Ahad, 12 Julai 2015

WANITA DULU GEMILANG DAN HEBAT DI SISI ALLAH SWT...SEKARANG HEBATNYA DARI SEGI KERJAYA...MENJAGA KECANTIKAN BADAN DLL...DIDALAM KUBUR NANTI SEGALA KECANTIKAN TUBUH NI AKAN DIMAKAN ULAT

Sumayyah binti Khabath - Wanita Pertama yang Syahid dalam Sejarah Islam

Artikel "Sumayyah binti Khabath - Wanita Pertama yang  Syahid dalam Sejarah Islam" adalah bagian dari seri "Kisah Shahabiyah - Sahabat Nabi perempuan"
Sumayyah binti Khabath adalah budak / hamba Abu Huzaifah bin Mughirah. Suaminya bernama Yasir, dengannya dikaruniai seorang putra bernama ‘Ammar bin Yasir. Sumayyah dan Yasir masuk Islam setelah mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an dari putranya, ‘Ammar.

Sumayyah  binti Khabath ra. adalah orang yang pertama yang menyatakan keislamannya secara terbuka dan menerima penyiksaan dengan tabah demi tetap bertahan di jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Dia berada di garis depan wanita-wanita mukmin yang tulus dan segera menerima Islam, sehingga meraih kehormatan sebagai orang-orang pertama yang masuk Islam dan mendapat kabar gembira yakni masuk surga. Sumayyah adalah wanita pertama yang syahid dalam sejarah Islam.


Asal-usul keluarga  Sumayyah

Diceritakan Yasir, Al-Harits dan Malik yang merupakan tiga bersaudara datang ke kota Makkah untuk mencari saudara mereka yang menghilang dalam beberapa tahun terakhir. Sejak itu, mereka terus mencari ke berbagai pelosok negeri hingga sampai di kota Makkah. Tapi, di kota ini pun mereka tidak menemukannya. Karena itu, Al-Harits dan Malik memutuskan pulangg ke Yaman, sedangkan Yasir tetap tinggal di Makkah.

Ada tradisi yang berlaku di masyarakat Arab, apabila orang asing ingin tinggal di suatu negeri, maka ia harus mengikat perjanjian dengan salah seorang tokoh terkenal di kota tersebut untuk melindungi dirinya dari segala bentuk gangguan masyarakat dan dapat hidup dengan tenang dan nyaman di kota tersebut.

Yasir mengikat perjanjian dengan Abu Hudzaifah bil Al-Mughirah Al-Makhzumi. Tokoh terkemuka Makkah ini sangat menyukai Yasir karena sifat-sifatnya yang baik dan tindak-tanduknya yang menyenangkan, serta latar belakang keluarganya yang terhormat. Abu Hudzaifah ingin memperkuat hubungannya dengan Yasir, sehingga dia menikahkan seorang budak perempuannya yang bernama Sumayyah binti Khabath ra.

Saat itu, Sumayyah sama sekali bukan orang terkenal di Makkah karena kegiatan-kegiatan yang digelutinya tidak lebih dari melayani tuannya, Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah.

Dari pernikahannya dengan Sumayyah binti Khabath, Yasir dikaruniai seorang putra yang penuh berkah bernama ‘Ammar bin Yasir. Semoga Allah meridhai buah hati dan penyejuk mata mereka. Kebahagiaan mereka semakin sempurna, ketika Abu Hudzaifah memutuskan untuk membebaskan ‘Ammar dari statusnya sebagai budak. Tidak lama kemudian, Abu Hudzaifah meninggal dunia.


Masuk islamnya  Sumayyah binti Khabath

Suatu saat ‘Ammar pulang ke rumahnya dengan langkah yang cepat untuk merangkul tangan kedua orang tuanya. Lalu ‘Ammar ra. mengucapkan salam kepada kedua orang tuanya dan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak perlu menunggu lama, hati-hati yang bersih dan suci itu langsung terbuka dan sangat senang mendengar firman Allah swt. Yasir dan Sumayyah radhiyallahu’anhum merasakan keberadaan cahaya yang menyinari seluruh penjuru jagat raya, sehingga saat itu juga keduanya mengucapkan bersama-sama, “Aku bersaksi tidak ada tuhan yang pantas disembah kecuali Allah dan aku besaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.


Mendapat siksaan dari Bani Makhzum

Tidak lama kemudian, berita keislaman keluarga Yasir tersebar dan sampai di telingan bani Makhzum. Mereka marah besar dengan kejadian itu sehingga langsung mendatangi keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan begitu keras.

Ketika terik matahari memuncak, mereka menyeret keluarga Yasir ke tengah lapang yang panas dan menyuruh mereka memakai baju besi. Mereka tidak diberi minum dan tetap dibiarkan terpanggang oleh sinar matahari. Mereka menerima penyiksaan yang bermacam-macam dari Bani Makhzum. Kala mereka benar-benar telah kepayahan, mereka dibawa pulang ke rumah kemudian disiksa kembali pada hari berikutnya.


Wafatnya  Sumayyah binti Khabath

Abu jahal merupakan orang yang berperan besar dalam menggalang orang-orang Quraisy untuk menyiksa kaum muslimin yang lemah itu. Jika dia mendengar seseorang yang cukup terpandang dan kuat telah masuk Islam, maka dia akan mengecam dan menghinanya. Dia berkata, “Engkau telah meninggalkan agama orang tuamu sendiri padahal itu lebih baik darimu. Kami akan menghinamu, memandang sebelah mata pendapatmu, dan menjatuhkan kehormatanmu”. Namun.

Jika yang masuk islam tersebut seorang pedagang, maka Abu Jahal akan berkata padanya, “Kami akan mempersempit peluang dagangmu dan menghancurkan kejayaanmu”. Sedangkan jika yang masuk Islam adalah orang lemah atau miskin, maka dia langsung memukulinya dan menggalang orang-orang Quraisy untuk memusuhinya. Semoga Allah melaknat dan merendahkannya.

Sementara Sumayyah ra., sahabat Rasulullah saw. yang agung, tetap tegar dalam menerima siksaan yang tidak pernah berhenti. Ia sabar terhadap intimidasi yang dilakukan oleh Abu Jahal layaknya seorang pejuang yang gagah berani dan menolak mengubah keyakinan barunya. Tekad Sumayyah tidak pernah surut dan iman yang telah mengangkatnya kepada derajat wanita-wanita agung dan sabar tidak pernah melemah.

Penderitaan mulai berubah menjadi anugerah Allah, setelah Rasulullah saw. menyampaikan kabar gembira bahwa Sumayyah dan keluarganya akan meraih kenikmatan surga. Saat itulah, Ummu ‘Ammar, Sumayyah ra., berdiri tegak untuk menorehkan catatan paling bersejarah dengan darahnya, yakni menjadi orang pertama yang meraih syahaadah (mati syahid) dalam sejarah Islam. peristiwa ini terjadi ketika Abu Jahal – semoga Allah membalas kejahatannya dengan balasan yang setimpal – menyiksanya lalu menghujamkan tombak pendek pada tempat kehormatannya hingga meregang nyawa.

Peristiwa pembunuhan Sumayyah ra. ini terjadi pada tahun 7 Hijriah. Sumayyah merupakan contoh Muslimah yang bisa dijadikan teladan dalam hal kesabaran, pengorbanan dan ketabahan. Semoga Allah meridhai Sumayyah ra. dan menjadikannya ridha, serta menjadikan surga Firdaus sebagai tempat persinggahan terakhirnya.

Sumber : 
35 Sirah Shahabiyah, Mahmud Al-Mishri (terjemahan Asep Sobari, Lc.)

Ruqayyah binti Muhammad SAW: Sang Pemilik Cahaya


Ruqayyah dilahirkan sekitar 20 tahun sebelum Hijrah. Ia adalah putri kedua Rasulullah SAW dan Khadijah Al-Kubra. Sebelum masa kenabian Muhammad SAW, Ruqayyah dinikahkan dengan Utbah bin Abu lahab. Sebenarnya hal ini sangat tidak disukai oleh Khadijah, karena ia sangat mengetahui perilaku ibu Utbah, Ummu Jamil binti Harb, yang terkenal berperangai buruk dan jahat. Ia khawatir putrinya akan memperoleh sifat-sifat buruk dari ibu mertuanya tersebut.

Dan ketika Rasulullah diangkat menjadi Nabi, maka Abu Lahablah, orang yang paling memusuhi Rasulullah dan Islam. Abu Lahab kerap menghasut orang-orang Makkah agar memusuhi Nabi dan para sahabat. Begitu pula istrinya, Ummu Jamil, yang senantiasa berusaha mencelakakan Rasulullah dan memfitnahnya.

Atas perilaku Abu lahab dan permusuhannya yang keras terhadap Rasulullah, maka Allah menurunkan firman-Nya: "Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan.Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut." (QS Al-Lahab: 1-5)

Setelah ayat ini turun, Abu Lahab berkata kepada anaknya, "Hubungan kita terputus jika kau tidak menceraikan anak perempuan Muhammad."

Ruqayyah masuk Islam bersamaan ketika Ibunya Khadijah juga memilih Islam. Setelah itu Utsman bin Affan menikahinya di Makkah. Hati Ruqayyah pun berseri-seri dengan pernikahannya ini, karena Utsman adalah seorang Muslim yang beriman teguh, berbudi luhur, tampan, kaya raya, dan dari golongan bangsawan Quraisy.

Setelah pernikahan itu, penderitaan kaum Muslimin bertambah berat, dengan tekanan dan penindasan kaum kafir Quraisy. Ketika penderitaan kaum Muslimin bertambah berat, termasuk keluarga Rasululah, maka dengan berat hati Nabi mengizinkan Utsman beserta keluarganya dan beberapa Muslim lainnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah.

Rombongan muhajirin ke Habasyah ini membawa 11 orang wanita. Ini berarti bahwa wanita Muslim adalah bagian dari dakwah dan jihad di jalan Allah SWT. Mereka meninggalkan kesenangan hidup berupa harta, anak dan keluarga serta negeri demi Allah.

Anas bin Malik meriwayatkan, Utsman bin Affan keluar bersama istrinya, Ruqayyah, putri Rasulullah SAW menuju negeri Habasyah. Lama Rasulullah SAW tidak mendengar kabar kedua orang itu. Kemudian datang seorang wanita Quraisy berkata, "Wahai Muhammad, aku telah melihat menantumu bersama istrinya."

