Rabu, 22 April 2015

JANGAN KITA JADIKAN ISLAM HAK ORANG MELAYU ATAU ISLAM NI MELAYU PUNYA...ATAU ISLAM KENA IKUT ADAT KITA....ATAU ISLAM NI DALAM KAWALAN KITA...BERMAKNA ISLAM KENA IKUT KITA BUKAN KITA KENA IKUT ISLAM....BAHAGIAN 3

ADAKAH INI DARI ISLAM YANG ADA NAS QURAN ATAU HADIS@SUNNAH...ATAU DARI TINGGALAN HINDU ATAU KITA CIPTA SENDIRI....FIKIR2KAN....JANGAN PULA ORANG TAK IKUT CARA KITA...KITA TAK BERHUJAH PUN TERUS TUDUH SESAT....NI BAHAYA


Hukum Nisfu Sya’ban


Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Ustadz YTH,
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan Nisfu Sya’ban ? Adakah Sirah yang melatar-belakangi istilah ini dan apakah amalan yang dilakukan Rasulullah SAW dalam menyambutnya ?
Terima kasih, Jazakumullah……
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Ashriyati yang dimuliakan Allah
Nisfu Sya’ban berarti pertengahan bulan sya’ban. Adapun didalam sejarah kaum muslimin ada yang berpendapat bahwa pada saat itu terjadi pemindahan kiblat kaum muslimin dari baitul maqdis kearah masjidil haram, seperti yang diungkapkan Al Qurthubi didalam menafsirkan firman Allah swt :
سَيَقُولُ السُّفَهَاء مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَّهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya : “Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka Telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS. Al Baqoroh : 142)
Al Qurthubi mengatakan bahwa telah terjadi perbedaan waktu tentang pemindahan kiblat setelah kedatangannya saw ke Madinah. Ada yang mengatakan bahwa pemindahan itu terjadi setelah 16 atau 17 bulan, sebagaimana disebutkan didalam (shahih) Bukhori. Sedangkan Daruquthni meriwayatkan dari al Barro yang mengatakan,”Kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw setelah kedatangannya ke Madinah selama 16 bulan menghadap Baitul Maqdis, lalu Allah swt mengetahui keinginan nabi-Nya, maka turunlah firman-Nya,”Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”. Didalam riwayat ini disebutkan 16 bulan, tanpa ada keraguan tentangnya.
Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said dari Said bin al Musayyib bahwa pemindahan itu terjadi dua bulan sebelum peperangan badar. Ibrahim bin Ishaq mengatakan bahwa itu terjadi di bulan Rajab tahun ke-2 H.
Abu Hatim al Bistiy mengatakan bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan 3 hari. Kedatangan Rasul saw ke Madinah adalah pada hari senin, di malam ke 12 dari bulan Rabi’ul Awal. Lalu Allah swt memerintahkannya untuk menghadap ke arah ka’bah pada hari selasa di pertengahan bulan sya’ban. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid I hal 554)
Kemudian apakah Nabi saw melakukan ibadah-ibadah tertentu didalam malam nisfu sya’ban ? terdapat riwayat bahwa Rasulullah saw banyak melakukan puasa didalam bulan sya’ban, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Aisyah berkata,”Tidaklah aku melihat Rasulullah saw menyempurnakan puasa satu bulan kecuali bulan Ramadhan. Dan aku menyaksikan bulan yang paling banyak beliau saw berpuasa (selain ramadhan, pen) adalah sya’ban. Beliau saw berpuasa (selama) bulan sya’ban kecuali hanya sedikit (hari saja yang beliau tidak berpuasa, pen).”
Adapun shalat malam maka sessungguhnya Rasulullah saw banyak melakukannya  pada setiap bulan. Shalat malamnya pada pertengahan bulan sama dengan shalat malamnya pada malam-malam lainnya. Hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah didalam Sunannya dengan sanad yang lemah,”Apabila malam nisfu sya’ban maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya.
Sesungguhnya Allah swt turun hingga langit dunia pada saat tenggelam matahari dan mengatakan,”Ketahuilah wahai orang yang memohon ampunan maka Aku telah mengampuninya. Ketahuilah wahai orang yang meminta rezeki Aku berikan rezeki, ketahuilah wahai orang yang sedang terkena musibah maka Aku selamatkan, ketahuilah ini ketahuilah itu hingga terbit fajar.”
Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan,”Walaupun hadits-hadits itu lemah namun bisa dipakai dalam hal keutamaan amal.” Itu semua dilakukan dengan sendiri-sendiri dan tidak dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama).
Al Qasthalani menyebutkan didalam kitabnya “al Mawahib Liddiniyah” juz II hal 259 bahwa para tabi’in dari ahli Syam, seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh dengan ibadah pada malam nisfu sya’ban. Manusia kemudian mengikuti mereka dalam mengagungkan malam itu. Disebutkan pula bahwa yang sampai kepada mereka adalah berita-berita israiliyat. Tatkala hal ini tersebar maka terjadilah perselisihan di masyarakat dan diantara mereka ada yang menerimanya.
Ada juga para ulama yang mengingkari, yaitu para ulama dari Hijaz, seperti Atho’, Ibnu Abi Malikah serta para fuqoha Ahli Madinah sebagaimana dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ini adalah pendapat para ulama Maliki dan yang lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bid’ah.
Kemudian al Qasthalani mengatakan bahwa para ulama Syam telah berselisih tentang menghidupkan malam itu kedalam dua pendapat. Pertama : Dianjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah di masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin ‘Amir dan yang lainnya mengenakan pakaian terbaiknya, menggunakan wangi-wangian dan menghidupkan malamnya di masjid. Hal ini disetujui oleh Ishaq bin Rohawaih. Dia mengatakan bahwa menghidupkan malam itu di masjid dengan cara berjama’ah tidaklah bid’ah, dinukil dari Harab al Karmaniy didalam kitab Masa’ilnya. Kedua : Dimakruhkan berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat, berdoa akan tetapi tidak dimakruhkan apabila seseorang melaksanakan shalat sendirian, ini adalah pendapat al Auza’i seorang imam dan orang faqih dari Ahli Syam.
Tidak diketahui pendapat Imam Ahmad tentang malam nisfu sya’ban ini, terdapat dua riwayat darinya tentang anjuran melakukan shalat pada malam itu. Dua riwayat itu adalah tentang melakukan shalat di dua malam hari raya. Satu riwayat tidak menganjurkan untuk melakukannya dengan berjama’ah. Hal itu dikarenakan tidaklah berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Dan satu riwayat yang menganjurkannya berdasarkan perbuatan Abdurrahman bin Zaid al Aswad dan dia dari kalangan tabi’in.
Demikian pula didalam melakukan shalat dimalam nisfu sya’ban tidaklah sedikit pun berasal dari Nabi saw maupun para sahabatnya. Perbuatan ini berasal dari sekelompok tabi’in khususnya para fuqaha Ahli Syam. (Fatawa al Azhar juz X hal 31)
Sementara itu al Hafizh ibnu Rajab mengatakan bahwa perkataan ini adalah aneh dan lemah karena segala sesuatu yang tidak berasal dari dalil-dalil syar’i yang menyatakan bahwa hal itu disyariatkan maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menceritakannya didalam agama Allah baik dilakukan sendirian maupun berjama’ah, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan berdasarkan keumuman sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak.” Juga dalil-dalil lain yang menunjukkan pelarangan bid’ah dan meminta agar waspada terhadapnya.
Didalam kitab “al Mausu’ah al Fiqhiyah” juz II hal 254 disebutkan bahwa jumhur ulama memakruhkan berkumpul untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban, ini adalah pendapat para ulama Hanafi dan Maliki. Dan mereka menegaskan bahwa berkumpul untuk itu adalah sautu perbuatan bid’ah menurut para imam yang melarangnya, yaitu ‘Atho bin Abi Robah dan Ibnu Malikah.
Sementara itu al Auza’i berpendapat berkumpul di masjid-masjid untuk melaksanakan shalat (menghidupkan malam nisfu sya’ban, pen) adalah makruh karena menghidupkan malam itu tidaklah berasal dari Rasul saw dan tidak juga dilakukan oleh seorang pun dari sahabatnya.
Sementara itu Khalid bin Ma’dan dan Luqman bin ‘Amir serta Ishaq bin Rohawaih menganjurkan untuk menghidupkan malam itu dengan berjama’ah.”
Dengan demikian diperbolehkan bagi seorang muslim untuk menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan berbagai bentuk ibadah seperti shalat, berdzikir maupun berdoa kepada Allah swt yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Adapun apabila hal itu dilakukan dengan brjama’ah maka telah terjadi perselisihan dikalangan para ulama seperti penjelasan diatas.
Hendaklah ketika seseorang menghidupkan malam nisfu sya’ban dengan ibadah-ibadah diatas tetap semata-mata karena Allah dan tidak melakukannya dengan cara-cara yang tidak diperintahkan oleh Rasul-Nya saw. Janganlah seseorang melakukan shalat dimalam itu dengan niat panjang umur, bertambah rezeki dan yang lainnya karena hal ini tidak ada dasarnya akan tetapi niatkanlah semata-mata karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Begitu pula dengan dzikir-dzikir dan doa-doa yang dipanjatkan hendaklah tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih didalam aqidah dan hukum.
Dan hendaklah setiap muslim menyikapi permasalahan ini dengan bijak tanpa harus menentang atau bahkan menyalahkan pendapat yang lainnya karena bagaimanapun permasalahan ini masih diperselisihkan oleh para ulama meskipun hanya dilakukan oleh para tabi’in.
Wallahu A’lam



Nisfu Syaaban dan fatwa tentangnya

Assalaamu’alaikum w.b.t…..  Sebagaimana telah kita ketahui apabila tibanya malam 15 Sya’aban, ramai yang akan ke masjid untuk solat jemaah dan membaca yasin sebanyak 3 kali. Tetapi tahukah kita dari mana amalan itu berasal?  Sedangkan kita tahu, bahawa sesuatu ibadah khusus yang dilakukan jika tiada amalan atau dalil dari nabi Muhammad S.a.w maka dikira bid’ah. Persoalannya mengapa perlu dilakukan sebanyak 3 kali dan dikhususkan pada malam tersebut?  Sedangkan bacaan Yasin boleh dilakukan pada bila-bila masa dan tidak terhad kepada berapa kali.
Seperti yang selalu saya lihat, bacaan Yasin yang dibuat sebanyak 3 kali itu dilakukan dengan pantas dan terkejar-kejar. Mungkin ianya sesuai dengan orang yang sudah mahir membaca Qasar,  tetapi bagaimana dengan mereka yang tidak mahir dengan bacaan Qasar lebih-lebih lagi bagi yang tidak mahir membaca AlQuran bertajwid. Tidakkah itu sudah menjadi tunggang-langgang dan tidak berlaku dalam keadaan yang tenang. Apakah bagus membaca AlQuran dalam keadaan tergesa-gesa dan salah tajwidnya? Apakah hikmah di sebalik tergesa-gesa dan tidak faham apa yang dibaca itu?
Sebenarnya tiada hadith yang sahih yang memberitahu tentang bacaan yasin 3 kali pada malam nisfu Syaaban ini dan jika ada pun, ianya adalah hadith berkenaan kelebihan malam nisfu Syaaban yang dhaif dan juga terdapat dalam hadith maudhu’ (palsu). Walau bagaimanapun ada sebahagian ulama berpendapat hadis dhaif boleh dipegang dalam amalan sunat secara perseorangan.  Tetapi tidak sekali-kali dengan hadith maudhu’. Ingat, hadith maudhu’ maknanya hadith PALSU, dan hadith PALSU hanyalah hadith yang direka-reka oleh golongan tertentu. Dengan kerana itu, adalah penting agar kita berhati-hati dalam memahami martabat sesuatu hadith itu.
Namun , dalam soal bacaan Yasin sebanyak 3 kali dalam nisfu Syaaban tetap tidak ada hadith yang sahih berkenaannya dan amalan tersebut tiada ditunjukkan contoh langsung oleh nabi dan sahabat. Maka mengapa kita sekarang ini mengadakan majlis tersebut di masjid-masjid apabila tibanya malam nisfu Syaaban sahaja?  Mengapa perlu menetapkan malam itu untuk membaca Yasin 3 kali dan berduyun-duyun menuju ke masjid sedangkan malam lain tidak? Itu yang perlu diperhati bersama.
Dan saya tidak berani mengatakan amalan tersebut haram. tetapi kita perlu ingat, amalan ibadah khusus yang bukannya berasal dari nabi sudah dikira bid’ah dan dibimbangi amalan itu akan menjadi penat dan lelah semata-mata kerana tidak berasas atau menambah dosa sahaja. Tetapi menurut fatwa dari Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, amalan itu dikira bid’ah dan penjelasannya ada saya sertakan di bawah nanti.
Maka sebaiknya adalah kita lakukan sahaja amalan membaca Yasin atau apa-apa sahaja bacaan AlQuran , tanpa perlu dikhususkan 3 kali dan seumpamanya. Dan yang penting, bacaan itu biarlah TERTIB, TENANG dan memberi keinsafan kepada kita dan bukannya semata-mata mahu mengejar pahala  sehingga membaca AlQuran dengan tergopoh dan salah tajwid dan mengatakan sepatutnya melakukan bacaan Yasin 3 kali itu.
Pengertian nisfu Syaaban
Nisfu dalam bahasa arab bererti setengah. Nisfu Syaaban bererti setengah bulan Syaaban. Malam Nisfu Syaaban adalah malam lima-belas Syaaban iaitu siangnya empat-belas haribulan Syaaban.
Malam Nisfu Syaaban merupakan malam yang penuh berkat dan rahmat selepas malam Lailatul qadr. Saiyidatina Aisyah r.a. meriwayatkan bahawa Nabi saw tidak tidur pada malam itu sebagaimana yg tersebut dalam sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi r.a:
Rasulullah saw telah bangun pada malam (Nisfu Syaaban) dan bersembahyang dan sungguh lama sujudnya sehingga aku fikir beliau telah wafat. Apabila aku melihat demikian aku mencuit ibu jari kaki Baginda saw dan bergerak. Kemudian aku kembali dan aku dengar Baginda saw berkata dlm sujudnya, “Ya Allah aku pohonkan kemaafanMu daripada apa yg akan diturunkan dan aku pohonkan keredhaanMu daripada kemurkaanMu dan aku berlindung kpdMu daripadaMu. Aku tidak dpt menghitung pujian terhadapMu seperti kamu memuji diriMu sendiri.”
Setelah Baginda saw selesai sembahyang, Baginda berkata kpd Saiyidatina Aisyah r.a. “Malam ini adalan malam Nisfu syaaban. Sesungguhnya Allah Azzawajjala telah dtg kpd hambanya pada malam Nisfu syaaban dan memberi keampunan kpd mereka yg beristighfar, memberi rahmat ke atas mereka yg memberi rahmat dan melambatkan rahmat dan keampunan terhadap orang2 yg dengki.”
Hari nisfu sya’aban adalah hari dimana buku catatan amalan kita selama setahun diangkat ke langit dan diganti dengan buku catatan yang baru. Catatan pertama yang akan dicatatkan dibuku yang baru akan bermula sebaik sahaja masuk waktu maghrib, (15 Sya’aban bermula pada 14 hb sya’aban sebaik sahaja masuk maghrib)
Fatwa tentang merayakan malam Nisfu Syaaban
Bacaan yasin
Umat Islam di Malaysia umumnya menyambut malam nisfu Syaaban ( 15hb Syaaban) dengan mengadakan majlis membaca surah Yasin sebanyak tiga kali selepas solat Maghrib. Di celah-celah bacaan Yasin ini diselitkan dengan bacaan doa seperti , selepas bacaan Yasin pertama dengan doa untuk diselamatkan dunia akhirat, selepas bacaan Yasin kedua doa supaya dipanjangkan umur dalam keberkatan dan selepas bacaan Yasin ketiga doa supaya dianugerahkan rezeki yang halal.
Diperhatikan bahawa amalan sambutan Nisfu Syaaban yang kaifiatnya sebegini tidak diamalkan di tempat lain di seluruh dunia. Tidak hairanlah tiada fatwa yang dikeluarkan oleh Ulama muktabar dunia masa kini tentang sahih batilnya amalan ini.
Kita beramal dan beribadat adalah untuk mendapat pahala dan kebaikan . Amalan ini hendaklah ada contohnya dari Rasulullah s.a.w. atau sahabat-sahabat atau ada petunjuk yang jelas dari al-Quran dan as-sunnah . Amalan mengkhususkan bacaan dan doa tertentu pada sesuatu masa tanpa nas yang sahih adalah amalan bidaah yang tertolak dan dikhuatiri berdosa; setidak-tidaknya ia akan membazirkan masa dan memenatkan badan.
Kita boleh membaca surah Yasin sebanyak mungkin pada bila-bila masa untuk mendapat pahala tetapi tidak dengan mengkhususkan kepada malam nisfu Syabaan dan dengan bilangan tiga kali. Kita digalakkan berdoa apa saja kepada Allah s.w.t untuk kebaikan dunia dan di akhirat tetapi tidak perlu dikhususkan di celah-celah bacaan Yasin di malam nisfu Syaaban. Dan kita boleh membaca surah Yasin dan berdoa bersendirian, di mana-mana dan bila-bila saja dan tidak perlu berkampung di masjid-masjid dengan harapan mendapat ganjaran istimewa dari Allah s.w.t.
Berikut adalah fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama terkemuka di Timur Tengah untuk menjelaskan tentang amalan bidaah di malam nisfu Syaaban. Perhatikan bahawa beliau tidak menyebut amalan membaca Yasin dan doa-doa yang mengiringinya kerana amalan tersebut tidak diamalkan oleh penduduk di Timur Tengah atau di bahagian lain dunia Islam. Boleh dikatakan bahawa amalan baca Yasin dan doa ini adalah sebahagian dari sekian banyak amalan bidaah ciptaan rakyat tempatan khusus untuk amalan penduduk nusantara ini!
‘Solat Sunat’ Nisfu Syaaban
Firman Allah (mafhumnya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu dan Aku telah cukupkan nikmatKu kepada kamu dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu.” [al-Maa’idah 5:3]. “Patutkah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menentukan mana-mana bahagian dari agama mereka sebarang undang-undang yang tidak diizinkan oleh Allah?” [al-Syur.a 42:21]
Dalam kitab al-Sahihain diriwayatkan daripada `Aisyah (r.a) bahawa Rasulullah (s.a.w) pernah bersabda: “barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang mana bukan sebahagian daripadanya, akan tertolak.”
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan daripada Jabir r.a, Nabi (s.a.w) bersabda dalam khutbah Baginda: “Tetaplah kamu dengan Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ Rasyidun, serta berpegang teguhlah padanya… Berwaspadalah terhadap perkara yang baru diada-adakan, kerana setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap perkara bid’ah itu adalah sesat.” Terdapat banyak lagi ayat Qur’an dan hadis yang seumpamanya.
Ini jelas sekali menunjukkan bahawa Allah telah sempurnakan agama umat ini, dan mencukupkan nikmatNya ke atas mereka. Tuhan tidak mengambil nyawa RasulNya sehinggalah Baginda selesai menyampaikan perutusan dengan seterang-terangnya dan menghuraikan kepada ummah segala apa yang telah diperintahkan Allah samada amalan perbuatan mahupun percakapan. Baginda s.a.w telah menerangkan bahawa untuk ibadah yang direka selepas kewafatan Baginda, segala bacaan dan amalan yang kononnya dilakukan menurut Islam, kesemua ini akan dicampakkan kembali kepada orang yang mencipta amalan tersebut, meskipun ia berniat baik.
Para Sahabat Nabi s.a.w tahu tentang hakikat ini, begitu juga para salaf selepas mereka. Mereka mengecam bid’ah dan menegahnya, sebagaimana telah dicatatkan dalam kitab-kitab yang menyanjung Sunnah dan mengecam bid’ah, ditulis oleh bin Waddah, al-Tartushi, bin Shamah dan lain-lain.
Antara amalan bid’ah yang direka manusia ialah menyambut hari pertengahan dalam bulan Syaaban (Nisfu Syaaban), dan menganjurkan puasa pada hari tersebut. Tidak ada nas (dalil) yang boleh dipercayai tentang puasa ini. Ada beberapa hadis dhaif telah dirujuk tentang fadhilat puasa ini, tetapi ianya tidak boleh dijadikan pegangan. Hadis-hadis diriwayatkan mengenai fadhilat doa sempena nisfu Syaaban kesemuanya adalah maudhu’ (rekaan semata-mata), sebagaimana telah diperjelaskan oleh sebahagian besar alim ulama. Kita akan lihat beberapa petikan dari ulasan para alim ulama ini.
Beberapa riwayat tentang hal ini telah dinukilkan daripada sebahagian ulama salaf di Syria dan lain-lain. Menurut jumhur ulama, menyambut nisfu Syaaban adalah bid’ah, dan hadis-hadis tentang fadhilat-fadhilat berkenaan hari tersebut adalah dhaif (lemah), sebahagian besar yang lain pula adalah maudhu’ (rekaan). Antara ulama yang memperjelaskan hal ini adalah al-Haafiz bin Rejab, di dalam kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif, dan lain-lain. Hadis-hadis dha`if berkenaan ibadah hanya boleh diterimapakai untuk amalan ibadat yang terdapat menerusi nas-nas yang Sahih. Tidak ada asas yang Sahih bagi sambutan nisfu Syaaban, oleh itu hadis-hadis dha`if tersebut tidak dapat digunapakai.
Prinsip asas yang penting ini telah disebutkan oleh Imam Abu’l-‘Abbas Sheikh al-Islam bin Taymiyah (rahimahullah). Para alim ulama (rahimahumullah) telah sepakat bahawa apabila wujud perselisihan di kalangan umat, maka wajiblah merujuk kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w. Apa-apa keputusan yang diperolehi daripada salah satu atau kedua-duanya adalah syariat yang wajib ditaati, sebaliknya apa-apa yang didapati bercanggah dengan kedua-duanya mestilah ditolak. Oleh itu sebarang amalan ibadat yang tidak dinyatakan di dalam kedua-dua (Qur’an dan Sunnah) adalah bid’ah dan tidak dibenarkan melakukannya, apatah lagi mengajak orang lain melakukannya atau mengiktirafkannya.
Sebagaimana Firman Allah (mafhumnya): “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasulullah dan kepada “Ulil-Amri” (orang-orang yang berkuasa) dari kalangan kamu. Kemudian jika kamu berbantah-bantah (berselisihan) dalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu mengembalikannya kepada (Kitab) Allah (Al-Quran) dan (Sunnah) RasulNya jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya.” [al-Nisa’ 4:59]
“Dan (katakanlah wahai Muhammad kepada pengikut-pengikutmu): Apa jua perkara agama yang kamu berselisihan padanya maka hukum pemutusnya terserah kepada Allah; Hakim yang demikian kekuasaanNya ialah Allah Tuhanku; kepadaNyalah aku berserah diri dan kepadaNyalah aku rujuk kembali (dalam segala keadaan).”[al-Shura 42:10]. “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika benar kamu mengasihi Allah maka ikutilah daku, nescaya Allah mengasihi kamu serta mengampunkan dosa-dosa kamu dan (ingatlah), Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [Aal ‘Imr.an 3:31]
“Maka demi Tuhanmu (wahai Muhammad)! Mereka tidak disifatkan beriman sehingga mereka menjadikan engkau hakim dalam mana-mana perselisihan yang timbul di antara mereka, kemudian mereka pula tidak merasa di hati mereka sesuatu keberatan dari apa yang telah engkau hukumkan dan mereka menerima keputusan itu dengan sepenuhnya.” [al-Nisa’ 4:65]
Banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa maksudnya seperti di atas, yang menyatakan dengan jelas bahawa sebarang perselisihan wajib dirujuk kepada Qur’an dan Sunnah, seterusnya wajib mentaati keputusan yang diperolehi daripada kedua-dua Nas ini. Ini merupakan syarat iman, dan inilah yang terbaik untuk manusia di dunia dan di akhirat: “Yang demikian adalah lebih baik (bagi kamu) dan lebih elok pula kesudahannya” [al-Nisa’ 4:59 – mafhumnya] maksudnya ialah Hari Akhirat.
Al-Hafiz bin Rejab (R.A) menyebut di dalam kitabnya Lataa’if al-Ma’aarif tentang isu ini – setelah membincangkannya secara panjang lebar – “Malam Nisfu Syaaban asalnya diutamakan oleh golongan Tabi’in di kalangan penduduk Sham, antaranya Khalid bin Mi’dan, Makhul, Luqman bin ‘Amir dan lain-lain, di mana mereka beribadah bersungguh-sungguh pada malam tersebut. Orang awam menganggap bahawa malam tersebut adalah mulia kerana perbuatan mereka ini. Disebutkan bahawa mereka telah mendengar riwayat-riwayat Israiliyyat berkenaan kelebihan malam tersebut, sedangkan jumhur ulama di Hijaz menolak kesahihan riwayat ini, antara mereka adalah ‘Ata’ dan Ibnu Abi Malikah. ‘Abdul Rahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan fatwa ini daripada fuqaha’ (Ulama Ahli Fiqh) di Madinah, dan inilah pandangan ulama-ulama Maliki dan lain-lain. Kata mereka: semua ini adalah bid’ah…
Imam Ahmad tidak pernah diketahui menyebut apa-apa pun tentang (adanya sambutan) Malam Nisfu Syaaban… Tentang amalan berdoa sepanjang Malam Nisfu Syaaban, tidak ada riwayat yang sahih daripada Nabi (s.a.w) ataupun daripada Para Sahabat Baginda …”
Inilah apa yang telah disebutkan oleh al-Hafiz bin Rejab (R.A). Beliau menyatakan dengan jelas bahawa tidak ada langsung riwayat sahih daripada Rasulullah s.a.w mahupun daripada Sahabat-sahabat Baginda (R.A) mengenai Malam Nisfu Shaaban (pertengahan bulan Syaaban).
Dalam keadaan di mana tidak ada bukti shar’i bahawa apa-apa perkara itu disuruh oleh Islam, tidak dibenarkan bagi Umat Islam untuk mereka-reka perkara baru dalam agama Allah, tidak kiralah ianya amalan perseorangan ataupun berkumpulan, samada dilakukan secara terbuka mahupun tertutup, berdasarkan maksud umum hadith Rasulullah s.a.w: “Barangsiapa melakukan apa sahaja amalan yang bukan sebahagian daripada urusan kita ini [Islam], amalan itu akan tertolak.” Banyak lagi dalil yang menegaskan bahawa bid’ah mesti ditegah dan memerintahkan agar menjauhinya.
Imam Abu Bakr al-Tartushi (R.A) menyebut dalam kitabnya al-Hawadith wa’l-Bida’: “Ibn Waddah meriwayatkan bahawa Zayd bin Aslam berkata: Kami tidak pernah menemui seorang pun dari kalangan ulama dan and fuqaha’ kami yang memberi perhatian lebih kepada Malam Nisfu Shaaban, tidak ada juga yang memberi perhatian kepada hadith Makhul, atau yang beranggapan bahawa malam tersebut adalah lebih istimewa daripada malam-malam lain. Pernah ada orang mengadu kepada Ibnu Abi Maleekah bahawa Ziyad an-Numairi mengatakan bahawa pahala di Malam Nisfu Shaaban adalah menyamai pahala Lailatul-Qadar. Beliau menjawab, “Sekiranya aku dengar sendiri dia berkata begitu dan ada kayu di tanganku, pasti aku akan memukulnya (dengan kayu itu). Ziyad seorang pereka cerita.”
Al-Shaukani (R.A) berkata dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah: “Hadith yang berbunyi: ‘Wahai ‘Ali, barangsiapa bersolat seratus rakaat di Malam Nisfu Shaaban, dengan membaca pada setiap rakaat Ummul Kitab [Surah al-Fatihah] dan Qul Huwallahu Ahad sepuluh kali, Allah akan memenuhi segala keperluannya…’ Hadis ini maudhu’ (rekaan semata-mata). Susunan katanya menyebut dengan jelas ganjaran yang akan diterima oleh orang yang melakukannya, dan tidak ada orang yang waras yang boleh meragui bahawa ‘hadis’ ini adalah rekaan. Lebih-lebih lagi, perawi dalam isnad hadis ini adalah majhul (tidak dikenali). ‘Hadis’ ini juga diriwayatkan melalui sanad yang lain, yang mana kesemua adalah direka dan kesemua perawinya adalah are majhul (tidak diketahui asal-usulnya).
Di dalam kitab al-Mukhtasar, beliau menukilkan: Hadith yang menyebut tentang solat di tengah bulan Syaaban adalah hadis palsu, dan hadis Ali yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban – “ Apabila tiba malam pertengahan Syaaban, penuhilah malamnya dengan solat dan berpuasalah di siang harinya” – adalah dhaif (lemah).
Di dalam kitab al-La’aali’ beliau berkata, “Seratus rakaat di pertengahan Syaaban, membaca (Surah) al-Ikhlas sepuluh kali di setiap rakaat… (hadis ini) adalah maudhu’ (direka), dan kesemua perawi dalam tiga isnadnya adalah majhul (tidak dikenali) dan dhaif (lemah). Katanya lagi: dan dua belas rakaat, membaca al-Ikhlaas tiga puluh kali setiap rakaat, ini juga adalah maudhu’; dan empat belas (rakaat), juga adalah maudhu’.
Beberapa orang fuqaha’ telah tertipu oleh hadis palsu ini, antaranya pengarang al-Ihya’ dan lain-lain, dan juga sebahagian ulama mufassirin. Solat khusus di malam ini – di pertengahan bulan Syaaban – telah diterangkan dalam pelbagai bentuk, kesemuanya adalah palsu dan direka-reka.”
Al-Hafiz al-‘Iraqi berkata: “Hadith tentang solat di malam pertengahan Syaaban adalah maudhu’, dan disandarkan secara palsu terhadap Rasulullah s.a.w.”
Imam al-Nawawi berkata di dalam bukunya al-Majmu’: “Sembahyang yang dikenali sebagai solat al-raghaa’ib, didirikan sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan ‘Isyak pada malam Jumaat pertama di bulan Rejab, dan sembahyang sunat Malam Nisfu Shaaban, sebanyak seratus rakaat – kedua-dua sembahyang ini adalah bid’ah yang tercela. Sepatutnya orang ramai tidak tertipu disebabkan ianya disebut dalam Qut al-Qulub dan Ihya’ ‘Ulum al-Din, atau oleh hadis-hadis yang disebutkan dalam kedua-dua kitab ini. Kesemuanya adalah palsu. Orang ramai juga tidak sepatutnya tertipu disebabkan kerana beberapa imam telah keliru dalam hal ini dan menulis beberapa helaian yang menyebut bahawa sembahyang ini adalah mustahabb (sunat), kerana dalam hal ini mereka tersilap.”
Sheikh al-Imam Abu Muhammad ‘Abd al-Rahman bin Isma’il al-Maqdisi telah menulis sebuah kitab yang amat berharga, yang membuktikan bahawa riwayat-riwayat tersebut adalah palsu, dan jasa beliau sangatlah besar. Alim `ulama telah membincangkan hal ini dengan panjang lebar, dan sekiranya kami ingin memetik keseluruhan perbincangan tersebut untuk dicatatkan di sini, tentu akan mengambil masa yang sangat panjang. Mudah-mudahan apa yang telah disebutkan di atas sudah memadai bagi anda yang mencari kebenaran.
Daripada ayat-ayat Qur’an, hadis-hadis dan pendapat ulama yang dipetik di atas, sudah jelas bagi kita bahawa menyambut pertengahan bulan Syaaban dengan cara bersembahyang di malamnya atau dengan mana-mana cara yang lain, atau dengan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, adalah bid’ah yang ditolak oleh jumhur ulama. Amalan tersebut tiada asas dalam syariat Islam yang tulen; bahkan ianya hanyalah salah satu perkara yang diada-adakan dalam Islam selepas berakhirnya zaman Sahabat (radhiallahu `anhum).
Amat memadai, dalam hal ini, untuk kita fahami kalam Allah (mafhumnya):
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama kamu untukmu..…”[al-Ma’idah 5:3]. dan beberapa ayat yang seumpamanya; dan kata-kata Nabi s.a.w: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kita ini yang (pada hakikatnya) bukan sebahagian daripadanya, tidak akan diterima” dan beberapa hadis yang serupa.
Dalam Sahih Muslim diriwayatkan bahawa Abu Hurarah (R.A) berkata: “Rasulullah s.a.w bersabda: ‘Janganlah kamu khususkan malam Jumaat untuk bersembahyang malam dan janganlah khususkan siang hari Jumaat untuk berpuasa, melainkan jika puasa di hari itu adalah sebahagian daripada puasa-puasa yang kamu amalkan berterusan-berterusan.’”
Seandainya dibenarkan untuk mengkhususkan mana-mana malam untuk amalan ibadah yang istimewa, sudah tentu malam Jumaat adalah yang paling sesuai, kerana siang hari Jumaat adalah hari yang paling baik bermula terbit mataharinya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Sahih yang diriwayatkan daripada Rasulullah s.a.w. Memandangkan Nabi Muhammad s.a.w sendiri melarang dari mengkhususkan malam tersebut untuk bertahajjud, itu menandakan bahawa adalah lebih dilarang sekiranya dikhususkan malam-malam lain untuk sebarang bentuk ibadat, kecuali di mana terdapat nas yang Sahih yang mengkhususkan malam tertentu.
Oleh kerana telah disyariatkan untuk memenuhi malam Lailatul-Qadr dan malam-malam lain di bulan Ramadhan dengan bersolat, Rasulullah s.a.w memberi perhatian kepadanya dan menyuruh umatnya bersolat malam sepanjang tempoh tersebut. Baginda sendiri melaksanakannya, sebagaimana disebut dalam al-Sahihain, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: “Barangsiapa bersolat qiyam di bulan Ramadan dengan penuh iman dan mengharapkan pahala, Allah akan ampunkan dosa-dosanya yang telah lalu” dan “Barangsiapa memenuhi malam Lailatul Qadr dengan bersolat (sunat) disebabkan iman dan mencari pahala, Allah ampunkan kesemua dosanya yang telah lalu.”
Akan tetapi sekiranya disyariatkan untuk mengkhususkan malam pertengahan bulan Syaaban, atau malam Jumaat pertama di bulan Rejab, atau di malam Isra’ dan Mi’raj, dengan meraikannya ataupun dengan melakukan amalan ibadat yang khusus, maka sudah tentu Rasulullah s.a.w telah mengajar umatnya melakukannya, dan Baginda sendiri melakukannya. Jika pernah berlaku sedemikian, para Sahabat Baginda (R.A) pasti akan memperturunkan amalan amalan tersebut kepada umat terkemudian; tidak mungkin mereka menyembunyikan amalan daripada umat terkemudian, kerana mereka adalah generasi yang terbaik dan yang paling amanah selepas Rasulullah, radhiallahu `anhum, dan semoga Allah merahmati kesemua sahabat Rasulullah s.a.w.
Sekarang kita telah membaca sendiri kata-kata ulama yang dipetik di atas bahawa tidak ada riwayat daripada Rasulullah s.a.w mahupun Para Sahabat (R.A) berkenaan kelebihan malam Jumaat pertama bulan Rejab, atau malam pertengahan bulan Syaaban. Maka kita tahu bahawa menyambut hari tersebut adalah satu perkara baru yang dimasukkan ke dalam Islam, dan mengkhususkan waktu-waktu ini untuk amalan ibadat tertentu adalah bid’ah yang tercela.
Samalah juga dengan sambutan malam ke dua puluh tujuh bulan Rejab, yang mana disangkakan oleh sesetengah orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj; tidak dibenarkan mengkhususkan hari tersebut untuk amalan tertentu, atau meraikan tarikh tersebut, berdasarkan dalil yang dipetik di atas. Ini sekiranya tarikh sebenar Isra’ and Mi’raj telah diketahui, maka bagaimana sekiranya pandangan ulama yang benar adalah tarikh sebanar Isra’ and Mi’raj tidak diketahui! Pandangan yang mengatakan ianya berlaku pada malam ke dua puluh tujuh di bulan Rejab adalah riwayat yang palsu yang tiada asas dalam hadis-hadis sahih. Baik sekiranya seseorang itu berkata: “Perkara paling baik adalah yang mengikut jalan para salaf, dan perkara paling buruk adalah perkara yang diada-adakan.”
Kita memohon agar Allah membantu kita dan seluruh umat Islam untuk berpegang teguh kepada Sunnah dan menjauhi segala yang bertentangan dengannya, kerana Dialah yang Maha Pemurah, lagi Maha Penyayang. Semoga Allah merahmati Pesuruh dan UtusanNya, Nabi kita Muhammad s.a.w, serta kesemua ahli keluarga dan Para Sahabat baginda.
Ulasan dan terjemahan fatwa : http://www.darulkautsar.com
[Dipetik daripada Majmu’ Fatawa Samahat al-Sheikh ‘Abdul-‘Aziz bin Baz, 2/882]
Rujukan :
1 – http://e-malabari.net/ugama/nisfusyaaban.htm
2 – http://www.darulkautsar.com


Hadis Palsu Rejab, Sya’ban

Oleh : DR. MOHD. ASRI ZAINUL ABIDIN (pensyarah Bahagian Pengajian Islam Universiti Sains Malaysia (USM))
Agama wajib dipelihara ketulenannya supaya tidak berlaku campur aduk antara rekaan manusia dan perintah Allah dan RasulNya. Jika agama boleh direkacipta, maka wahyu sudah tentu tidak diperlukan, juga Rasul tidak perlu diutuskan.

Oleh itu Islam mengharamkan pembohongan di atas nama agama. Kita melihat di akhir-akhir ini perkembangan yang lebih mendukacitakan, dimana adanya individu-individu tertentu yang tidak mempunyai latar belakang pengajian Islam atau sekadar sebulan dua di pusat pengajian tertentu kemudiannya muncul di tengah masyarakat dengan membawa huraian-huraian yang salah tentang Islam di sana-sini. Fonomena ini mendukacitakan kita, akhirnya manusia mengambil agama daripada golongan jahil lalu mereka diselewengkan.
Bahkan bukan sahaja golongan yang tidak pernah mengikut pengajian Islam membuat kesalahan dalam memetik dan menghuraikan hadith bahkan ada di kalangan yang menggunakan lebel nama sebagai ustaz juga sering membuat kesalahan dalam persoalan memetik dan menghuraikan hadith-hadith Nabi s.a.w.

Sebenarnya gelaran ustaz bukan bererti seseorang itu tahu segalanya dalam ilmu-ilmu Islam. Sebaliknya ada golongan yang digelar ustaz hanya kerana sepatah dua kalimat yang dihafalnya.

Berbalik kepada persoalan hadith, ramai di kalangan kita yang begitu tidak berdisplin dalam memetik hadith-hadith Nabi s.a.w., begitu juga dalam menghuraikannya. Sebahagiannya langsung tidak mengambil berat persoalan kethabitan iaitu kepastian di atas ketulenan sesebuah hadith. Apa sahaja yang dikatakan hadith terus sahaja dibacakan kepada masyarakat tanpa meneliti takhrij dan tahqiq (keputusan) para ulama hadith terhadap kedudukannya.

Lebih malang ada yang menyangka apa sahaja yang dikatakan hadith maka pastinya sahih dan wajib diimani. Dengan itu apa sahaja yang mereka jumpai daripada buku bacaan, yang dikatakan hadith maka mereka terus sandarkan kepada Nabi s.a.w. tanpa usul periksa, sedangkan mereka lupa akan amaran yang diberikan oleh baginda Nabi s.a.w. dalam hadith yang mutawatir:

“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain). Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka”(Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan selain mereka) Hadith ini adalah mutawatir (lihat: Ibn al-Salah,`Ulum al-Hadith, m.s.239, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah, Beirut)

Berbohong menggunakan nama Nabi s.a.w. adalah satu jenayah yang dianggap sangat barat di dalam Islam. Perbohongan atau berdusta menggunakan Nabi s.a.w. ialah menyandar sesuatu perkataan, atau perbuatan, atau pengakuan kepada Nabi s.a.w secara dusta, yang mana baginda tidak ada kaitan dengannya. Ini seperti menyebut Nabi s.a.w. bersabda sesuatu yang baginda tidak pernah bersabda, atau berbuat, atau mengakui sesuatu yang baginda tidak pernah melakukannya. Maka sesuatu yang dikaitkan dengan Nabi s.a.w. samada perkataan, atau perbuatan atau pengakuan, maka ianya disebut sebagai al-hadith. Namun menyandar sesuatu kepada Nabi s.a.w. secara dusta, bukanlah hadith pada hakikatnya, Cuma ianya disebut hadith berdasar apa yang didakwa oleh perekanya dan ditambah perkataan al-Maudu’, atau al-Mukhtalaq iaitu palsu, atau rekaan. Maka hadith palsu ialah:

“Hadith yang disandarkan kepada Nabi s.a.w secara dusta, ianya tidak ada hubungan dengan Nabi s.a.w.” (lihat: Nural-Din Itr, Manhaj al-Nadq fi `Ulum al-Hadith, m.s.301, cetakan: Dar al-Fikr al-Mu`asarah, Beirut)

Perbuatan ini adalah jenayah memalsu ciptakan agama, kerana Nabi adalah sumber pengambilan agama. Seperti seseorang yang memalsukan passport di atas nama sesebuah kerajaan. Ianya sebenarnya melakukan pembohongan dan jenayah terhadap kerajaan tersebut. Kedudukan Nabi s.a.w tentunya lebih besar dan agung untuk dubandingkan. Oleh itu dalam riwayat yang lain Nabi s.a.w. menyebut:

“Jangan kamu berdusta ke atasku, sesiapa berdusta ke atasku maka dia masuk neraka” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Kata al-Hafizd Ibn Hajar al-`Asqalani (meninggal 852H) dalam mengulas hadith ini:
“Ianya merangkumi setiap pendusta ke atas Nabi s.a.w. dan semua jenis pendustaan ke atas baginda. Maksudnya: Jangan kamu sandarkan pendustaan ke atasku (menggunakan namaku) (rujukan: Ibn Hajar al-`Asqalani, Fath al-Bari, jld 1, m.s. 270, cetakan: Dar al-Fikr, Beirut).

Bukan sahaja membuat hadith palsu itu haram, bahkan meriwayatkannya tanpa diterang kepada orang yang mendengar bahawa ianya adalah hadith palsu juga adalah sesuatu yang haram. Kata al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H):

“Tidak halal kepada sesiapa yang mengetahui ianya hadith palsu meriwayatkannya dalam apa bentuk sekalipun, melainkan disertai dengan menerangkan kepalsuannya” (Ibn al-Salah,`Ulum al-Hadith, m.s.98)

Misalnya di tanahair kita, didapati apabila munculnya bulan Rejab dan Sya`aban maka hadith-hadith palsu mengenai mengenai bulan-bulan tersebut akan dibaca dan diajar secara meluas. Antaranya hadith:

“Rejab bulan Allah, Sya`aban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”. Ini adalah hadith palsu yang direka oleh Ibn Jahdam. (lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Sahih wa al-Dha`if, m.s. 95, cetakan: Maktabal-Matbu`at al-Islamiyyah, Halab, Syria)

Nama penuhnya Ibn Jahdam ialah `Ali bin `Abdillah bin Jahdam al-Zahid. Beliau meninggal pada tahun 414H. Beliau adalah seorang guru sufi di Mekah. Dia juga dituduh membuat hadith palsu mengenai solat Raghaib (iaitu solat pada jumaat pertama bulan Rejab). (lihat: al-Imam al-Zahabi, Mizan al-`Itidal fi Naqd al-Rijal,. 5, m.s. 173, cetakan: Daral-Kutub al-`Ilmiyyah, Beirut).

Sebab itulah al-Imam Ibn al-Salah (meninggal 643H) menyebut: Ada beberapa golongan yang membuat hadith palsu, yang paling bahaya ialah puak yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud (golongan sufi). Mereka ini membuat hadith palsu dengan dakwaan untuk mendapatkan pahala. Maka orang ramai pun menerima pendustaan mereka atas thiqah (kepercayaan) dan kecenderungan kepada mereka. Kemudian bangkitlah tokoh-tokoh hadith mendedahkan keburukan mereka ini dan menghapuskannya. AlhamdulilLah. (Ibn al-Salah, `Ulum al-Hadith, m.s. 99)

Golongan penceramah, imam, khatib, dan media massa pula, ada menjadi agen menyebarkan hadith-hadith palsu mengenai amalan-amalan yang dikatakan disunatkan pada bulan-bulan tersebut. Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H):Hadith-hadith mengenai solat Raghaib pada jumaat pertama bulan Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w. Begitu juga semua hadith mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada malam-malam tertentu adalah dusta ke atas Nabi s.a.w. Demikian juga hadith-hadith mengenai solat pada malam Nisfu Sya`aban (kesemuanya adalah palsu). Solat-solat ini direka selepas empat ratus tahun munculnya Islam (Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, m.s. 95-98).

Sebenarnya hadith sahih mengenai kebaikan malam nisfu Syaaban itu memang ada, tetapi amalan-amalan tertentu khas pada malam tersebut adalah palsu. Hadith yang boleh dipegang dalam masalah nisfu Sy`aaban ialah:

“Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain). Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma`arf, Riyadh).

Hadith ini tidak mengajar kita apakah bentuk amalan malam berkenaan. Oleh itu amalan-amalan tertentu pada malam tersebut seperti baca Yasin, solat-solat tertentu adalah bukan ajaran Nabi s.a.w. Kata Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam menjawab soalan berhubung dengan Nisfu Syaaban:

“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid pada untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca do`a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu do`a yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid`ah dan diada-adakan.

Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka.” (Dr. Yusuf al-Qaradawi, jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut).

Inilah kenyataan Dr. Yusuf al-Qaradawi, seorang tokoh ulama umat yang sederhana dan dihormati. Namun dalam masalah ini beliau agak tegas kerana ianya ternyata bercanggaha dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w.

Justeru itu hadith-hadith palsu mengenai Rejab dan Syaaban ini hendaklah dihentikan dari disebarkan ke dalam masyarakat. Kita perlu kembali kepada agama yang tulen. Hasil dari memudah-mudahkan dalam hal seperti ini maka muncullah golongan agama yang suka mendakwa perkara yang bukan-bukan. Dengan menggunakan nama agama segala rekaan baru dibuat untuk kepentingan diri dan kumpulan. Islam tidak pernah memberi kuasa kepada kepada golongan agama, atau sesiapa sahaja untuk mendakwa apa yang dia suka kemudian menyandarkannya kepada agama. Agama kita rujukannya ialah al-Quran dan al-Sunnah yang pasti kesabitannya mengikut yang diputuskan oleh para ulama hadith.

Kata al-Syeikh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah (seorang ulama hadith al-Azhar):

“Masih ada para penceramah yang tidak ada ilmu hadith, samada ilmu riwayat atau dirayah (mengenai teks hadith). Mereka hanya membaca hadith apa yang mereka hafal dan dari tulisan-tulisan tanpa mengetahui kedudukan hadith tersebut. Apa yang mereka pentingkan hanyalah reda orang ramai. Lalu mereka menyebut perkara yang berlebih-lebih, pelik dan ajaib yang Islam tiada kaitan dengannya. Mereka ini sepatutnya dihalang dari berceramah, memberi nasihat dan bertazkirah.” (Abu Syahbah, al-Wasit fi `Ulum wa al-Mustalah al-Hadith, m.s. 322, cetakan: Dar al-Fikr al-`Arabi, Kaherah)

Penulis menyeru diri sendiri, para penceramah, ustaz-ustaz, media elektronik dan cetak juga semua pihak yang membaca sesuatu hadith memastikan kesahihannya dahulu. Semoga Rejab dan Syaaban tahun ini tidak dibaluti dengan pembohongan terhadap Nabi s.a.w.



Beberapa Pendapat Ulama Muktabar Tentang Sambutan Nisfu Sya`ban

Rasulullah sallAllahu `alaihi wa sallam bersabda:
“ALLAH melihat kepada hamba-hambaNYA pada malam nisfu Sya`ban, maka DIA mengampuni semua hamba-hambaNYA kecuali yang musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci).”
(Hadith Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain).  Al-Albani mensahihkan hadith ini dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah. (jilid 3, .m.s. 135, cetakan: Maktabah al-Ma`arf, Riyadh)
Hadith di atas merupakan hadith yang sahih dari Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam berkenaan fadhilat nisfu Sya`ban.  Terdapat banyak lagi dikatakan hadith-hadith yang membentangkan tentang fadhilat dan kaifiat sempena Nisfu Sya`ban.  Namun, hadith-hadith tersebut telah dikategorikan sebagai dhaif (lemah) dan maudhu` (palsu).
Adapun berkenaan beberapa amalan masyarakat umum dalam menyambut nisfu Sya`ban, berikut disenaraikan beberapa pandangan `ulama muktabar tentangnya:

(1)  Dr. Yusuf al-Qaradawi:

“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi sallAllahu `alaihi wasallam dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid pada untuk menghidupkan malam nisfu Sya`ban, membaca do`a tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu do`a yang panjang, yang menyanggahi nusus (al-Quran dan Sunnah) juga bercanggahan dan bertentang maknanya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bid`ah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bid`ah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka.”
(Dr. Yusuf al-Qaradawi, jilid 1, m.s. 382-383, cetakan: Dar Uli al-Nuha, Beirut)

(2)  Dr. Yusuf al-Qaradawi:

“(Tentang malam Nisfu Sya’ban, tidak terdapat hadis-hadis yang sampai ke martabat sahih yang menyebut tentangnya, kecuali ia berada di martabat hasan di sisi sebahagian ulama, dan terdapat juga sebahagian ulama yang menolaknya dan mengatakan bahawa tidak terdapat sebarang hadis sahih tentang malam Nisfu Sya’ban, sekiranya kita berpegang bahawa hadis tersebut berada di martabat hasan, maka apa yang disebut di dalam hadis tersebut ialah Nabi saw hanya berdoa dan beristighfar pada malam ini, tidak disebut sebarang doa yang khusus sempena malam ini, dan doa yang dibaca oleh sebahagian manusia di sesetengah negara, dicetak dan diedarkannya adalah doa yang tidak ada asal sumbernya (daripada hadis sahih) dan ia adalah salah).
(Terdapat juga di sesetengah negara yang mereka berkumpul selepas solat Maghrib di masjid-masjid dan membaca surah Yaasin, kemudian solat dua rakaat dengan niat supaya dipanjangkan umur, dan dua rakaat lagi supaya tidak bergantung dengan manusia, kemudian membaca doa yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan salaf, dan ia adalah doa yang bercanggah dengan nas-nas yang sahih, juga bersalahan dari segi maknanya).”
(Al-Qaradhawi, Fatawa al-Muasarah (Kuwait: Dar al-Qalam, cet.5, 1990), 2/379-383)

(3)  Al-Hafiz al-Iraqi:

“Hadis tentang solat pada malam Nisfu Sya`ban adalah maudhu`, direka cipta dan disandarkan kepada Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam.”

(4)  Al-Imam al-Nawawi di dalam kitabnya al-Majmu':

“Solat yang dikenali sebagai solat al-Raghaib iaitu solat sebanyak dua belas rakaat antara Maghrib dan `Isya’ pada malam Jumaat pertama bulan rejab dan solat sunat pada malam Nisfu Sya`ban sebanyak seratus rakaat adalah dua jenis sembahyang yang bid`ah (ditokok tambah dalam agama).”
(Rujuk: Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz, al-Tahzir min al-Bida’, cetakan ke-3, Uni.Islam Madinah, hal. 14).

(5)  Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz:

“Dan di antara perkara-perkara ibadah yang direka cipta oleh manusia ialah merayakan malam Nisfu Sya’ban dan berpuasa sunat khusus pada siangnya, dan tidaklah ada sebarang dalil yang mengharuskan perkara ini. Riwayat yang menyatakan tentang kelebihan amalan ini adalah dhaif dan tidak boleh berhujah dengannya. Ada pun riwayat yang menyebut tentang kelebihan solat yang khas, semuanya adalah maudhu’ seperti mana yang telah dijelaskan oleh kebanyakan ahli ilmu).”
(Abd al-Aziz bin Abdullah bin Baaz, al-Tahzir min al-Bida’, hal. 11).

(6)  Al-Imam as-Suyuti:

“(Dan pada malam Nisfu Sya’ban itu padanya kelebihan, dan menghidupkannya dengan ibadah adalah digalakkan, tetapi hendaklah dilakukan secara bersendirian bukan dalam bentuk berjemaah).”
(Rujuk: al-Suyuti, al-amru bi al-ittiba’ wa al-nahyu an al-ibtida’ (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1998), hal 61)

Kesimpulan

  • Beribadatlah mengikut apa yang telah disyariatkan melalui nas sahih yang diperolehi dari al-Quran dan as-Sunnah.  Jangan sekadar mengamalkan sesuatu ibadah kerana ikut-ikutan, tanpa sandaran yang kukuh dari al-Quran dan as-Sunnah.
  • Diharuskan untuk memperbanyakkan ibadah pada malam Nisfu Sya`ban dengan mengambil fadhilat dari hadith yang telah disebutkan di atas.  Iaitu contohnya dengan mendirikan solat sunnat, membaca al-Quran dan lain-lain amalan baik bagi mendekatkan diri kepada ALLAH.  Tiada amalan ibadah tertentu dan khas yang bersumberkan nas yang sahih sempena Nisfu Sya`ban.  Hal ini telah disebut oleh beberapa ulama seperti di atas.
  • Jauhkan dari perbuatan syirik dan sifat permusuhan.  Kerana dua sifat yang buruk ini membuatkan diri seseorang tidak mendapat keampunan ALLAH Subhanahu wa Ta`ala.
  • Berhati-hatilah dengan ancaman Rasulullah sallAllahu `alaihi wa sallam dalam hal berdusta ke atas Baginda.  Berdusta ke atasnya bermaksud menyandarkan sesuatu amalan dan perkara kepada Baginda sallAllahu `alaihi wasallam, walhal Nabi SallAllahu `alaihi wasallam tidak pernah berkata, perbuat atau bersetuju amalan sebegitu.  Sabda Rasulullah sallAllahu `alaihi wasallam yang bermaksud:
“Sesungguhnya berdusta ke atasku (menggunakan namaku) bukanlah seperti berdusta ke atas orang lain (menggunakan nama orang lain).  Sesiapa yang berdusta ke atasku dengan sengaja, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka.”
(HR al-Bukhari, Muslim dan selain mereka.)
Semoga ALLAH Yang Maha Pengampun mengampuni dosa-dosa kita, amin.
WAllahu Ta`ala A`lam.
www.muzir.wordpress.com
(Disusun dan disunting semula bersumberkan artikel di al-Ahkam.net)








Soalan: al-Fadil Dr Asri yang dikasihi, sekarang kita berada dalam Bulan Syaaban. Apakah amalan yang patut kita lakukan. Saya dengar macam-macam pendapat. Ada kata banyak amalan Bulan Syaaban yang dibuat orang itu tidak ada dalil. Contohnya malam Nisfu Syaaban. Ada kata palsu. Ada kata memang ada dalil. Saya baca di internet pun macam-macam pandangan. Saya ingin beramal dengan amalan yang betul. Bolehkah Dr Asri huraikan?

Anisah, Bangi.

Jawapan Dr MAZA: Saudari Anisah yang dikasihi, sikap saudari yang ingin memastikan ketepatan amalan amat dipuji. Agama ini bukan diikuti tanpa dipastikan kesahihan, atau diikuti tanpa faham. Agama berpaksikan dalil yang diiktiraf. Sesuatu yang tidak berasaskan sumber yang sah iaitu al-Quran dan hadis-hadis yang sabit (authentic) tidak boleh disandarkan kepada Islam. Dalam masa yang sama, tidaklah pula kita mudah menafikan sesuatu perkara dengan menyatakan ia bukan dari ajaran Islam, sebelum kita benar-benar pasti memang tidak wujud dalil dalam hal tersebut. Mengenai soalan saudari, saya jawab berdasarkan perkara-perkara berikut;

1. Hadis-hadis yang berhubung kelebihan atau amalan pada Bulan Syaaban, ada yang sabit dan ada yang tidak. Bahkan terdapat juga amalan-amalan Bulan Syaaban yang diamalkan oleh sesetengah masyarakat itu, hanya ikutan yang tidak mempunyai apa-apa sumber. Ini seperti amalan sesetengah masyarakat yang membuat juadah khas Bulan Sya’ban dan seumpamanya. Banyak buku-buku yang dijual tentang kelebihan Rejab dan Syaaban itu tidak berasaskan hadis-hadis yang sahih.
2. Dalam sejarah ilmu hadis, ramai pemalsu hadis memang gemar membuat hadis-hadis palsu yang berkaitan dengan fadilat-fadilat. Ini seperti mereka mengada-adakan fadilat-fadilat bulan tertentu, surah tertentu dan seumpamanya. Mereka akan mengaitkannya pula dengan amalan tertentu seperti solat khusus, doa khusus, puasa khusus pada hari atau bulan yang dikaitkan dengan fadilat itu. Sebab itulah al-Imam Ibn al-Salah ( meninggal 643H) menyebut:
“Ada beberapa golongan yang membuat hadis palsu, yang paling bahaya ialah puak yang menyandarkan diri mereka kepada zuhud (golongan sufi). Mereka ini membuat hadis palsu dengan dakwaan untuk mendapatkan pahala. Maka orang ramai pun menerima pendustaan mereka atas thiqah (kepercayaan) dan kecenderungan kepada mereka. Kemudian bangkitlah tokoh-tokoh hadis mendedahkan keburukan mereka ini dan menghapuskannya. AlhamdulilLah”.( Ibn al-Salah, `Ulum al-Hadis, m.s. 99, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu`asir).
3. Antara hadis palsu yang direka mengenai bulan-bulan:
“Rejab bulan Allah, Syaaban bulanku dan Ramadhan bulan umatku”. Ini adalah hadis palsu yang direka oleh Ibn Jahdam (meninggal 414H) (lihat: Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Manar al-Munif fi al-Sahih wa al-Dha`if, m.s. 95, Halab: Maktab al-Matbu`at al-Islamiyyah).
Beliau adalah seorang guru sufi di Mekah. Dia juga dituduh membuat hadis palsu mengenai solat Raghaib iaitu solat pada jumaat pertama bulan Rejab( lihat: al-Imam al-Zahabi, Mizan al-`Itidal fi Naqd al-Rijal,. 5/173, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).
Kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (wafat 751H):
“Hadis-hadis mengenai solat Raghaib pada jumaat pertama bulan Rejab kesemuanya itu adalah palsu dan dusta ke atas Rasulullah s.a.w. Begitu juga semua hadis mengenai puasa bulan Rejab dan solat pada malam-malam tertentu adalah dusta ke atas Nabi s.a.w. Demikian juga hadis-hadis mengenai solat pada malam Nisfu Syaaban (kesemuanya adalah palsu). Solat-solat ini direka selepas empat ratus tahun munculnya Islam”. (Ibn al-Qayyim, al-Manar al-Munif, m.s. 95-98).
4. Namun tidak boleh dinafikan bahawa di sana juga terdapat hadis-hadis yang sahih mengenai kelebihan Bulan Sya’ban. Antaranya apabila bertanya Usamah bin Zaid Nabi s.a.w mengapa baginda banyak berpuasa pada Bulan Syaaban, Nabi s.a.w menjawab:
“Syaaban antara Rejab dan Ramadan, manusia lalai mengenainya. Padanya (Bulan Syaaban) diangkat amalan hamba-hamba Allah. Aku suka tidak diangkat amalanku, melainkan aku dalam keadaan berpuasa” (Riwayat al-Nasai, dinilai hasan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Sahihah 4/522).
Aisyah r.aha juga menyebut:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah s.a.w berpuasa dalam bulan lain lebih daripada puasa Syaaban. Baginda pernah berpuasa Syaaban sepenuhnya, kecuali hanya beberapa hari (tidak puasa)” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
5. Hadis-hadis yang disebut di atas dan riwayat-riwayat yang lain menunjukkan kita amat digalakkan berpuasa sunat pada Bulan Syaaban. Perbuatan berpuasa pada Bulan Syaaban adalah sunnah yang sabit daripada Nabi s.a.w. Amalan sebahagian masyarakat yang suka berpuasa pada Bulan Syaaban adalah amalan soleh.
6. Adapun Nisfu Syaaban, atau pertengahan Syaaban (15 haribulan), terdapat hadis yang sahih tentang kelebihannya di samping banyak hadis palsu mengenainya. Juga tidak terdapat hadis yang sabit mengenai amalan khusus seperti solat khas pada malam tersebut. Kata al-Imam al-Nawawi (meninggal 676H) dalam kitabnya yang masyhur al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab:
“Solat yang dikenali dengan solat al-Raghaib iaitu dua belas rakaat ditunaikan antara Maghrib dan Isyak pada Jumaat pertama Bulan Rejab, juga Solat Malam Nisfu Syaaban sebanyak seratus rakaat; kedua-dua solat ini bidah lagi mungkar yang jelek. Jangan kamu terpengaruh disebabkan keduanya disebut dalam Kitab Qut al-Qulub dan Ihya ‘Ulum al-Din. Jangan juga terpengaruh dengan hadis yang disebut dalam dua kitab berkenaan kerana kesemuanya palsu. Jangan kamu terpengaruh dengan sesetengah imam yang keliru mengenai kedudukan hadis-hadis kedua solat berkenaan” (4/56. Beirut: Dar al-Fikr).
Al-Imam al-Syaukani (meninggal 1250H) menyebut dalam al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadith al-Maudu’ah:
“Telah diriwayatkan mengenai solat malam Nisfu Syaaban dari pelbagai riwayat, kesemuanya batil lagi palsu” (ms 72. Mekah: Maktabah Mustafa Baz).
7. Pun begitu tidak dinafikan ada hadis yang sahih Nabi s.a.w menyebut:
“Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nisfu Syaaban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci) (Riwayat Ibn Hibban, al-Bazzar dan lain-lain. Al-Albani menilai sahih dalam Silsilah al-Ahadith al-Sahihah 3/135).
Maka, sewajarnya apabila hal ini diberitahu oleh Nabi s.a.w, maka kita melakukan amalan-amalan yang soleh pada malam berkenaan dan mengelakkan apa yang Allah benci. Syirik dan permusuhan antara muslim adalah sebab seseorang itu tidak diampunkan. Selain itu dua dosa tersebut, mudah-mudahan kita semua diampunkan.
8. Dr Yusuf al-Qaradawi ada mengulas tentang amalan malam Nisfu Syaaban dengan katanya:
“Tidak pernah diriwayatkan daripada Nabi s.a.w. dan para sahabat bahawa mereka berhimpun di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Syaaban, membaca doa tertentu dan solat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam. Bahkan di sebahagian negeri, orang ramai berhimpun pada malam tersebut selepas maghrib di masjid. Mereka membaca surah Yasin dan solat dua raka`at dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabah, tabi`in dan tabi’ tabi`in). Ianya satu doa yang panjang, yang menyanggahi nas-nas (al-Quran dan Sunnah) serta bercanggahan dan bertentangan pula isi kandungannya…perhimpunan (malam nisfu Syaaban) seperti yang kita lihat dan dengar yang berlaku di sebahagian negeri orang Islam adalah bidah dan diada-adakan. Sepatutnya kita melakukan ibadat sekadar yang dinyatakan dalam nas. Segala kebaikan itu ialah mengikut salaf, segala keburukan itu ialah bidah golongan selepas mereka, dan setiap yang diadakan-adakan itu bidah, dan setiap yang bidah itu sesat dan setiap yang sesat itu dalam neraka” (Dr. Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Mu`asarah, 1/382-383, Beirut: Dar Uli al-Nuha, Beirut).
9. Namun begitu, janganlah kita terlalu cepat menghukum. Apa yang disebut oleh Dr al-Qaradawi itu adalah kaedah umum. Sesuatu masyarakat atau seseorang individu mungkin mempunyai keuzuran yang tersendiri. Kemungkinan mereka tidak tahu, atau mereka dihalang ilmu untuk sampai kepada mereka dan seumpamanya. Kemungkinan besar jika mereka tahu, mereka tidak akan melakukan hal yang demikian. Tujuan mereka baik, cuma cara sahaja yang wajar dibaiki. Galakan berdoa dan memohon keampunan pada malam Nisfu Syaaban ada asasnya. Penentuan cara sedemikian itu, tidak ditunjukkan oleh nas yang sahih.


 ISLAM BUKAN IKUT DEMOKRASI...YANG RAMAI ITU BETUL....YANG SIKIT ITU SALAH....YANG BETUL BERDASARKAN QURAN DAN HADIS...ISLAM TAK BOLEH TOLAK DAN TAK BOLEH TAMBAH

 WALLAHU'ALAM

Tiada ulasan:

Catat Ulasan