Jumaat, 30 Oktober 2015

SUKA MENUDUH ORANG...MENCELA ORANG

Jangan menuduh seseorang tanpa bukti....
Assalamualaikum Teman2 Sekalian
HIDUP IBARAT KOPI, BIAR PAHIT, TETAP DINIKMATI
Hati-hati menuduh seseorang tanpa bukti
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat
menurut keadaannya masing-masing, kerana Tuhanmu lebih
mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).”
(Al-Isra’ : 84)
An-Nahl : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu ...dengan
hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.”
“Seorang mukmin itu terhadap mukmin yang lain adalah laksana
bangunan, yang sebagiannya mengukuhkan sebagian yang lain”
“Barangsiapa yang berkata pada saudaranya ‘hai kafir’ katakata itu akan kembali pada salah satu diantara keduanya. Jika
tidak (artinya yang dituduh tidak demikian) maka kata itu
kembali pada yang mengucapkan (yang menuduh)”.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha
illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan
mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan :
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu
amal ( perbuatan)”
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau
‘musuh ALLAH’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian,
maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
Sungguh adakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata
yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka
oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan
barat”.
Didalam surat An-Nisaa [4]: 94 artinya; “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan ALLAH, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan ‘salam’ kepadamu ‘Kamu bukan seorang mukmin’
(lalu kamu membunuhnya)
janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (ALLAH) lebih
mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)
dengan begitu banyak ayat di atas masih BERANI kah kita
MENUDUH seseorang ??? apalagi sesama MUSLIM tanpa bukti
yang kukuh lagi ???
jadikan UKHWAH tidak cuma di BIBIR saja.
Pernah sahabat dan sahabiah semua dengar ungkapan ni :
"Orang gila pun takkan mengaku dia gila...Pencuri pun takkan
mengaku dia pencuri...Dia jahat takkan nak mengaku dia
jahat...Tapi bila dia baik dia mengaku pulak dia baik".
Memang ada sesetengah orang, buat baik sekali, sampai nak
mati pun dok ungkit lagi apa yang dia buat baik yang sekelumit
tu. Jangan la macam ni sahabat, biar apa yang kita buat tu kita
ikhlaskan amalan kita. tak payah nak canang-canang dalam
facebook ka dalam blog ka dalam inbox ka yang kita ni baik
sangat...orang lain jahat sangat dimata kita.
Boh seringgit ja dalam tabung masjid, tapi dua puluh hari dok
habaq kata dah derma kat masjid tu...... Apa la kesnya. Ada
orang kata, kadang-kadang bila kita update status ka ataupun
taip macam ni dalam blog kita, boleh tengok level emosi kita.
tak kisah la kita cakap atau taip, semua tu mesti dimulakan
dengan nawaitu dan cara pemikiran kita.
“Wahai orang-orang beriman! Jika datang kepada kamu
seorang fasik membawa suatu berita, maka selidikilah (untuk
menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan
sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini – dengan
sebab kejahilan kamu (mengenainya) – sehingga menjadikan
kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan.” (Surah alHujurat: ayat 6)
“Dan janganlah engkau mengikut apa yang engkau tidak
mempunyai pengetahuan mengenainya; sesungguhnya
pendengaran dan penglihatan serta hati, semua anggota-anggota itu akan ditanya tentang apa yang dilakukannya.”
(Surah al-Isra: ayat 36)
“Hendaklah kamu menanyakan kepada orang-orang yang
berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(Surah al-Nahl: ayat 43)
“Mereka hanya mengikut sangkaan, sedang kan sesungguhnya
sangkaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.”
(Surah al-Najm: ayat 53)
Apa tuduhan yang paling kejam???
Yang paling menyayat hati bila kita selalu buat tuduhan pada
orang lain yang kadang-kala kita tak tahu pun asal usul cerita.
Ada kalanya kita hanya dengar dari sebelah pihak, dan kita
terus buat tuduhan atau pun kita lihat pada mata kasar dan
terus membuat andaian sendiri tanpa usul periksa. " ooooo dia
ni jahat, dia tu baik,kau layak jadi macam ni,kau tak sepatutnya
macam tu dan macam2 lagi tuduhan2 yang tak berasas ...
Siapa kita nak label seseorang macam tu ????
Siapa la kita ni. sama macam manusia lain. buat dosa jugak,
bukannya bijak sangat nak label-label orang, ALLAH SWT saja
yang tau dan hanya DIA saja yang layak nak melebel
hamba2Nya. Jadi tak timbul perkara nak aibkan sesiapa.
Ada jugak pihak yang menghentam, tak termasuk jugak pihak
yang mendoakan keburukan seseorang. sangat tersentuh bila
ada yang sanggup menuduh melakukan perbuatan yang
dilarang agama. bila terfikirkan perasaan hati orang2 yang
menjadi mangsa tuduhan ini bagaimanakah perasaan kita
apabila kita ditempat mereka??. situasi kita mungin tak sama
dengan dia, jadi jangan menghentam membuta tuli.
Doakan saja apa yang jadi semua ni adalah iktibar dan banyak
hikmah di sebaliknya. bagi sesipa yang ada mind positive lebih
pasrah dengan kehendak Tuhan, dan bagi sesiapa yang ada
mind negative, cuba kita bawak sabaq sikit. Dalam apa-apa hal
pohonlah keredhaan ALLAH dan perlindunganNYA supaya kita
tak terjerumus untuk menambah dosa aibkan orang sesuka
dan sesedap rasa.
Ingat la wahai teman,jangan suka menuduh sebarangan jika
anda tidak mengetahui perkara yang benar....
P/S : Dunia akhir zaman yang dipenuhi dgn pelbagai
fitnah....nauzubillahi min zaalik.
( Nota ini tidak ada kena mengena pada sesiapa sekadar
perkongsian & peringatan buat diri saya yang masih belum
sempurna andai ada yang terasa dng tulisan ini maaf saya tidak
berniat mengguris hati sesiapa yang baik kita ambil yang buruk
kita jauhkan. )
rencana dari:Nor Azita
NASEHAT BAGI ORANG YANG MENCELA SAUDARANYA SEIMAN DAN MENUDUH TANPA BUKTI
Guruku, saya mencintai anda karena Allah. Harapanku anda dapat menjawab agar dapat membungkam orang-orang yang mencela ahli ilmu. Disana ada orang yang menuduh anda dengan takfir (suka mengkafirkan) dan Qutubiyah (condong ke pemikiran Sayyid Qutub) sebagaimana yang mereka istilahkan?


Semoga Allah mencintai anda sebagaimana kita mencintai kerena-Nya. Semoga Allah menempatkan kita di tempat rahmat-Nya, dihari harta dan anak tidak bermanfaat kecuali kepada orang yang Allah berikan hati bersih.
Terkait dengan pertanyaan anda. Kami nasehatkan kepada anda agar menjauhi setiap orang yang membicarakan (kejelekan) saudara anda seiman, atau dia menuduh dan mencela niatannya. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته ) رواه أبو داود برقم 4880 ، وصححه الألباني
“Wahai orang yang beriman dengan lisannya. Sementara keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kamu semua mengguncing orang-orang Islam dan jangan mencari-cari aurat (keasalahnya). Karena barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan perlihatkan kesalahannya. Dan barangsiapa yang Allah perlihatkan kesalahannya, akan dipermalukan (sampai) di rumahnya.” HR. Abu Dawud, no. 4880 dishohehkan oleh Al-Albany.
Kemudian kewajiban anda adalah memberikan nasehat kepada mereka agar bertakwa (takut) kepada Allah Azza Wajalla, menahan dari julukan seperti itu yang dapat memecah belah umat Islam. Dan kewajiban memberi nasehat dari kesalahan, tidak seharusnya (dilakukan) di muka umum dan menuduh terhadap niatan atau semisal itu.
Sementara terkait dengan masalah takfir (mudah menfonis kafir kepada orang lain) maka ada perinciannya. Mengkafirkan kepada orang yang telah Allah dan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam kafirkan, maka itu merupakan suatu keharusan. Allah Azza Wajallah telah mengkafirkan beberapa kelompok dalam kitab-Nya. Sebagaimana firman Ta’ala,
( لقد كفر الذين قالوا إن الله ثالث ثلاثة ) المائدة : 73
“Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga". SQ. Al-Maidah: 73. Dan firman-Nya :
( لقد كفر الذين قالوا إن الله هو المسيح ابن مريم ) المائدة : 72
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam". SQ. Al-Maidah: 72.
Sementara menghukumi kafir kepada orang yang tidak dihukumi kafir oleh Allah dan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam adalah diharamkan.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebagaimana tidak diperkenankan menghukumi kafir kepada orang tertentu sampai dijelaskan syarat-syarat pengkafiran pada dirinya. Seharusnya kita tidak menjawab pengkafiran kepada orang yang telah dihukumi kafir oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi kita harus memisahkan antara (orang ) tertentu dan (orang) tidak tertentu (secara umum).” Syarkh Kitabu Tauhid, 2/271.
Silahkan melihat soal no. 21576 wallahu’alam.
Kemudian, bagi setiap orang yang menuduh, hendaknya dia berikan bukti, “Katakanlah, berikan bukti nyata kalau sekiranya anda semua benar.” “Kalau mereka tidak mendatangkan para saksi, maka mereka disisi Allah termasuk golongan para pendusta.”
Permasalahan yang marak diantara orang yang berafiliasi kepada agama –semoga Allah berikan hidayah kepadanya- mereka menuduh orang dengan tuduhan yang asalnya tidak dianggap dalam syara’ dari masalah celaan dan yang tidak layak dalam agama. Kemudian mereka tidak mendatangkan bukti hanya sekedar mengikuti hawa nafsunya. Karena nafsu senang memberikan hukum kepada orang-orang dengan nilai negative, positif, prestasi, kegagalan dan memberi gelar (jelek).
Seharusnya melawan hawa nafsu dalam hal ini, dan menimbang seseorang dengan timbangan syara’ dengan menyebutkan kebaikannya dan memberi nasehat terhadap kesalahannya.
Wallahulmuwafiq.

 Senin, 20 Agustus 2012 12:32

Menuduh, Dosa yang Merusak Kepribadian Seseorang


Menuduh, Dosa yang Merusak Kepribadian Seseorang
Satu dari dosa besar yang merusak individu dan sosial adalah tuduhan. Tuduhan yang dialamatkan seseorang kepada orang lain memang merugikan orang tersebut, tapi sebenarnya yang paling merugi adalah pelaku itu sendiri. Ketika seseorang menuduh orang lain, pada dasarnya ia telah mengotori dan merusak jiwanya dengan dosa. Lalu apa sebenarnya yang disebut dengan tuduhan itu? Tuduhan merupakan perilaku menisbatkan kekurangan terhadap seseorang yang tidak dimilikinya. Tuduhan merupakan perbuatan dosa besar. Allah Swt dalam al-Quran telah melarang perbuatan ini dan mengingatkan pelakunya bakal mendapat azab yang sangat pedih. Imam Shadiq as berkata, "Dosa menuduh orang lain yang tidak bersalah lebih berat dari gunung yang tinggi." (Safinah al-Bihar, jilid 1, kata Tuhmah)

Tuduhan pada hakikatnya kebohongan yang paling buruk. Sementara ketika tuduhan dilakukan tanpa kehadiran yang tertuduh, maka itu dikategorikan gibah. Orang yang melakukannya berarti telah melakukan dua perbuatan dosa.

Suatu hari seorang sahabat Imam Shadiq as pergi ke suatu tempat. Ia pergi bersama pelayannya yang jalan di belakang. Di tengah perjalanan, ia memanggil pelayannya, tapi tidak ada jawaban. Sekali, dua kali, hingga tiga kali tidak ada jawaban dari pelayannya. Akhirnya, sahabat Imam Shadiq as marah dan mulai berbicara yang tidak-tidak. Ia kemudian mengeluarkan kata-kata yang menuduh ibunya. Perawi hadis ini mengatakan, "Imam Shadiq as tidak senang ketika mendengar ucapan sahabatnya itu, lalu memberitahu akan buruknya apa yang diucapkannya. Tapi bukan malah menerima ucapan Imam, ia justru mengucapkan tuduhan lagi guna membenarkan perbuatannya. Imam Shadiq as mengerti bahwa ia tidak mau menerima kesalahannya. Beliau kemudian berkata, "Sekarang engkau tidak berhak menjadi sahabatku."

Kini kita perlu tahu lebih banyak mengenai dampak buruk dari perilaku menuduh orang lain ini. Tuduhan kepada orang lain perlahan-lahan akan merusak kondisi sosial yang sehat dan menghancurkan keadilan sosial. Perbuatan menuduh membuat kebenaran diputarbalikkan menjadi kebatilan dan begitu pula sebaliknya. Tuduhan yang dialamatkan tanpa dasar kepada seseorang mengesankannya seperti seorang pelaku kriminal. Tuduhan menghilangkan kehormatannya. Ketika perilaku menuduh orang lain tersebar di kalangan masyarakat dimana mereka menerima dan mempercayainya, maka yang akan terjadi adalah kebenaran ditampilkan dalam bentuk kebatilan dan begitulah sebaliknya.

Bila perilaku suka menuduh menyebar di tengah masyarakat, maka prasangka baik akan berubah menjadi prasangka buruk dan kepercayaan sosial akan hilang dari tengah masyarakat. Fenomena ini bakal menciptakan kerusakan di tengah masyarakat. Yang terjadi adalah setiap orang berani melontarkan tuduhan kepada orang lain dan kebohongan menjadi hal yang wajar. Bila perilaku menuduh menyebar di tengah masyarakat, maka keakraban dan persahabatan akan digantikan oleh kedengkian dan permusuhan. Masyarakat tercerai-berai. Karena sudah tidak ada lagi cinta dan kasih sayang di antara mereka. Setiap orang senantiasa merasa khawatir menjadi sasaran tuduhan.

Perilaku suka menuduh punya dampak negatif baik di tingkat individu maupun sosial. Imam Shadiq as berkata, "Setiap kali seorang mukmin menuduh orang lain, maka iman akan terhapus dari hatinya, seperti garam yang larut dalam air," (Ushul al-Kafi: 3/66). Mengapa tuduhan menyebabkan iman seseorang yang menuduh terhapus? Hal itu dikarenakan iman senantiasa bersama kejujuran, sementara tuduhan pada dasarnya adalah kebohongan. Itulah mengapa seseorang yang terbiasa menuduh dan berbohong, maka secara perlahan-lahan ia akan semakin sulit berkata jujur. Saat itulah iman yang ada dalam hatinya perlahan-lahan lenyap dan bahkan tidak ada lagi bekasnya. Rasulullah Saw bersabda, "Setiap orang yang menuduh pria atau perempuan beriman atau membicarakan keburukan seseorang yang tidak ada padanya, maka Allah di Hari Kiamat akan meletakkannya di api neraka, sehingga ia tidak mampu lagi berkata-kata" (Bihar al-Anwar: 75/194).

Tuduhan dapat dikelompokkan dalam dua kategori; pertama, terkadang pelakunya menuduh seseorang dengan sadar, dimana orang yang menuduh itu tahu benar bahwa orang yang dituduh tidak demikian, tapi tetap saja ia menuduh. Namun terkadang terjadi yang lebih buruk dari gambaran di atas. Yakni, seseorang melakukan kesalahan atau melakukan perbuatan buruk dan untuk menyelamatkan dirinya dari hukuman, ia kemudian menisbatkan perbuatannya itu kepada orang lain. Tuduhan yang semacam ini dalam Islam diistilahkan dengan iftira.

Kedua, terkadang pelakunya menuduh seseorang karena tidak tahu, atau baru berupa sangkaan. Bila kondisi pelakunya seperti ini, maka perbuatan ini diistilahkan dalam Islam dengan buhtan. Akar dari perbuatan kedua ini adalah prasangka buruk kepada orang lain. Kebanyakan tuduhan yang dilontarkan kepada orang lain bersumber dari ketidaktahuan atau prasangka buruk. Itulah mengapa Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12 berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa."

Benar bahwa terbentuknya prasangka dalam benak seseorang itu bukan muncul dari kehendak seseorang, sementara pemberian pahala dan siksa itu hanya berhubungan dengan perbuatan yang lahir dari kehendak. Oleh karenanya, maksud dari ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang melarang prasangka buruk terkait dengan sikap kita yang menurutinya dan melarang kita untuk melakukan satu perbuatan tanpa mengetahuinya. Karena banyak orang yang menuduh tanpa pengetahuan dan berbuat berdasarkan sangkaan belaka terperosok dalam perbuatan dosa. Sebagaimana ayat yang lain menyebutkan, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." (QS. 17:36) Sementara di ayat lain Allah mencela sekelompok orang yang berbuat berdasarkan prasangka buruk. Allah Swt berfirman, "... kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa." (QS. 48:12)

Berprasangka buruk bahkan punya dampak buruk yang tidak dapat tergantikan. Para psikolog dalam laporan-laporannya menyinggung sejumlah kasus dimana banyak orang yang membunuh isterinya hanya dikarenakan prasangka buruk yang menjangkitinya. Padahal kebanyakan prasangka buruk dan tuduhan yang dialamatkan kepada isterinya tidak memiliki fakta dan keputusan yang dilakukan tanpa bukti-bukti. Seorang mukmin bukan hanya tidak diperbolehkan berprasangka buruk terhadap saudara seimannya, apa lagi berlaku berdasarkan prasangka buruk itu. Seorang mukmin harus menilai benar perbuatan saudara-saudaranya, kecuali memiliki bukti yang kuat bahwa mereka berbuat salah atau buruk. Sekaitan dengan hal ini Imam Ali as berkata, "Kalian harus membenarkan ucapan dan perbuatan saudara seagama kalian dengan baik, kecuali kalian yakini bahwa masalahnya ternyata lain dan tidak ada cara lain untuk membenarkannya" (Ushul al-Kafi: 2/362).

Muhammad bin Fudhail meriwayatkan, suatu hari aku berkata kepada Imam Musa Kazhim as, "Sebagian orang muwattsaq (terpercaya) mengabarkan kepada saya bahwa seorang saudara seagama mengatakan satu hal yang saya tidak suka. Saya bertanya kepadanya tentang berita itu, tapi ia mengingkarinya dan mengatakan, "Saya tidak pernah mengatakan hal itu." Di sini, apa kewajiban saya?" Imam Kazhim as berkata, "... Bila ada 50 orang adil yang mendatangimu dan bersaksi bahwa orang tersebut mengatakan hal yang tidak benar tentangmu, maka engkau harus menolak mereka semua. Engkau harus membenarkan apa yang dikatakan saudara seagamamu. Engkau tidak boleh menyebarkan apa saja yang menghilangkan kehormatan saudaramu."

Kini kita sampai pada tahapan bagaimana menghadapi seseorang yang menuduh orang lain. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam al-Quran ayat 6 surat al-Hujurat yang berbunyi, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." Menurut al-Quran, setiap kali kita mendengar berita yang berisikan tuduhan kepada seseorang, maka kita berkewajiban untuk memeriksa kebenaran berita itu. Al-Quran melarang kita mengambil keputusan segera tanpa bukti dan memeriksa kebenarannya terlebih dahulu.

Dari sisi lain, Islam memandang tuduhan sebagai perbuatan haram dan meminta orang-orang mukmin agar meninggalkan prasangka buruk kepada orang lain. Seorang mukmin tidak boleh menuduh orang lain tanpa bukti yang kuat. Sementara di sisi lain, al-Quran menasihati orang mukmin agar tidak meletakkan dirinya dalam posisi yang memudahkannya dituduh. Mereka harus meninggalkan ucapan dan perbuatan yang menyebabkan orang lain menuduhnya telah melakukan keburukan. Sekaitan dengan hal ini, Imam Ali as berkata, "Seseorang yang meletakkan dirinya dalam posisi yang memudahkan orang lain menuduhnya, maka ia tidak boleh mencela orang lain yang menuduhnya" (Shaduq, Amali: 304).

Itulah mengapa riwayat-riwayat menegaskan bahwa orang-orang mukmin jangan duduk bersama orang-orang fasiq. Karena ada hubungan dengan mereka akan membuat orang-orang mukmin lain berprasangka buruk dan akhirnya mereka menuduhnya telah melakukan perbuatan buruk. Bila kita mencermati poin penting ini bahwa menuduh orang lain selain merugikan orang tersebut, pada dasarnya kita telah melumuri hati kita dengan dosa yang secara non materi sangat merugikan kita. Bila kita menyadari dampaknya, tentu kita tidak akan mau melakukan dosa besar ini. (IRIB Indonesia)

Curiga / Menuduh Tanpa Ada Bukti?

Sabtu, 13 Juli 2013 , 14:15:12
Penanya : Ikhwan
Daerah Asal : jakarta


Assalamu'alaikum... Ustad mohon penjelasannya apa hukum dari mecurigai (cenderung menuduh) orang lain berbuat kejahatan dan bagaimana pula bila orang yang mencurigai tsb terlanjur mengucapkan kata-kata yang diluar batas namun belum ada bukti adanya kejahatan terhadap orang yang dicurigakan (dituduhkan)... terimakasih atas jawabannya...
Jawab :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Mencurigai keburukan seseorang tanpa ada bukti, saksi dan tanda-tanda yang mendasarinya adalah sesuatu yang terlarang. Allah ta'ala berfirman di surat Al-Hujurat ayat 12:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan pra-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari pra-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda terkait prasangka buruk:

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الحَدِيثِ، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا وَلاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ

"Jauhilah oleh kalian perasangka, sebab perasangka itu adalah ungkapan yang paling dusta. Dan janganlah kalian mencari-cari aib orang lain, jangan pula saling menebar kebencian dan jadilah kalian orang-orang yang bersaudara. Janganlah seorang laki-laki meminang atas pinangan saudaranya hingga ia menikahinya atau meninggalkannya."HR. Bukhari no. 5143 dan Muslim no.2563

Apabila seseorang menuduh orang lain tanpa bukti maka ia telah menyelisihi sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

«البَيِّنَةُ عَلَى المُدَّعِي، وَاليَمِينُ عَلَى المُدَّعَى عَلَيْهِ

“Bukti (al-bayyinah) wajib atas orang yang mendakwa (menuduh) dan sumpah wajib bagi tertuduh (yang mengingkari.pent). HR. Tirmidzi no.1341. Dinyatakah Shahih oleh Al-Albani

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
Oleh : Redaksi salamdakwah.com
Sudah dibaca oleh 5706 orang

Renungan: Jangan Suka Menuduh


Jangan menuduh
Artikel ini saya buat karena sering sekali masih banyak orang yang suka menuduh seseorang atau kelompok sampai bisa menimbulkan fitnah.
Pada dasarnya menuduh tanpa bukti bisa menimbulkan fitnah. Cacian dan sikap menuduh dapat menimbulkan perpecahan antara satu dengan lainnya. Hal buruknya dapat menciptakan pertikaian yang berujung dengan kematian. Bagi saya, menuduh adalah hal yang biasa. Akan tetapi harus didasari dengan bukti yang nyata. Tanpa sebuah bukti, seseorang atau sekelompok orang yang dituduh pastinya akan marah dengan pihak yang menuduh. Dan hal itu yang paling saya benci.
Salah itu wajar. Setiap manusia memiliki kesalahan. Lalu, kenapa sampai menuduh?
Menuduh bagi saya dapat menjadi sarana untuk memojokkan seseorang atau sekelompok orang. Menuduh yang positif dilakukan untuk membuat orang yang dituduh dapat mengakui keburukannya. Sedangkan, menuduh yang negatif dilakukan untuk membuat orang yang dituduh menjadi malu dan berujung pada fitnah. Dan bila terjadi fitnah, bisa berujung dengan perpecahan yang mengakibatkan kematian. Kenapa fitnah dapat menyebabkan kematian? Karena pada dasarnya, orang yang difitnah pasti membenci orang yang memfitnahnya. Coba kalian difitnah tanpa ada dasar dan sebenarnya kalian tidak melakukan hal seperti apa yang difitnahkan? Pastinya kalian sakit hati atau benci dengan orang yang menfitnah itu.
Tidak, kami tidak membenci orang yang memfitnah kami. Memang benar, benci atau tidaknya seseorang bukan dilihat dari satu sisi. Tolak ukur kebencian tergantung dari pola pikir individu. Ada yang menganggap fitnah yang didapatnya adalah bualan, sehingga mereka tidak memikirkan tuduhan yang diberikan orang lain kepada mereka. Tapi, ada juga orang yang mudah tersinggung dan menganggap orang yang menuduhnya adalah musuh. Dan itulah hal yang saya benci.
Nasehat untuk kita. Jadi orang jangan suka menuduh. Bercerminlah dahulu. Siapa tau ternyata kita lebih buruk dari orang atau kelompok yang akan kita tuduh. Bicaralah baik-baik, dan gunakan kata atau ucapan menyindir yang baik bila kita sedang menuduh orang. Jangan terlalu terbawa emosi dan nafsu ketika kita mencoba melakukan tuduhan. Bahaya! Dan kalau mau menuduh, berikan bukti nyata. Karena tuduhan yang tanpa bukti adalah omong kosong.

Hentikan Celaan, Jaga Kehormatan Sesama Muslim

hentikan celaanSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menutup pembahasan akidah dalam risalahnya yang terkenal “Al Aqiidah al Waasithiyyah” dengan fasal yang membahas tentang akhlak yang mulia. Ini menunjukkan, bahwa seharusnya akhlak yang mulia menjadi karakter kuat yang ada pada diri para penganut akidah yang lurus. Maka sungguh ironis, jika ada orang yang mengaku bermanhaj dan berakidah lurus, namun ternyata akhlaknya buruk; gemar mencela, merendahkan, menghina dan suka memberi gelar-gelar buruk kepada sesama.
Belakangan ini, keindahan manhaj salaf yang mulia ini kembali tercoreng karena sepak terjang sosok-sosok para pencela. Ajaibnya mereka menjadikan celaan sebagai agama. Tidak peduli kehormatan saudaranya terhina, gelar-gelar buruk dan caci maki sangat ringan di lisan mereka. Padahal, mencela dan menjatuhkan kehormatan orang lain sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat. Diantaranya dengan diharamkannya perbuatan mencela dan menghina sesama.
Larangan Mencela
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian..” (HR Bukhari Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Hujarat [49]: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR Bukhari Muslim)
Celaan adalah bentuk menyakiti sesama. Syariat pun melarang perbuatan menyakiti orang lain.
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al Ahzab [33]: 58)
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالفِسْقِ أَوِ الكُفْرِ ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ ، إنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كذَلِكَ
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (HR Bukhari)
Dalam rangka mencegah perbuatan buruk ini, syariat juga menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela.
الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ
“Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (HR Muslim)
Sebagaimana menyakiti orang lain dengan tangan dilarang oleh syariat, begitu pun kezaliman dengan lisan juga dilarang. Semakin seorang muslim jauh dari perbuatan tercela tersebut, akan semakin tingginya derajatnya dalam Islam.
Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (HR Bukhari Muslim) (Lihat “Maqaashidu Asy Syarii’ah Al Islaamiyyah fil Muhaafadzah ‘alaa Dharuurati al ‘Ardh”, hal. 23-25, Karya Syaikh Dr. Sa’ad Asy Syatsry)
Mencela Karena Benar dan Ada Maslahat
Para ulama mengatakan, larangan mencela dalam dalil-dalil yang umum diatas dikecualikan jika orang yang dicelanya memang benar-benar memiliki sifat-sifat tercela dan terdapat maslahat di dalam mencelanya. Mari kita simak penjelasan al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berikut,
“Hadis ini (larangan menuduh fasik dan kafir) menunjukkan barang siapa yang berkata kepada orang lain “engkau fasik” atau “engkau kafir”, jika orang tersebut tidak demikian, maka yang berkata lebih berhak dengan sifat-sifat tersebut. Namun jika demikian keadaannya, sifat tersebut tidak kembali kepada si penuduh, karena berarti ia benar dalam perkataannya.
Akan tetapi, tidak menjadi fasik dan kafir bukan berarti ia bebas dari dosa dengan kata-katanya “engkau fasik” atau “engkau kafir”. Karen daalam permasalahan ini ada rinciannya. Jika ia bermaksud untuk menasehatinya atau menasehati orang lain dengan menjelaskan keadaannya, hal itu dibolehkan. Namun jika ia bermaksud untuk sekedar mencemooh, menebar keburukannya dan sekedar menyakitinya, maka hal itu tidak boleh. Karena yang diperintahkan (pada asalnya) adalah menutupi aibnya, mengajarkannya dan menasehatinya dengan cara yang baik. Selama hal itu dapat dilakukan dengan cara yang lembut, tidak boleh baginya melakukan itu dengan cara kasar. Karena itu akan menjadi sebab ia semakin menjadi-jadi dan terus dalam perbuatan itu, sebagaimana tabiat kebanyakan manusia yang kerap menjaga gengsinya. Apalagi jika orang yang memerintahnya (menasihatinya) lebih rendah kedudukannya dari orang yang diperintah (dinasehati). (Lihat Fathu al Baary: 10/381, Cet. al Maktabah as Salafiyyah)
Namun hendaknya diperhatikan, bahwa pengecualiaan ini tidak seharusnya dijadikan pokok. Pengecualian adalah pengecualian yang hanya dilakukan dalam kondisi dan situasi tertentu.
Pertama, dalam orang yang dicela memang benar-benar terdapat sifat tercela. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia memastikan bahwa:
(1) Yang dilakukan oleh orang tersebut adalah benar-benar perbuatan tercela, dan
(2) Perbuatan itu benar-benar terjadi kepada orang tersebut.
Kedua, dengan mencelanya akan mendatangkan maslahat, baik untuk orang yang dicela atau dalam rangka menjelaskan kepada manusia keadaan buruk orang yang dicelanya. Maka, ia tidak boleh mencela sebelum ia benar-benar memastikan bahwa dengan mencelanya akan menimbulkan kemaslahatan, bukan malah mendatangkan mafsadah lebih besar. Oleh karena itu, Allah melarang umat Islam mencela sesembahan-sesembahan orang musyrik, jika dengan mencelanya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar sehingga orang-orang musyrik mencela Allah.
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’aam [6]: 108)
Menyoal Kenyataan
Kenyataannya, para pencela yang mengatasnamakan agama dan “manhaj murni” itu kerap tidak mengindahkan aturan pengecualian diatas. Mereka sering kali mencela tanpa tastabbut dan tabayyun dalam hal benar atau tidaknya perbuatan tercela itu dilakukan orang yang menjadi objek celaannya. Jika pun perbuatan yang membuat ia mencela benar-benar dilakukan, maka sering kali mereka juga mencela karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan. Seperti mencela karena permasalahan yang masih dalam lingkup ijtihadiyyah. Padahal, dalam ilmu jarh wat ta’dil pun, celaan (jarh) tidak boleh dilakukan karena permasalahan ijtihadiyyah yang diperbolehkan.
Abu Hatim Ar Razy berkata, “Aku menyebut orang-orang yang meminum nabidz (arak dari kurma) dari kalangan ahli hadis Kufah, aku menyebut beberapa diantara mereka kepada Ahmad bin Hanbal.” Beliau berkata, “Ini adalah kesalahan mereka. Akan tetapi tidak gugur keadilan mereka disebabkan karena kesalahan mereka ini.” (Al Jarh wat Ta’diil: 2/26 dinukil dari al Khabar al Tsabit, hal. 17 Maktabah Syamilah)
Nabidz adalah arak yang terbuat dari kurma. Jumhur ulama mengatakan bahwa ia hukumnya sama dengan khamr. Tidak demikian dengan orang-orang Kufah, mereka memiliki ijtihad tersendiri dalam masalah ini, mereka tidak menganggapnya sebagai khamr. Imam Ahmad mengatakan bahwa menjarh (mencela) ahli hadis Kufah karena mereka minum nabidz tidak boleh, karena mereka terjerumus dalam kesalahan ini disebabkan ijtihad mereka, bukan karena hawa nafsu.
Mari kita simak nukilan-nukilan berikut dari kitab “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa.” :
Sufyan Ats Tsaury berkata, “Jika engkau melihat seseorang mengamalkan suatu amalan yang diperselisihkan, sementara engkau berpendapat yang lain, maka jengan engkau larang ia.” (Hilyatul Auliyaa: 6/368)
Khatib al Baghdady juga meriwayatkan dari Sufyan bahwa ia berkata, “Apa yang diperselisihkan para ulama fikih maka aku tidak melarang seorang pun dari ikhwanku untuk mengambilnya.” (al Faqiih wal Mutafaqqih: 2/69)
Yahya bin Sa’id berkata, “Para mufti terus berfatwa menghalalkan ini dan mengharamkan itu. Yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena menghalalkannya, dan yang menghalalkan tidak memandang bahwa yang mengharamkan telah binasa karena mengharamkannya.” (Jaami’ Bayaan al Ilmi wa Fadhlihi: 2/902-903)
Imam Nawawi berkata, “Kemudian para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan, adapun yang diperselisihkan, maka tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23)
As Suyuthi menyebutkan sebuah kaidah dalam masalah ini dan berkata, “Masalah yang diperselisihkan tidak diingkari, yang diingkari adalah yang diijmakkan.” (Al Asybaah wa An Nadzaa`ir: 107)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihad, orang yang beramal di dalamnya dengan pendapat sebagian para ulama, maka tidak diingkari dan tidak dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Beliau juga berkata, “Permasalahan-permasalahan ijtihadiyyah seperti ini tidak diingkari dengan tangan dan tidak boleh bagi seorang pun mengharuskan orang lain untuk mengikutinya dalam masalah tersebut. Ia hanya boleh berbicara dengan argumentasi ilmiah. Bagi yang jelas untuknya benarnya salah satu pendapat, maka ia ikuti. Dan bagi yang taklid kepada pendapat yang lain, maka tidak ada pengingkaran untuknya.” (Majmuu’ al Fatawa: 30/80)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika permasalahan tersebut adalah ijmak, maka tidak ada perselisihan (dalam mengingkarinya), adapun dalam masalah-masalah ijtihad, kalian mengetahui bahwa tidak ada pengingkaran bagi orang yang menempuh ijtihad.” (Ad Durar As Saniyyah: 1/43, Lihat nukilan-nukilan yang lain di “al Qaulu asy Syaadz wa Atsaruhu fil Futyaa”, hal. 35-41)
Catatan: Tentu yang dimaksud adalah masalah ijtihadiyyah yang dibolehkan, yang tidak bertentangan dengan ijmak dan dalil yang sharih (jelas penunjukkannya). Masalah ijtihadiyyah juga boleh dibahas dan dijelaskan kelemahan salah satu pendapatnya, tanpa mencela orang yang mengambil pendapat tersebut.
Jika pun seseorang benar-benar terjatuh pada kesalahan yang nyata, maka perlu juga diingat bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan adalah cara paling terakhir dan dilakukan dengan pertimbangan matang atas maslahat yang diharapkan. Jika tidak, maka tetap cara yang ditempuh adalah nasehat dengan lembut sebagai pokok atau asal.
Mudah-mudahan Allah menjaga kita semua dari buruknya akhlak, kesesatan dan kelemahan.
Abu Khalid Resa Gunarsa – Rancabogo, Subang, 27 April 2013

Tiada ulasan:

Catat Ulasan