harga diri dan pribadimu akan goncang. 
Hiduplah seperti manusia pada umumnya dengan tahu jati dirinya sendiri, menghargai pikiran dan perasaan sendiri, dan selalu memohon perlindungan Allah tak henti-hentinya. Itulah manusia mukmin yang beribadah dan beramal tanpa mengingat puji dan sanjung manusia. Dalam jiwa dan pikirannya, hanya ada kalimat yang suci dan abadi, ialah ALHAMDU LILLAHI RABBIL ALAMIN. 
Syekh Ahmad Ataillah mengingatkan:
 اَلزُّهَّادُ اِذَامُدِحُوْا انْقَبَصُوْا لِشُهُوْدِهِمُ الثَّنَاءُ مِنَ الْخَلْقِِ وَالْعَارِفُوْنَ اِذَا مُدِحُوْا انْبَسَطُوْا لِشُهُوْدِهِمْ ذَلِكَ مِنَ الْمَلِكِ اَلْحَقِّ٠ 
"Adapun orang yang zuhud, apabila mendengar puji dan sanjung bagi dirinya dari sesama makhluk, akan menjadi ketakutan. Sedangkan orang-orang arif, apabila mendapat pujian ia merasa gembira, karena tahu pujian itu berasal dari AlHaq, Allah swt.” 
Orang zahid memang kuatir apabila puji sanjung itu akun merenggangkan mereka dari Allah, dan merusak ibadahnya. Karena ia selalu berhati-hati, karena tingkat ke-zuhud-an mereka terhadap dunia tidak sama. Mereka menginginkan agar dengan ke-zuhud-an itu, akan meraih kecintaan Allah, dan mendapatkan karunia semata-mata dari Allah. Mereka tidak ingin terikat dengan dunia, termasuk dengan makhluk. Oleh karena itu mereka memahami bahwasanya puji sanjung manusia itu akan merusak, maka mereka merasa kuatir dan menjauhkan diri. Sebaliknya orang makrifat, ia senang mendapat pujian dari manusia karena beranggapan bahwa pujian makhluk itu hanya sekadar perantara sepanjang yang diketahui si makhluk, akan tetapi sebenarnya pujian itu adalah gerakan dari Allah sendiri. Maka ia beranggapan itu semua adalah pujian dari Allah belaka. 
Pujian yang dimaksud oleh orang makrifat tidak berarti ia tidak berhati-hati menghadapi pujian sanjungan manusia. Orang-orang makrifat menerima pujian, tentu saja sanjungan yang berkenaan dengan kemakrifatan mereka, tidak bersifat duniawi. Sebab pada umumnya puji sanjung itu dikenakan pada orang awam dalam pergaulan umum. Sehingga pujian yang masuk pun sangat bersifat umum dan lebih banyak berupa pujian yang merusak dan hanya sedikit yang membawa kebaikan. 
Pujian yang sebenarnya dibolehkan, ialah pujian yang bersifat mendidik, mendorong, dan bersifat mengajak, semuanya dalam rangka amar makruf nahi munkar dengan cara dakwah bil hikmah dan mau 'idzah hasanah. 
Sedangkan puji sanjung yang dilarang, ialah puji sanjung yang menjadikan orang angkuh, atau puji sanjung yang menjebak manusia melakukan perbuatan tercela, atau berupa penghinaan kepada orang yang disanjung, atau membuat orang menjadi ragu dan bimbang terhadap diri sendiri yang mendekatkan kepada sifat munafik. Puji sanjung seperti ini dilarang oleh Rasulullah saw, seperti dalam sabda beliau: "Sumbatlah tanah ke dalam mulut orang yang suka Memujimu." 
 

PUJIAN yang DIBOLEHKAN dan yang TERCELA



Pujian yang tercela
Yang dimaksud dengan pujian yang tercela adalah pujian yang berlebihan dan pujian yang dapat menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri (‘ujub).


Dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa ada orang yang memuji temannya yang ada disamping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ويلك قطعت عنق صا حبك, قطعت عنق صا حبك
“Celakalah engkau, kau telah menggorok leher saudaramu. Kau telah meggorok leher saudaramu!”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya beberapa kali. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من كان منكم مادحا أخاه لا محالة فليقل: أحسب فلانا والله حسيبه ولا أزكي على الله أحسبه كذا وكذا إن كان يعلم ذلك منه
“Barang siapa yang terpaksa harus memuji saudaranya, maka katakanlah: ‘Aku kira si fulan demikian dan demikian, tetapi Allah-lah yang menilai (keadaan sebenarnya). Aku tidak mau menilai atas nama Allah (kepada seseorang) demikian dan demikian, jika memang kelebihan itu ada pada dirinya.”
[Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158) dan Muslim (IV/2297)]


“Janganlah engkau tertipu dengan pujian orang lain yang menghampirimu. Sesungguhnya mereka yang memuji tidaklah mengetahui dirimu sendiri kecuali yang nampak saja bagi mereka. Sedangkan engkau sendiri yang mengetahui isi hatimu."
“Barangsiapa yang begitu girang dengan pujian manusia, syaithon pun akan merasuk dalam hatinya.”
( Iqozhul Himam Syarh Matn Al Hikam, Ibnu ‘Ajibah, hal. 159, Mawqi’ Al Qaroq, Asy Syamilah)

"Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang bertakwa.”
(Qs. Al-Najm; 32)


Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ada orang yang memuji saudaranya dengan sangat berlebihan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أهلكتم أو قطعتم ظهر الرجل
“Kalian telah mematahkan punggung saudara kalian (kalian telah membinasakannya).”
[Hadits shahih, riwayat Bukhari (III/158 dan Muslim (IV/2297)]

Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.

Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa makna hadits: ‘Taburkanlah debu ke muka orang yang memuji orang lain!’[1] adalah berlaku untuk orang yang memuji orang lain namun dengan cara yang berlebihan.[2]


Pujian yang dibolehkan
Tidak diragukan lagi bahwa memuji orang lain adalah termasuk penyakit lisan, jika menyebabkan orang yang dipuji merasa bangga diri atau jika pujian tersebut dilakukan secara serampangan atau melampaui batas, yakni berlebih-lebihan. Namun, jika pujian itu tidak mengandung hal-hal tersebut di atas, maka hukumnya diperbolehkan.

Imam Bukhari rahimahullahu Ta’ala memberi judul untuk salah satu bab dalam kitab Shahih beliau: “Bab Orang yang Memuji Saudaranya Berdasarkan Fakta yang Diketahui”. Imam Bukhari menyebutkan bahwa Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak pernah kudengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kepada seseorang yang berjalan di muka bumi ini sebagai calon penghuni Surga kecuali hanya kepada ‘Abdullah bin Salam.”
[Hadits shahih, riwayat Bukhari (VII/87), lihat juga al-Fath (X/478)


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melukiskan sifat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu sebagai berikut,
ما لقيك الشيطان سا لكا فجا إلا سلك فجا عير فجك
“Jika syaithan berpapasan denganmu pada suatu jalan, niscaya dia akan mencari jalan lain selain jalan yang engkau lalui.” [Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/1864) dan al-Fath (X/479)]

Pujian yang diperbolehkan untuk diberikan kepada saudara kita adalah pujian yang tidak berlebihan dan orang yang dipuji tidak dikhawatirkan merasa bangga diri, maka pujian seperti ini diperbolehkan. Oleh karena itu, pujian dengan sesuatu yang sesuai fakta dan dengan sewajarnya sajalah yang diperbolehkan. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun dipuji dalam syair, khutbah, dan pembicaraan. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menaburkan debu ke muka orang yang memujinya dengan pujian yang wajar tersebut.[3]

Bagaimana menyikapi pujian ?
Agar dapat menyikapi pujian secara sehat, Nabi Saw. memberikan 3 kiat yang sangat menarik untuk diteladani.

Pertama, selalu mawas diri supaya tidak sampai terbuai oleh pujian yang dikatakan orang. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Nabi Saw. menanggapinya dengan doa:
 “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Al-Bukhari)
Lewat doa ini, Nabi Saw. mengajarkan bahwa pujian adalah perkataan orang lain yang potensial menjerumuskan kita. Ibaratnya, orang lain yang mengupas nangka, tapi kita yang kena getahnya. Orang lain yang melontarkan ucapan, tapi malah kita yang terjerumus menjadi besar kepala dan lepas kontrol.

Kedua, menyadari hakikat pujian sebagai topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Karena, sebenarnya, setiap manusia pasti memiliki sisi gelap. Dan ketika ada seseorang yang memuji kita, maka itu lebih karena faktor ketidaktahuan dia akan belang serta sisi gelap kita. Oleh sebab itu, kiat Nabi Saw. dalam menanggapi pujian adalah dengan berdoa:
 “Dan ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku)”. (HR. Al-Bukhari)

Ketiga, kalaupun sisi baik yang dikatakan orang lain tentang kita adalah benar adanya, Nabi Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan lebih baik dari apa yang tampak di mata orang lain. Maka kalau mendengar pujian seperti ini, Nabi Saw. kemudian berdoa:
Dan jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira”. (HR. Al-Bukhari)


Bagaimana cara memuji ?

Ada beberapa teladan yang dapat disarikan dari kehidupan Nabi Saw., yaitu di antaranya :
Pertama
, Nabi Saw. tidak memuji di hadapan orang yang bersangkutan secara langsung, tapi di depan orang-orang lain dengan tujuan memotivasi mereka. Suatu hari, seorang Badui yang baru masuk Islam bertanya tentang Islam. Nabi menjawab bahwa Islam adalah shalat lima waktu, puasa, dan zakat. Maka Orang Badui itupun berjanji untuk menjalankan ketiganya dengan konsisten, tanpa menambahi atau menguranginya. Setelah Si Badui pergi, Nabi Saw. memujinya di hadapan para Sahabat, “Sungguh beruntung kalau ia benar-benar melakukan janjinya tadi.” Setelah itu beliau menambahi, “Barangsiapa yang ingin melihat penghuni surga, maka lihatlah Orang (Badui) tadi.” (HR.Al-Bukhari dan Muslim, dari Thalhah ra.)

Kedua, Nabi Saw. lebih sering melontarkan pujian dalan bentuk doa. Ketika melihat minat dan ketekunan Ibn Abbas ra. dalam mendalami tafsir Al-Qur’an, Nabi Saw. tidak serta merta memujinya. Beliau lebih memilih untuk mendoakan Ibn Abbas ra.: “Ya Allah, jadikanlah dia ahli dalam ilmu agama dan ajarilah dia ilmu tafsir (Al-Qur’an).” (HR. Al-Hakim, dari Sa’id bin Jubair)

Begitu pula, di saat Nabi Saw. melihat ketekunan Abu Hurairah ra. dalam mengumpulkan hadits dan menghafalnya, beliau lantas berdoa agar Abu Hurairah ra. dikaruniai kemampuan untuk tidak lupa apa yang pernah dihapalnya. Doa inilah yang kemudian dikabulkan oleh Allah Swt. Dan menjadikan Abu Hurairah ra. sebagai Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إذا رأى أحدكم من أخيه مـا يعجبه, فليدع له بالبركة
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan dari saudaranya, maka hendaklah dia mendo’akannya agar diberikan keberkahan kepadanya.”
[Hadits shahih, riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (II/716 no.2), Ibnu Majah dalam Shahih-nya (II/265) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/447)]


Do’a mohon keberkahan saat mendapati (melihat) sesuatu yang menakjubkan dirinya pada saudaranya,
مـا شـا ء الله لا قوة إلا بـالله, أللـهـم بارك عليه
Maasyaa Allaah (atas kehendak Allah), tidak ada kekuatan melainkan hanya dengan (pertolongan) Allah. Yaa Allah, berikanlah berkah padanya.”[4]


Imam Nawawi rahimahullahu Ta’ala mengatakan bahwa dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, banyak sekali hadits yang berisi pujian kepada seseorang. Berdasarkan hal itu, para ulama mengatakan bahwa cara mengkompromikan antara hadits-hadits yang kelihatan bertentangan itu adalah dengan memaknai larangan itu berlaku untuk pujian yang berlebihan, pujian yang ditambah-tambahi dengan kedustaan atau pujian yang dikhawatirkan akan muncul rasa bangga diri (ujub) di dalam diri orang yang dipuji. Namun, jika tidak dikhawatirkan akan terjadi hal demikian, maka diperbolehkan memuji meskipun dihadapan orang tersebut. Hal ini dikarenakan kesempurnaan ketakwaan, keteguhan akal dan kemantapan ilmu yang dimiliki oleh orang yang dipuji. Bahkan hukumnya menjadi sunnah apabila dengan pujian, maka dia akan termotivasi untuk senantiasa berbuat kebaikan, menambah amal kebaikan, dan memberikan teladan yang baik kepada orang lain.[5]


Allah lebih mengetahui akan hal ini.
Wallahu a’lam.


Catatan kaki:
[1] Hadits shahih, riwayat Muslim (IV/2297).
Dari Hammam bin al-Harits radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa ada seseorang yang memuji Utsman radhiyallahu ‘anhu. Miqdad lalu duduk berlutut. Al-Miqdad radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang bertubuh besar. Beliau pun akhirnya menaburkan batu kerikil kepada orang tadi. Utsman lalu berkata, ‘Apa yang sedang kamu lakukan?’ al-Miqdad berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jikalau kalian melihat ada orang yang memuji orang lain maka taburkanlah debu ke mukanya.’
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk menaburkan debu ke muka orang yang memuji dengan berlebihan.
[2] Fat-hul Baari (X/477).
[3] Idem.
[4] Ad-Du’aa’ wal ‘Ilaaj bir Ruqaa minal Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani, hal. 105.
[5] Syarah Imam Nawawi fii Shahih Muslim (XVIII/126), lihat juga Afaatul Lisaan fii Dhau’il Kitaab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin ‘Ali bin Wahf al-Qaththani.


Lemparkan Tanah Pada Orang yang Suka Memuji

Lemparkan Tanah Pada Orang yang Suka Memuji

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أَحْثُوا فِي أَفْوَاحِ الْمَدَّاحِيْنَ التُّرَابَ-البيهقي
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: Lemparkan tanah kepada mulut orang-orang yang suka memuji (Al Baihaqi, dishahihkan oleh Al Hafidz As Suyuthi).
Ungkapan “lemparkan tanah” adalah kiasan dari penolakan dan sanggahan atas pujian, dan itu berlaku kepada orang-orang yang biasa memberikan pujian sampai ia menjadikan kebiasaan itu sebagai bekal mencari penghidupan, sehingga tidak boleh memberikan apapun untuk mereka, karena pujian yang mereka berikan.
Namun ada juga yang ulama yang memaknai hadits ini secara dzahirnya, yakni melemparkan tanah kepada orang yang suka memuji, dengan mengambil segenggam tanah kemudian melemparkannya kepada mereka sambil mengatakan,”Kelak harga makhluk sama dengan ini, siapa aku dan apa kemampuanku”.Hal itu dilakukan agar pihak yang mamuji dan yang dipuji sama-sama menyadari mertabatnya.
Imam An Nawawi menyabutkan bahwa pujian ada dua, pujian di saat yang dipuji tidak ada dan pujian di hadapan orang yang dipuji. Untuk yang pertama dibolehkan selama tidak ada unsur kebohongan. Jika ada unsur itu maka hal itu dilarang, namun bukan pujiannya melainkan kebohonganya. Adapun jika pujian dilakukan di depan yang bersangkutan maka ada nash yang membolehkan ada nash yang melarang seperti nash di atas. Dan untuk mengkompromikan keduanya, maka dilihat kondisi pihak yang dipuji. Jika yang dipuji imannya sempurna hingga pujian itu tidak menggelincirkannya maka hal itu boleh dilakukan, bahkan hukumnya mustahab jika ada maslahat. Namun jika ditakutkan pihak yang dipuji bakal terlena, maka makruh memberikan pujian. (lihat, Faidh Al Qadir, 1/236,237
 

Tiada ulasan: