Jumaat, 10 Julai 2015

NAK JADI PAHLAWAN TAK DE PERANG...KALAU ADA PUN TAK BERANI KERANA TAKUT MATI...CINTA DUNIA KATA KAN...DAH LAH TAK BERANI...NAK INFAK WANG...HARTA...MASA...TENAGA...DLL KEDEKUT NAK MAMPUS DAN MALAS MENUNTUT ILMU AGAMA@TAK DATANG MASJID/SURAU BILA ADA PENGAJIAN(MEMERAP@DUDUK AJE DIRUMAH..MACAM DAH PANDAI SANGAT2 TAPI HABUK PUN TAK DA@TAK TAHU LANGSUNG)...SEMBANG ISLAM BAGAI NAK RAK...MACAM TOK GURU...MACAM USTAZ...MACAM ORANG ALIM SANGAT2







PAHLAWAN ISLAM YANG PALING TERKENAL

Kalau China punya Bruce Lee dan Wong Fei Hung, lalu Inggris punya Sir Arthur dan ksatria meja bundar, maka Islam juga punya pahlawan tangguh! Bukan hanya satu, tapi banyak! Dan mereka jauh lebih  menakjubkan dari pahlawan di atas. Berikut ini daftar pahlawan Islam yang paling terkenal sekaligus favoritku:


1.UMAR BIN KHATTAB : AL-FARUQ YANG DITAKUTI SETAN

Ya Allah…buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab.”

Itu adalah satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam, sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.
Umar bin Khattab bin Nafiel bin Abdul Uzza atau lebih dikenal dengan Umar bin Khattab (bahasa Arab:عمر ابن الخطاب) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang juga adalah khalifah kedua Islam (634644). Umar juga merupakan satu di antara empat orang Khalifah yang digolongkan sebagai Khalifah yang diberi petunjuk (Khulafaur Rasyidin). Ia juga termasuk dalam 10 orang yang dijamin surga oleh Rasulullah SAW.
Umar bin Khattab dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qarth bin razakh bin Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay Al Qurasyiy Al ‘Adawiy dan ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan, serta warna kulitnya cokelat kemerah-merahan. Ia memiliki bola mata sangat merah, permukaan pipinya terkesan cekung, dan botak dibagian depan kepalanya. Ia juga memiliki tenaga yang sangat kuat. Wahab berkata, “Sifat Umar di dalam kitab Taurat disebutkan bahwa dia adalah tanduk yang terbuat dari besi, seorang pemimpin yang sangat tegas.”
Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy, suku terbesar di kota Mekkah saat itu. Keluarga Umar tergolong dalam keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis, yang pada masa itu merupakan sesuatu yang langka. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah, tepatnya di pasar Ukaz, dimana ia telah menumbangkan banyak sekali pemuda kuat dari seluruh kabilah Arab.
Sebelum memeluk Islam, Umar adalah orang yang sangat disegani dan dihormati oleh penduduk Quraish karena prestasinya di medan gulat pasar Ukaz, Mekkah.
Masa muda Umar dihabiskan untuk bersenang-senang, bertarung dan minum-minuman sampai mabuk. Meskipun suka menenggak minuman keras, kekuatan Umar tidak terpengaruh. Beberapa catatan mengatakan bahwa pada masa pra-Islam, Umar suka meminum anggur. Setelah menjadi seorang Muslim, ia tidak menyentuh alkohol sama sekali, meskipun belum diturunkan larangan meminum khamar (yang memabukkan) secara tegas.

Memeluk Islam
Ketika Muhammad menyebarkan Islam secara terbuka di Mekkah, Umar bereaksi sangat antipati terhadapnya, beberapa catatan mengatakan bahwa kaum Muslim saat itu mengakui bahwa Umar adalah lawan yang paling mereka perhitungkan, hal ini dikarenakan Umar yang memang sudah mempunyai reputasi yang sangat baik sebagai ahli strategi perang dan seorang prajurit yang sangat tangguh pada setiap peperangan yang ia lalui. Umar juga dicatat sebagai orang yang paling banyak dan paling sering menggunakan kekuatannya untuk menyiksa pengikut Muhammad SAW.
Pada suatu malam beliau datang ke Masjidil Haram secara sembunyi-sembunyi untuk mendengarkan bacaan shalat Nabi SAW. Waktu itu Nabi SAW membaca surat al-Haqqah. Umar bin Khattab kagum dengan susunan kalimatnya lantas berkata pada dirinya sendiri- “Demi Allah, ini adalah syair sebagaimana yang dikatakan kaum Quraisy.” Kemudian beliau mendengar Rasulullah SAW membaca ayat 40-41 (yang menyatakan bahwa Al Qur’an bukan syair), lantas beliau berkata, “Kalau begitu berarti dia itu dukun.” Kemudian beliau mendengar bacaan Nabi ayat 42, (Yang menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan perkataan dukun.) akhirnya beliau berkata, “Telah terbetik lslam di dalam hatiku.” Akan tetapi karena kuatnya adat jahiliyah, fanatik buta, pengagungan terhadap agama nenek moyang, maka beliau tetap memusuhi Islam.
Kemudian, Umar memutuskan untuk mencoba membunuh Muhammad SAW, namun saat dalam perjalanannya ia bertemu dengan salah seorang pengikut Muhammad SAW bernama Nu’aim bin Abdullah yang kemudian memberinya kabar bahwa saudara perempuan Umar telah memeluk Islam, ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW yang ingin dibunuhnya saat itu. Karena berita itu, Umar terkejut dan pulang ke rumahnya dengan dengan maksud untuk menghukum adiknya, diriwayatkan bahwa Umar menjumpai saudarinya itu sedang membaca Al Qur’an (surat Thoha ayat 1-8), ia semakin marah akan hal tersebut dan memukul saudarinya. Ketika melihat saudarinya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat, diriwayatkan Umar menjadi terguncang oleh apa yang ia baca tersebut, beberapa waktu setelah kejadian itu Umar menyatakan memeluk Islam, tentu saja hal yang ini membuat hampir seisi Mekkah terkejut karena seseorang yang terkenal paling keras menentang dan paling kejam dalam menyiksa para pengikut Muhammad SAW kemudian memeluk ajaran yang sangat dibencinya tersebut.

Kehidupan dalam Islam
Menurut para ulama, ketika Umar memeluk agama Islam, maka agama Allah semakin kokoh. Hanya sejak ada Umarlah muslimin berani beribadah terang-terangan di Masjidil Haram, setelah sebelumnya selalu sembunyi-sembunyi. Umar adalah salah satu sahabat terdekat Rasulullah SAW. Putrinya yang bernama Hafshah menikah dengan Rasulullah SAW pada 625 H. Pada saat kekhalifaannya pun ia meningkatkan hubungan kekerabatannya dengan ahlul bait Nabi Muhammad SAW dengan menikahi Ummu Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW.
Nabi Muhammad SAW pernah berkata,”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar..”
Itu menandakan betapa tingginya kedudukan Umar bin Khattab di mata Nabi Muhammad SAW.
Ada beberapa ayat Al-Quran yang turun karena Umar bin Khattab.
Dari Anas radiyAllahu ‘anhu, dia berkata: Umar bin Khaththab radiyAllahu ‘anhu berkata, “Ideku sesuai dengan (ayat) Tuhanku ‘Azza wa Jalla dalam tiga hal. Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, andai saja Anda menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat’. Maka diturunkan ayat Al Qur’an, ‘…Dan jadikanlah sebahagian Maqam Ibrahim tempat shalat…'(QS Al Baqarah(2):125. Aku pernah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang yang berkunjung kepada istri-istrimu itu ada yang baik dan ada pula yang durhaka. Andai saja Anda menyuruh mereka untuk memakai hijab’. Maka diturunkanlah ayat Al Qur’an tentang hijab. Para Istri Rasulullah juga pernah berkumpul karena cemburu kepada Rasulullah. Maka aku berkata, ‘ Andai saja Tuhannya Rasulullah menceraikan kalian kemudian menggantikan untuk beliau beberapa orang istri yang lebih baik dibandingkan dengan kalian’. Lalu turunlah ayat mengenai hal itu.”(HR. Bukhari-Muslim)
Pada tahun 622 M, Umar ikut bersama Muhammad SAW dan pemeluk Islam lain berhijrah (migrasi) ke Yatsrib (sekarang Madinah). Tidak seperti yang lain yang hijrah secara sembunyi-sembunyi, Umar melakukan thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy,” katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
Umar adalah lelaki yang sangat pemberani, memiliki julukan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Faruk yang berarti orang yang bisa memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra berkata, Rasulullah SAW bersabda:”Wahai ibnu al-Khattab (‘Umar), demi Allah yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah setan menemuimu berjalan di satu jalan melainkan ia mengambil jalan lain yang bukan jalanmu”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari ‘Aisyah r.a berkata : ” Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam duduk, kemudian kami mendengar suara gaduh dan suara anak-anak, kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri tatkala orang Habasyah menari, dan anak-anak mengelilinginya, Nabi bersabda: Hai ‘Aisyah kemari dan lihatlah, maka akupun datang dan aku berlindung di belakang pundak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bersabda:” Apakah kamu senang? Apakah kamu puas? ‘Aisyah menjawab: ” tidak” aku sungguh aku melihat tempatku disampingnya. Tiba-tiba Umar ibn Khattab datang, : ‘Aisyah berkata : Maka orang-orang  bercerai berai darinya : ‘Aisyah berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh aku melihat setan-setan jin dan manusia , lari terbirit-birit ketika melihat Umar, maka aku pun pulang , ujar ‘Aisyah. (H.R al-Tirmidzi)
Ia juga terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria. Ia dianggap sebagai seorang yang paling disegani oleh kaum Muslim pada masa itu karena selain reputasinya yang memang terkenal sejak masa pra-Islam, juga karena ia dikenal sebagai orang terdepan yang selalu membela Muhammad SAW dan ajaran Islam pada setiap kesempatan yang ada bahkan ia tanpa ragu menentang kawan-kawan lamanya.

Sebagai Amirul Mukminin
Umar menjadi khilafah kedua Islam setelah Abu Bakar berdasarkan wasiat beliau. Ia memiliki gelar amirul mukminin (pemimpin para mukmin) dan berkuasa selama sepuluh tahun. Kekuasaan Islam tumbuh dengan sangat pesat di masa Umar bin Khattab, terutama perluasan wilayah. Ia meneruskan usaha khalifah Abu Bakar dan berhasil menaklukkan Persia, wilayah Romawi di Arab, dan Jerusalem.
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di zaman itu. Selain itu, Umar bin Khattab adalah seorang ahli ibadah.
Dari Ibnu Umar radiyAllahu ‘anhuma, dia berkata,” Umar tidak meninggal dunia sampai beliau telah menunaikan Ibadah puasa secara terus-menerus.”
Dari Sa’id bin Al Musayyib, dia berkata, “Umar senang sekali melakukan Ibadah shalat ditengah malam, tepatnya dipertengahan malam.”
Umar bin Khattab meninggal pada 644 M karena dibunuh seorang Persia bernama Abu Lu’luah ketika hendak mengimami sholat Subuh.

Keluarga
Diantara putra-putri Umar bin Khaththab yang berasal dari istrinya yang bernama Zainab binti Mazh’un adalah Abdullah, Abdurrahman, dan Hafshah dan Ruqayyah. Dari istrinya yang bernama Ummu Kultsum binti Jarul adalah Zaid Al Ashgar dan Ubaidillah. Dari Istrinya yang bernama Jamilah hanya memilki satu orang putra yang bernama Ashim. Dari istrinya yang bernama Lahiyyah juga hanya seorang putra yang bernama Abdurrahman Al Ausath. Dari Istrinya yang merupakan Ummu Walad (hamba sahaya wanita yang digauli tuannya -penerj.) juga membuahkan seorang putra yang bernama Abdurrahman Al Ashgar. Dari istrinya yang bernama Fakihah hanya mendapatkan seorang putri yang bernama Fatimah.

Kata-kata Mutiara Umar bin Khattab                                 
  1. Jika engkau menemukan cela pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu. Karena celamu lebih banyak darinya.
  2. Bila engkau hendak memusuhi seseorang, maka musuhilah perutmu dahulu. Karena tidak ada musuh yang lebih berbahaya terhadapmu selain perut.
  3. Bila engkau hendak memuji seseorang, pujilah Allah. Karena tiada seorang manusia pun lebih banyak dalam memberi kepadamu dan lebih santun lembut kepadamu selain Allah.
  4. Jika engkau ingin meninggalkan sesuatu, maka tinggalkanlah kesenangan dunia. Sebab apabila engkau meninggalkannya, berarti engkau terpuji.
  5. Bila engkau bersiap-siap untuk sesuatu, maka bersiaplah untuk mati. Karena jika engkau tidak bersiap untuk mati, engkau akan menderita, rugi ,dan penuh penyesalan.
  6. Bila engkau ingin menuntut sesuatu, maka tuntutlah akhirat. Karena engkau tidak akan memperolehnya kecuali dengan mencarinya.

Penampakan di Media

Kisah Umar bin Khattab telah dibuat dalam bentuk sebuah drama kolosal berjudul “Omar” oleh MBC, sebuah grup media di Arab Saudi. Drama ini tayang perdana pada Ramadhan 2012 di beberapa negara Arab dan Indonesia. Meskipun dikritik berbagai pihak karena menampilkan sosok sahabat Nabi Muhammad SAW, namun tidak menyurutkan kepopuleran drama ini. Drama ini dibuat sebanyak 31 episode dengan kualitas yang sangat baik dan menyamai karya Hollywood seperti The Lord of The Rings. Proyek mega drama ini melibatkan puluhan ribu pemeran asli dan ribuan properti serta setting yang mencengangkan dan terkesan real. Pemeran Umar bin Khattab adalah aktor muda tampan berkebangsaan Suriah yang bernama Samer Ismail.

Kabarnya, Samer setuju untuk tidak berakting beberapa tahun demi menjaga imej Umar bin Khattab di drama  ini.

Trailer Omar



2. ALI BIN ABI THALIB : PINTU ILMU YANG JAGO BERPERANG

“Tidak ada pedang, setajam pedang Zulfikar dan tidak ada pemuda yang setangguh Ali bin Abu Thalib”

Demikianlah slogan yang selalu didengung-dengungkan oleh kaum muslimin ketika perang Uhud yang amat dahsyat itu tengah berlangsung.
Nama lengkap beliau, Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah atau biasa disebut ‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)‎. Ia lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 dan wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 M. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah).  Ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang melahirkan seorang putera Bani Hasyim. Beliau memiliki beberapa orang saudara laki-laki; Thalib, Aqiel dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari beliau, masing-masing terpaut sepuluh tahun. Beliau memiliki dua orang saudara perempuan; Ummu Hani’ dan Jumanah. Keduanya adalah puteri Fathimah binti Asad, ia telah masuk Islam dan turut berhijrah. Ayah beliau bernama Abu Thalib, paman Rasulullah SAW.
Beliau memiliki kulit berwarna sawo matang, bola mata beliau besar dan berwarna kemerah-merahan, berperut besar dan berkepala botak. Berperawakan pendek dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundak beliau padat dan putih, beliau memiliki bulu dada dan bahu yang lebat, berwajah tampan dan memiliki gigi yang bagus, ringan langkah saat berjalan.
Ia memiliki julukan Abu Turab dari Nabi Muhammad SAW. Ceritanya, ketika Muhammad SAW mencari Ali menantunya, ternyata Ali sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad SAW pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, “Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali.

Kehidupan dalam Islam
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, Ali adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar 10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi SAW hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi SAW. Didikan langsung dari Nabi SAW kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Pada saat Nabi SAW dan Abu Bakar hijrah, Ali bersedia tidur di kamar Nabi SAW untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi SAW. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi SAW yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi SAW yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.

Dalam Perang
Ali bin Abi Thalib di kenal sebagai jagoan bangsa Arab yang mempunyai kemahiran memainkan pedang dengan tangguh. Sementara itu, baju besi yang dimilikinya berbentuk tubuh bagian depan di kedua sisi, dan tidak ada bagian belakangnya. Ketika di tanya,”Mengapa baju besimu itu tidak dibuatkan bagian belakangnya, Hai Abu Husein?” Maka Ali bin Abu Thalib akan menjawabnya dengan mudah,”Kalau seandainya aku menghadapi musuhku dari belakang, niscaya aku akan binasa.”
Ia ikut serta bertempur dalam perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Sebelum pertempuran dimulai, keluarlah tiga orang dari Musyrikin  Quraisy menantang kaum Muslimin untuk duel satu lawan satu, mereka adalah Utbah bin Rabi’ah dan saudaranya Syaibah, serta Al-Walid bin Utbah. Maka keluarlah tiga orang Anshar untuk menghadapi mereka. Tapi ketiga Musyrikin itu menolak dan meminta dari kalangan mereka sajalah yang berhak menghadapi mereka yaitu dari kaum Muhajirin Quraisy. Maka keluarlah tiga pahlawan muhajirin yaitu Ali bin Abi Thalib, Hamzah, serta Ubaidah bin Al-Harist. Maka dengan mudah Ali membunuh Syaibah, Hamzah membunuh Utbah, dan Ubaidah dan A-Walid saling melukai sampai kemudian Ali dan Hamzah membunuh Al-Walid.
Setelah melihat ketiga jagoan mereka takluk ditangan pahlawan Islam, menjadi kalaplah pasukan Musyrikin. Kaum muslimin memperoleh kemenangan yang telak, maka korban yang berjatuhan di pihak kaum Quraisy berjumlah tujuh puluh orang. Konon sepertiga korban yang tewas dari pihak kaum Quraisy pada perang badar itu merupakan persembahan khusus dari Ali bin Abu Thalib dan Hamzah bin Abdul Muthalib.
Pada perang Uhud, Ali bin Abu Thalib memperlihatkan ketangguhannya sebagai seorang pahlawan Islam yang gagah perkasa. Pada saat itu beliau tergabung dalam sayap kanan pasukan yang memegang panji setelah Mush’ab bin Umair.
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amru bin Wud Al ‘Amiri, seorang jawara yang tangguh dari kaum kafir Quraisy yang ikut serta dalam perang Khandak. Dengan angkuhnya ia menari-nari di atas kudanya sambil memainkan pedangnya dan mengejek kaum muslimin seraya berkata,”Hai kaum muslimin, manakah surga yang telah dijanjikan kepadamu bahwa orang yang gugur diantaramu akan masuk kedalamnya? Inilah dia surga yang kini berada di hadapan-mu, maka sambutlah.”
Namun nyatanya tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang berani maju untuk menjawab tantangan yang dilontarkan Amru bin Wud , yang terkenal bengis dan kejam itu. Tak lama kemudian Ali bin Abu Thalib pun berdiri dan berkata kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, kalau Anda mengijinkan, maka saya akan maju untuk bertarung melawannya” Rasulullah menjawab,”Hai Ali, Bukankah dia itu Amru bin Wud, jagoan kaum Quraisy yang ganas itu?” Ali bin Abu Thalib pun menjawab,”Ya, Saya tahu dia itu adalah Amru bin Wud, akan tetapi bukankah ia juga manusia seperti kita?” Akhirnya Rasulullah mengijinkan untuk bertarung melawannya.
Selang beberapa saat kemudian, Ali bin Abu Thalib telah maju ke gelanggang pertarungan untuk bertarung melawan Amru bin Wud. Lalu Amru bertanya seraya memandang remeh kepadanya,”Siapakah kamu hai anak muda?”, “Aku adalah Ali.” Amru bin Wud bertanya lagi,”Kamu anak Abdul Manaf?”, “Bukan, Aku anak Abu Thalib.” Lalu Amru bin Wud berkata,”Kamu jangan maju ke sini hai anak saudaraku! Kamu masih kecil. Aku hanya menginginkan orang yang lebih tua darimu, karena aku pantang menumpahkan darahmu.” Ali bin Abu Thalib menjawab,”Jangan sombong dulu hai Amru! Aku akan buktikan bahwa aku dapat merobohkan-mu hanya dalam beberapa detik saja dan aku tidak segan-segan untuk menghantarkanmu ke liang kubur.”
Betapa marahnya Amru bin Wud mendengar jawaban Ali bin Abu Thalib itu. Lalu ia turun dari kuda dan dihunusnya pedang miliknya itu ke arah Ali bin Abu Thalib. Sementara itu Ali bin Abu Thalib menghadapinya dengan tameng di tangan kirinya.
Tiba-tiba Amru bin Wud melancarkan serangannya dengan pedang. Dan Ali pun menangkis serangan itu dengan menggunakan tamengnya yang terbuat dari kulit binatang sehingga pedang Amru tertancap di tameng itu. Maka secepat kilat Ali menghantamkan dengan keras pedang Zulfikar pada tengkuknya hingga ia tersungkur ke tanah dan bersimbah darah, dan kaum kafir Quraisy lainnya yang melihat itu lari tunggang langgang.
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar.  Rasulullah SAW mengutus pasukan kaum muslim di bawah pimpinan Abu Bakar As Siddiq untuk menembus benteng itu. Lalu pasukan tersebut berangkat. Dengan mengerahkan segala daya kekuatan mereka berusaha membobol benteng tersebut, namun pintu benteng tersebut sangat kokoh sehingga sukar untuk ditembusnya.
Keesokkan harinya, Rasulullah mengutus Umar bin Khattab untuk memimpin pasukan untuk menaklukkan benteng tersebut. Dengan semangat yang berkobar-kobar akhirnya terjadilah peperangan yang dahsyat antara dua pasukan bersenjata itu. Umar terus membangkitkan semangat anak buahnya agar dapat menguasai benteng khaibar, namun upaya mereka belum membuahkan hasil meskipun telah berusaha sekuat tenaga dan mereka pun pulang dengan tangan hampa.
Setelah itu Rasulullah SAW bersabda,”Esok hari aku akan berikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang dicintai Allah dan Rasulnya. Dan mudah-mudahan Allah akan membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin melalui kedua tangannya, sedangkan ia sendiri bukan termasuk seorang pengecut.” Maka para sahabat bertanya-tanya “Siapakah laki-laki yang beruntung itu?” Akhirnya setiap orang dari para sahabat itu berdoa dan memohon kepada Allah agar dialah yang di maksud oleh Rasulullah.
Dan keesokkan harinya Rasulullah ternyata menyerahkan bendera kepemimpinan itu kepada Ali bin Abu Thalib yang sedang menderita penyakit mata. Kemudian Rasulullah meludahi kedua belah matanya yang sedang sakit hingga sembuh seraya berkata,”Hai Ali, terimalah bendera perang ini dan bawalah pasukan kaum muslimin bersamamu menuju benteng Khaibar hingga Allah membukakan pintu kemenangan bagi kaum muslimin.”
Lalu Ali bin Abu Thalib memimpin pasukan dan memusatkan pasukannya pada sebuah batu karang besar dekat benteng guna menghimpun kekuatan kembali. Tak lama kemudian ia memberikan komando untuk bersiap-siap menyerbu ke benteng dan akhirnya terjadilah perang yang sengit antara kaum muslimin dengan orang-orang yahudi di sana.
Ali bin Abu Thalib memainkan pedang Zulfikar-nya dengan gesit dan menghunuskan kepada musuhnya yang berani menghadang. Tidak ada musuh pun yang selamat dari kelebatan pedang yang di genggam Ali. Akan tetapi seorang yahudi tiba-tiba menghantamkan pedang kearahnya dengan keras. Secepat kilat di tangkis serangan itu dengan tamengnya, hingga terjatuh tamengnya itu. Akhirnya ia raih sebuah pintu besar yang terbuat dari besi yang berada di sekitar benteng dan dijadikan-nya sebagai tameng dari serangan pedang orang-orang yahudi lainnya. Dan ia tetap menggunakan pintu besar itu hingga perang usai dan kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Abu Rofi’ seorang sahabat yang ikut perang itu menyatakan,”Aku telah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Ali bin Abu Thalib mencabut pintu besi yang  besar itu untuk dijadikan tameng-nya, Setelah tameng-nya terjatuh dari tangannya.” Kemudian setelah perang usai, ada delapan orang laki-laki, salah seorang diantaranya adalah aku sendiri, yang berusaha untuk menggotong dan menempatkan kembali pintu besi itu ke tempat semula, tetapi mereka tidak mampu untuk melakukannya karena terlalu berat.”
Pada perang Hunain, Ali bin Abi Thalib dibantu pamannya Abbas mengumpulkan kembali pasukan yang melarikan diri, dan organisasi kaum Muslimin mulai terbentuk kembali. Hal ini juga dibantu dengan sempitnya medan pertempuran, yang menguntungkan kaum Muslimin sebagai pihak bertahan. Pada saat ini, seorang pembawa bendera dari kaum Badui menantang pertarungan satu-lawan-satu. Ali menerima tantangan ini dan berhasil mengalahkannya. Pertempuran ini mendemonstrasikan keahlian Ali bin Abi Thalib dalam mengorganisir pasukan dalam keadaan terjepit.
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili Nabi Muhammad SAW untuk menjaga kota Madinah. Rasulullah SAW memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang Tabuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Pemikir
Ali bin Abi Thalib adalah pribadi yang sangat cerdas. Itu ditunjukkan sejak masa Rasulullah SAW.
Misalnya, Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, berapakah kecepatan kilat tatkala menyambar. Dengan cepat ia menjawab, ” Tidak lebih cepat dari doa seorang makhluk yang dikabulkan oleh Khaliknya.”
Dan ketika ditanya, ”Berapa jauhkah jarak antara Masyrik dengan Magrib, atau antara Timur dengan Barat?”
”Tidak lebih jauh dari jarak terbit dan tenggelamnya matahari. ”jawab Ali bin Abi Thalib.
”Kapankah nikmatnya tidur?” tanya yang lain pula.
”Tak ada nikmatnya, ”Ali langsung menjawab. ” Sebab bila kujawab sebelum tidur, bagaimana dapat merasakan nikmatnya tidur kalau belum melakukannya atau mengalaminya. Jika kujawab setelah bangun dari tidur, bagaimana akan dapat kugambarkan sesuatu yang sudah lewat? Sedangkan jika kujawab saat dalam tidur, bagaimana mungkin seseorang dalam keadaan tidur atau tidak sadar merasakan nikmat atau tidaknya sesuatu? Karena itu janganlah terlalu banyak tidur hingga berlebih-lebihan, sebab hidupmu akan pendek, meski umurmu cukup panjang. Bukankah orang yang dapat merasakan dirinya hidup adalah saat mereka dalam keadaan sadar? Sedangkan, tidur sama dengan tidak sadar. Jadi bagaimana bisa dikatakan hidup, kalau bukan orang lain yang mengatakannya?”
Pada kesempatan lain, Rasulullah SAW menyuruh para sahabat membaca Al-Quran sampai khatam (tamat). Semua dengan tekun mengerjakannya, hingga beberapa lama. Tapi anehnya Ali bin Abi Thalib cuma komat-kamit sebentar lalu berhenti dan diam.
Ketika semuanya sudah selesai, Nabi SAW bertanya kepada Ali bin Abi Thalib.
”Kenapa engkau tidak membaca sampai khatam?”
”Sudah sejak tadi, ya Rasulullah, ”jawab Ali.
”Cepat sekali? Rasanya mustahil, ”Sanggah Nabi SAW.
”Bukankah engkau pernah mengatakan, bahwa kandungaan surat Al-Ikhlas atau Kulhu itu sama dengan sepertiga isi Al-Quran?”jawab Ali.
”Benar, ”timpal Rasulullah SAW.
”Karena itu cukup membaca surat Al-Ikhlas tiga kali, itu sama dengan mengkhatamkan Al-Quran, ”Sambung Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW pun tersenyum mendengar jawaban Ali bin Abi Thalib.
Setelah Rasulullah SAW wafat, perubahan drastis ditunjukkan Ali. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah SAW, “jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya”. Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Dengan kecerdasannya, Ali banyak membantu para khalifah pendahulunya.
Diriwayatkan bahwa seorang utusan datang dari negeri Roma ke Madinah pada masa kekhalifahan Abu Bakar. Di antara mereka terdapat seorang pastor Nasrani. Pastor itu datang ke masjid Rasulullah Saw sambil membawa kantong yang berisi emas dan perak. Di dalam masjid itu dijumpai ada Khalifah Abu Bakar dan beberapa sahabat dari Anshar dan Muhajirin. Pastor itu masuk dan mengucapkan salam serta melihat dengan seksama wajah para sahabat. Lalu dia berkata, “Mana di antara kalian yang menjadi khalifah Rasulullah dan penjaga agama kalian ?” Lalu ditunjuklah Khalifah Abu Bakar. Lalu Pastor itu mendekati Khalifah Abu Bakar dan berkata, “Wahai tuan, siapa namamu?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Atiq. ” Pastor bertanya, “Kemudian apa lagi ?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Shiddiq.” Pastor bertanya, “Kemudian apa lagi ?” Khalifah Abu Bakar menjawab, “Aku tidak mengetahui nama selain itu. ” Pastor berkata, “Anda bukan yang aku tuju.” Khalifah Abu Bakar bertanya, “Apa keperluanmu ?” Pastor menjawab, “Aku dari negeri Roma. Aku datang membawa kantung berisi emas dan perak. Aku ingin bertanya kepada penjaga umat ini tentang beberapa masalah. Jika dia dapat menjawab maka aku akan masuk Islam dan mentaati perintahnya. Dan ini hartaku di hadapan kalian aku berikan. tetapi jika dia tidak mampu menjawabnya maka aku akan kembali dan tidak akan masuk Islam. ” Khalifah Abu Bakar berkata, “Bertanyalah sesukamu. ” Pastor berkata, “Demi Allah. Aku tidak akan berbicara sebelum Anda memberiku keamanan dari kemarahanmu dan kemarahan teman-temanmu.” Khalifah Abu Bakar berkata, “Kamu aman dan tidak apa-apa. Katakanlah apa yang kamu ingin-kan !” Pastor berkata, “Beritahukan kepadaku ten­ tang sesuatu yang tidak Allah miliki, sesuatu yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak diketahui Allah. ” Khalifah Abu Bakar gemetar dan tidak mampu menjawab. Kemudian pastor itu bangun hendak ke luar. Sebelum pastor itu berlalu, Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai musuh Allah, sekiranya tidak ada janji tadi, niscaya aku basahi tanah ini dengan darahmu.” Kemudian Salman al-Farisi bangun dan pergi menjumpai Ali bin Abi Thalib yang tengah duduk bersama al-Hasan dan al-Husain di tengah rumah. Salman menceritakan kejadian yang baru saja terjadi kepada Ali. Lalu Ali bin Abi Thalib bangun dan pergi ber­ sama al-Hasan dan al-Husain sehingga sampai di masjid. Ketika orang-orang melihat Ali mereka bertakbir dan bertahmid. Mereka segera mendekati Ali. Lalu Ali masuk dan duduk. Kemudian Khalifah Abu Bakar berkata, “Wahai pastor, bertanyalah kepadanya. Dialah temanmu dan yang kamu cari. ” Kemudian pastor itu menghadap Ali dan berkata, “Wahai lelaki, siapa namamu?” Ali menjawab, “Namaku dikalangan Yahudi adalah Ilyan dan dikalangan Nasrani adalah Iliya. Sedangkan menurut ayahku namaku adalah Ali dan menurut ibuku adalah Haidar. ” Pastor bertanya, “Apa hubunganmu dengan nabimu?” Ali menjawab, “Dia adalah saudaraku, mertuaku dan Putra pamanku. ” Pastor herkata, “Kamu adalah temanku demi Tuhannya Isa. Beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang tidak dimiliki Allah, sesuatu yang tidak ada pada Allah dan sesuatu yang tidak diketahui Allah ?” Ali menjawab, “Kamu telah menemui seorang ahli. Yang tidak dimiliki Allah adalah bahwa Allah Mahaesa, tidak memiliki pasangan dan anak. Yang tidak ada pada Allah adalah perbuatan zhalim terhadap siapa pun (apa pun). Dan yang tidak diketahui Allah adalah Allah tidak mengetahui adanya sekutu bagiNya dalam kerajaan-Nya. ” Pastor itu bangun lalu memegang kepala Ali dan menciumi antara kedua matanya, seraya berkata, “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah dan engkau adalah pengganti dan penjaga umat ini. Engkau adalah sumber agama dan hikmah. Aku telah membaca dalam Taurat namamu adalah Ilyan, dalam Injil adalah Iliya. Aku yakin bahwa kamu adalah pewaris Nabi dan pemimpin. Kamu lebih pantas di tempat ini dari yang lain. Beritahukan kepadaku bagaimana keadaanmu clan keadaan kaummu ?” Sayyidina All menjawab pertanyaan itu
dengan sebuah penjelasan. Lalu pastor itu bangun dan menyerahkan seluruh hartanya kepada Sayyidina Ali, kemudian kembali ke kaumnya dalam keadaan Muslim.
Kemudian dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi.
Mereka berkata kepada Khalifah,”Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad SAW dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad SAW benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad SAW bukan seorang Nabi.
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
“Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak,  kemudian berkata, “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata,
“Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad SAW memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW.
Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkat,: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Silahkan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka.
Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya, “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik laki-laki ataupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai kehadirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi, “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, “Orang itu benar juga!”
Mereka bertanya lebih lanjut, “Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, “Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, ‘Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, “Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab, “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan, “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab, “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut, “Aku sudah banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.
Lalu ia berkata, “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan, “Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, lalu berkata, “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, “Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus.
Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada bala tentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, lalu berkata di dalam hati, “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum.
Teman-temannya bertanya, ‘Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?’
‘Teman-teman,’ sahut Tamlikha, ‘hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.’
Teman-temannya mengejar, ‘Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?’
‘Sudah lama aku memikirkan soal langit,’ ujar Tamlikha menjelaskan. ‘Aku lalu bertanya pada diriku sendiri,’siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini, ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, ‘Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!’
‘Saudara-saudara,’ jawab Tamlikha, ‘baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!’
‘Kami setuju dengan pendapatmu,’ sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, ‘Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,’Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?’
‘Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,’ sahut penggembala itu. ‘Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!’
‘Ah…, susahnya orang ini,’ jawab mereka. ‘Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?’ ‘Ya,’ jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, ‘Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian.’
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib, “Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali, ‘Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah SWT.’
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata, “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?”
Imam Ali menjelaskan, “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, “Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri.
Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata, ‘Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!’
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, “Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.,
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, ‘Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!’
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, ‘Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.’
Tamlikha kemudian berkata, ‘Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!’
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, ‘Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah.’
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri, ‘Kusangka aku ini masih tidur!’ Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti, ‘Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?’ ‘Aphesus,’ sahut penjual roti itu.
‘Siapakah nama raja kalian?’ tanya Tamlikha lagi. ‘Abdurrahman,’ jawab penjual roti.
‘Kalau yang kau katakan itu benar,’ kata Tamlikha, ‘urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!’
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.”
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan, “Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, “Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha, ‘Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!’
‘Aku tidak menemukan harta karun,’ sangkal Tamlikha. ‘Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!’
Penjual roti itu marah. Lalu berkata, ‘Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?’
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, ‘Bagaimana cerita tentang orang ini?’ ‘Dia menemukan harta karun,’ jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, Raja berkata, ‘Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.’
Tamlikha menjawab, ‘Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!’
Raja bertanya sambil keheran-heranan, ‘Engkau penduduk kota ini?’ ‘Ya. Benar,’ sahut Tamlikha.
‘Adakah orang yang kau kenal?’ tanya raja lagi. ‘Ya, ada,’ jawab Tamlikha.
‘Coba sebutkan siapa namanya,’ perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. ‘Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?’
‘Ya, tuanku,’ jawab Tamlikha. ‘Utuslah seorang menyertai aku!’
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, ‘Inilah rumahku!’
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang, ‘Kalian ada perlu apa?’
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, ‘Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!’
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, ‘Siapa namamu?’ ‘Aku Tamlikha anak Filistin!’
Tulang Belulang Ashabul Kahfi yang ditemukan Tahun 1963.
Orang tua itu lalu berkata, ‘Coba ulangi lagi!’ Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. ‘Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru, ‘Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!’
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, ‘Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?’
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
“Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka, ‘Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!’
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, ‘Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!’
Tamlikha menukas, ‘Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?’
‘Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,’ jawab mereka.
‘Tidak!’ sangkal Tamlikha. ‘Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!’
Teman-teman Tamlikha menyahut, ‘Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?’
‘Lantas apa yang kalian inginkan?’ Tamlikha balik bertanya.
‘Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,’ jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!’
Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.
Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata, ‘Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu.’
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula, ‘Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.’
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab, “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
Berikut 40 pertanyaan yang pernah dijawab Ali bin Abi Thalib:

1- Bilangan berapakah yang dapat dibagi 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9?
Imam Ali dalam keadaan menunggang kuda segera menjawab: “Kalikanlah hari-hari tahun dengan hari-hari minggu” ketika itu beliau as mengendalikan kudanya dan pergi.
Penjelasan ucapan Imam Ali as: Jika 360 (yang pada waktu itu masyhurnya adalah hari-hari tahun berjumlah 360) kita kalikan 7 (hari-hari minggu), maka hasil pengaliannya akan berjumlah 2520, yakni:
360 x 7 = 2520
Bilangan tersebut dapat dibagi 2 karena bilangan genap. Dapat dibagi 3 karena jumlah angka-angkanya akan berlipat 9 sementara bilangan 9 dapat dibagi 3, maka 2520 juga dapat dibagi 4 karena 20 yang adalah dua angka sebelah kanan bilangan dapat dibagi 4. Maka bilangan ini dapat dibagi 4 dan oleh karena bilangan ini diakhiri dengan 0 maka dapat juga dibagi 5 dan karena dapat dibagi 2 dan 3, maka dapt juga dibagi 6 dan karena bilangan tersebut adalah hasil pengkalian 360 x 7 maka dapat dibagi 7 dan karena tiga angka sebelah kanannya dapat dibagi 8, maka bilangan ini menerima pembagian angka 8 dan karena jumlah angka-angka ini adalah bilangan 9 maka dapat juga dibagi 9 dan karena diakhiri dengan 0 maka dapat dibagi 10.
2- Siapakah orang yang melihat pada malam dan siang hari?
Amirul Mukminin Ali as dalam menjawab pertanyaan “Ibnu Kawwa’” berkata: Bertanyalah tentang hal yang bermanfaat bagimu dan janganlah engkau tanyakan pertanyaan-pertanyaan semacam ini yang tidak banyak berfaedah. [Dari sebagian pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada Imam Ali as ini juga menunjukkan kemazluman ilmiah dan kultural beliau as, bagaimana lautan ilmu tersebut tertimpa musibah orang-orang seperti ini yang tidak menanyakan hal-hal bersifat ilmiah, permasalahan-permasalahan serius dan menyelesaikan problema selain teka-teki dan soal-soal yang ketinggalan zaman]
Imam Ali dengan terpaksa [mungkin dengan maksud seperti ini bahwa agar mereka tidak mengatakan beliau as tidak mampu menjawab soal tersebut] berkata: Yang melihat pada malam dan siang hari adalah seorang yang beriman kepada para nabi-nabi terdahulu dan semasa dengan Nabi Islam saw serta menerima agama beliau saw [wujud nyata ucapan beliau as adalah “Sharamah bin Abi Anas”] dan yang melihat pada siang hari adalah seorang yang tidak beriman kepada para nabi terdahulu, semasa dengan Nabi Islam saw dan beriman kepada beliau saw [yang mayoritas sahabat dan kaum Muslimin permulaan Islam adalah wujud nyatanya] dan yang melihat pada malam hari dan buta pada siang hari adalah seorang beriman kepada para nabi sebelumnya akan tetapi tidak menerima agama Islam [yang di antara wujud nyatanya adalah Umayyah bin Shalt].
3- Putera manakah yang lebih besar dari ayahnya?
Beliau as menjawab: Ia adalah Uzair yang dihidupkan oleh Allah swt dan ia berusia 40 tahun sementara puteranya 110 tahun.
Keterangan: Ketika Uzair dengan kehendak Allah swt memejamkan mata untuk selamanya, ia berusia 40 tahun sementara puteranya ketika itu berusia 10 tahun dan setelah 100 tahun, Allah swt menghidupkannya kembali yang mana Uzair ketika itu sedikitpun tidak berbeda dari sisi jasmani dan raut muka dan berlalunya waktu tidak mempengaruhi badannya; oleh karena itu dari sisi dhahir puteranya lebih tua dan berusia 110 tahun akan tetapi sang ayahmenampakkan usia 40 tahun.
4- Berapakah ukuran diameter matahari?
Imam Ali as berkata: 900 mil dalam 900 mil.
Keterangan ucapan Imam Ali as: Jelas bahwa mil dalam Islam adalah 4000 dhira’[i](kubik). Jika ukuran dhira’ tangan normal kita bandingkan dengan inci dan kita ganti 4000 dhira’ dengan inci dan setelah itu kita rubah dengan yard dan mil (dengan istilah Eropa) maka kita akan lihat 810.000 mil Islam sama dengan ukuran yang dikatakan oleh para ahli dalam bidang orbit yaitu diameter matahari sama dengan 865.380 mil ukuran Eropa dan 1760 yard.
5- Dua bersaudara manakah yang terlahir dalam satu hari dan meninggal dunia pada hari yang sama akan tetapi usia salah satunya 50 tahun dan yang lain 150 tahun?!
Dalam menjawab pertanyaan ini Imam Ali as berkata: “Uzair dan saudaranya, Azrah” atau Aziz yang lahir pada hari yang sama dan Uzair meninggal dunia pada usia 100 sementara ketika ia kembali dihidupkan saudaranya sangat tua renta, namun ia masih berusia 50 tahun.
Catatan: Di dalam beberapa riwayat terjadi perbedaan pendapat apakah Uzair mengalami hal yang sangat menakjubkan ini pada usia 40 tahun atau pada 50 tahun? Yang tentu saja mana yang benar tidaklah penting dan yang menjadi kesepakatan umum dan ditegaskan oleh al-Quran adalah ia meninggal selama 100 tahun dan setelah itu dihidupkan kembali.
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) Telah roboh menutupi atapnya. dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri Ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, Kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman: “Sebenarnya kamu Telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi beubah; dan Lihatlah kepada keledai kamu (yang Telah menjadi tulang belulang); kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan kami bagi manusia; dan Lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, Kemudian kami menyusunnya kembali, Kemudian kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala Telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang Telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[ii]
6- Keadilan lebih baik atau kedermawanan?
Imam Ali as dalam menjawab pertanyaan ini berkata: “Keadilan” menempatkan hal-hal pada tempatnya, sementara kedermawanan mengambilnya keluar dari arah-arahnya; keadilan adalah pengurus umum sedang kedermawanan adalah manfaat khusus., maka keadilan lebih utama di antara keduanya.
7- Manakah tempat yang tidak memiliki kiblat?
Di dalam Ka’bah.
8- Manakah tempat terbaik dan paling suci yang shalat di atas atapnya tidak dianjurkan?
Ka’bah.
9- Apakah yang lebih besar dari langit?
Tuduhan terhadap orang yang tidak berdosa.
10- Apakah yang lebih luas dari bumi?
Kebenaran.
11- Apakah yang lebih dingin dari zamharir (dingin yang luar biasa)?
Kebutuhan seorang kepada orang yang bakhil.
12- Apakah yang lebih kaya dari laut?
Perut yang qana’ah (merasa cukup dengan hal yang sedikit).
13- Apakah yang lebih keras dari batu?
Hati orang kafir.
14- Apakah yang selalu berkurang akan tetapi tidak dapat bertambah?
Umur manusia.
15- Apakah yang selalu bertambah akan tetapi tidak berkurang? 
Air laut.
16- Apakah yang selalu bertambah dan berkurang? 
Bulatan dan cahaya bulan.
17- Apakah yang dari setiap penjurunya adalah mulut?
Api.
18- Apakah yang seluruhnya adalah “kaki”?
Air.
19- Apakah yang seluruhnya adalah “mata”?
Matahari.
20- Apakah yang sama dengan buah-buahan surga?
Al-Quran (karena setiap kali kita memanfaatkannya dan menggunakannya, ia tidak akan berkurang dan selalu memberikan kenikmatan kepada manusia dan senantiasa baru dan segar)
21- Siapakah orang yang tidak mengharapkan surga Allah swt?
Orang yang tergolong dari auliya’ (wali-wali) Allah swt yang beribadah kepada Allah swt tanpa mengharap surga dan takut neraka.
22- Apakah yang seluruhnya adalah “sayap”?
Angin.
23- Apakah yang tidak memiliki ruh akan tetapi menghembuskan nafas?
Subuh
“Dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing” [QS. At-Takwir (81): 18]
24- Siapakah yang di dalam shalatnya tidak rukuk dan sujud?
Seorang yang sedang mendirikan “shalat mayit”.
25- Siapakah yang mencintai “fitnah”?
Seorang yang mencintai harta benda dan anak-anaknya. (Sebagaimana diungkapkan dalam surat al-Anfal (8) ayat 28 mengenai mereka hal tersebut sebagai “fitnah atau ujian dan cobaan” dan bukan maksud artinya yang masyhur (kerusakan), dan Imam Ali as memperkenalkan orang tersebut dari kalangan wali-wali Allah swt.
26- Siapakah yang mendirikan shalat tanpa wudhu dan shalatnya sah?
Orang yang mendirikan shalat mayit.
27- Siapakah yang tidak berayah dan terlahir dengan mukjizat?
Nabi Isa as.
28- Siapakah orang yang tidak memiliki sanak keluarga sama sekali?
Nabi Adam as.
29- Pohon apakah yang pertama kali tumbuh di muka bumi?
Pohon kurma (Nabi Adam as membawa pohon kurma tersebut dari surga).
30- Apakah sumber air pertama bumi?
Sumber air kehidupan (Nabi Khidhir as meminum darinya dan memperoleh kehidupan kekal).
31- Apakah tiga hal yang tidak ada empatnya?
Talaq (karena dalam Islam seorang wanita tidak dapat ditalaq atau cerai lebih dari tiga kali secara beruntun dan setelah kali ketiga tidak dapat menikah dengan wanita tersebut kecuali wanita tersebut menikah dengan laki-laki lain dan ketika ditalaq maka wanita itu dapat menikah dengan suami sebelumnya).
32- Apakah yang pada masa hidupnya minum dan matinya makan?
Tongkat nabi Musa as (ketika masih berbentuk ranting di atas pohon minum atau menyerap air dan ketika menjadi tongkat nabi Musa as melahap atau makan ular-ular para tukang sihir istana Fir’aun).
33- Apakah perbedaan kebenaran dan kebatilan?
Empat jari (ditanyakan kepada Imam Ali as, apakah arti ucapan ini? Imam Ali as menyodorkan jari-jari dan mengangkatnya kemudian meletakkannya di antara telinga dan mata, kemudian berkata: Kebatilan adalah yang engkau katakan aku telah mendengar dan kebenaran adalah yang engkau katakan aku telah melihat).
34- Bagaimanakah rasa air?
Seperti rasa kehidupan.
35- Siapakah orang berakal?
Orang yang berakal adalah yang meletakkan segala sesuatu pada tempatya…
36- Bagaimana Allah swt akan menghakimi hamba-hamba-Nya yang banyak ini?
Sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada mereka semua.
37- Kapankah yang tidak termasuk siang dan malam hari?
Satu jam sebelum matahari terbit.
38- Daratan manakah yang disinari oleh matahari hanya sekejap?
Daratan yang muncul sekejap di sungai Nil (di Mesir) dan kaum nabi Musa as melaluinya.
39- Siapakah yang memakan bangkai?
Orang yang memakan ikan dan belalang.
40- Siapakah yang memakan darah (pemakan darah)?
Orang yang memakan hati.

Sebagai Khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat masa pemerintahannya, Pertempuran Basra. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Pertempuran Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya.
Ia ditikam oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan 661 M. Di detik-detik kematiannya, bibir beliau berulang-ulang mengucapkan “Lailahaillallah” dan membaca ayat, “Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarah. Waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah.” yang artinya, “Siapapun yang melakukan kebaikan sebiji atompun, dia akan mendapatkan balasannyanya, dan siapa saja melakukan keburukan meski sekecil biji atom, kelak dia akan mendapatkan balasannya.”
Beliau sempat pula mewasiatkan nasehat kepada keluarganya dan juga umat muslim. Di antaranya : menjalin hubungan sanak keluaga atau silaturrahim, memperhatikan anak yatim dan tetangga, mengamalkan ajaran Al-Qur’an, menegakkan shalat yang merupakan tiang agama, melaksanakan ibadah haji, puasa, jihad, zakat, memperhatikan keluarga Nabi dan hamba-hamba Allah, serta menjalankan amr maruf dan nahi munkar.
Ali menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.

Keluarga
Istri pertama yang dinikahi Ali adalah Fathimah binti Rasulullah SAW. Ia berkumpul dengannya setelah pulang dari peperangan Badar. Beliau memperoleh dua orang putera, al-Hasan dan al-Husain. Ada yang mengatakan putera ketiga beliau bernama Muhasin, namun meninggal dunia saat masih bayi. Beliau memperoleh dua orang puteri, yaitu Zainab al-Kubra dan Ummu Kaltsum al-Kubra yang kemudian dinikahi oleh Umar bin al-Khaththab . Ali tidak menikahi wanita lain di samping Fathimah hingga ia wafat enam bulan setelah wafatnya Rasulullah SAW. Setelah Fathimah wafat, Ali menikahi beberapa wanita, diantara istri-istrinya ada yang wafat pada saat beliau masih hidup, ada yang beliau ceraikan dan ketika wafat beliau meninggalkan empat istri.
* Di antara istri-istri beliau.
*  Ummul Banin binti Hizam. Hizam adalah Abul Muhill bin Khalid bin Rabi’ah bin al-Wahid bin Ka’ab bin Amir bin Kilab. Dari Ummul Banin beliau memperoleh empat orang putera, al-Abbas, Ja’far, Abdullah dan Utsman. Mereka semua terbunuh bersama saudara mereka, yakni al-Husein, di padang Karbala. Tidak ada generasi penerus keturunan ini kecuali al-Abbas.
*  Laila binti Mas’ud bin Khalid bin Malik dari Bani Tamim. Dari Laila beliau memperoleh dua orang putera, Ubaidullah dan Abu Bakar. Hisyam bin al-Kalbi berkata, “Keduanya juga terbunuh di padang Karbala. Menurut al-Waqidi, Ubaidullah dibunuh oleh Mukhtar bin Abi Ubaid pada peperangan al-Madzar.
*  Asma’ binti ‘Umais al-Khats’amiyyah, darinya beliau memperoleh dua orang putera: Yahya dan Muhammad al-Ashghar. Demikian dikatakan oleh Ibnul Kalbi.
Al-Waqidi mengatakan, “Beliau memperoleh dua orang putera darinya, Yahya dan ‘Aun, adapun Muhammad al-Ashghar berasal dari ummul walad (budak wanita).”
*  Ummu Habib32 binti Rabi’ah bin Bujair bin al-Abdi bin ‘Alqamah, ia adalah ummu walad (budak wanita) dari tawanan yang ditawan oleh Khalid bin Walid dari Bani Taghlib ketika ia menyerbu wilayah ‘Ainut Tamr. Darinya beliau memperoleh seorang putera bernama Umar -yang diberi umur panjang 85 tahun- dan seorang puteri bernama Ruqayyah.
*  Ummu Sa’id binti Urwah bin Mas’ud bin Mu’attib bin Malik ats- Tsaqafi, darinya beliau memperoleh dua orang puteri, Ummul Hasan dan Ramlah al-Kubra.
*  Binti Umru’ul Qais bin Ady bin Aus bin Jabir bin Ka’ab bin Ulaim bin Kalb al-Kalbiyah. Darinya beliau memperoleh seorang puteri. Suatu ketika Ali membawanya saat ia masih kecil ke masjid, ditanyakan kepadanya, “Siapakah bibimu?” Ia menjawab, “Hugh, hugh!” Maksudnya Bani Kalb.
*  Umamah binti Abil Ash bin ar-Rabi’ bin Abdil Uzza bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay, ibunya adalah Zainab binti Rasulullah SAW, dialah yang digendong oleh Rasulullah SAW dalam shalat, saat bangkit beliau menggendongnya dan saat sujud beliau meletakkannya. Darinya Ali memperoleh seorang putera bernama Muhammad al-Ausath.
*  Khaulah binti Ja’far bin Qais bin Maslamah bin Ubaid bin Tsa’lab bin Yarbu’ bin Tsa’labah. Ia ditawan oleh Khalid bin Walid pada masa kekha-lifahan Abu Bakar ash-Shiddiq pada peperangan melawan kaum murtad. Ia berasal dari Bani Hanifah. Kemudian ia diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Dari Khaulah ini Ali memperoleh seorang putera bernama Muhammad al-Akbar (lebih dikenal dengan sebutan Muhammad bin al-Hanafiyah). Di antara kaum Syi’ah ada yang menganggap beliau sebagai imam yang ma’shum. Ia memang termasuk tokoh kaum muslimin, namun bukanlah ma’shum, ayahnya juga tidak ma’shum bahkan orang yang lebih utama dari ayahnya, yaitu Khulafa’ur Rasyidin sebelum beliau, juga tidak ma’shum, wallahu a’lam.
Ali bin Abi Thalib memiliki banyak anak keturunan lainnya dari sejumlah ummu walad (budak wanita). Saat wafat beliau meninggalkan empat istri dan sembilan belas budak wanita. Di antara putera puteri beliau yang tidak diketahui nama ibunya adalah: Ummu Hani’, Maimunah, Zainab ash-Shughra, Ramlah ash-Shughra, Ummu Kaltsum ash-Shughra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummul Kiram, Ummu Ja’far, Ummu Salamah, Jumanah dan Nafisah.
Ibnu Jarir berkata, “Jumlah keseluruhan anak kandung beliau adalah empat belas orang putera dan tujuh belas orang puteri.”
Al-Waqidi berkata, “Generasi penerus Ali ada lima; al-Hasan, al-Husain, Muhammad bin al-Hanafiyah, al-Abbas al-Kilabiyah dan Umar bin at-Taghlibiyah.”
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah. Keturunan Ali sendiri dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah.

Kata-kata Mutiara Ali bin Abi Thalib:
Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak boleh mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari
Orang yang terlalu memikirkan akibat dari sesuatu keputusan atau tindakan, sampai bila-bilapun dia tidak akan menjadi orang yang berani.
Orang-orang yang suka berkata jujur mendapatkan tiga hal, kepercayaan, cinta, dan rasa hormat.
Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak.
Selemah-lemah manusia ialah orang yg tak mau mencari sahabat dan orang yang lebih lemah dari itu ialah orang yg mensia-siakan sahabat yg telah dicari.
Perkataan sahabat yg jujur lebih besar harganya daripada harta benda yg diwarisi darinenek moyang.
Orang yang tidak menguasai matanya, hatinya tidak ada harganya
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.
Nilai seseorang sesuai dengan kadar tekadnya, ketulusannya sesuai dengan kadar kemanusiaannya, keberaniannya sesuai dengan kadar penolakannya terhadap perbuatan jahat dan kesucian hati nuraninya sesuai dengan kadar kepekaannya terhadap kehormatan dirinya.
Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari

Penampakan di Media

Ali juga muncul di drama “Omar” dengan pemeran Ghanem Alzerla, seorang pemuda Tunisia. Juga ada beberapa gambarnya di situs-situs internet, contohnya adalah di atas dan sebagai berikut:

Tidak ada keterangan pasti tentang siapa yang telah melukisnya dan apakah gambar ini merupakan deskripsi tepat dari seorang Ali bin Abi Thalib.


3.KHALID BIN WALID : SANG PEDANG ALLAH YANG TAK TERKALAHKAN

“Jenderal Arab Muslim paling terkenal, Pedang Islam, sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid. Arsitek agung penaklukan Islam pertama di Abad ke-7.”

Itu adalah kata-kata dari Carole Hillenbrand, Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas of Edinburg untuk menggambarkan Khalid bin Walid.
Khalid ibn al-Walid (584642), atau sering disingkat Khalid bin Walid, adalah seorang panglima perang pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang termahsyur dan ditakuti di medan perang serta dijuluki sebagai Saifullah Al-Maslul (pedang Allah yang terhunus). Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang tidak terkalahkan sepanjang kariernya.
Khalid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum, suatu cabang dari suku Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk di antara keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah, bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya. Suatu hari pada masa kanak-kanaknya kedua saudara sepupu ini main adu gulat. Khalid dapat mematahkan kaki Umar. Untunglah dengan melalui suatu perawatan kaki Umar dapat diluruskan kembali dengan baik.
Ayah Khalid yang bernama Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum, adalah salah seorang pemimpin yang paling berkuasa di antara orang-orang Quraisy. Dia sangat kaya. Dia menghormati Ka’bah dengan perasaan yang sangat mendalam. Sekali dua tahun dialah yang menyediakan kain penutup Ka’bah. Pada masa ibadah Haji dia memberi makan dengan cuma-cuma bagi semua orang yang datang berkumpul di Mina.
Ketika orang Quraisy memperbaiki Ka’bah tidak seorang pun yang berani meruntuhkan dinding-dindingnya yang tua itu. Semua orang takut kalau-kalau jatuh dan mati. Melihat suasana begini Walid maju kedepan dengan bersenjatakan sekop sambil berteriak, “O, Tuhan jangan marah kepada kami. Kami berniat baik terhadap rumahMu”.
Suku Banu Makhzum mempunyai tugas-tugas penting. Jika terjadi peperangan, Banu Muhzum lah yang mengurus gudang senjata dan gudang tenaga tempur. Suku inilah yang mengumpulkan kuda dan senjata bagi prajurit-prajurit.
Tidak ada cabang suku Quraisy lain yang bisa lebih dibanggakan seperti Banu Makhzum. Ketika diadakan kepungan maut terhadap orang-orang Islam dilembah Abu Thalib, orang-orang Banu Makhzumlah yang pertama kali mengangkat suaranya menentang pengepungan itu.
Kekayaan ayahnya ini membuat Khalid bebas dari kewajiban-kewajibannya. Dia lebih leluasa dan tidak usah belajar berdagang. Dia tidak usah bekerja untuk menambah pencaharian orang tuanya. Kehidupan tanpa suatu ikatan memberi kesempatan kepada Khalid mengikuti kegemarannya. Kegemarannya ialah adu tinju dan berkelahi.
Saat itu pekerjaan dalam seni peperangan dianggap sebagai tanda seorang Satria. Panglima perang berarti pemimpin besar. Kepahlawanan adalah satu hal terhormat di mata rakyat.
Sebab itulah dia menceburkan dirinya kedalam seni peperangan dan seni bela diri. Malah mempelajari keahlian mengendarai kuda, memainkan pedang dan memanah. Dia juga mencurahkan perhatiannya kedalam hal memimpin angkatan perang. Bakat-bakatnya yang asli, ditambah dengan latihan yang keras, telah membina Khalid menjadi seorang yang luar biasa. Kemahiran dan keberaniannya mengagumkan setiap orang.
Pandangan yang ditunjukkannya mengenai taktik perang menakjubkan setiap orang. Dengan gamblang orang dapat melihat, bahwa dia akan menjadi ahli dalam seni kemiliteran.
Lama kelamaan Khalid menanjak menjadi pemimpin suku Quraisy. Pada waktu itu orang-orang Quraisy sedang memusuhi Islam. Mereka sangat anti dan memusuhi agama Islam dan penganut-penganut Islam.Itu menjadi bahaya bagi kepercayaan dan adat istiadat orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy sangat mencintai adat kebiasaannya. Sebab itu mereka mengangkat senjata untuk menggempur orang-orang Islam. Tunas Islam harus dihancurkan sebelum tumbuh berurat-berakar. Khalid sebagai pemuda Quraisy yang berani dan bersemangat berdiri di garis paling depan dalam penggempuran terhadap Islam. Hal ini sudah wajar dan seirama dengan kehendak alam.
Sejak kecil pemuda Khalid bertekad menjadi pahlawan Quraisy. Kesempatan ini diperolehnya dalam pertentangan-pertentangan dengan orang-orang Islam. Untuk membuktikan bakat dan kecakapannya ini, dia harus menonjolkan dirinya dalam segala pertempuran. Dia harus memperlihatkan kepada sukunya kualitasnya sebagai pekelahi.

Peristiwa Uhud
Kekalahan kaum Quraisy di dalam perang Badar membuat mereka jadi kegila-gilaan, karena penyesalan dan panas hati. Mereka merasa terhina. Rasa sombong dan kebanggaan mereka sebagai suku Quraisy telah meluncur masuk lumpur kehinaan. Arang telah tercoreng dimuka orang-orang Quraisy. Mereka seolah-olah tidak bisa lagi mengangkat dirinya dari lumpur kehinaan ini. Dengan segera mereka membuat persiapan-persiapan untuk membalas pengalaman pahit yang terjadi di Badar.
Sebagai pemuda Quraisy, Khalid bin Walid pun ikut merasakan pahit getirnya kekalahan itu. Sebab itu dia ingin membalas dendam sukunya dalam peperangan Uhud. Khalid dengan pasukannya bergerak ke Uhud dengan satu tekad menang atau mati. Orang-orang Islam dalam pertempuran Uhud ini mengambil posisi dengan membelakangi bukit Uhud.
Sungguhpun kedudukan pertahanan baik, masih terdapat suatu kekhawatiran. Dibukit Uhud masih ada suatu tanah genting, dimana tentara Quraisy dapat menyerbu masuk pertahanan Islam. Untuk menjaga tanah genting ini, Nabi menempatkan 50 orang pemanah terbaik. Nabi memerintahkan kepada mereka agar bertahan mati-matian. Dalam keadaan bagaimana jua pun jangan sampai meninggalkan pos masing-masing.
Khalid bin Walid memimpin sayap kanan tentara Quraisy empat kali lebih besar jumlahnya dari pasukan Islam. Tetapi mereka jadi ragu-ragu mengingat kekalahant-kekalahan yang telah mereka alami di Badar. Karena kekalahan ini hati mereka menjadi kecil menghadapi keberanian orang-orang Islam.
Sungguh pun begitu pasukan-pasukan Quraisy memulai pertempuran dengan baik. Tetapi setelah orang-orang Islam mulai mendobrak pertahanan mereka, mereka telah gagal untuk mempertahankan tanah yang mereka injak.
Kekuatannya menjadi terpecah-pecah. Mereka lari cerai-berai. Peristiwa Badar berulang kembali di Uhud. Saat-saat kritis sedang mengancam orang-orang Quraisy. Tetapi Khalid bin Walid tidak goncang dan sarafnya tetap membaja. Dia mengumpulkan kembali anak buahnya dan mencari kesempatan baik guna melakukan pukulan yang menentukan.
Melihat orang-orang Quraisy cerai-berai, pemanah-pemanah yang bertugas ditanah genting tidak tahan hati. Pasukan Islam tertarik oleh harta perang, harta yang ada pada mayat-mayat orang-orang Quraisy. Tanpa pikir panjang akan akibatnya, sebagian besar pemanah-pemanah, penjaga tanah genting meninggalkan posnya dan menyerbu kelapangan.
Pertahanan tanah genting menjadi kosong. Khalid bin Walid dengan segera melihat kesempatan baik ini. Dia menyerbu ketanah genting dan mendesak masuk. Beberapa orang pemanah yang masih tinggal dikeroyok bersama-sama. Tanah genting dikuasai oleh pasukan Khalid dan mereka menjadi leluasa untuk menggempur pasukan Islam dari belakang.
Dengan kecepatan yang tak ada taranya Khalid masuk dari garis belakang dan menggempur orang Islam dipusat pertahanannya. Melihat Khalid telah masuk melalui tanah genting, orang-orang Quraisy yang telah lari cerai-berai berkumpul kembali dan mengikuti jejak Khalid menyerbu dari belakang. Pemenang-pemenang antara beberapa menit yang lalu, sekarang telah terkepung lagi dari segenap penjuru, dan situasi mereka menjadi gawat.
Khalid bin Walid telah merobah kemenangan orang Islam di Uhud menjadi suatu kehancuran. Mestinya orang-orang Quraisylah yang kalah dan cerai-berai. Tetapi karena gemilangnya Khalid sebagai ahli siasat perang, kekalahan-kekalahan telah disunglapnya menjadi satu kemenangan. Dia menemukan lobang-lobang kelemahan pertahanan orang Islam.
Hanya pahlawan Khalidlah yang dapat mencari saat-saat kelemahan lawannya. Dan dia pula yang sanggup menarik kembali tentara yang telah cerai-berai dan memaksanya untuk bertempur lagi. Seni perangnya yang luar biasa inilah yang mengungkap kekalahan Uhud menjadi suatu kemenangan bagi orang Quraisy.

Memeluk Islam
Saat perjanjian perdamaian (Perjanjian Hudaibiyyah, Maret 628 M) berlangsung antara kaum muslimin dan kafir quraisy, sejarah mencatat bahwa nabi Muhammad berkata kepada Walid (saudara Khalid), “Seseorang seperti Khalid, pasti akan tertarik pada Islam“. Walid kemudian mengirim surat kepada Khalid, membujuknya masuk Islam. Khalid yang sebenarnya tidak terlalu mengidolakan berhala-berhala Ka’bah kemudian mengajak bicara Ikrimah bin Abu-Jahal – teman semasa kecilnya – yang menentang niatnya untuk masuk Islam.
Khalid kemudian diancam oleh Abu Sufyan yang hendak menyerangnya dengan penuh amarah, namun dihalangi oleh Ikrimah. “Sabar, Wahai Abu Sufyan, kemarahan Anda mungkin juga membawa saya untuk bergabung dengan Muhammad. Khalid bebas untuk mengikuti agama apa pun ia pilih“. Khalid sendiri membalas Abu Sufyan dengan menjawab bernada keras, “Demi Allah orang suka atau tidak, sungguh dia benar.”
Bulan May 629 M, Khalid menuju Madinah dan bertemu dengan Amru bin Ash dan Uthman bin Talha yang juga menuju Madinah untuk masuk Islam. Mereka tiba di Madinah pada 31 May 629 serta segera menuju rumah nabi Muhammad saw. Khalid kemudian diterima oleh sang kakak Walid bin Walid yang lebih dahulu masuk Islam.

Kehidupan Dalam Islam
Partisipasi pertama Khalid dalam membela Islam adalah perang Mut’ah. Dalam pertempuran ini, ia menjadi prajurit biasa bersama 3.000 pasukan Madinah lainnya menghadapi sekitar 200.000 pasukan Romawi Timur. Di tengah pertempuran yang berlangsung selama tujuh hari ini, ia ditunjuk untuk menjadi panglima karena tewasnya tiga panglima: Zayd bin Haritsah, Ja’far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Dengan perannya ini, pasukan Madinah bisa bertahan selama tujuh hari.
Ia mengubah posisi pasukan sayap kanan ke sayap kiri dan begitu juga sebaliknya. Ia lalu membariskan seluruh pasukannya dalam barisan yang amat panjang untuk memberikan kesan jumlah pasukannya lebih banyak. Ia juga memerintahkan pasukannya untuk membuat debu dan pasir beterbangan lebih dari yang seharusnya. Strateginya berjalan cukup sukses dengan timbulnya kewas-wasan dalam hati pasukan Romawi karena mengira pasukan Madinah menerima bantuan. Efek ini muncul karena mereka harus berhadapan dengan wajah baru setiap harinya. Khalid lalu dengan lebih mudah agak mengorientasikan pasukannya untuk selalu mundur sedikit demi sedikit. Pasukan Romawi mengira hal ini adalah jebakan untuk membuat mereka masuk ke gurun pasir Arab yang “kejam”. Hari ketujuh, perang berakhir dengan mundurnya kedua belah pihak. Dalam pertempuran ini, Khalid mematahkan sembilan pedangnya yang menunjukkan betapa intensifnya pertempuran antar kedua belah pihak. Karena kepemimpinannya dalam pertempuran ini juga, ia dijuluki Saifullah atau ‘Pedang Allah’ oleh Rasulullah SAW.
Hari-hari berikutnya, Khalid bin Walid tetap berada di barisan terdepan pembela panji Islam. Saat Fathu Makkah, Khalid bin Walid diserahi Rasulullah sebagai pemimpin pasukan yang bergerak dari arah dataran rendah Mekkah. Beliau bersama pasukan bergerak ke dalam kota dan tidak mendapat perlawanan berarti, kecuali dari sebagian orang Quraisy bodoh yang berhasil diatasi dengan mudah oleh pasukan Khalid bin Walid.
Pada perang Hunain, pasukan Muslimin dari suku Bani Salim berada di bawah komando Khalid bin Walid.
Khalid juga terlibat dalam Pertempuran Tabuk yang dipimpin langsung Nabi Muhammad saw. Khalid lalu dikirim ke wilayah Daumat-ul-Jandal dimana ia berjuang dan berhasil menangkap pangeran Arab Daumat-ul-Jandal, memaksa Daumat-ul-Jandal untuk menyerah.
Pada Januari 630 M, tahun ke 8 H, Khalid dikirim Rasullullah saw untuk menghancurkan berhala (jin ) Uzza. Seorang perempuan yang diklaim sebagai bentuk asli Uzza sukses dibunuh oleh Khalid.
Khalid juga dikirim oleh Rasulullah saw untuk mengajak banu Jadhima masuk Islam.
Pada 631 M Khalid bin Walid turut serta berpartisipasi dalam haji perpisahan Muhammad SAW. Dalam peristiwa ini, ia mengumpulkan beberapa rambut Muhammad SAW, sebagai peninggalan suci, yang akan menginspirasinya memenangkan pertempuran di masa mendatang.
Sepeninggal Rasulullah SAW, Khalid tetap setia di jalan Islam. Hari-harinya disibukkan dengan rihlah jihad, menyebarkan Islam ke penjuru Jazirah.

Era Khalifah Abu Bakar (632–634)
Pertempuran Riddah
Setelah kematian nabi Muhammad saw, banyak suku arab yang memberontak dan menolak kekuasaan Madinah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan untuk mengatasi pemberontakan dan mereka yang murtad. Khalid adalah salah satu penasehat utama Abu Bakar dan arsitek perencanaan strategis Pertempuran Riddah. Dia diberi komando atas brigade muslimin terkuat (terdiri dari pejuang pilihan muhajirin dan anshar) dan dikirim ke pusat arab, daerah yang paling strategis dan sensitif di mana suku pemberontak paling kuat tinggal. Daerah ini paling dekat dengan kubu muslim Madinah dan merupakan ancaman terbesar ke kota. Pertama-tama, Khalid berangkat ke suku-suku pemberontak Tayy dan Jalida, dimana Adi bin Hatim – seorang sahabat terkemuka Nabi Muhammad, dan seorang kepala suku dari suku Tayy – dikirim sebagai penengah. Kedua suku kemudian setuju kembali bergabung ke kekhalifahan.

Perjuangan Khalid dalam Pertempuran Riddah
Pada pertengahan September 632 M, Khalid mengalahkan Tulaiha, seorang pemimpin pemberontak yang mengaku sebagai nabi untuk menarik dukungan bagi dirinya sendiri. Kekuasaan Tulaiha hancur setelah pengikutnya yang tersisa dikalahkan di Pertempuran Ghamra. Khalid berikutnya bergerak menuju Naqra dan mengalahkan pemberontak suku Bani Salim dalam Pertempuran Naqra. Wilayah ini berhasil diamankan setelah Pertempuran Zafar bulan Oktober 632 dengan kalahnya Salma seorang perempuan yang memimpin sisa-sisa pembangkang murtad.

Kontroversi Pembunuhan Malik bin Nuwairah
Setelah wilayah sekitar Madinah, ibukota Islam, direbut kembali, Khalid memasuki Nejd, wilayah perkampungan dari suku banu Tamim. Banyak dari anggota suku banu Tamim yang bergegas untuk mengunjungi Khalid dan menyatakan tunduk kepada kekuasaan kekhalifahan. Tetapi suku banu Yarbu, di bawah pimpinan Malik bin Nuwairah, menolak menyerah. Malik kemudian memilih menghindari kontak langsung dengan pasukan Khalid dan memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar, dan ia dan keluarganya melarikan diri melintasi padang pasir.
Malik kemudian tertangkap oleh pasukan Khalid dan diserahkan kepada Khalid. Lalu diminta pertanggungjawaban mengenai “kejahatannya”. Malik kemudian mengatakan, “sahabat anda mengatakan ini, sahabat anda mengatakan bahwa…” merujuk kepada Abu Bakar, Khalid menyatakan bahwa Malik murtad dan pemberontak, lalu memerintahkan agar dia dieksekusi. Setelah eksekusi Malik, Khalid menikahi istrinya yang sangat cantik, Layla bint al-Minhal (Umm Tamim) di malam harinya. Kasus Malik bin Nuwairah ini memang penuh kontroversi karena Malik dan pengikutnya menyakini bahwa mereka masih muslim.
Abu Qatadah al-Anshari, seorang sahabat Muhammad, yang mendampingi Khalid sangat terkejut dengan perbuatan Khalid meng-eksekusi mati Malik dan menikahi istrinya. Dengan keadaan marah, ia segera kembali ke Madinah, dan melaporkan perbuatan Khalid kepada Khalifah Abu Bakar. Ia juga bersumpah tidak akan mau lagi berada dibawah komando Khalid yang telah membunuh seorang Muslim. Abu Bakar ternyata malah memuji Khalid dan kemenangan-kemenangannya dan tidak senang dengan sikap Abu Qatadah.

Kemarahan Umar Terhadap Perbuatan Khalid
Kecewa dengan reaksi Abu Bakar, lantas Abu Qatadah mengadu kepada Umar bin Khattab. Umar ternyata sependapat dengan Abu Qatadah bahwa Khalid mengampangkan hukum Allah. Umar segera menemui Abu Bakar, meminta agar Khalid dipecat. “Pedang Khalid itu sangat tergesa-gesa dan harus ada sanksinya.” ujar Umar. “Ah Umar! Dia sudah membuat pertimbangan tapi salah. Jangan mengatakan yang bukan-bukan tentang Khalid.” jawab Abu Bakar. Namun Umar bersikeras agar Khalid diberi sanksi. “Umar! Aku tak akan menyarungkan pedang yang oleh Allah sudah dihunuskan kepada orang-orang kafir!” kata Abu Bakar kesal.
Abu Bakar akhirnya memanggil Khalid bin Walid ke Madinah untuk dimintai pertanggungjawaban. Tatkala Khalid tiba dari medan perang, Umar lantas menemuinya dan memarahinya “Anda musuh Allâh! Kau membunuh seorang Muslim dan kemudian menikahi istrinya. Demi Allâh, sungguh akan kurajam engkau dengan batu!” Namun Abu Bakar kembali membela Khalid.

Pertempuran Yamamah
Setelah insiden Malik, Abu Bakar mengirim Khalid untuk menghancurkan ancaman paling berbahaya bagi negara Islam yang baru lahir. Yakni Musailimah, pemimpin banu Hanifah yang mengaku sebagai nabi, dan sudah mengalahkan dua pasukan muslimin. Pada minggu ketiga bulan Desember 632, Khalid meraih kemenangan yang menentukan melawan Musailimah pada Pertempuran Yamamah. Musailimah tewas dalam pertempuran itu. Setelah peristiwa ini, hampir semua pemberontakan suku-suku berhasil ditumpas dalam Pertempuran Riddah yang berlangsung selama sekitar setahun.

Invasi Ke Wilayah Kekaisaran Persia
Setelah masalah pemberontakan selesai, dan penduduk Arab kembali bersatu dalam panji Islam. Abu Bakar khawatir melihat wilayah Islam yang terjepit diantara 2 kekaisaran besar (Persia dan Romawi Bizantium) lantas memutuskan untuk menyerang Persia dan Romawi. Khalid kemudian dikirim untuk memerangi Kekaisaran Persia dengan pasukan yang terdiri dari 18.000 sukarelawan untuk menaklukkan provinsi terkaya kekaisaran Persia, wilayah sungai Efrat Mesopotamia yang lebih rendah, (Irak).
Khalid dengan cepat meraih empat pertempuran berturut-turut. Pertempuran Chains, berperang pada bulan April 633, Pertempuran Sungai, bertempur di minggu ketiga bulan April 633, Pertempuran Walaja, berperang Mei 633 dan Pertempuran Ullais, bertempur di pertengahan bulan Mei 633. Pada minggu terakhir bulan Mei 633, Al-Hira, ibu kota daerah Mesopotamia rendah, jatuh ke tangan Khalid. Penduduk Mesopotamia rendah (Irak) memilih berdamai dengan membayar jizyah (upeti) setiap tahun serta setuju untuk memberikan informasi intelijen bagi pasukan muslimin. Setelah beristirahat pasukannya, pada bulan Juni 633. Khalid mengepung Anbar yang meskipun mendapat perlawanan sengit berhasil direbut pada bulan Juli 633. Khalid kemudian bergerak ke arah selatan, dan menguasai Tamr Ein ul pada minggu terakhir bulan Juli, 633.
Sekarang, hampir semua Mesopotamia rendah, (wilayah utara Efrat), berada di bawah kendali Khalid. Sementara itu, Khalid menerima permintaan permohonan bantuan dari Ayaz bin Ghanam di wilayah Daumat-ul-Jandal. Agustus 633, Khalid pergi ke Daumat-ul-Jandal dan mengalahkan para pemberontak dalam Pertempuran Daumat-ul-Jandal, menguasai benteng kota. Dalam perjalanan kembali ke Mesopotamia, Khalid dikabarkan telah melakukan perjalanan rahasia ke Mekah untuk berpartisipasi dalam haji.
Setelah kembali dari Arab, Khalid menerima informasi intelijen bahwa adanya pasukan Persia dalam jumlah besar dibantu orang Kristen Arab. Pasukan besar ini terbagi dalam empat kamp-kamp yang berbeda di wilayah Efrat, di Hanafiz, Zumail, Saniyy dan terbesar berada di Muzayyah. Khalid memilih menghindari pertempuran langsung melawan mereka semua. Lantas memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan setiap kamp-kamp dalam serangan malam hari terpisah dari tiga sisi. Dia membagi pasukannya dalam tiga unit, dan menyerang pasukan Persia dalam serangan terkoordinasi dari tiga arah yang berbeda pada malam hari, dimulai dari Pertempuran Muzayyah, maka Pertempuran Saniyy, dan akhirnya Pertempuran Zumail pada bulan November 633 Masehi.

Perjuangan Khalid dalam Pembebasan Irak
Setelah serangkaian kemenangan, sampailah Khalid dan pasukannya di Firaz yaitu perbatasan Irak dengan Syam. Dalam pertempuran terakhir Khalid di wilayah Persia ini, bersama pasukannya Khalid menghadapi pasukan gabungan Romawi, Persia dan Kristen Arab dalam pertempuran yang dikenal sebagai Pertempuran Firaz. Ketika Khalid sedang dalam perjalanan untuk menyerang Qadissiyah, sebuah benteng kunci menuju Ctesiphon, ia menerima surat dari Abu Bakar yang memerintahkannya untuk menuju Romawi Bizantium di Suriah dengan maksud membebaskan Syam.

Invasi Ke Wilayah Timur Kekaisaran Romawi Bizantium
Setelah sukses menaklukan provinsi Persia – Sassanid Irak, Khalifah Abu Bakar mengirim sebuah ekspedisi untuk menyerang Levant (Romawi Suriah). Invasi ini akan dilaksanakan oleh empat pasukan dari empat arah berbeda. Bizantium menanggapi ancaman ini dengan menempatkan pasukan-pasukannya saling berhadapan dengan masing-masing pasukan muslimin. Bizantium juga memusatkan pasukan mereka di Ajnadyn (suatu tempat di Palestina, mungkin al-Lajjun). Langkah pasukan muslim tertahan di wilayah perbatasan, disebabkan kekuatan besar di pihak Romawi Bizantium. Tentara muslimin tidak lagi bebas untuk bergerak ke Suriah pusat atau utara. Kekuatan pasukan muslimin tampaknya terlalu kecil melawan ancaman pasukan Bizantium dalam jumlah besar, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, komandan Muslim bagian depan Suriah, meminta bala bantuan dari Khalifah. Abu Bakar menanggapinya dengan mengirimkan bala bantuan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, dari Irak. Khalid yang ingin melanjutkan perjuangannya membebaskan Persia merasa kesal. Khalid curiga bahwa perintah Khalifah karena saran Umar bin Khattab.
Ada dua rute menuju Suriah dari Irak, salah satunya melalui Daumat-ul-Jandal (sekarang dikenal sebagai Skaka) dan yang lainnya adalah melalui Mesopotamia melewati Ar-Raqqah. Karena pasukan Islam di Suriah yang membutuhkan bantuan secepatnya, Khalid menghindari rute konvensional ke Suriah melalui Daumat-ul-Jandal karena jauh dan akan memerlukan beberapa minggu untuk mencapai Suriah. Dia juga menghindari rute Mesopotamia karena kehadiran pasukan Romawi di Suriah utara dan Mesopotamia. Berperang dengan mereka pada saat pasukan muslimin sedang terkepung di Suriah, juga berarti akan terjadi pertempuran di dua front. Khalid memilih rute yang tidak terlalu jauh ke Suriah, jalur yang tidak biasa dilalui, yakni Gurun Suriah. Ia berjalan bersama pasukannya melintasi gurun, di mana secara tradisi diperkirakan prajuritnya akan berjalan selama dua hari tanpa setetes minum, sebelum mencapai sumber air di oasis. Khalid memecahkan masalah kekurangan air dengan menggunakan metode suku Badui. Unta yang diberi minum air yang banyak, setelah unta tersebut sebelumnya dibuat sedemikian haus, sehingga akan mendorong unta untuk minum banyak air pada satu waktu. Beberapa ekor unta kemudian juga dibedah perutnya guna diambil kantong airnya untuk memberi minum kuda-kuda. Cara ini terbukti efektif bagi pasukan muslim saat melintasi gurun.
Khalid memasuki Suriah pada bulan Juni 634 dan dengan cepat merebut benteng perbatasan dari Sawa, Arak, Palmyra, al-Sukhnah (Qaryatayn dan Hawarin direbut setelah Pertempuran Qarteen dan Pertempuran Hawarin). Setelah menundukkan kota-kota ini, Khalid bergerak menuju Bosra, sebuah kota dekat perbatasan Suriah-Arab dan ibukota kerajaan Ghassanid Arab, pengikut dari Kekaisaran Romawi Timur. Dia menuju arah Damaskus melewati gunung yang kini dikenal sebagai “Sanita-al-Uqab” (“jalan tembus Uqab”) dinamai demikian karena pasukan Khalid mengibarkan al-Uqab, bendera Rasulullah. Dalam perjalanan di Maraj-al-Rahat, Khalid melewati tentara Ghassanid Kristen Arab dan terjadi pertempuran singkat yang dikenal sebagai Pertempuran Marj al-Rahit.
Dengan kabar kedatangan Khalid, Abu Ubaidah memerintahkan Syurahbil bin Hasanah, salah satu dari empat komandan pasukan muslimin, untuk menyerang kota Bosra. Pasukan Syurahbil bin Hasanah yang kalah jumlah, ditertawakan oleh pasukan Romawi Byzantium dan Kristen Arab yang berpikir akan mudah mengalahkannya, namun tanpa mereka duga pasukan Khalid tiba dari gurun dan menyerang sisi belakang pasukan Romawi Bizantium, menyelamatkan Shurhabil dari kekalahan. Pasukan musuh lantas mundur ke benteng kota. Abu Ubaidah bergabung bersama Khalid bin Walid di Bosra. Kemudian Khalid, sesuai instruksi dari khalifah, mengambil alih komando tertinggi. Benteng Bosra menyerah pada pertengahan Juli 634, efektif mengakhiri dinasti Ghassanid. Setelah merebut Bosra, Khalid memerintahkan semua pasukan untuk bergabung dengannya di Ajnadayn, di mana mereka berjuang dalam pertempuran menentukan melawan Bizantium tanggal 30 Juli 634. Sejarawan modern menganggap pertempuran ini adalah pertempuran paling menentukan dalam mengakhiri kekuasaan Bizantium di Suriah.
Akibat kekalahan di Pertempuran Ajnadayn, wilayah kiri Suriah rentan terhadap tentara muslim. Sekarang, Khalid bin Walid memutuskan untuk merebut Damaskus, benteng Bizantium. Di Damaskus, Thomas, anak angkat Heraklius Kaisar Byzantium, yang bertanggung jawab atas pertahanan kota, mendapat informasi intelijen, bahwa pasukan Khalid bergerak menuju Damaskus, ia mempersiapkan pertahanan kota. Dia menulis kepada Kaisar Heraklius, yang pada saat itu di Emesa, untuk mengirim bala bantuan. Selain itu, Thomas, dalam rangka untuk menunda atau menghentikan pergerakan pasukan Khalid mengirimkan pasukannya untuk bergerak maju. Dua pasukannya dikirim. Yang pertama di Yaqusa pada pertengahan bulan Agustus dan yang lainnya di Maraj as-Saffer pada tanggal 19 Agustus. Sementara itu, sebelum bala bantuan Heraklius mencapai Damaskus, Khalid mengisolasi Damaskus dengan menempatkan detasemen selatan di jalur Palestina dan di utara di jalur Damaskus dengan Emesa, dan beberapa detasemen lain yang lebih kecil pada rute menuju Damaskus. Bala bantuan Heraklius dicegat dan diserang oleh pasukan Khalid di Pertempuran Sanita-al-Uqab, 30 km dari Damaskus.
Khalid memimpin serangan dan menaklukkan Damaskus pada tanggal 18 September 634 setelah pengepungan selama 30 hari. Menurut beberapa sumber, pengepungan ini berlangsung selama sekitar empat atau enam bulan. Kaisar Heraklius yang menerima berita jatuhnya Damaskus, berangkat ke Antiokhia dari Emesa. Kavaleri muslimin di bawah Khalid menyerang pasukan Bizantium dari Damaskus yang juga menuju ke Antiokhia, menyusul mereka menggunakan jalan pintas yang tidak diketahui, dalam Pertempuran Maraj-al-Debaj, 150 kilometer sebelah utara Damaskus.
Abu Bakar meninggal selama pengepungan Damaskus dan Umar menjadi khalifah baru.

Era Khalifah Umar Bin Khattab (634–644)
Langkah pertama Umar adalah membebastugaskan Khalid dari komando tertinggi pasukan muslimin dan mengangkat Abu Ubaidah sebagai komandan baru pasukan muslimin. Hubungan antara Khalid dengan Umar telah menegang sejak insiden Malik bin Nuwairah. Akibatnya terjadi krisis kepercayaan antara keduanya. Sosok Khalid yang tak terkalahkan, membuat Umar khawatir seandainya kaum muslimin melupakan fakta bahwa semua kemenangan ini karena pertolongan Allah.
Umar menjelaskan alasannya memecat Khalid mengatakan: “Saya tidak memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena semua orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya percaya kepadanya dan hanya akan berkorban untuknya. Maka saya ingin mereka tahu bahwa Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah.”
Ketika Abu Ubaidah datang, Khalid berkata, “telah datang kepada kalian kepercayaan ummat ini. Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Kepercayaan ummat ini adalah Abu Uabidah bin Jarhah.” Abu Ubaidah menimpali, “Saya juga mendengar Rasulullah SAW bersabda”Khalid adalah pedang diantara pedang Allah, dialah sebaik-baik pemuda dalam keluarga.”
Setelah menerima surat tentang pencopotan dirinya dari kedudukan sebagai panglima perang yang kemudian digantikan oleh Abu Ubaidah, dengan hati lapang Khalid bin Walid pun menyerahkan kepemimpinan tersebut kepada sahabat mulia Abu Ubaidah. Selanjutnyabeliau bertempur dengan penuh semangat sebagai anggota pasukan. Abu Ubaidah yang seorang pengagum Khalid, memberinya komando kavaleri dan menjadikannya sebagai penasihat militer.
Melihat semangat juang Khalid yang tak pernah kendur meskipun kedudukannya dicopot, sebagian orang menanyakan kepada beliau mengapa beliau tidak sakit hati dan tetap bersemangat berjihad padahal tanpa ada satu kesalahanpun? Dengan tenang beliiau menjawab,”Saya berjihad karena mengharap ridho Rabbnya Umar , bukan karena Umar.”
Rupanya, kuatnya keikhlasan itulah yang menjadikan Khalid bin Walid tidak luntur semangat jihadnya, baik saat menjadi panglima maupun saat menjadi pasukan biasa. Beliau tidak peduli dengan semua itu, yang penting Allah meridhoinya. Jadi, di mana pun posisinya, selama masih bisa ikut berperang, stamina Khalid tetap prima. Itulah nilai ikhlas yang ingin dipegang seorang sahabat Rasulullah seperti Khalid bin Walid.
Aksi heroik Khalid sangat membantu Abu Ubaidah dalam Penaklukan Levant Tengah, Pertempuran Emesa, Pertempuran Damaskus bagian kedua, Pertempuran Yarmuk, Penaklukan Yerusalem, Penaklukan Suriah Utara dan Perjalanan ke Armenia dan Anatolia.
Ada kisah unik pada perang Yarmuk, dimana salah seorang panglima Romawi yang bermana George memanggil Khalid bin Walid. Kedua orang panglima itu saling mendekat sampai kedua kepala kuda mereka saling bertemu. Kepada Khalid, George bertanya: “Wahai Khalid, aku meminta kamu berbicara dengan jujur dan jangan berdusta sedikitpun, kerana Tuhan Yang Maha Mulia tidak pernah berdusta, dan jangan pula kamu menipuku, karana sesungguhnya orang yang beriman itu tidak akan berdusta di sisi Allah.”
“Tanyalah apa yang ingin engkau tanyakan,” kata Khalid.
“Apakah Allah menurunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW sebuah pedang dari langit kemudian diberikannya kepadamu sehingga jika kamu pakai pedang itu untuk berperang, pasti kamu akan menang?”
“Tidak!” Jawab Khalid.
“Apakah sebabnya kamu digelar dengan Saifullah (Pedang Allah)?” Tanya George.
Khalid menjawab: “Ketika Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW, seluruh kaumnya sangat memusuhinya termasuk juga aku, aku adalah orang yang paling membencinya. Setelah Allah SWT memberikan hidayah-Nya kepadaku, maka aku pun masuk Islam. Ketika aku masuk Islam Rasulullah SAW menerimaku dan memberi gelaran kepadaku “Saifullah” (pedang Allah).”“Jadi tujuan kamu berperang ini untuk apa?” Tanya George. “Kami ingin mengajak kamu supaya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah dan kami juga ingin mengajak kamu untuk mempercayai bahwa segala apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW itu adalah benar.” Jawab Khalid.
George bertanya: “Apakah hukumannya bila orang itu tidak mau menerimanya?” Jawab Khalid: “Hukumannya adalah harus membayar jizyah, maka kami tidak akan memeranginya.”
“Bagaimana kalau mereka tidak mau membayar?” Tanya George.
“Kami akan mengumumkan perang kepadanya,” kata Khalid bin Walid.
George bertanya: “Bagaimanakah kedudukannya jika orang masuk Islam pada hari ini?”
Khalid menjawab: “Di hadapan Allah SWT, kita akan sama semuanya, baik dia orang yang kuat, orang yang lemah, yang dahulu maupun yang kemudian masuk Islam.”
“Apakah orang dahulu masuk Islam kedudukannya akan sama dengan orang yang baru masuk?” Tanya George.
Khalid menjawab: “Orang yang datang kemudian akan lebih tinggi kedudukannya dari orang yang terdahulu, sebab kami yang terlebih dahulu masuk Islam, menerima Islam itu ketika Rasulullah SAW masih hidup dan kami dapat menyaksikan turunnya wahyu kepada baginda. Sedangkan orang yang masuk Islam kemudian tidak menyaksikan apa yang telah kami saksikan. Oleh kerana itu siapa saja yang masuk Islam yang datang terakhir maka dia akan lebih mulia kedudukannya, sebab dia masuk Islam tanpa menyaksikan bukti-bukti yang lebih meyakinkannya terlebih dahulu.”
George bertanya: “Apakah yang kamu katakan itu benar?”
“Demi Allah, sesungguhnya apa yang aku katakan itu adalah benar,”jawab Khalid.
George berkata: “Kalau begitu aku akan percaya kepada apa yang kamu katakan itu, mulai saat ini aku bertaubat untuk tidak lagi memusuhi Islam dan aku menyatakan diri masuk ke dalam agama Islam, wahai Khalid tolonglah ajarkan aku tentang Islam.”
Lalu Khalid bin Walid membawa George ke dalam khemahnya, kemudian menuangkan air ke dalam timba untuk menyuruh George bersuci dan mengerjakan solat dua rakaat.
Ketika Khalid bersama dengan George masuk ke dalam khemah, maka tentara Romawi mengadakan serangan besar-besaran terhadap pertahanan umat Islam. Setelah selesai mengerjakan solat, maka Khalid bin Walid bersama dengan George dan kaum Muslimin lainnya meneruskan peperangan sampai matahari terbenam dan di saat itu kaum Muslimin mengerjakan solat Dzuhur dan Asar dengan isyarat saja.
Dalam pertempuran itu, George yang telah bergabung dengan barisan kaum Muslimin itu terbunuh, dan dia hanya baru mengerjakan solat dua rakaat bersama dengan Khalid bin Walid. Walaupun demikian, ia telah menyatakan keislamannya dan berjanji untuk tidak akan kembali lagi kepada agama lamanya.

Pemecatan Khalid bin Walid Dari Kemiliteran
Khalid bin Walid, sekarang, berada di puncak karir, ia terkenal dan dicintai oleh anak buahnya, bagi kaum muslimin dia adalah seorang pahlawan nasional, publik mengenalnya sebagai Saifullah – “Pedang Allah”. Ketenarannya tampak membuat risau Khalifah Umar, yang khawatir bila Khalid dibiarkan terus semaunya suatu hari ia akan mencapai puncak kesombongan dan kezalimannya, tak lagi peduli dengan perintah Khalifah. Karena itu Umar membutuhkan alasan untuk mengambil tindakan hukum terhadap Khalid. Dia menemukan satu alasan seperti ketika Khalid, selama tinggal di Amid, Armenia, mandi dengan dengan zat tertentu yang mengandung khamr. Umar dalam suratnya kepada Khalid menanyakan perihal ini. Khalid menjawab, “Kami sudah menolaknya tetapi bahan pembersih tak ada selain khamr.”
Khalid juga diduga membayar Asy’as bin Qais, seorang penyair dan pahlawan perang Persia untuk membacakan puisi yang memujinya dengan bayaran sebesar 10.000 dirham yang diduga menggunakan kas negara. Karena itu Umar menuduhnya menyalahgunakan keuangan negara. Umar kemudian menulis surat kepada Abu Ubaidah supaya memanggil Khalid, dan mengikatnya dengan serbannya serta melepaskan qalansuwah-nya (topi kebesaran) sampai terungkap pemberiannya kepada Asy’as bin Qais. Dari harta sendiri atau dari harta rampasan perang. Kalau dia mengatakan itu adalah harta rampasan perang, maka itu adalah bukti pengkhianatannya. Dan bila dia mengatakan itu dari hartanya sendiri maka itu berarti pemborosan. Bagaimanapun juga ia mendapat perintah memecat Khalid bin Walid.
Abu Ubaidah yang mengagumi Khalid dan menghormati Khalifah Umar pun menjadi kebingungan. Bagaimanapun juga, Khalid akhirnya dipanggilnya namun untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kurir Umar (yakni muadzin Nabi, Bilal). Dihadapan pasukannya Khalid naik ke atas mimbar, lalu Bilal pun menanyakan asal muasal hadiah pemberian kepada Asy’as bin Qais. Khalid menyatakan bahwa itu semua dari hartanya sendiri. Kejadian ini membuat Khalid marah dan merasa dipermalukan.
Kemudian Khalid pun mengunjungi Abu Ubaidah yang lantas memberitahunya bahwa dirinya dipecat atas perintah Khalifah Umar bin Khattab, dan diminta kembali ke Medinah. Di Medinah, dalam keadaan marah Khalid menemui Umar dan menyatakan protes terhadap perlakuan yang tidak adil kepadanya. Umar lalu menenangkannya dengan berkata, “Apa yang telah anda telah lakukan dan tidak ada seorang pun yang melakukan seperti yang anda lakukan. Tapi ini bukan tentang orang yang melakukan, Allah-lah yang melakukan….”
Kurang dari empat tahun setelah pemecatannya, Khalid meninggal dan dikuburkan di 642 di Emesa, di mana ia tinggal sejak pemecatannya dari kemilteran. Makamnya sekarang merupakan bagian dari sebuah masjid bernama Masjid Khalid bin al-Walid. Nisan Khalid menggambarkan daftar lebih dari 50 pertempuran yang ia menangi tanpa kekalahan (tidak termasuk pertempuran kecil).
Ketika mendengar bahwa Khalid bin Walid pun dipanggil oleh Sang Khaliq, Umar bin Khathab menangis. Bukan karena menyesal telah mengganti Khalid. Tapi ia sedih karena tidak sempat mengembalikan jabatan Khalid sebelum akhirnya “Si Pedang Allah” menempati posisi khusus di sisi Allah SWT.

Keluarga
Tidak diketahui berapa banyak anak yang dimiliki Khalid, namun tiga putra dan seorang putri tercatat dalam sejarah.
Sulaiman bin Khalid
Abdulrehman bin Khalid
Muhajir bin Khalid
Sulaiman bin Khalid (putra tertua), tewas dalam penaklukan Mesir, Muhajir bin Khalid meninggal dalam Pertempuran Siffin saat berperang di sisi Khalifah Ali dan Abdulrehman bin Khalid menjadi Gubernur Emesa saat pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan serta berpartisipasi dalam Pertempuran Siffin sebagai salah satu jenderal dari Muawiyah I, ia juga bagian dari pasukan Umayyah yang mengepung Konstantinopel pada tahun 664. Abdulreman kemudian akan ditunjuk sebagai penerus dari Khalifah Muawiyah, tetapi menurut beberapa narasi (Kemungkinan besar dari Sumber Syiah) ia diracun oleh Muawiyah, karena Muawiyah ingin membuat anaknya Yazid I menjadi penggantinya. Garis keturunan laki-laki dari Khalid diyakini telah berakhir dengan cucunya, Khalid bin Abdur-Rahman bin Khalid.

Kata-kata Mutiara Khalid bin Walid
• Apakah kamu melihat sebuah ruang sebesar tangan di kaki, dada, dan lenganku yang tidak tertutupi oleh goresan-goresan akibat luka sabetan pedang, tusukan panah, atau tusukan tombak?
==> Khalid mengatakan ini pada seorang temannya beberapa hari sebelum ia wafat, empat tahun setelah pemberhentiannya dari pasukan.
• Jika kamu berada di awan, Allah akan mengangkat kami kepadamu atau menurunkan kamu kepada kami untuk berperang.
==> Khalid mengatakan ini pada pasukan Romawi ketika mereka mundur dari medan pertempuran Kota Chalcis yang berbenteng.
• Ketika aku berada di medan pertempuran, Aku lebih menyukainya daripada ketika aku berada di rumahku.
• Malam yang hujan ketika aku berdiri menggunakan baju zirah dengan pedang dan perisai di tanganku dan melihat lagi dan lagi ke arah timur, menunggu matahari terbit agar aku bisa memulai pertempuran.
==> Khalid mengatakan ini setelah diberhentikan dari pasukan oleh Khalifah Umar pada 638 M.
• Masuklah ke dalam Islam dan Kamu akan selamat. Atau bayarlah jizyah, dan Kamu dan kaummu akan kami lindingi, jika tidak, Kamu hanya akan mendapatkan dirimu bersalah atas konseuensinya, karena aku aka membawa kepadamu pasukan yang mencintai kematian seperti kamu mencintai kehidupan.
==> Surat ini ditulis oleh Khalid kepada Gubernur Persia untuk wilayah Mesopotamia sebelum menyerbunya.
• Ketika Allah memutuskan suatu permasalahan, itu pasti terjadi.
• Aku telah mendedikasikan hidupku menuju jalan Allah yang Maha Tinggi.
• Manusia mengharapkan sesuatu, tetapi Allah bermaksud melakukan yang lain.
• Bumi menghancurkan orang-orang bodoh, tetapi kepandaian menghancurkan bumi.
• Jika kamu jujur, kamu akan bertahan. Jika kamu berbohong, kamu akan musnah.
• Aku adalah bangsawan petarung, aku adalah Pedang Allah, aku Khalid ibn Al-Walid.
==> Ini adalah kalimat-kalimat terkenal yang biasa diucapkan Khalid di medan pertempuran.
• Aku adalah anak dari banyak kepala suku. Pedangku tajam dan mengerikan. Pedang ini adalah benda terkuat ketika periuk pertempuran telah mendidih dengan dahsyat. Aku adalah pilar Islam! Aku adalah Sahabat Nabi! Aku bangsawan petarung, Khalid ibn al-Walid!
• Aku akan memberimu tiga hari, jika gerbang-gerbang tidak dibuka dalam masa tersebut, aku akan menyerang. Dan nanti tidak akan ada lagi kesempatan seperti ini.
• Aku adalah anak al-Walid! Ada yang ingin berduel?
• Demi imanku, air ini akan pergi ke sisi pasukan yang tabah dan lebih pantas mendapatkannya.
==> Khalid mengatakan ini pada sebelum Pertempuran Walaj yang menentukan, ketika pasukan Islam kehabisan air.
• Oh Tuhan! Jika Engkau memberi kami kemenangan, Aku tidak akan melihat satu pun petarung musuh yang hidup sampai sungai mereka mengalir bersama darah mereka!
==> Khalid mengatakan ini pada saat Pertempuran Ullais yang juga dikenal dengan sebutan Pertempuran Sungai Darah.
• Pada Pertempuran Mu’tah, aku mematahkan sembilan pedangku. Tetapi aku tidak pernah menemui musuh seperti orang-orang Persia. Dan di antara orang-orang Persia, aku tidak pernah bertemu dengan musuh seperti pasukan dalam Pertempuran Ullais.
==> Khalid mengucapkan ini sebagai penghormatannya pada prajurit-prajurit Persia yang sangat berani dalam Pertempuran Ullais yang berdarah.
• Tunggulah sebentar; akan datang kepadamu gunung-gunung yang membawa singa-singa dengan baju baja mengkilap, batalion yang diikuti oleh batalion-batalion lainnya.
==> Surat ini ditulis kepada Ayaz bin Ghanam yang meminta pasukan bantuan ketika mereka bertempur dengan beberapa suku Arab pemberontak di utara Arab.
• Aku tahu bahwa orang-orang ini tidak tahu apa-apa tentang perang.
==> Khalid berkata tentang orang-orang Persia dan Arab Kristen yang baru direkrut oleh pasukan Persia setelah Khalid menganalisis pengepungan An al Tamar di Iraq.
• Kita akan mengambil rute ini; jangan biarkan ketetapan hati kalian melemah. Ketahuilah bahwa pertolongan Allah datang sesuai dengan keinginanmu. Jangan ada yang ditakutkan oleh orang-orang Islam selama mereka mendapat pertolongan Allah.
==> Khalid mengatakan ini pada salah satu panglima bawahannya yang mencoba menghentikannya untuk mengambil rute jalan berbahaya menuju ke Syams dari Iraq melewati Gurun Syams. Panglima itu berkata, ”Kamu tidak bisa mengambil rute inidengan sebuah pasukan. Demi Allah, bahkan seorang yang melakukan perjalanan seorang diri akan mencobanya dengan mengetahui resiko bagi kehidupannya. Perjalanan itu akan membutuhkan lima hari yang penuh kesulitan yang ekstrem tanpa satu tetes pun air dan bahaya tersesat di gurun setiap saat.”
• Jika bukan demi kepentingan mematuhi perintah dari khalifah, aku tidak akan pernah menerima perintah ini. Kamu jauh lebih tinggi dariku dalam Islam. Aku adalah Sahabat Nabi, tetapi kamu adalah seseorang yang dipanggil Rasulullah “yang dipercaya oleh bangsa ini”.
==> Khalid mengatakannya kepada Abu Ubaydah ibn al-Jarrah ketika Khalid mendapat perintah untuk mengambil alih pimpinan seluruh pasukan di Syams, dan sebagai jawaban dari Abu Ubaydah, “Aku telah menerima surat dari Abu Bakr yang menunjukmu sebagai panglima bagiku dengan senang hati. Tidak ada kebencian dalam hatiku, karena aku tahu kemampuanmu dalam masalah perang.”
• Ambillah ini sebagai hadiah, tidak perlu membayar uang tebusan.
==> Khalid mengatakan ini ketika menyerahkan putri dari Kaisar Heraklius yang tertangkap dalam Pertempuran Marajul Debaj. Dalam pertempuran ini, Thomas, suami putri Heraklius itu tewas dalam duelnya melawan Khalid.
Heraklius menulis surat balasan pada Khalid,
“Aku telah mengetahui apa yang telah Kau lakukan pada tentaraku. Kamu telah membunuh menantuku dan menawan putriku. Engkau telah menang dan pergi dengan selamat. Sekarang aku meminta anakku kembali. Dan Kau pun mengembalikannya kepadaku sebagai hadiah tanpa pembayaran atau tebusan apapun, kehormatan adalah bagian yang sangat kuat dalam karaktermu.”
• Pujian bagi Allah yang telah menetapkan kematian atas Abu Bakr, yang lebih menyukaiku daripada Umar. Pujian untuk Allah yang telah memberikan kekuasaan pada Umar yang kurang menyukaiku daripada Abu Bakr, dan memaksaku untuk menyukainya.
==> Khalid mengatakan ini beberapa saat sebelum ia wafat. Abu Bakr mengangkatnya sebagai panglima utama pasukan dan Khalifah Umar memberhentikannya dari pasukan. Walaupun hubungan antar saudara sepupu, Khalid dan Umar, selalu menyisakan sangat sedikit kehangatan, tetapi kepemimpinan Umar yang luar biasa dan adil membuat Khalid kagum, ia pada saat wafatnya mewariskan seluruh hartanya kepada Umar dan menjadikannya sebagai wali bagi surat wasiat warisannya atas tanah dan harta bendanya.
• Semoga Allah memberi ampunan pada Abu Bakr! Jika ia masih hidup, aku tidak akan dibebastugaskan dari jabatan.
==> Khalid mengatakan ini saat Abu Bakr wafat dan penggantinya, Umar, mengganti Khalid dengan Abu Ubaydah, panglima utama yang baru.
• Jika Abu Bakr wafat dan Umar menjadi Khalifah, kami mendengar dan menaatinya.
==> Khalid mengatakan ini setelah wafatnya Abu Bakr.
• Demi Allah, jika Kamu menunjuk seorang anak kecil untuk memimpinku, aku akan menaatinya. Bagaimana mungkin aku tidak menaatimu ketika derajat ke-Islamanmu jauh lebih daripada aku dan Kamu telah dijuluki sebagai “yang Dipercaya oleh Nabi”? Aku tidak akan pernah mencapai status itu. Aku umumkan di sini dan sekarang bahwa aku telah mendedikasikan diriku menuju jalan Allah yang Maha Tinggi.
==> Khalid mengatakan ini pada Abu Ubaydah setelah dibebastugaskan dari jabatannya oleh Umar tanpa diberitahukan alasannya.
• Orang-orang Romawi ini adalah yang paling berani di antara orang-orang Romawi yang pernah kutemui.
==> Khalid memberi penghargaan pada prajurit Romawi yang ia kalahkan dalam Pertempuran Emesa.
• Betapa sedikitnya pasukan Romawi dan betapa banyaknya jumlah kita! Kekuatan sebuah pasukan tidak dinilai dari jumlahnya, tetapi dinilai dari pertolongan Allah padanya, dan kelemahan pasukan ada pada saat Allah meninggalkannya.
==> Khalid mengatakan ini pada salah satu prajuritnya di Pertempuran Yarmuk. Prajurit itu sebelumnya berkata, “Betapa banyaknya jumlah pasukan Romawi dan betapa sedikitnya jumlah kita.”
• Aku memprotes sebagai sebagai seorang muslim atas apa yang teah Engkau putuskan. Demi Allah, Engkau telah tidak adil padaku, wahai Umar!
==> Khalid mengatakan ini pada Khalifah Umar yang memberhentikannya dari ketentaraan tahun 638.
• Umar menunjukku untuk Syams sampai ia berubah menjadi gandum dan madu; kemudian ia memberhentikanku!
==> Khalid mengatakannya pada istrinya setelah diberhentikan.
• Dan di sinilah aku, mati di atas tempat tidur, seperti domba mati. Semoga mata para pengecut tidak akan pernah tidur.
==> Kata-kata terakhir dari Khalid.

Penampakan di Media

Seperti halnya Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid juga nampak di serial “Omar”. Ia diperankan oleh Mehyar Khaddour.
Pada tahun 1958, juga pernah dibuatkan film berjudul “The Sword of Allah: Khalid ibn Waleed”. Bisa disaksikan di bawah ini.
Ada juga film yang kutemukan di youtube berjudul “Tigers of Islam : Khalid bin Waleed”. Saksikan disini:



CONCLUSION
Tuh, kan, pahlawan Islam juga keren-keren! Mudah-mudahan dengan ini kalian bisa lebih meneladani pribadi para pejuang Islam dan mencontoh teladannya dalam kehidupan sehari-hari ;)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan