Selasa, 26 Mei 2015

JANGAN DULUKAN POLITIK DARI ISLAM...JANGAN POLITIK LEBIH UTAMA DARI ISLAM...JANGAN KEPENTINGAN PERIBADI DIDULUKAN DARI POLITIK ISLAM....NI TAK BETUL















Pengertian Politik Dalam Islam

(Apa pengertian ahli) Politik adalah salah satu aktivitas manusia terpenting sepanjang sejarah. Dengannya manusia saling mengelola potensi yang tersebar diantara mereka, saling bersinergi dalam tujuan yang sama, saling memahami dalam perbedaan yang ada. juga saling menjaga aturan yang disepakati bersama (Baca definisi dan pengertian politik). Ada yang dipimpin dan ada yang memimpin, ada yang memikirkan sederet konsep mutakhir, ada juga yang merealisir. Ada yang memerintah dan ada juga yang diperintah. Semua ini adalah aktivitas umat manusia. Semakin skala aktivitas tersebut membesar, semakin tinggi bendera politik itu berkibar. Ini jelas dipahami mayoritas masyarakat muslim non-modern.
Namun, saat kata politik disandingkan dengan "ISLAM", saat benderanya berkibar di langit-langit, saat suara para pembaru muslim yang meneriakkan "sistem politk Islam" melengking memasuki pendengaran generasi muda muslim mengubal pola pikir mereka; menghancurkan benteng sekat akibat dikotomi Islam dan politik yang sesat.
Pengertian Politik dalam Islam menurut para ahli
Pengertian Politik dalam Islam 
(Apa pengertian ahli) Singkat saja, politik, secara bahasa dalam bahasa Arab disebut as-siyasah yang berarti mengelola, mengatur, memerintah dan melarang sesuatu. Atau secara definisi berarti prinsip prinsip dan seni mengelola persoalan publik (ensiklopedia ilmu politik).
Menurut Yusuf Qardhawi dalam Kamus Al-Kamil, bahwa politik adalah semua yang berhubungan dengan pemerintahan dan pengelolaan masyarakat madani.



Seperti yang kita ketahui, istilah politik tidak pernah ada dalam Islam. Akan tetapi, esensi politik ada dalam Islam yaitu memimpin dan dipimpin. Kata Yasusu yang menjadi akar kata as-siyasah dalam hadist sahih dari Iman Bukhari dari Abu Huraira r.a "(Zaman dahulu) bani Israil itu dipimpin oleh para Nabi". Hadis ini menunjukkan bahwa politik atau as-siyasa dalam Islam berarti masyarakat harus memiliki seseorang yang mengelola dan memimpin mereka ke jalan yang benar, dan membela yang teraniaya dari para pelanggar hukum sesuai dengan penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathu Al-Bari.Inilah pemahaman Nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam. 
Inilah pemahaman Nabi akan definisi politik atau as-siyasah. Disinilah pengertian politik menemukan naungan rindang yang melindunginya dari hujanan asumsi yang menyebut bahwa istilah politik tidak pernah ada dalam literatur Islam. 
Menurut Ibnu Aqil, bahwa pengertian politik dalam Islam (as-siyasah) adalah segala aktivitas yang membuat manusia lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, walaupun tidak dibuat oleh Rasul dan tidak ada wahyu yang diturunkan untuknya.
Imam Syafii tidak setuju dengan adanya istilah politik, melainkan lebih sepakat dengan syariat. Pengertian syariat itu sendiri adalah semua  arahan, batasan, perinta dan larangan yang diberikan Rasul. sehingga kata Imam Syafii, "tidak ada politik, kecuali sesuai dengan syariat".
(Apa pengertian ahli) Seperti yang kita ketahui, politik tidak lahir di masa Rasul SAW, karena sejak manusia mengenal kata memimpin dan dipimpin, maka politik ada saat itu. Dikarenakan pengertian dan aplikasi politik di masa sebelum datangnya Islam itu adalah kebusukan dan kelicikan, maka banyak orang beragama Islam tidak sepakat dengan politik dalam Islam. akan tetapi kita juga harus melihat makna utama dari politik itu sendiri yaitu pengelolaan urusan manusia, sedangkan baik dan buruknya pengelolaan, itu urusan lain.
Sehingga dapat diambil kesimpulan awal bahwa pengertian politik dalam Islam adalah segala aktivitas dalam mengelola persoalan publik atau masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam.
Sekian ulasan tentang Politik dalam Islam menurut para ahli, baca juga tulisan tentang pengertian politik dan pengertian ilmu politik.
Referensi:
- Inilah Politikku karangan Muhammad Elvandi, 2011, PT. ERA ADICITRA INTERMEDIA, Solo.
Sponsored by

DEFINISI POLITIK DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “warga NU”. Terlepas dari pernyataan tersebut diatas, ada dua pertanyaan yang sekiranya bisa kita ajukan: pertama, apa sebenarnya definisi dari politik? Kedua, haruskah umat Islam terjun ke dalam dunia politik?
Pengertian Politik yang Benar (Sesuai Dengan Syara)
Politik, realitanya pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat. Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi (kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”.
Adapun definisi politik dari sudut pandang Islam adalah pengaturan urusan-urusan (kepentingan) umat baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam. Pelakunya bisa negara (khalifah) maupun kelompok atau individu rakyat.
Rasulullah saw bersabda:
“Adalah Bani Israel, para Nabi selalu mengatur urusan mereka. Setiap seorang Nabi meninggal, diganti Nabi berikutnya. Dan sungguh tidak ada lagi Nabi selainku. Akan ada para Khalifah yang banyak” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra).
Hadits diatas dengan tegas menjelaskan bahwa Khalifahlah yang mengatur dan mengurus rakyatnya (kaum Muslim) setelah nabi saw. hal ini juga ditegaskan dalam hadits Rasulullah:
“Imam adalah seorang penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya”.
Jadi, esensi politik dalam pandangan Islam adalah pengaturan urusan-urusan rakyat yang didasarkan kepada hukum-hukum Islam. Adapun hubungan antara politik dan Islam secara tepat digambarkan oleh Imam al-Ghajali: “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang dan lenyap”.
Berbeda dengan pandangan Barat politik diartikan sebatas pengaturan kekuasaan, bahkan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dari politik. Akibatnya yang terjadi hanyalah kekacauan dan perebutan kekuasaan, bukan untuk mengurusi rakyat. Hal ini bisa kita dapati dari salah satu pendapat ahli politik di barat, yaitu Loewenstein yang berpendapat “politic is nicht anderes als der kamps um die Macht” (politik tidak lain merupakan perjuangan kekuasaan).
Wajib Berpolitik Bagi Setiap Muslim
Berpolitik adalah kewajiban bagi setiap Muslim baik itu laki-laki maupun perempuan. Adapun dalil yang menunjukkan itu antara lain:
Pertama, dalil-dalil syara telah mewajibkan bagi kaum Muslim untuk mengurus urusannya berdasarkan hukum-hukum Islam. Sebagai pelaksana praktis hukum syara, Allah SWT telah mewajibkan adanya ditengah-tengah kaum Muslim pemerintah Islam yang menjalankan urusan umat berdasarkan hukum syara. Firman Allah SWT yang artinya:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah SWT dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (TQS. Al-Maidah [105]:48)
kedua, syara telah mewajibkan kaum Muslim untuk hirau terhadap urusan umat sehingga keberlangsungan hukum syara bisa terjamin. karenanya dalam Islam ada kewajiban untuk mengoreksi penguasa (muhasabah li al-hukkam). Kewajiban ini didasarkan kepada Firman Allah SWT yang artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS. Ali Imran [03]: 104).
Penutup
Dengan demikian, hubungan Islam dan politik adalah jelas. Melalaikan diri dari aktivitas politik Islam juga jelas bahayanya bagi kaum Muslim. Inilah saatnya kaum Muslim bangkit dari tidurnya yang panjang, berjuang secara politik untuk melawan penjajah yang selama ini telah menindas mereka. Dan disinilah latek penting bagi kaum Muslim mempelajari lebih jauh politik Islam. Dan tentu saja setelah itu, terjun langsung dalam masalah politik, tidak hanya diam dan menunggu datangnya pertolongan Allah SWT.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang, Mantan Sekretaris Jenderal Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UMM, Ketua Umum Forum Pengkajian Ekonomi Syari’ah dan Dakwah Islam Fakultas Ekonomi UMM.

Islam dan Politik

Sabtu, 15/03/2014 14:01
Islam dan Politik
Oleh KH MA Sahal Mahfudh
Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya 'aqidah dan syari'ah, punya korelasi erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam syari'at, sebagai katalog-lengkap dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.

Islam dan politik mempunyai titik singgung erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup rnanusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekadar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.

Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan atau pemerintahan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan bahwa Islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.

Dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.

***

Syari'ah Islam mencakup juga tatanan mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan berbangsa, misalnya tergambar dalam tatanan syari'at tentang berkomunitas (mu’asyarah) antar sesama manusia. Sedangkan mengenai kehidupan bernegara, banyak disinggung dalam ajaran fiqih siyasah dan sejarah Khilafah al-Rasyidah, misalnya dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah karya al-Mawardi atau Abi Ya’la al-Hanbali.

Pada zaman Rasulullah dan Khulafa' al-Rasyidin dapat dipastikan, beliau-beliau itu di samping pimpinan agama sekaligus juga pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda—memelihara agama sekaligus mengatur dunia—dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum, menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antar masyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasann.

Dalam teori politik sekuler, agama tidak dipandang sebagai kekuatan. Agama hanya dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dengan persoalan individual. Padahal secara fungsional, ternyata kekuatan agama dan politik saling mempengaruhi. Memang dalam arti sempit ada diferensiasi, misalnya seperti diisyaratkan oleh interpretasi sahabat Ibnu Mas'ud terhadap ungkapan uli al-amr sebagai umara’ (pemimpin formal pemerintahan), yang dibedakan dengan ulama sebagai pemimpin agama.

Pengertian politik (al-siyasah) dalam fiqih Islam menurut ulama Hanbali, adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhkan dari kemafsadahan, rneskipun belum pernah ditentukan oleh Rasulullah SAW. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian lain, yaitu mendorong kemaslahatan makhluk dengan rnemberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para Nabi terhadap kaumnya, menurut pendapat ini, tugas itu meliputi keselamatan batin dan lahir. Bagi para ulama pewaris Nabi, tugas itu hanya meliputi urusan lahiriyah saja.

Sedangkan menurut ulama Syafi'iyah mengatakan, politik harus sesuai dengan syari'at Islam, yaitu setiap upaya, sikap dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syari'at. Tujuan itu ialah: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam. (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat. (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder mau pun suplementer. (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal. (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik mau pun rohani.

Dari pengertian itu, Islam memahami politik bukan hanya soal yang berurusan dengan pemerintahan saja, terbatas pada politik struktural formal belaka, namun menyangkut juga kulturisasi politik secara luas. Politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif, legislatif mau pun yudikatif. Lebih dari itu, ia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani mau pun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.

Bangunan politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi, tasharruf al-imam manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat atau masyarakat). Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri.

***

Penyebaran Islam di Indonesia dapat disimak melalui pendekatan politik kultural dengan bantuan -atau sekurang-kurangnya toleransi- penguasa. Proses Islamisasi yang relatif cepat di Indonesia dengan jumlah penganut paling besar di seluruh dunia Islam, tidak lepas dari bantuan dan perlindungan yang diberikan penguasa. Dalam sejarah kontemporer, perkembangan politik Islam melalui pemimpin-pemimpinnya menegaskan, negara atau kekuatan politik struktural hanya diperlukan sebagai instrumen untuk menjamin pelaksanaan ajaran-ajarannya dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

Memang dari sudut pandangan ajaran formalnya, Islam sering -tidak selalu- mendapati dirinya dalam keadaan ambivalen di negeri. Di satu pihak ajaran formal Islam tidak menjadi sumber tunggal dalam penetapan kebijakan kehidupan negara, karena memang negara ini bukan negara Islam. Tetapi negara ini juga bukan negara sekuler, yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.

Dalam keadaan demikian, ajaran formal Islam berfungsi dalam kehidupan ini melalui jalur kultural (pendidikan, komunikasi massa, kesenian dan seterusnya). Dapat juga melalui jalur yang tidak langsung, melalui politik struktural. Jalur ini memungkinkan, karena kekayaan Islam yang hendak ditampilkan dalam kehidupan bernegara tidak semata-mata ditawarkan sebagai sesuatu yang Islami saja, melainkan sesuatu yang berwatak nasional.

Nilai-nilai Islam sebagai sumber budaya yang penting di Indonesia, sudah sewajarnya menjadi faktor menentukan dalam membentuk budaya politik, tata nilai, keyakinan, persepsi dan sikap yang mempengaruhi perilaku individu dan kelompok dalam suatu aktivitas dan sistem politik. Indikasi yang paling menonjol dalam hal ini adalah, bahwa ke lima sila dari Pancasila yang telah disepakati menjadi ideologi politik, semuanya bernafaskan nilai-nilai Islami.

Bagaimana implementasi nilai Islam dalam budaya politik yang Pancasilais, bergantung pada kekuatan nilai-nilai itu mempengaruhi proses politik itu sendiri. Bila terjadi kemerosotan pengaruh nilai-nilai keagamaan Islam dalam budaya politik, sesungguhnya yang terjadi adalah sekularisasi kultur politik. Ini lebih membahayakan dan lebih ruwet masalahnya, ketimbang pemisahan secara formal struktur pemerintahan dan keagamaan.

Meskipun di Indonesia tidak akan terjadi sekularisasi fungsional struktur pemerintahan dan keagamann secara tegas, namun sekularisasi kultur politik tidak mustahil dapat terjadi. Kemungkinan terjadinya hal ini cukup besar, seiring dengan perubahan sistem nilai, akibat kemajuan ilmu peangetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ini pada gilirannya juga akan mempengaruhi perilaku politik formal-struktural.

Di sinilah pentingnya upaya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proseitu. Hal ini mungkin juga penting, untuk menghindarkan kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elit politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.

***

Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan -tak perlu berlabel Islam- yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan syarat, bahwa kekuasaan rnemang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjadi moralis politik.

Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak dan format yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam. Cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam, harus ditinggalkan. Yang lebih penting justru adalah mengorganisir kader politik muslim yang lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi Muslim tidak selalu berada di pinggiran.

Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman memahami Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala orang di luar kekuatan politik Islam dalam melihat potensi dan kekuatan moral Islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai keadilan dan kemakmuran yang dicita-citakan. Memang upaya ini tidak begitu mudah dan mulus, karena masih cukup banyak kendala di kalangan kaum muslimin sendiri.

Wawasan politik kaum awam yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Soal politik bukan sekadar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kepemimpinan negara (imamah) semata, tapi soal menata kehidupan secara lebih maslahat bagi umat. Karena itu, yang penting bukanlah penguasaan kekuasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih Islami. Bila ini yang terjadi, maka kenyataan sekulerlah yang akan terwujud, dan hanya akan menjauhkan umat dari tujuan utamanya, sa’adatud darain.

*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Tulisan ini pernah disampaikan dalam diskusi di Kendal, 4 Maret 1989.




 

Mendudukkan Kembali Definisi Politik Islam

OPINI | 04 September 2012 | 15:05 
Pendahuluan
“Islam Yes, Partai Islam No”. Rekan-rekan kompasianer mungkin pernah mendengar atau membaca statement tersebut. Ya, itu adalah pernyataan dari seorang cendekiawan muslim Indonesia Nurcholis Madjid (alm.) di era 70 – an. Gagasan ini dilontarkan untuk mendukung idenya yang sebelumnya dengan gencar telah didengungkan, yaitu wacana “sekularisasi”. Walaupun sudah lama, namun jargon ini ternyata masih ada pengaruhnya hingga saat ini. Kalangan tradisional masih memegang teguh pemisahan agama dan politik, karena melihat realitas perpolitikan di negeri ini yang penuh dengan kekotoran yang malah dikhawatirkan akan menodai kesucian agama (baca: Islam). Namun apakah benar Islam tidak mengenal politik?
Ada baiknya kita meninjau pengakuan dari John L. Esposito dalam Islam and Politics. Dia mengakui realitas sejarah umat Islam masa awal hingga keruntuhannya tetap berpaku kepada aqidah Islam, dia menyatakan bahwa Agama (Islam) memberikan pandangan dunia, gagasan pengertian untuk kehidupan pribadi dan bersama, baik pada masa khulafaurrasyidin, Umayyah dan Abbasiah, dasar ideologi masyarakat maupun Negara adalah Islam. Lebih lanjut dia merincikan bahwa legitimasi dan otoritas penguasa, lembaga-lembaga peradilan, pendidikan dan sosial berakar pada Islam (Esposito, 1990).
Pengakuan jujur dari seorang orientalis tentunya bukan hanya Esposito saja, para orientalis –terlepas dari kesimpulan yang diambilnya- lainnya pun tidak membutakan mata akan Islam sebagai agama spiritual juga agama politik.
Seorang tokoh ilmuan di universitas Yordania, Fathi al-Durayni dalam bukunya, Khasa’is al-Tashri‘ al-Islami fi al-Siyasah wa al-Hukm, berpendapat bahwa Islam telah menimbulkan satu revolusi terhadap konsep agama. Berbeda dengan agama lain, Islam menghubungkan agama dengan politik, agama dengan sains, dunia dengan akhirat. Hal-hal yang biasanya dilihat secara terpisah. Al-Durayni juga menjelaskan bahwa segala aktivitas seorang Muslim terutamanya aktivitas politik dihitung sebagai ibadah.
Pendapat al-Durayni ini sejajar dengan ungkapan Ibn Taymiyyah bahwa kekuasaan politik merupakan min a‘zam wajibat al-din (satu kewajiban agama yang utama). Pandangan serupa juga dikemukakan oleh al-Qaradawi, yang mengatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara Islam dengan politik sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan daripada hakikat Islam itu sendiri. Penolakan dan pemisahan politik daripada Islam, menurut beliau merupakan satu kejahilan dan miskonsepsi terhadap hakikat Islam (Muamar, 2005).
Pengertian Politik
Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani atau bahasa latin politicos atau ploiticus yang berarti relating to citizen. Diartikan juga sebagai hubungan sosial yang melibatkan otoritas atau kekuasaan dan mengacu pada peraturan urusan publik dalam suatu unit politik dengan metode dan taktik yang digunakan untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan (Wikipedia.org, 11/01/11). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik diartikan juga sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain (KBBI online, 11/01/11). Dari pengertian di atas maka istilah politik dilihat secara bahasa menekankan kepada kekuasaan, peraturan urusan publik, penerapan kebijakan, bentuk dan sistem pemerintahan.
Sedikit berbeda, politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun  atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan.
Jika dalam bahasa Inggris politik identik dengan kekuasaan, maka dalam bahasa Arab arti siyasah lebih menekankan kepada pengurusan urusan masyarakat. Perbedaan penekanan dalam mengartikan politik, membawa konsekuensi pelaksanaan perpolitikan dewasa ini. Maka wajar saja jika politik sekarang lebih mengedepankan perebutan kekuasaan daripada pengurusan urusan rakyat. Fungsi politik Harold Laswell dalam Who Gets What, When and How yang lebih mengedepankan masalah politik berkutat dalam masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana, digunakan oleh para politikus dewasa ini sebagai dalil untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan pemilik modal.
Politik Islam
Politik (siyâsah) adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh Negara dan umat, karena negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi Negara dalam pengaturan tersebut (An Nabhani, 2005). Politik Islam berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam.
Definisi ini juga diambil dari hadits-hadits yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksinya, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda
“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, dan dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), dia tidak akan mencium bau surga” (HR. Bukhari dari Ma’qil bin Yasar ra)
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw. bersabda:
“Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak khalifah’. (H.R. Imam Muslim dari Abi Hazim)
Pengertian di atas merupakan pengertian syar’i karena diambil dari dalil-dalil syara’. Dari definisi ini pula, dapatlah kita klasifikasikan bahwa politik Islam melibatkan dua pelaku, yaitu Negara dan umat/ rakyat, kemudian meliputi pengaturan dalam negeri dan luar negeri, terakhir adalah sumber legislasinya adalah hukum Islam.
Terkait dengan legislasi, Islam menetapkan bahwa perundang-undangan harus berasal dari Sang Pencipta (Allah swt), karena Dialah yang telah menciptakan alam semesta dan manusia berikut aturannya. Maka yang berhak mengeluarkan hukum atas sesuatu (asyâ) dan perbuatan (af’âl) adalah Allah swt sebagai Pembuat Hukum (al Syari’) sebagaimana firman Allah swt
“Menetapkan hukum hanyalah milik Allah. Dialah menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang terbaik.” (TQS. al-An’am (6) : 57)
Atas dasar inilah maka dalam Islam kedaulatan berada di tangan Syara’ bukan di tangan rakyat, dimana manifestasinya tertuang di dalam al Qur’an dan al Hadits serta yang ditunjuki oleh keduanya berupa ijma sahabat dan qiyas syar’iyyah. Keempat sumber rujukan tersebut dinamakan sebagai sumber hukum syara’ (syari’at Islam). Mayoritas ulama Islam tidak berbeda pendapat dalam menentukan siapakah al Hakim (Pembuat Hukum) dalam Islam. Imam al Syaukani menyatakan tidak adanya perselisihan dalam masalah ini (Khalidi, 2004).
Kesimpulan
Mendefinisikan politik Islam dengan term politik sekarang malah akan membawa kepada kekaburan pengertian politik yang diambil oleh Islam. Secara bahasa pun, Islam mengambil term Arab Siyasah yang berarti pengaturan urusan umat, bukan pengertian politik saat ini yang menekankan kepada kekuasaan. Maka wajar saja jika umat Islam yang ingin menjaga kemurnian ajarannya menolak politik yang sekarang diterapkan oleh negeri ini juga oleh parpol-parpol Islam. Kekhawatiran menjadikan agama sebagai tameng dalam meraih kekuasaan politik akhirnya menjadi kenyataan. Alih-alih ingin menerapkan syariah Islam melalui jalur politik, namun yang diambil adalah politik dalam term sekuler mengakibatkan dirinya terjerumus dalam kekacauannya.
Perbedaan penekanan dalam penggunaan istilah antara politik dan siyasah, bukan berarti harus ada penggantian dari kata politik dengan kata siyasah. Karena secara subtansi pengertian keduanya diambil dari realitas aktivitas politik yang sebenarnya, yaitu pengaturan urusan umat baik di dalam ataupun di luar negeri. Perbedaannya hanyalah dari sisi penggunaan aturan dan hukum yang berbeda sesuai dengan ideologinya. Kemudian, terkait dengan peran Negara dan umat/ rakyat dalam politik Islam, lalu bagaimana pengaturan politik dalam negeri dan luar negeri insyaAllah akan dibahas secara terpisah.
Wallahu’alam
Bahan bacaan:
  1. John L. Esposito, Islam and Politics, terj. Joesoef Sou’yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

  2. Mahmud Abdul Majid al Khalidi, Qawa’id Nizham al Hukm fi al Islam, jilid 1, terj. Harits Abu Ulya (Bogor: Al Azhar Press, 2004)

  3. Taqiudin An Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut-Tahrir, terj M. Shiddiq al-Jawi (Jakarta: HTI Press, 2006)

  4. Abdul Qodim Zallum, Pemikiran Politik Islam, terj. Abu Faiz (Bangil: Al Izzah, 2004)

  5. Al Maktabah al syamilah al Ishdar al tsaniy

  6. Khalif Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi Dan Teokrasi, (khairuummah.com, 24/05/2005)

  7. Wikipedia.org, kata politik

  8. Kamus Besar Bahasa Indonesia online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi

Berpolitik Cara Islam

Islam adalah suatu cara hidup yang merangkumi setiap perkara sejak kita bangun dari tidur sehingga kita tidur, dari kita dihidupkan sehingga kita kembali (mati), dari pemerintahan sebuah khilafah kepada adab-adab di dalam tandas, semuanya ada dalam Islam. Dalam memahami perkara ini, saya petik kata-kata Al-Imam Hassan Al-Banna yang mengulas mengenai kesyumulan Islam ;
“Kita meyakini hukum-hakam Islam dan pengajarannya yang syumul dan menyusun kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Sesungguhnya ada manusia yang menyangka pengajaran ini hanya berkaitan dengan soal ibadat dan kerohanian serta tidak melibatkan bidang-bidang yang lain. Mereka telah tersilap dengan sangkaan sebegini. Islam adalah aqidah dan ibadat, tanahair dan bangsa, agama dan Negara, amal dan rohani, Al-Quran dan ‘pedang’.”
Politik atau As-Siyasah juga merupakan salah satu cabang penting dalam Islam yang semakin diketepikan peranannya hari ini. Ini disebabkan oleh politik semasa di Malaysia yang dicemari dengan jenayah-jenayah rasuah, bohong, seksual dan pecah amanah. Masyarakat mula melihat politik dengan pandangan yang jijik justeru mereka mula meninggalkan dunia politik.
Ini merupakan suatu bentuk doktrinisasi kotor dari pihak tertentu yang semestinya mahu mengekalkan kuasa mereka. Ini kerana, apabila masyarakat mula ‘mual’ dengan politik tanah air,sebahagian dari mereka tidak mahu terlibat dan ambil peduli terhadap isu-isu semasa yang berlaku di sekeliling mereka termasuk soal memilih pemerintah. Cukup dengan akademik, kerjaya dan rumahtangga.
Ini seterusnya memudahkan bagi kelompok yang berkuasa  untuk terus berkuasa kerana sikap masyarakat yang tidak lagi peduli tentang politik semasa. Maka,proses pemurnian terhadap persepsi kepada politik mesti dilakukan. Politik ‘rosak’ pada hari ini kerana pengamalnya dan bukan beerti kita perlu menolaknya (politik).


Politik Dan Al-Quran
Saya memetik beberapa ayat al-Quran yang menyimpulkan kaitan politik dengan Islam dan perlunya kepada kita untuk berpolitik dalam menegakkan syariat Islam. Antaranya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia ,supaya kamu menetapkan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah SWT memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah Rasul(nya), dan ulil amri di antara kamu .Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Surah An-Nisa’ : 58-59)
Ayat-ayat suci Al-Quran di atas menjelaskan kewajipan :
  1. Berlaku adil dengan perintah Allah SWT dan hukumnya terhadap seluruh manusia tanpa batas agama, bangsa, Negara dan keadaan.
  2. Wajib diadakan pemimpin yang dinamakan Ulu Amri (kepimpinan negara yang beriman).
  3. Ketaatan rakyat kepada pemimpin selepas dari ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya.
  4. Perlembagaan yang meletakkan al-Quran dan Sunnah adalah hukum tertinggi.
  5. Kaitan politik dengan beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat yang menjadi tunggal penting kepada rukun iman.
Perkara asas yang kita perlu bangkitkan adalah mengenai perkaitan antara Islam dan politik. Seperti yang disebutkan pada perenggan awal tulisan ini, Islam juga merangkumi soal politik. Sebab itu, di dalam Al-Quran tidak hanya membicarakan soal ibadat semata-mata, tetapi juga membangkitkan soal perundangan  sepertimana ayat dari Surah An-Nisa’ di atas.
Soal kepentingan menegakkan keadilan dan hukumnya kepada seluruh manusia,bagaimana mahu menegakkan keadilan Islam dan hukumnya jika kita membiarkan kezaliman yang memerintah malah lebih buruk mengambil sikap bersekongkol dengan mereka atas tujuan-tujuan tertentu. Ya! Politiklah yang memainkan peranan itu kerana politik adalah jalan menegakkan syariat Islam, jalan menegakkan keadilan Islam dan jalan meruntuhkan kezaliman.
Begitu juga soal bagaimana Allah SWT memberi penekanan yang sangat tinggi kepada politik sehingga politik dikaitkan dengan iman. Justeru kita boleh menilai sendiri kepentingan politik dalam Islam sehingga menyentuh perkara dasar dalam agama.
Ini adalah beberapa keterangan yang mengaitkan Islam dan politik yang mesti dihadami oleh setiap muslim pada hari ini.

Politik dan Para Rasul
Dikalangan para rasul, ada sebahagian dari mereka yang bukan hanya menjadi pemimpin agama malah pada masa yang sama mereka adalah pemimpin sebuah negara. Antaranya Nabi Sulaiman AS dan bapanya Nabi Daud AS, menguasai kerajaan dunia juga nabi yang terakhir, Nabi Muhammad SAW juga merupakan pemimpin Madinah Al-Munawwarah.
Tambahan pula dikalangan mereka ada yang menggerakkan gerakan menentang kerajaan zalim di zaman masing-masing, ada yang mati dibunuh sehingga syahid seperti Nabi Zakaria AS dan Nabi Yahya AS, ada yang dipenjara dan lain-lain. Ini sebagai bukti kukuh, Islam yang dibawa oleh para nabi bukan hanya bercakap soal ibadat,solat dan bukan hanya di dalam masjid tetapi merangkumi soal perundangan, menegakkan keadilan dan meruntuhkan kezaliman.
Maka, sebagai sedikit rumusan dalam tulisan ringkas ini ialah :
  1. Mesti kita meyakini bahawa Islam adalah sebuah cara hidup yang merangkumi seluruh dari aspek kehidupan kita, tidak tertinggal walau sekecil-kecil perkara.
  2. Kita perlu memahami kaitan politik dengan Islam dan kepentingannya untuk kita menguasai medan politik ini dalam membawa aspirasi syari’at Allah SWT dalam bidang perundangan negara khususnya.
  3. Jalan yang paling utama dalam konteks menegakkan syariat Islam di Malaysia adalah melalui jalan politik.
  4. Politik hari ini mesti dibersihkan dari jenayah-jenayah pihak tertentu dengan mengembalikan manusia kepada politik yang diajar oleh Islam.


Lihat politik dalam kepentingan ummah

HARI ini umat Islam di Malaysia khususnya Melayu telah terbahagi tiga, Pas, Umno dan PKR. Selain itu juga menghadapi banyak masalah dan cabaran khususnya tentang agenda fahaman liberalisme yang kini semakin berleluasa di Malaysia melalui proses globalisasi. WakiilSiasahKALSUM AHMAD menemubicara Presiden Ikatan Muslimin Malaysia (ISMA), Abdullah Zaik Abdul Rahman. Ikuti apa pandangan beliau:
SIASAH: Sebagai NGO Islam, apa peranan ISMA dalam membantu membentuk masyarakat ke arah Islam syumul di Malaysia?
ABDULLAH ZAIK: Kita mengambil isu perpaduan um¬mah ini sebagai isu penting sebab ia masalah survival umat Islam di Malaysia. Ia ada hubungkait dengan masalah kita untuk menegakkan agama Allah di muka bumi ini dalam percaturan politik negeri atau luar negeri. Kita menghadapi cabaran yang banyak untuk menegakkan agama Islam di tempat yang lebih baik atau untuk membela maruah dan kehormatan umat Islam, untuk itu kita mesti mempunyai satu kekuatan.
Hari ini kekuatan itu rapuh dan tak wujud, oleh itu kita tidak boleh menyaingi atau tawar menawar bargain power kita lemah. Bila tawar menawar lemah, kita tidak boleh mengenengahkan atau mempertahankan apa yang kita mahu. Sedangkan cita-cita, matlamat dan agenda ummah Melayu mestilah berkehendakkan matlamat, kedudukan dan meletakkan agama Islam itu di tem¬pat yang tinggi.
Bagaimana mahu menegakkan semua itu kalau umat Islam tidak bersatu dalam satu agenda. Dalam hal ini Isma melihat persoalan ini lebih kepada isu semasa. Ia merupakan rentetan peristiwa atau timbunan pengalaman yang panjang akibat penjajahan, sejarah dan sebagainya hingga orang Melayu hilang identiti dan jati diri. Bila hilang semua ini, mereka sukar untuk mencari titik pertemuan. Mereka tidak boleh bersatu dan bersama dalam perkara-perkara yang dipersepakati bersama.
Dalam hal ini, langkah Isma adalah membangunkan semula tamadun ummah atau kehidupan Islam yang lebih syumul di atas asas sebagaimana Rasulullah membangunkan umat Islam yang pertama. Jadi fokus Isma yang pertama adalah mendidik umat dalam rangka mentarbiah mereka untuk bangunkan semula jati diri mereka kerana ummah yang memiliki jati diri sahaja yang mempunyai keperibadian yang mempunyai agenda. Dan ummah ini sahaja yang dapat bertarung di arena persaingan sengit yang sedang kita hadapi sama ada dalam negara atau luar negara.
Bagaimana pula hubung kaitnya dengan perpaduan Melayu?
Pada pandangan Isma, di Malaysia ini elemen perpaduan lebih banyak daripada elemen perpecahan. Di Malaysia ini bo¬leh dikatakan semua orang Islamnya adalah berfahaman sunnah waljamaah. Tak ada yang berfahaman Syiah atau puak kabilah dan tidak timbul masalah mazhab. Dalam banyak perkara, umat Islam di Malaysia ini adalah sama sebab berasal dari satu rumpun. Hanya satu sahaja masalah di Malaysia ini iaitu masalah perbezaan pendekatan politik di antara nasionalis dan Islamis. Ia dijadikan konflik atau konfrontasi di antara kita.
Pada pandangan Isma, konfrontasi di antara mafhum Islam dalam memperjuangkan agenda ummah dengan mafhum nasio¬nalis dalam memperjuangkan agenda bangsa kerana di Malaysia ini umat Islam dan orang Melayu adalah sama. Jadi kalau orang nasionalis itu ikhlas dengan niatnya tentulah ianya akan memperjuangkan benda yang sama, perjuangkan agama dia dan memperjuangkan nasib bangsa dia. Begitu juga dengan pejuang Islami akan lebih ikhlas dengan bangsa dan masa depan bangsa dia. Jadi konfrontasi perlu ditamatkan.
Bercakap tentang konfrontasi, bagaimana pandangan ustaz tentang cadangan untuk menyatukan Umno dan Pas tetapi masih ada halangan yang menyebabkan penyatuan itu tidak dapat dilakukan?
Pada pandangan saya, ini adalah masalah politikal kepartian di mana parti masing-masing ingin mengejar dan mempertah¬ankan kuasa. Pertikaian ini sudah terlalu lama hingga kita lupa untuk melihat isu ummah keseluruhan. Sepatutnya kalau kedua-dua parti melihat isu ummah keseluruhan, banyak perbezaan di antara kedua-dua itu boleh diatasi.
Kadang-kadang kita lupa bezakan dakyah politik dengan masalah sebenar, kadang-kadang isu ummah dilekakan dengan isu-isu politik. Apa masalah um¬mah tak ada yang berfikir. Sepatutnya perkara ini tidak berlaku dan ianya perlu diatasi.
Dalam hal ini Isma mengambil pendekatan membawa generasi muda supaya celik politik, melihat politik dalam kacamata kepentingan ummah keseluruhan bukan dalam konteks percaturan politik. Namun dalam hal ini, kita boleh membantu mana-mana parti un¬tuk menang ataupun kalah tetapi adakah parti yang menang itu akan membawa kebaikan kepada keseluruhan ummah dan tidak mungkin juga akan menyebabkan maruah tergadai, negara dan agama tergadai. Contohnya seperti negara Iraq, menang sorak kampung tergadai.
Apa pandangan ustaz tentang kenyataan Presiden Pas, Datuk Seri Hadi mengenai kuasa politik di tangan orang Melayu?
Pada pandangan kita, perkara ini perlu kita pertahankan atas nama apa sekalipun yang boleh kita sebut atau pun tidak tetapi hakikatnya kuasa mesti berada di tangan orang Melayu dan orang Melayu kekal menjadi tonggak kuasa di Malaysia adalah sesuatu yang perlu kita pertahankan. Ini merupakan sebahagian daripada asas perjuangan Islam. Sebab itu Isma mengangkat syiar Melayu sebagai Islam berdaulat. Isma melihat untuk mengekalkan survival Islam dan mengekalkan maruah dan martabat ummah agar terus dapat dipertahankan, tidak dicabar adalah dengan perpa¬duan orang Melayu. Melalui cara ini sahaja orang Melayu akan jadi kuat dan mantap.
Jadi apabila Presiden Pas kata tonggak kuasa di Malaysia mesti berada di tangan orang Melayu, sepatutnya Pas perlu beri tumpuan kepada orang Melayu dan bagi saya itu bukan Asabiah. Masalahnya kita terperangkap dalam Asabiah. Kalau Pas mahu menggantikan Umno dia kena ambil isu Melayu.
Apa pula pandangan ustaz, bila Pas menyertai Pakatan bersama dengan parti bukan Islam?
Pada pandangan saya setiap orang atau kumpulan ada ijtihadnya sendiri. Dia berhak melaksanakan dalam kerangka yang dia kehendaki. Dalam hal ini, Isma meli¬hat masalah itu adalah besar sebab ia membawa agenda li¬beral dalam masyarakat dan konteks negara kita Malaysia.
Sebelum Pas bersama Pakatan, isu utama yang menjadi per¬saingan adalah Islam. Sama ada Pas atau Umno, masing-masing mendakwa lebih Islam. Jadi, bila adanya persaingan, maka Islam akan menjadi kuat. Selepas pilihan raya ke-12, isu politik di Malaysia adalah siapa yang lebih demokratik dan siapa yang lebih liberal. Bila ada parti yang mendakwa siapa yang lebih liberal, ini menunjukkan kita berlumba-lumba menemui piawaian Amerika untuk dibawa ke Malaysia. Sebab itu kita lihat Datuk Seri Najib tanpa halangan terus melaksanakan agenda global, dan ianya tidak boleh disekat.
Jadi bila Pas menyertai PR, itu hak dia tetapi bagi Isma ianya tidak banyak menguntungkan umat Islam. Pandangan saya secara peribadi, apabila menyertai PR, seelok-eloknya kita kenalah pertahankan bahasa kita, lajnah, perjuangan dan semangat kita Islam. Sekiranya mereka benar-benar melaksanakannya saya hormati. Tetapi pada hari ini, kita nampak ianya menuju ke arah liberal dan tiada siapa yang boleh menghalang. Pengaruh liberal ini telah ditunggangi oleh musuh-musuh Islam iaitu barat. Mereka akan mengambil kesempatan kerana mer¬eka ada NGO tersendiri dan ini akan diambil kesempatan oleh parti-parti politik yang mempunyai ketamakan tersendiri untuk mengambil tempat akan situasi ini.
Parti ini bukan berjuang sangat untuk demokrasi tetapi menunggang hak arus demokrasi yang dibawa oleh global. Global pula membawa demokrasi dan hak kesamarataan se¬cara liberalisasi lalu ditunggang oleh mereka supaya me¬reka mendapat hak lebih. Contoh tentang kesefahaman antara agama, mereka mahu semua agama sama ada Buddha, Islam, Hindu atau sebagainya di kedudukan yang sama. Ini menunjuk¬kan maruah umat Islam makin hari makin rendah, Inilah bahayanya globalisasi. Ia berasaskan kepada humanisme, fahaman aktif yang menafikan agama. Seluruh kehidupan dipisahkan daripada agama.
Pas kata ia mampu ganti Umno, apa komen ustaz?
Pandangan saya sama juga dengan ahli-ahli akademik yang lain, Pas perlu banyak berubah tetapi tuntutan perubahan itu besar dan mungkin sukar dilakukan oleh Pas sendiri antaranya berkaitan dengan isu Melayu. Pas perlu ambil isu Melayu ke¬rana kalau kita mahu meningkatkan taraf ekonomi orang Islam, ini bermakna kita terpaksa meningkatkan ekonomi orang Mela¬yu. Tetapi ini tidak dilakukan kerana isu politik dengan Umno. Pas perlu melihat isu ini kerana ia perlu membuat perubahan tetapi sejauh mana Pas boleh buat perubahan.
Agenda Pas dengan Islam boleh membuka penyelesaian kepada permasalahan yang timbul sekarang. Pas kena kemukakan dalam bentuk yang lebih menyeluruh, besar dan lebih meluas.
Bukan sekadar hukum hudud atau pelaksanaan hukum jenayah. Kita mesti berusaha mencapai tonggak kuasa Islam yang boleh menjaga kehidupan manusia dalam pelbagai bidang. Jadi Pas perlu kepada satu rangka pemikiran yang konsisten.
Sumber: Akhbar Siasah, Bilangan 0246
AlquranAgama Islam saat ini sangat teraniaya. Al-Quran berikut tatanan hukumnya telah diasingkan dan dibatasi ruang lingkupnya sebatas telinga dan shalat saja. Sangat minimnya perhatian akan tatanan hukum Islam yang berkaitan dengan politik tidak menyelesaikan masalah Al-Quran dari pengasingannya. Untuk itu, membaca Al-Quran dan mengikutsertakannya dalam semua sendi kehidupan merupakan hal yang wajib. Al-Quran benar-benar wajib berperan dalam semua persoalan kehidupan. Hal tersebut tersirat di dalam ayat Al-Quran berikut: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran 3: 103).
Ayat tersebut mengajak kita untuk melaksankan undang-undang dan tatanan hukum politik yang matang. Konsekuensinya, perjalanan alam dunia berada di genggaman tangan kita. Namun, kenyataan bahwa kita telah menggampangkan Al-Quran serta ketidakpedulian kita terhadap kandungannya menjadikan perjalanan alam dunia sebagai lawan kita. Al-Quran sangat berperang dalam semua masalah, senantiasa dibaca, dan menjadi pengingat bagi semua orang di setiap tempat. Al-Quran wajib diikutsertakan dalam kehidupan setiap individu muslim tanpa terkecuali, bukan hanya bagian tertentu.
Sebagai contoh, dalam tatanan politik, Al-Quran menyuruh kita memerangi orang yang menyerang kaum muslimin. Kenyataannya pada zaman sekarang ini kita dapati Israel membantai kaum muslimin. Allah swt jauh sebelumnya telah menyuruh kita untuk memerangi para pembantai kaum muslimin secara mutlak. Sesungguhnya jika negara-negara Islam dan masyarakatnya bersandar pada agama Islam, menjadikan mutiara Al-Quran sebagai pelajaran sekaligus cahaya yang menyelamatkannya serta mau mengamalkannya, alih-alih bersandar pada dunia Timur dan Barat, maka kaum muslimin tidak akan terjerumus dan teraniaya dalam tawanan Zionis, tidak menjadi incaran pesawat tempur Amerika.
Agama Islam dan sejarah para nabi tidak berbeda jauh dari kita. Coba perhatikan apakah Islam datang untuk menakut-nakuti umat manusia atau melalaikan tanggung jawabnya? Ataukah Al-Quran justru kitab yang memberikan semangat juang tanpa rasa takut dan gemetar sedikit pun dalam memerangi orang-orang musyrik yang menindas seperti dalam firman-Nya “… Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya.” (QS. At-Taubah: 9:36).
Sebenarnya musuh-musuh Islam mengetahui bahwa agama merupakan suatu kebutuhan yang pokok. Mereka juga mengetahui bahwa Al-Quran merupakan fondasi, sandaran, dan referensi dalam semua masalah tanpa terkecuali. Andaikata kaum muslimin berpegang teguh serta konsekuen menjalankan ajarannya, dunia beserta isinya akan merasakan ketenangan dan ketentaraman karena berada di tangannya. Sebagaimana kita ketahui, musuh-musuh Islam sangat berambisi penuh untuk menguasai dunia beserta isinya. Hal ini telah disinggung Al-Quran bahwa Allah tidak akan membiarkan orang kafir memegang tampuk kekuasaan dunia seluruhnya untuk menguasai kaum mukminin, “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’ : 141).
Karena itu, musuh-musuh Islam berusaha menjauhkan umat Islam dari Al-Quran yang memberikan spirit perjuangan dan penguasaan bumi secara manusiawi dan penuh perdamaian. Ketika musuh-musuh Islam membaca dan mempelajari Al-Quran beserta kandungan mutiaranya, mereka sangat khawatir. Mereka berupaya agar kaum muslimin mengetahui isi kandungan Al-Quran, apalagi berpegang teguh serta berkonsekuen padanya. Untuk itulah, mereka mencurahkan segala daya upaya untuk menjauhkan umat manusia dari Al-Quran dan agama Islam. Pada intinya mereka ingin meniadakan kemuliaan dan keagungan Islam, menjauhkannya dari umat manusia, dan mengosongkannya dari hati mereka. Kemudian, mereka akan mengisinya dengan propaganda bahwa sesungguhnya Islam datang untuk mengesampingkan manusia agar para penguasa kejam dan zalim dengan leluasa memegang tampuk kekuasaan atas manusia secara keseluruhan, tanpa terkecuali. Pada hakikatnya, menurut pandagan mereka, agama samawi tidak memiliki arti dan manfaat sama sekali.
Tujuan dari ini semua adalah untuk memecah-belah kita dengan propaganda bohong yang ditujukan pada agama Islam. Masih adakah generasi kita yang menganggapnya sebagai hal sepele yang tidak berarti? Hal ini jelas telah keluar jauh dari fitrah agama Islam dan hati nurani setiap insan. Secara fitrah setiap insan ingin selalu mencari kejelasan dan kepastian terhadap sesuatu yang belum diketahui dengan jelas dan tidak begitu saja dapat menerimanya. Alangkah baiknya kita belajar untuk mengetahui kandungan agama Islam yang berfondasikan Al-Quran dan hadits. Apakah sesungguhnya yang terprogram di dalam tubuh Islam? Apakah Al-Quran membawa manusia pada ketakutan dan keterbelakangan sehingga dengan mudah bisa dikelabui dan dikuasai? Kemudian, dengan leluasanya para penguasa mewujudkan keinginannya untuk menggenggam tampuk kekuasaan yang didambakannya? Ataukah memang sesungguhnya Al-Quran jauh dari itu semua?
Menjauhnya negara-negara Islam dari Al-Quran telah mengantarkan mereka pada kesengsaraan dan kebinasaan. Hal itu menjadikan nasib kaum muslim dan negara-negara Islam terdiskreditkan dalam genggaman politik para penjajah sayap kanan dan sayap kiri. Wahai para generasi muda Islam yang mulia, wahai harapan kaum muslimin, wajib bagi kita semua untuk menyadarkan masyarakat. Kemukakan hasil-hasil konferensi para penjajah pembawa bencana. Bersungguh-sungguhlah dalam memahami agama Islam. Pelajarilah ajaran Al-Quran yang suci berikut pengamalannya. Berusahalah untuk menyebarluaskan ajaran Islam pada masyarakat serta merealisasikan tujuan Islam yang mulia. Pusatkan perhatian pada tatanan undang-undang islami dan diskusikan masalah-masalahnya. Mari kita bersihkan jiwa, bersiap siaga, bersatu, dan rapatkan barisan. Jadilah kaum cendekiawan yang berani mengorbankan dirinya untuk orang lain. (hd/liputanislam.com)    


Kaum Muslim Harus Kembali Kepada Islam Yang Sebenarnya

_DSC0265
Gapura Kota Banjar,- Dalam rangka pelantikan PCNU Kota Banjar masa khidmat 2014-2019, ribuan warga Nadathul Ulama Kota Banjar dan sekitarnya, sekitar pukul 15.30 WIB mengikuti  pengajian akbar bersama Ketua Umum Nadathul Ulama (NU) Indonesia Prof Dr KH Said Aqil Sirad MA di gedung Graha Banjar Idaman Sabtu, (25/4/2015).
Dalam kegiatan pengajian akbar tersebut, Said Aqil menyampaikan kepada seluruh kaum mulimin maupun muslimat Indonesia umumnya dan khususnya warga NU, untuk ikut berperan dalam meneguhkan islam di Nusantara.
“Kita hidup didunia ini untuk mencari kebenaran, dan kebenaran itu ada jika kita ikuti ulama,” ungkapnya.
Said menambahkan, agama islam merupakan agama yang cinta akan kedamaian, ramah, dan mencintai rasa persaudaraan. Sehingga Islam bukan agama yang anarkis melainkan agama sebagai pelopor pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan, kerukunan dalam bermasyarakat.
“Islam tidak mengajarkan kekerasan, tetapi justru islam mencintai persaudaraan, sehingga kita jangan sampai terpengaruh oleh paham-paham yang mengdoktrin umat islam untuk berbuat kekerasan,”imbuhnya.
Ia menyampaikan hal tersebut karena akhir-akhir ini  marak terjadi peperangan, pembunuhan yang mengatasnamakan islam, seperti yang  terjadi di timur tengah. Masih kata Said, dimana peran ulama disana yang notabene menciptakan berbagai karya namun tidak bsia mereda konfik yang saat ini sedang terjadi.
Berbeda dengan ulama yang ada di Indonesia, peran ulama di Indonesia mampu meredakan konflik yang terjadi disuatu daerah atau wilayah yang ada di Indonesia. Sesuai dengan tema pengajian akbar kali ini yaitu meneguhkan islam nusantara
untuk peradaban Indonesia.
“Islam Nusantara menyatukan, mengintegrasikan antara pemikiran ulama, hasil kreatif, budaya, sosial. Sehingga  islam nusantara itu nantinya sebagai peradaban dunia,”ungkapnya.
Said menegaskan konflik yang terjadi di timur tengah saat ini yang tengah disorot adalah ISIS. Dimana ISIS mengatasnamakan islam namun islam sesungguhnya tidak seperti itu. Mereka (isis) bukanlah islam, dan islam tidak mengajarkan kekerasan.
” kebenaran saat ini adalah seorang ulama, ulama yang sesungguhnya yang memberikan petunjuk kebenaran,” ungkapnya.***Hermanto

Tiada ulasan:

Catat Ulasan