Nabi SAW bertanya, "Bagaimanakah keadaan mereka ketika kau lihat?"

Wanita itu menjawab, "Dia telah membawa istrinya ke atas seekor keledai yang berjalan perlahan, sementara ia memegang kendalinya."

Maka Rasulullah SAW bersabda, "Allah menemani keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah laki-laki pertama yang hijrah membawa istrinya sesudah Luth AS."

Setibanya di Habasyah, mereka memperoleh perlakuan yang sangat baik dari Raja Habasyah. Mereka hidup tenang dan tenteram, hingga datanglah berita bahwa keadaan kaum Muslimin di Makkah telah aman.

Mendengar berita tersebut, disertai kerinduan kepada kampung halaman, maka Utsman memutuskan bahwa kafilah Muslimin yang dipimpinnya itu akan kembali lagi ke Makkah. Mereka pun kembali. Namun apa yang dijumpai berbeda dengan apa yang mereka dengar ketika di Habasyah.

Pada masa itu, mereka menyaksikan keadaan kaum Muslimin yang mendapatkan penderitaan lebih parah lagi. Pembantaian dan penyiksaan atas umat Islam semakin meningkat. Sehingga rombongan ini tidak berani memasuki Makkah pada siang hari. Ketika malam telah menyelimuti kota Makkah, barulah mereka mengunjungi rumah masing-masing yang dirasa aman.

Ruqayyah pun pulang ke rumahnya, melepas rindu terhadap orang tua dan saudara-saudaranya. Namun ternyata ibunya, Khadijah, telah wafat. Ruqayyah dilanda kesedihan yang sangat mendalam. Tak lama kemudian, kaum Muslimin kembali hijrah ke Madinah. Ruqayyah juga ikut hijrah bersama suaminya, Utsman, sehingga dia menjadi wanita yang hijrah dua kali.

Tak berapa lama setelah mereka tinggal di Madinah, bergema seruan Perang Badar. Para sahabat bersiap-siap untuk menghadapi musuh-musuh Allah. Namun bersamaan dengan itu, Ruqayyah binti Rasulullah SAW diserang sakit. Rasulullah pun memerintahkan Utsman bin Affan untuk tetap tinggal menemani dan merawat istrinya.

Namun maut menjemput Ruqayyah ketika Rasulullah SAW masih berada di medan Badar. Ruqayyah wafat pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijrah. Kemudian berita wafatnya Ruqayyah ini dikabarkan oleh Zaid bin Haritsah ke Badar. Pada saat wafatnya Ruqayyah, Rasulullah SAW berkata, "Bergabunglah dengan pendahulu kita, Utsman bin Maz’un."

Menjelang pemakaman Ruqayyah, kaum Muslimin di Badar meraih kemenangan. Berita kemenangan kaum Muslimin ini dibawa pula oleh Zaid bin Haritsah. Ketika memasuki ke kota Madinah, Rasulullah disambut dengan berita pemakaman Ruqayyah.

Ketika Ruqayyah wafat banyak wanita di Madinah menangis sedih, sehingga membuat Umar bin Al-Khathab mengambil cemetinya untuk menghentikan tangisan mereka.

Namun Rasulullah SAW mengambil cemeti yang ada di tangan Umar, seraya bersabda, "Wahai Umar, biarkanlah mereka menangis. Tetapi hati-hatilah dengan bisikan syetan. Yang datang dari hati dan mata adalah dari Allah dan merupakan rahmat. Yang datang dari tangan dan lidah adalah dari syetan."

Fathimah, adik Ruqayyah, duduk di bibir liang kubur kakaknya di samping Rasulullah SAW dan menangis. Melihat putrinya menangis, Rasulullah mengusap air mata Fathimah yang menetes dengan ujung pakaian beliau.

Anas bin Malik bertutur, "Kami melihat prosesi pemakaman Ruqayyah binti Rasulullah SAW. Beliau duduk di atas kuburannya, kemudian kulihat kedua matanya berlinang air mata. Kemudian beliau bertanya, 'Apakah ada salah seorang di antara kalian yang tidak melakukan hubungan suami istri semalam?' Abu Talhah menjawab, 'Saya.' Lalu, Rasulullah SAW berkata, 'Turunlah ke liang kuburnya.' Kemudian Abu Thalhah turun ke liang kuburnya."


Sumber:
Republika
A'lamu An-Nisa

Kaum Muslimah Pengukir Sejarah

Muslimah, kaum wanita muslim, banyak memegang peran penting dalam pergerakan dakwah Islam. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kondisi sebelum datangnya islam. Apalagi di masa awal kenabian Muhammad saw., para wanita dianggap sebagai makhluk yang kurang berguna dan menjadi aib bagi keluarga. Tidak sedikit yang mengubur hidup-hidup bayi wanita yang baru lahir di antara kaum arab saat itu.
Ketika cahaya Islam menyinari dunia, derajat wanita pun terangkat. Mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari laki-laki dan dijanjikan kedudukan yang sama berdasarkan ketakwaannya kepada Allah. Maka bermunculanlah nama-nama muslimah yang menghiasi lembar sejarah. Mereka mengukir sejarah melalui kecerdasan, ilmu, pengorbanan, jihad dan berbagai peran positif lainnya.

Beberapa Wanita Muslim dalam Sejarah Islam

  • Sumayyah binti Khubath
Sebagai muslimah pertama yang menyumbangkan nyawanya demi keimanan dan memperoleh Syahadah.
  • Khadijah binti Khuwailid
Manusia pertama yang menyambut Dakwah Islam sekaligus menopang banyak manuvernya dari kaum Muslimah. Banyak kaum Shahabiyat yang membantu kaum muslimin dalam peperangan, ilmu pengetahuan, mereka (muslimah) tidak kalah. Mereka ( para shahabiyat) pernah meminta pada Rasulullah agar di adakan satu pertemuan khusus untuk mempelajari ilmu seperti yang di lakukan Rasulullah kepada para Sahabat. Dan kemudian Rasulullah memenuhinya dengan memberikan waktu khusus.
  • Aisyah Ummul Mu’minin
Yang dikenal sebagai orang yang ahli dalam Fiqih, Kedokteran, dan puisi. Oleh karena kepintaranya itu Rasulullah pernah berkata kepada sahabatnya, “ Ambilah separuh agama kalian dari Al-Humairah ini (yakni Aisyah). Lebih dari 80 muslimah adalah ahli Fiqih (Ilmu Hadits, Ibnu Asakir).
  • Aliyah binti Hasan
Pemimpin bani Syiban, ia seorang yang cerdik lagi terhormat, sering dikunjungi oleh Shalih Al- Marwi dan tokoh-tokoh ulama Bashrah untuk dimintai pendapatnya tentang berbagai masalah.
  • Zainab binti Ummi Salamah
Dilukiskan oleh Ibnu Katsir sebagai salah seorang yang paling dalam ilmu agamanya di Madinah saat itu.
  • Ummu Sa’ad binti Rabbi
Ada di antara para sahabat yang sering membacakan catatannya di hadapan Ummu Sa’ad binti Rabbi, mereka mohon koreksi apabila ada kesalahan dalam catatannya.
  • Ka’biyyah binti Sa’ad Al-Aslamiyyah
Ia salah seorang dokter wanita yang mendirikan tenda poliklinik bersebelahan dengan masjid Nabawi untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Islam. Waktu pecah perang Khaibar, Rasulullah memberikan hadiah kepada Ka’biyyah binti Sa’ad Al-Aslamiyyah berupa sebuah anak panah.
  • Asy-Syafa‘ binti Abdullah
Ia pernah di tunjuk Rasulullah untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada kaum muslimin. Ia diberi gelar “Guru wanita pertama dalam Islam”.


15 Muslimah penting dalam sejarah

Petikan ini diambil daripada laman ‘Ballandalus’ (http://ballandalus.wordpress.com/2014/03/08/15-important-muslim-women-in-history/) bertarikh 8 Mac 2014. Diterjemahkan oleh Yana Rizal.
Sempena Hari Wanita Antarabangsa, ianya menarik untuk kita perkenalkan beberapa wanita penting dalam sejarah Islam yang mungkin tidak diketahui sebelum ini. Walaupun nama-nama tokoh seperti Empress Theodora, Eleanor of Aquitaine, Joan of Arc, Anne Boleyn, Caterina Sforza dan Elizabeth I sudahpun dikenali, tetapi wanita-wanita dunia Islam dari zaman pertengahan dan awal zaman pemodenan kurang diketahui.
Wanita memainkan peranan penting dalam dunia pra-moden Islam sebagai sarjana, penyair, sufi, pemerintah, dan srikandi. Ini senarai ringkas beberapa tokoh wanita tersebut:

1. Khadijah b. Khuwaylid (m. 620)
Malah sebelum pernikahannya kepada Nabi Muhammad, beliau sudahpun menjadi tokoh penting dengan sendirinya, sebagai pedagang yang berjaya dan bangsawan di Mekah. Beliau memainkan peranan penting dalam menyokong dan menyebarkan agama Islam yang baru ketika itu dan diiktiraf sebagai Muslim pertama.
Dipercayai bahawa Nabi Muhammad sendiri bersabda, menurut hadith Sahih Muslim:
“Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah mengurniakanku seorang yang lebih baik dalam hidup ini daripada dia.Dia menerimaku apabila orang menolak aku; dia mempercayaiku ketika orang meragui aku; dia berkongsi harta denganku apabila orang mengurangiku; dan Tuhan mengurniakan zuriatku hanya dengan dia.”
Malah, seorang lagi wanita terpenting di waktu awal Islam, Fatima al-Zahra, merupakan anak perempuan Nabi bersama Khadijah dan ianya hanya melalui Fatima (dan terutamanya dari kedua anak lelaki beliau, al-Hasan dan al-Husain) keturunan Nabi Muhammad dipelihara.
Hakikat ini menjadikan Fatima dan ibundanya Khadijah antara tokoh wanita yang paling dihormati dalam sejarah Islam.

2. Nusayba b. Ka’b al-Anṣārīyya (m. 634)
Juga dikenali sebagai Ummu ‘Ammara, beliau dari suku Bani Najjar dan merupakan antara penganut Islam terawal di Madinah. Sebagai sahabat Nabi Muhammad, terdapat banyak nilai-nilai murni yang dimiliki beliau.
Namun, beliau paling diingati kerana perjuangannya di Perang Uhud (625), di mana beliau bersenjatakan pedang dan perisai berlawan menentang tentera Mekah. Beliau melindungi Nabi Muhammad dari serangan musuh semasa pertempuran, bahkan menanggung beberapa kecederaan tombak dan panah apabila beliau menggunakan tubuhnya sebagai penghadang kepada Rasulullah.
Diriwayatkan bahawa beliau rebah pengsan setelah mengalami kecederaan yang kedua belas, dan apabila sedar (keesokan harinya di Madinah) persoalan pertama yang terpacul dari mulutnya ialah “adakah Nabi masih hidup?”

3. Khawla b. al-Azwar (m. 639)
Seorang lagi sahabat Nabi Muhammad SAW. Beliau terkenal kerana perjuangannya dalam Peperangan Yarmuk (636) menentang Byzantine.
Menurut riwayat penaklukan Islam yang terkemudian, beliau memiliki tahap kemahiran dan kepahlawanan yang setaraf dengan panglima Islam termasyhur, Khalid bin al-Walid.
Namun, terdapat banyak tokok-tambah dan butiran kurang jelas dari sumber tersebut, yang menimbulkan keraguan di kalangan sarjana sama ada beliau sebenarnya pernah wujud ataupun tidak!
Walau bagaimanapun, perlu diiktiraf bahawa kepahlawanan wanita diberi penekanan oleh sarjana seperti al-Waqidi dan al-Azdi, yang menulis pada abad kelapan dan kesembilan. Malah, walaupun sekiranya beliau tidak pernah wujud, ia hanya membuatkan legenda beliau bertambah menarik.

4. Aisyah b. Abu Bakr (m. 678)
Seorang yang hampir tidak perlu diperkenalkan lagi, Aisyah merupakan isteri Nabi Muhammad yang barangkali mempunyai pengaruh terbesar ke atas umat Islam selepas kewafatan baginda.
Beliau memainkan peranan penting dalam penentangan politik terhadap khalifah ketiga dan keempat, iaitu Uthman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Talib, bahkan memimpin tentera menentang ‘Ali di Basra pada tahun 656.
Walaupun beliau menarik diri dari politik setelah kekalahannya, beliau terus memainkan peranan penting sebagai penyampai ajaran Islam. Beliau merupakan salah seorang perawi utama hadith dalam tradisi Ahl Sunnah wal Jamaah.
Dari pelbagai segi, beliau merupakan antara tokoh yang paling kontroversi di zaman permulaan Islam, lebih lagi kerana implikasi kehidupan beliau kepada penyertaan wanita dalam kesarjanaan, politik, dan ruang masyarakat bertentangan dengan pemahaman konservatif tentang peranan wanita yang muncul kemudiannya.
Untuk pengetahuan lebih lanjut tentang Aisyah dan kehidupannya, rujuklah buku Denise Spellberg yang bertajuk “Politics, Gender and the Islamic Past: The Legacy of ‘Ā’isha bint Abī Bakr” (1996).

5. Zainab b. ‘Alī (m. 681)
Beliau adalah cucu perempuan Nabi Muhammad melalui anak perempuannya Fatimah (m. 633) dan suaminya ‘Ali bin Abi Talib (m. 661). Beliau antara tokoh yang paling terkenal dan disanjungi dari Ahl al-Bayt (Keluarga Nabi) dan memainkan peranan penting semasa dan selepas Pertempuran Karbala (680), di mana abangnya al-Husain bin Ali, dan 72 anak saudara serta adik-beradiknya dibunuh oleh Bani Umayyah.
Pada waktu itu, beliau menjadi pemimpin Ahl al-Bayt dan pembela utama perjuangan abangnya, al-Husain. Di Kufa, beliau mempertahankan anak saudaranya – ‘Alī bin al-Husain – daripada dibunuh oleh penguasa kota tersebut, dan apabila berhadapan dengan Yazid bin Muawiyah di Damsyik, beliau memberikan ucapan yang begitu hebat di mahkamah kerajaan yang memaksa khalifah tersebut untuk membebaskan beliau dan banduan yang diambil di Karbala.
Kekuatan, kesabaran, dan kebijaksanaan beliau membuatkannya salah seorang wanita yang paling penting di zaman permulaan Islam.
Makam beliau di Damsyik masih merupakan kawasan lawatan utama oleh kedua-dua pengikut Sunni dan Syiah, yang membuktikan kepentingan legasi beliau di kalangan umat Islam.

6. Rabi’ah al-‘Adawīyya (m. 801)
Salah seorang mistik (atau Sufi) terpenting dalam tradisi Islam, Rabi’ah al-‘Adawīyya menghabiskan zaman mudanya sebagai seorang hamba di selatan Iraq sebelum mencapai kemerdekaannya. Beliau dianggap sebagai salah seorang pengasas kumpulan Sufi “Cinta Ilahi,” yang menekankan kasih kepada Tuhan demi kasih itu sendiri, dan bukan kerana takutkan hukuman atau inginkan balasan. Beliau menzahirkannya dalam sebuah puisi:
“Ya Tuhan! Jika aku menyembahMu kerana takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya, dan jika aku menyembahMu dengan harapan syurga, halangi aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembahMu kerana Kamu, relakan kepadaku Keindahan AbadiMu. ”
Apabila ditanyakan mengapa kisah Rabi’ah diterangkan secara panjang lebar dalam kamus biografi mistik (iaitu Tadhkirat al-Awliya’) beliau, Fariduddin Attar (m. 1220), seorang sarjana abad ke-13 menjelaskan: “Nabi (saw) sendiri bersabda, “Allah tidak memandang luaran kamu.
Tunjang sebuah perkara itu bukanlah bentuknya, tetapi niatnya. Manusia akan dibangkitkan mengikut niat mereka.” Tambahan lagi jika ianya wajar untuk kita mempelajari dua pertiga agama kita dari seorang wanita, iaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar (ra) yang mulia dan diberkati, maka tentunya ia dibenarkan untuk kita mengambil pengajaran agama daripada seorang [yang statusnya boleh diibaratkan sebagai] dayang kepada ‘Aisyah (ra). ”

7. Lubna dari Cordoba (m. 984)
Asalnya seorang hamba dari Sepanyol, Lubna akhirnya menjadi seorang tokoh istana terpenting pada zaman Umayyah di Cordoba. Beliau ialah setiausaha istana kepada khalifah ‘Abd al-Rahman III (m. 961) dan anaknya al-Hakam b. ‘Abd al-Rahman (m. 976).
Beliau juga seorang ahli matematik yang mahir dan pengerusi perpustakaan diraja, yang mengandungi lebih daripada 500,000 buku. Menurut sarjana Andalusia tersohor, Ibnu Bashkuwāl: “Beliau cemerlang dalam penulisan, tatabahasa, dan puisi.
Pengetahuannya tentang matematik juga amat luas dan beliau mahir dalam ilmu-ilmu lain. Tiada yang lebih mulia di istana Umayyah tersebut daripada dia.” [Ibnu Bashkuwal, Kitab al-Silla (Kaherah, 2008), Jil. 2: 324].

8. Al-Malika al-Hurra Arwa al-Sulayhi (m. 1138)
Nama penuhnya Arwa b. Ahmad b. Muhammad al-Sulayḥī. Dari 1067-1138, beliau memerintah sebagai ratu Yaman dengan sendirinya. Beliau seorang Syi’ah Ismailiyah dan mahir dalam pelbagai ilmu agama, Al-Quran, hadith, dan juga puisi dan sejarah. Sejarawan menggambarkan beliau sebagai yang sangat bijaksana.
Hakikat bahawa beliau memerintah kerana kelayakannya sendiri sebagai ratu disokong dengan fakta bahawa nama beliau disebut sejurus selepas nama khalifah di zaman Fatimi, iaitu al-Mustansir-billah dalam khutbah Jumaat.
Arwa diberi kehormatan tertinggi dalam hierarki keagamaan Fatimi Yaman (iaitu gelaran hujja) oleh Khalifah al-Mustansir. Beliau merupakan wanita pertama dalam sejarah Islam yang dianugerahkan pangkat dan mempunyai kuasa yang sebegitu dalam hierarki agama.
Ianya di zaman pemerintahan beliau juga pendakwah Isma’ili diutuskan ke India barat, di mana pusat utama Ismailiyah ditubuhkan di Gujerat (yang masih merupakan pusat kepercayaan Ismailiyah Bohra).
Beliau memainkan peranan penting dalam perpecahan Fatimi pada tahun 1094, apabila beliau menyokong al-Musta’li (dan kemudiannya al-Tayyib), dan kekuatan pengaruh beliau terbukti apabila kawasan-kawasan di bawah pemerintahan beliau – iaitu Yaman dan beberapa daerah di India – turut mengikuti beliau dalam hal ini.
Yaman menjadi kubu kekuatan gerakan Ismailiyah Tayyibī. Pemerintahan beliau dicirikan dengan pelbagai projek pembangunan dan kemajuan infrastruktur Yaman, dan juga peningkatan integrasi Yaman dengan seluruh dunia Islam.
Beliau barangkali merupakan contoh terunggul seorang ratu yang berdikari dalam sejarah Islam.

9. Fatima b. Abi al-Qasim ‘Abd al-Rahman b. Muhammad b. Ghalib al-Ansari al-Sharrāṭ (m. 1216)
Beliau salah seorang wanita yang paling terpelajar di al-Andalus sekitar akhir abad ke12 – awal abad ke13.
Kegiatannya dengan karya-karya teori perundangan dan juga mistik menunjukkan bahawa beliau fasih dengan pelbagai ilmu Islam.
Beliau ialah ibu kepada profesor terkemuka Abu al-Qasim b. al-Ṭaylasān. Menurut sarjana Andalusia Abu Ja’far al-Gharnāṭī (m. 1309): “Beliau menghafal begitu banyak buku di bawah bimbingan bapanya, termasuklah Tanbih tulisan al-Makki, al-Syihab dari al-Qudā’ī, Mukhtasar dari Ibnu ‘Ubayd al-Ṭulayṭalī, ketiga-tiganya yang dihafal ayat demi ayat.
Beliau juga menhafaz Al-Qur’an di bawah bimbingan Abu ‘Abd Allah al-Madwarī, penzahid hebat yang dianggap dari kalangan Abdal [iaitu pangkat penting dalam ilmu tasawuf].
Bersama ayahnya, beliau juga mempelajari Sahih Muslim, Sira [Rasulullah] yang ditulis Ibnu Hisham, Al-Kamil karya al-Mubarrad, Nawādir karya al-Baghdadi, dan karya-karya lain. “[Abu Ja’far Ahmad b. Ibrahim al-Gharnāṭī, Kitab Silla al-Silla (Beirut, 2008), hal. 460]

10. Razia Sultan (m. 1240)
Beliau merupakan pemerintah Kesultanan Delhi di antara 1236-1240. Ayahandanya, Shams al-Din Iltutmish ( 1210-1236) telah menetapkan Razia sebagai waris sebelum kematiannya, menjadikan beliau pemerintah rasmi kesultanan tersebut. Beliau merupakan seorang pemimpin yang cukup berkesan dan penaung utama pembelajaran, mendirikan sekolah-sekolah dan perpustakaan di seluruh India utara.
Dalam semua perihal, beliau bertindak sebagai sultan, memimpin tentera, menduduki takhta bahkan mengenakan pakaian diraja yang sama seperti ayahnya; walaupun dimurkai ramai, beliau juga berkeras untuk tampil di khalayak ramai tanpa hijab.
Pada tahun 1240, beliau digulingkan dan dibunuh dalam pemberontakan oleh kerabat diraja, yang – di antara lainnya – sangat menentang kepimpinan seorang wanita.
Terlalu banyak yang perlu diceritakan mengenai hidup beliau melebihi apa yang mampu digambarkan di sini, tetapi jika anda ingin mengetahui dengan lebih lanjut, disarankan supaya anda membaca “Razia: Queen of India” (1966) tulisan Rafiq Zakaria.

11. Shajar al-Durr (m. 1257)
Beliau janda kepada Sultan al-Salih Ayyub di zaman Ayyubi (1240-1249) dan memainkan peranan penting dalam politik Mesir selepas kemangkatan suaminya.
Beliau berkemungkinan besar berasal dari Turki, memulakan hidupnya sebagai seorang hamba di istana Ayyubi tersebut. Menjelang 1250, beliau telah menjadi pemerintah (atau Sultanah) Mesir; pemerintahannya umum dianggap menandakan permulaan kesultanan Mamluk di Mesir.
Beliau memainkan peranan penting dalam persiapan mempertahankan Mesir utara dalam Perang Salib Ketujuh, mengalahkan tentera salibi (walaupun beliau sendiri tiada di medan peperangan) dalam Pertempuran Fariskur (1250) dan mengambil Raja Louis IX dari Perancis sebagai tawanan. Beliaulah ketua negara dan nama beliau disebutkan dalam khutbah dan syiling ditatahkan dengan nama beliau dengan gelaran “Malikat al-Muslimin” (Ratu Muslimin).
Walau bagaimanapun, ianya sukar bagi orang ramai untuk menerima pemerintahan seorang wanita dan pada bulan Ogos 1250, akibat pelbagai tekanan, beliau berkahwin dengan panglima besar ‘Izz al-Din Aybak, yang menjadi sultan pertama kerajaan Mamluk.
Walaupun begitu, Shajar al-Durr tetap mengekalkan kuasa beliau, bahkan memastikan bahawa dokumen-dokumen negara dimaterikan dengan kedua-dua nama pemerintah tersebut, dan bukan hanya pada nama Aybak.
Walau bagaimanapun, pada tahun 1257 beliau memutuskan untuk menghapuskan suaminya (di atas sebab-sebab politik selain mendapati suaminya terlibat dalam hubungan sulit dengan wanita lain atau ingin berkahwin lagi [sumber tidak begitu jelas mengenai hal ini]) dan membunuhnya ketika mandi.
Apabila diketahui, beliau diusir dan dibunuh dengan kejam, menamatkan pemerintahan beliau dengan tragis.

12. Zainab b. Ahmad (m. 1339)
Beliau antara sarjana Islam yang terkemuka di abad ke14. Zainab mengikuti mazhab Hanbali dan menetap di Damsyik. Beliau memperolehi beberapa ijazah (diploma atau sijil) dalam pelbagai bidang, terutamanya hadith.
Pada awal abad ke14, beliau mengajar kitab-kitab seperti Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Muwatta’ dari Malik b. Anas, Shamā’il dari al-Tirmidhi, dan Sharh Ma’ani al-Athar karya al-Tahawi.
Di antara anak murid beliau ialah pengembara Afrika Utara iaitu Ibnu Battuta (m. 1369), Taj al-Din al-Subki (m. 1355), al-Dhahabi (m. 1348), dan nama beliau muncul dalam beberapa dozen isnad Ibnu Hajar al-Asqalani (m. 1448). Penting untuk diketengahkan bahawa Zainab hanyalah salah satu daripada beratus sarjana wanita dalam bidang hadith pada zaman pertengahan dunia Islam.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang peranan wanita Islam dalam kesarjanaan hadith, bacalah karya Asma Sayeed yang bertajuk “Transmission of Religious Knowledge in Islam” (2013) dan juga karya Mohammad Akram Nadwi Al-Muhaddithat: “The Women Scholars of Islam” (2007).

13. Sayyida al-Hurra (m. 1542)
Dengan nama yang bermaksud “Wanita Bebas,” Sayyida al-Hurra ialah salah seorang tokoh Islam yang paling menarik di abad ke-16. Asalnya dari Kerajaan Nasri di Granada, tetapi terpaksa melarikan diri selepas ditakluki Kristian Sepanyol pada tahun 1492.
Seperti kebanyakan Muslim Andalusia, beliau menetap di Maghribi dan, bersama-sama suaminya, memperteguh dan memerintah kota Tetouan di pantai utara. Selepas kematian suaminya pada 1515, beliau menjadi pemerintah tunggal di bandar ini, yang kemudiannya berkembang dari segi kekuatan dan jumlah penduduk, apabila semakin ramai Muslim Andalusia diusir dari Iberia pada awal abad ke-16.
Oleh kerana pelbagai sebab, antaranya keinginan untuk membalas dendam terhadap kemusnahan al-Andalus dan pemaksaan agama Kristian ke atas umat Islam di sana, beliau beralih tumpuan ke aktiviti pelanunan dan mengubah Tetouan menjadi pangkalan utama operasi angkatan laut menentang Sepanyol dan Portugal.
Beliau bersekutu dengan laksamana Uthmaniyyah (yang sebelumnya seorang lanun) termasyhur iaitu Hayreddin Barbarossa di Algiers, dan bersama-sama mereka menghentam kuat kuasa imperialis Sepanyol di Afrika Utara dan Mediterranean Barat.
Menarik untuk diperhatikan bahawa sumber-sumber Muslim tidak banyak menceritakan kisah Sayyida al-Hurra, dan kebanyakan maklumat mengenainya berasal dari dokumen Sepanyol dan Portugis, yang menekankan keberkesanan beliau sebagai seorang ratu lanun dan kemusnahan akibat serangan beliau ke atas pantai selatan semenanjung Iberia.
Beliau kemudiannya berkahwin dengan Sultan Maghribi Wattasi, Abul Abbas Muhammad (1526-1545). Sementara nama seperti Anne Bonny dan Mary Read sudahpun terkenal sebagai lanun wanita di kalangan ramai, namun Sayyida al-Hurra jarang dikenali.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hidup beliau, rujuklah “The Forgotten Queens of Islam” (1997) karya Fatima Mernissi, di mana beliau membincangkan al-Sayyida al-Hurra dan juga tokoh-tokoh wanita Islam yang penting di zaman pertengahan.
Bagi mereka yang berbahasa Sepanyol, rujuk kepada “Sayyida al-Hurra, Mujer Marroquí de Origen Andalusi,” karya Rodolfo Grim Grimau, Anaquel de Estudios Arabes (2000): 311-320.

14. Parī Khān Khanum (m. 1578)
Seorang puteri Safavid dan anak kepada Shah Tahmasp I ( 1524-1576) bersama seorang wanita Sirkasia, beliau merupakan salah seorang wanita Iran yang paling berpengaruh pada abad ke-16.
Beliau terkenal sebagai seorang wanita yang berpendidikan dan mahir dalam ilmu-ilmu tradisional Islam seperti perundangan.
Beliau juga dikenali sebagai seorang penyair yang hebat. Parī Khān Khanum memainkan peranan penting dalam memastikan kewarisan abangnya Ismail II ke takhta Safavid. Namun, dalam pemerintahan singkat abangnya, pengaruh beliau semakin berkurang.
Semasa pemerintahan pewaris Ismail, Mohammad Khodabanda, beliau dibunuh kerana dianggap terlalu berpengaruh dan berkuasa.
Untuk mengetahui lebih lanjut, rujuklah karya Shohreh Gholsorkhi, “Pari Khan Khanum: A Masterful Safavid Princess,” Iranian Studies 28 (1995): 143-156.

15. Kösem Sultan (m. 1651)
Ramai di kalangan yang berbahasa Inggeris sudahpun mengenali Roxelana atau Hurrem Sultan, permaisuri kepada Suleyman I (1520-1566).
Namun, kisah mengenai Kösem Sultan kurang diketahui. Sebagai isteri kepada Sultan Uthmaniyyah, Ahmed I ( 1603-1617), bonda kepada Sultan Murad IV (1623-1640) dan Ibrahim (1640-1648), dan nenda kepada Sultan Mehmed IV ( 1648-1687), beliau mempunyai pengaruh besar dan dianggap sebagai wanita paling berkuasa dalam sejarah Uthmaniyyah.
Asalnya seorang Yunani bernama Anastasia, beliau diperhambakan pada usia yang muda dan dibawa ke istana Uthmaniyyah, di mana beliau menjadi gundik Sultan Ahmed I. Menurut sumber kontemporari, Cristoforo Valier, pada 1616, Kösem adalah ahli kerabat sultan yang paling berkuasa: “beliau mampu melakukan apa sahaja yang dikehendakinya dan memiliki hati sultan sepenuhnya, dan beliau tidak pernah dinafikan.”
Di antara 1623 dan 1632, beliau bertindak selaku pemangku raja kepada anaknya Murad IV, yang menaiki takhta sebelum cukup umurnya. Sehinggalah pembunuhan beliau pada tahun 1651, yang disebabkan oleh kosnpirasi mahkamah, beliau mempunyai pengaruh besar terhadap politik Uthmaniyyah.
Untuk pengetahuan lanjut mengenai Kösem Sultan dan institusi harem diraja Uthmaniyyah, bacalah “The Imperial Harem: Women and Sovereignty in the Ottoman Empire” (1993) karya Leslie Peirce.

Tiada ulasan: