Khamis, 24 Januari 2013

DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA

'Muhammad Husain Haekal

Muslimin lari dari Mekah ke celah-celah gunung - Tidak
bergaul dengan orang kecuali dalam bulan-bulan suci
Zuhair dan kawan-kawannya membatalkan piagam -Abu Talib
dan Khadijah wafat - Gangguan Quraisy kepada Muhammad -
Kepergian Muhammad ke Ta'if dan penolakan Thaqif -
Isra' dan Mi'raj.

SELAMA tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak
Quraisy untuk memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu
tetap berlaku. Dalam pada itu Muhammad dan keluarga serta
sahabat-sahabatnya sudah mengungsi ke celah-celah gunung di
luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam penderitaan,
sehingga untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa
laparpun tidak ada. Baik kepada Muhammad atau kaum Muslimin
tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan
orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu
orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala
permusuhan dihentikan - tak ada pembunuhan, tak ada
penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.

Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab
itu kepada agama Allah, diberitahukannya kepada mereka arti
pahala dan arti siksa. Segala penderitaan yang dialami
Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya dari
kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu
lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima
ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran
dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah
dapat memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu
membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab
dan yang sebangsanya.

Akan tetapi, penderitaan yang begitu lama, begitu banyak
dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy - padahal
mereka masih sekeluarga: saudara, ipar. sepupu - banyak
diantara mereka itu yang merasakan betapa beratnya kekerasan
dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada
dari penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin,
membawakan makanan ke celah-celah gunung1 tempat mereka
mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan. Dalam hal
ini Hisyam ibn 'Amr termasuk salah seorang dari kalangan
Quraisy yang paling simpati kepada Muslimin.

Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan
atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung
itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus
masuk ke tempat mereka dalam celah itu.

Merasa kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya
demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b. Abi Umayya (Banu
Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah Atika bint Abd'l-Muttalib
(Banu Hasyim).

"Zuhair," kata Hisyam "Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan
wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui, keluarga ibumu
demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan orang,
berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah,
bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga
Abu'l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau,
tentu akan kutolak."

Keduanya kemudian sepakat akan sama-sama membatalkan piagam
itu. Tapi meskipun begitu harus mendapat dukungan juga dari
yang lain, dan secara rahasia mereka harus diyakinkan.
Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh Mut'im b.
'Adi (Naufal), Abu'l-Bakhtari b. Hisyam dan Zamia bin'l-Aswad
(keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat akan
mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.

Dengan tujuh kali mengelilingi Ka'bah keesokannya pagi-pagi
Zuhair b. Umayya berseru kepada orang banyak: "Hai penduduk
Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian padahal
Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang!
Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini
dirobek!"

Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak:
"Bohong! Tidak akan kita robek!"

Saat itu juga terdengar suara-suara Zam'a, Abu'l-Bakhtari,
Mut'im dan 'Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung
Zuhair.

Abu Jahl segera menyadari bahwa peristiwa ini akan
terselesaikan juga malam itu dan orangpun sudah menyetujui.
Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul bencana.
Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika
Mut'im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya sudah
mulai dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaannya yang
berbunyi: "Atas namaMu ya Allah..."

Dengan demikian terdapat kesempatan pada Muhammad dan
sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu
dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan Quraisy
juga terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu
juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak
sewaktu-waktu memuncak lagi.

Beberapa penulis biografi dalam hal ini berpendapat, bahwa
diantara mereka yang bertindak menghapuskan piagam itu
terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala. Untuk
menghindarkan timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad
dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan
dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa
mereka sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya saja
dikelilingkan. Agak cenderung juga hatinya atas usul itu,
sebagai pengharapan atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya
seolah ia berkata: "Tidak apa kalau saya lakukan itu. Allah
mengetahui bahwa saya tetap taat."

Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa
orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan pertemuan dengan
Muhammad sampai pagi. Dalam perbicaraan itu mereka sangat
menghormatinya, menempatkannya sebagai yang dipertuan atas
mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka:

"Tuan adalah pemimpin kami ..."

Sementara mereka masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai
hampir saja ia mengalah atas beberapa hal menurut kehendak
mereka. Ini adalah dua sumber hadis, yang pertama sebagian
diceritakan oleh Sa'id b. Jubair, sedang yang kedua oleh
Qatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari
kesalahan, dengan firmanNya:

"Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau tentang yang
sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami
memalsukan dengan yang lain. Ketika itulah mereka mengambil
engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan
hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga kepada mereka
barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan kepadamu
hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya
engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami." (Qur'an, 17:
73-75)

Ayat-ayat ini turun - menurut dugaan mereka yang membawa
cerita gharaniq - sehubungan dengan cerita bohong itu seperti
yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini
menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya
menurut hadis 'Ata, lewat Ibn 'Abbas, ayat-ayat ini turun
sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta kepada
Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon,
burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih
maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.

Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap peristiwa yang
menyebabkan turunnya ayat-ayat itu sumber-sumber tersebut
tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa
Muhammad, di samping kejujuran dan keikhlasannya dengan suatu
lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi ini yang juga
dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah
"Abasa" (80) dan pula seluruh sejarah kehidupan Muhammad
membuktikannya pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia
adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi yang telah
mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia,
sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak
karena mendapat perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika
bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm Maktum, dan hampir
pula salah sehubungan dengan turunnya Surah "Isra" (17), juga
hampir pula ia tergoda tentang apa yang telah diwahyukan
kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.

Apabila wahyu turun kepadanya memberi peringatan atas
perbuatannya terhadap orang buta itu, dan terhadap godaan
Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam
menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula seperti ketika
menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu yang akan
menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang
dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa
tinggi hati.

Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang ada dalam
-risalahnya itu. Apabila dalam menanggung siksaan orang lain
demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa besar masih
sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa ia
hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun
oleh orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya
oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga
dirinya, meskipun dengan susah payah. Inilah kebesaran yang
tak ada taranya, lebih besar dari orang besar. Itulah
sebenarnya kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran
secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur dari segala
kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat
kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan
kejujurannya meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.

Sesudah piagam disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun
keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya dikumandangkan
lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah yang
pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun
ajakan Muhammad sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di
samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya, tapi
sahabat-sahabat itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga
dia tidak dapat mencegahnya.

Beberapa bulan kemudian sesudah penghapusan piagam itu, secara
tiba-tiba sekali dalam satu tahun saja Muhammad mengalami
dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni kematian Abu
Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib
sudah berusia delapanpuluh tahun lebih. Setelah Quraisy
mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir
hayatnya, mereka merasa kuatir apa yang akan terjadi nanti
antara mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi
sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.
Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu Talib,
untuk kemudian mengatakan:

"Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami
juga. Keadaan sekarang seperti kau ketahui sendiri, sangat
mencemaskan kami. Engkau juga sudah mengetahui keadaan kami
dengan kemenakanmu itu. Panggillah dia. Kami akan saling
memberi dan saling menerima. Dia angkat tangan dari kami,
kamipun akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia
dengan agamanya sendiri pula."

Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya
itu. Setelah diketahuinya maksud kedatangan mereka, iapun
berkata:

"Sepatah kata saja saya minta, yang akan membuat mereka
merajai semua orang Arab dan bukan Arab."

"Ya, demi bapamu," jawab Abu Jahl. "Sepuluh kata sekalipun
silakan!"

Kata Muhammad: "Katakan, tak ada tuhan selain Allah, dan
tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah."

"Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu
Tuhan saja?" kata mereka.

Kemudian mereka berkata satu sama lain: "Orang ini tidak akan
memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki. Pergilah
kalian!"

Ketika Abu Talib meninggal hubungan Muhammad dengan pihak
Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.

Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah,
Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah yang telah
mencurahkan segala rasa cinta dan kesetiaannya, dengan
perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang bersih, dengan
kekuatan iman yang ada padanya. Khadijah, yang dulu
menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan dan
yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah
bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya
Muhammad melihat arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga
ia sendiripun tambah percaya kepada dirinya. Abu Talibpun
meninggal, orang yang menjadi pelindung dan perisai terhadap
segala tindakan musuh. Pengaruh apakah yang begitu sedih,
begitu pedih menusuk jiwa Muhammad 'alaihissalam?! Yang pasti,
dua peristiwa itu akan meninggalkan luka parah dalam jiwa
orang - yang bagaimanapun kuatnya - akan menusukkan racun
putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan
duka, akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah,
tak dapat berpikir lain diluar dua peristiwa yang sangat
mengharukan itu.

Sesudah kehilangan dua orang yang selalu membelanya itu
Muhammad melihat Quraisy makin keras mengganggunya. Yang
paling ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy
mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke atas
kepalanya. Tahukah orang apa yang dilakukan Muhammad? Ia
pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah
puterinya lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. Ia
membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu
rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar tangis
anaknya, lebih-lebih anak perempuan. Setitik air mata
kesedihan yang mengalir dari kelopak mata seorang puteri
adalah sepercik api yang membakar jantung, membuatnya kaku
karena pilu, dan karena pilunya ia akan menangis kesakitan.
Juga secercah duka yang menyelinap kedalam hati adalah
rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa mencekik leher dan
hampir pula menggenangi mata.

Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh bijaksana
dan penuh kasih kepada puteri-puterinya. Apakah yang kita
lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan yang baru
saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya karena
malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia
hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan
segala pertolonganNya.

"Jangan menangis anakku," katanya kepada puterinya yang sedang
berlinang air mata itu. "Tuhan akan melindungi ayahmu."

Kemudian diulangnya: "Sebelum wafat Abu Talib orang-orang
Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya."

Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin
menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.

(bersambung ke bagian 2/3)






BAGIAN KEDELAPAN: DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA'
Muhammad Husain Haekal (2/3)

Terasing seorang diri, ia pergi ke Ta'if,2 dengan tiada orang
yang mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan
suaka dari Thaqif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan
harapan merekapun akan dapat menerima Islam. Tetapi ternyata
mereka juga menolaknya secara kejam sekali. Kalaupun sudah
begitu, ia masih mengharapkan mereka jangan memberitahukan
kedatangannya minta pertolongan itu, supaya jangan ia disoraki
oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi permintaannya itupun tidak
didengar. Bahkan mereka menghasut orang-orang pandir agar
bersorak-sorai dan memakinya.

Ia pergi lagi dari sana, berlindung pada sebuah kebun
kepunyaan 'Utba dan Syaiba anak-anak Rabi'a. Orang-orang yang
pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah naungan
pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi'a sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya.
Sesudah agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia
hanyut dalam suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat
mengharukan:

"Allahumma yang Allah, kepadaMu juga aku mengadukan
kelemahanku, kurangnya kemampuanku serta kehinaan diriku di
hadapan manusia. O Tuhan Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Engkaulah yang melindungi si lemah, dan Engkaulah Pelindungku.
Kepada siapa hendak Kauserahkan daku? Kepada orang yang
jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada musuh yang
akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku,
aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang
Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang
menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi
dunia dan akhirat - daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan
kepadaku. Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan
pada-Mu. Dan tiada daya upaya selain dengan Engkau juga."3

Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi'a
itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat
nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang
beragama Nasrani bernama 'Addas, diutus kepadanya membawakan
buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas
buah-buahan itu Muhammad berkata: "Bismillah!" Lalu buah itu
dimakannya.

'Addas memandangnya keheranan.

"Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,"
kata 'Addas.

Lalu Muhammad menanyakan negeri asal dan agama orang itu.
Setelah diketahui bahwa orang tersebut beragama Nasrani dari
Nineveh, katanya:

"Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta."

"Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!" tanya 'Addas.

"Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi," jawab
Muhammad.

Saat itu 'Addas lalu membungkuk mencium kepala, tangan dan
kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini menimbulkan keheranan
keluarga Rabi'a yang melihatnya. Sungguhpun begitu mereka
tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan tatkala
'Addas sudah kembali mereka berkata:

"'Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu,
yang masih lebih baik daripada agamanya."

Gangguan orang yang pernah dialami Muhammad seolah dapat
meringankan perbuatan buruk yang dilakukan Thaqif itu,
meskipun mereka tetap kaku tidak mau mengikutinya. Keadaan itu
sudah diketahui pula oleh Quraisy sehingga gangguan mereka
kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Tetapi hal ini tidak
mengurangi kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam. Kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan
diri, mengajak mereka mengenal arti kebenaran.
Diberitahukannya kepada mereka, bahwa ia adalah Nabi yang
diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.

Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak
membiarkannya, bahkan dibuntutinya ke mana ia pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.

Muhammad sendiri tidak cukup hanya memperkenalkan diri kepada
kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di Mekah saja, bahkan
ia mendatangi Banu Kinda4 ke rumah-rumah mereka, mendatangi
Banu Kalb,5 juga ke rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan Banu
'Amir bin Sha'sha'a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka yang mau
mendengarkan. Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang
buruk sekali. Sedang Banu 'Amir menunjukkan ambisinya, bahwa
kalau Muhammad mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya,
segala persoalan nanti harus berada di tangan mereka. Tetapi
setelah dijawab, bahwa masalah itu berada di tangan Tuhan,
merekapun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang
lain-lain.

Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang mengadakan oposisi
terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang sama seperti
yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa Banu
'Amir ini mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat kemenangan. Sebaliknya
kabilah Thaqif pandangannya lain lagi. Ta'if di samping
sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena udaranya
yang sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini
merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke tempat itu orang
berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thaqif ini sampai
menjadi pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang.
Permusuhan mereka dengan Quraisypun akan timbul, yang sudah
tentu akibatnya akan mempengaruhi perekonomian mereka pada
musim dingin. Begitu juga halnya dengan yang lain, setiap
kabilah mempunyai penyakit sendiri yang disebabkan oleh
keadaan perekonomian setempat. Dalam menentang Islam itu,
pengaruh ini lebih besar terhadap mereka daripada pengaruh
kepercayaan mereka dan kepercayaan nenek-moyang mereka,
termasuk penyembahan berhala-berhala.

Makin besar oposisi yang dilakukan kabilah-kabilah itu,
Muhammad makin mau menyendiri. Makin gigih pihak Quraisy
melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin pula ia
merasakan pedihnya.

Masa berkabung terhadap Khadijah itupun sudah pula berlalu.
Terpikir olehnya akan beristeri, kalau-kalau isterinya itu
kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat mengobati luka dalam
hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi dalam hal ini
ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam yang
mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu
sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh
karena waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh
tahun, maka yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang
perkawinan berlangsung dua tahun kemudian, ketika usianya
mencapai sembilan tahun.

Sementara itu ia kawin pula dengan Sauda, seorang janda yang
suaminya pernah ikut mengungsi ke Abisinia dan kemudian
meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa pembacapun akan
dapat menangkap arti kedua ikatan ini. Arti pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti
akan lebih jelas.

Pada masa itulah Isra' dan Mi'raj terjadi. Malam itu Muhammad
sedang berada di rumah saudara sepupunya, Hindun puteri Abu
Talib yang mendapat nama panggilan Umm Hani'. Ketika itu
Hindun mengatakan:

"Malam itu Rasulullah bermalam di rumah saya. Selesai salat
akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur. Pada waktu sebelum
fajar Rasulullah sudah membangunkan kami. Sesudah melakukan
ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata: 'Umm Hani', saya
sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti yang
kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Bait'l-Maqdis
(Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya
sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat."

Kataku: "Rasulullah, janganlah menceritakan ini kepada orang
lain. Orang akan mendustakan dan mengganggumu lagi!"

"Tapi harus saya ceritakan kepada mereka," jawabnya.

Orang yang mengatakan, bahwa Isra' dan Mi'raj Muhammad
'alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada keterangan Umm
Hani' ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh Aisyah:
"Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra'8 itu dengan ruhnya." Juga Mu'awiya b. Abi Sufyan ketika
ditanya tentang isra' Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang
benar dari Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada
firman Tuhan: "Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu
adalah sebagai ujian bagi manusia." (Qur'an, 17:60)

Sebaliknya orang yang berpendapat, bahwa isra' dari Mekah ke
Bait'l-Maqdis itu dengan jasad, landasannya ialah apa yang
pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra' itu ia
berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya
nanti. Sedang mi'raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping
mereka itu ada lagi pendapat bahwa isra' dan mi'raj itu
keduanya dengan jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini
di kalangan ahli-ahli iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan sudah dikemukakan orang. Sekitar arti isra'
ini kami sendiri sudah mempunyai pendapat yang ingin kami
kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah adakah orang yang
mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi, sebelum
pendapat ini kita kemukakan - dan supaya dapat kita kemukakan
- perlu sekali kita menyampaikan kisah isra, dan mi'raj ini
seperti yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi.

Dengan indah sekali Dermenghem melukiskan kisah ini yang
disarikannya dari pelbagai buku sejarah hidup Nabi, yang
terjemahannya sebagai berikut:

"Pada tengah malam yang sunyi dan hening, burung-burung
malampun diam membisu, binatang-binatang buas sudah berdiam
diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah tak terdengar
lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara yang
memanggilnya: "Hai orang yang sedang tidur, bangunlah!" Dan
bila ia bangun, dihadapannya sudah berdiri Malaikat Jibril
dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti salju,
melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan
pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya
sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan. Tangannya
memegang seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap
seperti sayap garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul,
dan Rasulpun naik.

"Maka meluncurlah buraq itu seperti anak panah membubung di
atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir sahara menuju arah
ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh malaikat. Lalu
berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara dengan
Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa
dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.

"Sementara itu ada suara-suara misterius mencoba menghentikan
Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan risalahnya. Ia
melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan hewan
itu di mana saja dikehendakiNya.

"Seterusnya mereka sampai ke Bait'l-Maqdis. Muhammad
mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di puing-puing kuil
Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa dan Isa.
Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan diatas batu
Ya'qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.

"Langit pertama terbuat dari perak murni dengan
bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas.
Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya jangan ada
setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang akan
mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di langit inilah Muhammad
memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula semua makhluk
memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit berikutnya
Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun, Musa, Ibrahim, Daud,
Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat itu ia melihat
Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara kedua
matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena
kekuasaanNya, maka yang berada di bawah perintahnya adalah
seratus ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama mereka
yang lahir dan mereka yang mati, dalam sebuah buku besar. Ia
melihat juga Malaikat Airmata, yang menangis karena dosa-dosa
orang, Malaikat Dendam yang berwajah tembaga yang menguasai
anasir api dan sedang duduk di atas singgasana dari nyala api.
Dan dilihatnya juga ada malaikat yang besar luar biasa, separo
dari api dan separo lagi dari salju, dikelilingi oleh
malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada hentinya
menyebut-nyebut nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan
salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut
ketentuan Mu.

"Langit ketujuh adalah tempat orang-orang yang adil, dengan
malaikat yang lebih besar dari bumi ini seluruhnya. Ia
mempunyai tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala tujuhpuluh ribu
mulut, tiap mulut tujuhpuluh ribu lidah, tiap lidah dapat
berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan
tujuhpuluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji serta
mengkuduskan Tuhan.

"Sementara ia sedang merenungkan makhluk-makhluk ajaib itu,
tiba-tiba ia membubung lagi sampai di Sidrat'l-Muntaha yang
terletak di sebelah kanan 'Arsy, menaungi berjuta-juta ruh
malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap matapun ia
sudah menyeberangi lautan-lautan yang begitu luas dan
daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian yang
gelap gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air,
udara dan angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun
perjalanan. Ia melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan,
rahasia, keagungan dan kesatuan. Dibalik itu terdapat
tujuhpuluh ribu kelompok malaikat yang bersujud tidak bergerak
dan tidak pula diperkenankan meninggalkan tempat.

"Kemudian terasa lagi ia membubung ke atas ke tempat Yang Maha
Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan langit menjadi
satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya, seolah-olah
sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.

"Begitu seharusnya manusia itu, di hadapan Raja semesta alam.

"Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan 'Arsy, sudah dekat
sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan persepsinya, dan
melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan lidah, di
luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan sebelah tanganNya di dada Muhammad dan
yang sebelah lagi di bahunya. Ketika itu Nabi merasakan
kesejukan di tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang, damai,
lalu fana ke dalam Diri Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.

"Sesudah berbicara... Tuhan memerintahkan hambaNya itu supaya
setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh kali. Begitu
Muhammad kembali turun dari langit, ia bertemu dengan Musa.
Musa berkata kepadanya:

"Bagaimana kauharapkan pengikut-pengikutmu akan dapat
melakukan salat limapuluh kali tiap hari? Sebelum engkau aku
sudah punya pengalaman, sudah kucoba terhadap anak-anak Israil
sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah dan kembali kepada
Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.

"Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang juga lalu dikurangi
menjadi empatpuluh. Tetapi Musa menganggap itu masih di luar
kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi penggantinya itu
berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima kali.

"Sekarang Jibril membawa Nabi mengunjungi surga yang sudah
disediakan sesudah hari kebangkitan, bagi mereka yang teguh
iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga itu ke bumi.
Buraqpun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait'l-Maqdis ke
Mekah naik hewan bersayap."
(bersambung ke bagian 3/3)







BAGIAN KEDELAPAN: DARI PEMBATALAN PIAGAM SAMPAI KEPADA ISRA'
Muhammad Husain Haekal (3/3)

Demikian cerita Dermenghem tentang Isra' dan Mi'raj. Kitapun
dapat melihat, apa yang diceritakannya itu memang tersebar
luas dalam buku-buku sejarah hidup Nabi, sekalipun akan kita
lihat juga bahwa semua itu berbeda-beda. Di sana-sini dilebihi
atau dikurangi.

Salah satu contoh misalnya cerita Ibn Hisyam melalui ucapan
Nabi 'alaihissalam sesudah berjumpa dengan Adam di langit
pertama, ketika mengatakan: "Kemudian kulihat orang-orang
bermoncong seperti moncong unta, tangan mereka memegang
segumpal api seperti batu-batu, lalu dilemparkan ke dalam
mulut mereka dan keluar dari dubur. Aku bertanya: "Siapa
mereka itu, Jibril?". "Mereka yang memakan harta anak-anak
yatim secara tidak sah," jawab Jibril. Kemudian kulihat
orang-orang dengan perut yang belum pernah kulihat dengan cara
keluarga Fir'aun menyeberangi mereka seperti unta yang kena
penyakit dalam kepalanya, ketika dibawa ke dalam api. Mereka
diinjak-injak tak dapat beranjak dari tempat mereka. Aku
bertanya: "Siapa mereka itu, Jibril?". "Mereka itu
tukang-tukang riba," jawabnya. Kemudian kulihat orang-orang,
di hadapan mereka ada daging yang gemuk dan baik, di samping
ada daging yang buruk dan busuk. Mereka makan daging yang
buruk dan busuk itu dan meninggalkan yang gemuk dan baik. Aku
bertanya: "Siapakah mereka itu, Jibril"? "Mereka orang-orang
yang meninggalkan wanita yang dihalalkan Tuhan dan mencari
wanita yang diharamkan," jawabnya. Kemudian aku melihat
wanita-wanita yang digantungkan pada buah dadanya. Lalu aku
bertanya: "Siapa mereka itu, Jibril?" "Mereka itu wanita yang
memasukkan laki-laki lain bukan dari keluarga mereka ..."
Kemudian aku dibawa ke surga. Di sana kulihat seorang budak
perempuan, bibirnya merah. Kutanya dia: "Kepunyaan siapa
engkau?"-Aku tertarik sekali waktu kulihat. "Aku kepunyaan
Zaid ibn Haritha," jawabnya. Maka Rasulullah s.a.w. lalu
memberi selamat kepada Zaid ibn Haritha."

Selain dari buku Ibn Hisyam ini, dalam buku-buku sejarah hidup
Nabi yang lain dan dalam buku-buku tafsir orang akan melihat
bermacam-macam hal lagi di samping itu. Sudah menjadi hak
setiap penulis sejarah bila akan bertanya-tanya, sampai di
mana benar ketelitian dan penyelidikan yang mereka adakan
dalam hal ini semua; mana yang boleh dijadikan pegangan
(askripsi) sampai kepada Nabi sesuai dengan pegangan yang
sahih (otentik), dan mana pula yang hanya berupa buah khayal
orang-orang tasauf dan sebangsanya.

Kalau di sini tidak cukup ruangan untuk mengadakan ketentuan
atau penyelidikan dalam bidang tersebut, dan kalau bukan pula
di sini tempatnya untuk menyatakan apakah isra' dan mi'raj itu
keduanya dengan jasad, ataukah mi'raj dengan ruh dan isra'
dengan jasad, ataukah isra' dan mi'raj itu semuanya dengan ruh
- maka sudah tentu bahwa tiap pendapat itu akan ada dasarnya
pada ahli-ahli ilmu kalam dan tak ada salahnya, kalau atas
pendapat-pendapat itu orang menyatakan pendiriannya sendiri,
yang akan berbeda pula satu dari yang lain.

Jadi barangsiapa yang mau menyatakan pendapatnya, bahwa isra'
dan mi'raj itu keduanya dengan ruh, maka dasarnya adalah
seperti yang kita kemukakan tadi dan sudah berulang-ulang pula
disebutkan dalam Qur'an dan diucapkan Rasul.

"Sungguh aku ini manusia seperti kamu juga yang diberikan
wahyu kepadaku. Tetapi Tuhanmu adalah Tuhan Yang Esa,"
(Qur'an. 18: 110)

dan bahwa satu-satunya mujizat Muhammad ialah Qur'an, dan

"Bahwasanya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang
mempersekutukanNya, tetapi Dia mengampuni segala dosa selain
(syirik) itu, siapa saja yang dikehendakiNya." (Qur'an, 4:48)

Orang yang berpendapat demikian ini -sebenarnya melebihi yang
lain- ia akan bertanya, apa sebenarnya arti isra' dan mi'raj
itu. Di sinilah letak pendapat yang ingin kita kemukakan. Kita
belum mengetahui, sudah adakah orang mengemukakan hal ini
sebelum kita, atau belum.

Isra' dan mi'raj ini dalam hidup kerohanian Muhammad mempunyai
arti yang tinggi dan agung sekali, suatu arti yang lebih besar
dari yang biasa mereka lukiskan itu, yang kadang tidak sedikit
dikacau dan dirusak oleh imajinasi ahli-ahli ilmu kalam yang
subur itu. Jiwa yang sungguh kuat itu, tatkala terjadi isra'
dan mi'raj, telah dipersatukan oleh kesatuan wujud ini, yang
sudah sampai pada puncak kesempurnaannya. Pada saat itu tak
ada sesuatu tabir ruang dan waktu atau sesuatu yang dapat
mengalangi intelek dan jiwa Muhammad, yang akan membuat
penilaian kita tentang hidup ini menjadi nisbi, terbatas oleh
kekuatan-kekuatan kita yang sensasional, yang dapat diarahkan
menurut akal pikiran. Pada saat itu semua batas jadi hanyut di
depan hati nurani Muhammad. Seluruh alam semesta ini sudah
bersatu ke dalam jiwanya, yang lalu disadarinya, sejak dari
awal yang azali sampai pada akhir yang abadi -sejak dunia
mulai berkembang sampai ke akhir zaman. Digambarkannya dalam
perkembangan kesunyian dirinya dalam mencapai kesempurnaan
itu, dengan jalan kebaikan dan keindahan dan kebenaran, dalam
mengatasi dan mengalahkan segala kejahatan, kekurangan,
keburukan dan kebatilan, dengan karunia dan ampunan Tuhan
juga. Orang tidak akan mencapai keluhuran demikian itu, kalau
tidak dengan suatu kekuatan yang berada di atas kodrat manusia
yang pernah dikenalnya.

Apabila sesudah itu kemudian datang orang-orang yang menjadi
pengikut Muhammad yang tidak sanggup mengikuti jejak
pikirannya yang begitu tinggi, dengan kesadaran yang begitu
kuat tentang kesatuan alam, kesempurnaan serta perjuangannya
mencapai kesempurnaan itu, maka hal ini tidak mengherankan dan
bukan pula aib tentunya. Orang-orang yang piawai dan jenial
memang bertingkat-tingkat. Dalam kita mencapai kebenaran
inipun selalu terbentur pada batas-batas ini; tenaga kita
sudah tidak mampu mengatasinya.

Apabila kita mau menyebutkan sebagai contoh -dengan sedikit
perbedaan tentunya, sehubungan dengan apa yang kita hadapi
sekarang ini- cerita orang-orang buta yang ingin mengetahui
gajah itu apa, maka salah seorang dari mereka itu akan
berkata, bahwa gajah itu ialah seutas tali yang panjang, sebab
kebetulan yang terpegang adalah buntutnya; yang seorang lagi
berkata, bahwa gajah itu sebatang pohon, sebab kebetulan yang
dijumpainya adalah kakinya; yang ketiga berkata, bahwa gajah
itu runcing seperti anak panah, sebab kebetulan yang
dijumpainya adalah taringnya; yang keempat berkata, bahwa
gajah itu bulat panjang dan bengkok, banyak bergerak-gerak,
sebab kebetulan yang dipegangnya adalah belalainya.

Contoh ini sebenarnya masih sejalan dengan gambaran yang
terbayang ketika orang yang tidak buta itu melihat gajah untuk
pertama kalinya. Boleh juga kiranya kita mengambil
perbandingan antara persepsi (kesadaran) Muhammad menangkap
esensi kesatuan alam ini serta penggambarannya kedalam
isra'dan mi'raj yang berhubungan dengan waktu pertama sejak
sebelum Adam sampai pada akhir hari kebangkitan dan yang akan
menghilangkan pula kesudahan ruang ini, ketika ia melihat
dengan mata batin dari Sidrat'l Muntaha ke alam semesta ini,
yang ada sekarang di hadapannya dan sudah seperti kabut
-dengan persepsi (kesadaran) kebanyakan orang yang dapat
menangkap arti isra'-mi'raj itu. Tatkala itu ia berhadapan
dengan bagian-bagian yang tidak termasuk kesatuan alam, sedang
hidupnya hanya seperti partikel-partikel tubuh, bahkan seperti
partikel-partikel yang melekat pada tubuh itu dengan
susunannya yang tidak terpengaruh karenanya. Dari mana pula
partikel-partikel daripada hidup tubuh itu, dari denyutan
jantungnya, pancaran jiwanya, pikirannya yang penuh dengan
enersi yang tak kenal batas; sebab, dari wujud hidup itulah ia
berhubungan dengan segala kehidupan alam ini.

Isra' dengan ruh dalam pengertiannya adalah seperti isra' dan
mi'raj juga yang semuanya dengan ruh. Ini adalah begitu luhur,
begitu indah dan agung. Ia merupakan suatu gambaran yang kuat
sekali dalam arti kesatuan rohani sejak dari awal yang azali
sampai pada akhir yang abadi. Ini adalah suatu pendakian ke
atas Gunung Sinai, tatkala Tuhan berbicara dengan Musa, dan ke
Bethlehem, tempat Isa dilahirkan. Pertemuan rohani demikian
ini sudah mengandung selawat bagi Muhammad, Isa, Musa dan
Ibrahim, suatu manifestasi yang kuat sekali dalam arti
kesatuan hidup agama sebagai suatu sendi kesatuan alam dalam
edarannya yang terus-menerus menuju kepada kesempurnaan.

Ilmu pengetahuan pada masa kita sekarang ini mengakui isra'
dengan ruh dan mengakui pula mi'raj dengan ruh. Apabila
tenaga-tenaga yang bersih itu bertemu, maka sinar yang
benarpun akan memancar. Dalam bentuk tertentu sama pula halnya
dengan tenaga-tenaga alam ini, yang telah membukakan jalan
kepada Marconi ketika ia menemukan suatu arus listrik tertentu
dari kapalnya yang sedang berlabuh di Venesia. Dengan suatu
kekuatan gelombang ether arus listrik itu telah dapat
menerangi kota Sydney di Australia.

IImu pengetahuan zaman kita sekarang ini membenarkan pula
teori telepati serta pengetahuan lain yang bersangkutan dengan
itu. Demikian juga transmisi suara di atas gelombang ether
dengan radio, telephotography (facsimile transmisi) dan
teleprinter lainnya, suatu hal yang tadinya masih dianggap
suatu pekerjaan khayal belaka. Tenaga-tenaga yang masih
tersimpan dalam alam semesta ini setiap hari masih selalu
memperlihatkan yang baru kepada alam kita. Apabila jiwa sudah
mencapai kekuatan dan kemampuan yang begitu tinggi seperti
yang sudah dicapai oleh jiwa Muhammad itu, lalu Allah
memperjalankan dia pada suatu malam dari Masjid'l-Haram ke
al-Masjid'l-Aqsha, yang disekelilingnya sudah diberi berkah
guna memperlihatkan tanda-tanda kebesaranNya, maka itupun oleh
ilmu pengetahuan dapat pula dibenarkan. Arti semua ini ialah
pengertian-pengertian yang begitu kuat dan luhur, begitu indah
dan agung, dan telah pula membayangkan kesatuan rohani dan
kesatuan alam semesta ini begitu jelas dan tegas dalam jiwa
Muhammad. Orang akan dapat memahami arti semua ini apabila ia
dapat berusaha menempatkan diri lebih tinggi dari bayangan
hidup yang singkat ini. Ia berusaha mencapai esensi kebenaran
tertinggi itu guna memahami kedudukannya yang sebenarnya dan
kedudukan alam ini seluruhnya.

Orang-orang Arab penduduk Mekah tidak dapat memahami semua
pengertian ini. Itulah pula sebabnya, tatkala soal isra' itu
oleh Muhammad disampaikan kepada mereka, merekapun lalu
menanggapinya dari bentuk materi - mungkin atau tidaknya isra'
itu. Apa yang dikatakannya itu kemudian menimbulkan kesangsian
juga pada beberapa orang pengikutnya, pada orang-orang yang
tadinya sudah percaya. Mereka banyak yang mengatakan: Masalah
ini sudah jelas. Perjalanan kafilah yang terus-meneruspun
antara Mekah-Syam memakan waktu sebulan pergi dan sebulan
pulang. Mana boleh jadi Muhammad hanya satu malam saja
pergi-pulang ke Mekah?!

Tidak sedikit mereka yang sudah Islam itu kemudian berbalik
murtad. Mereka yang masih menyangsikan hal ini lalu mendatangi
Abu Bakr dan keterangan yang diberikan Muhammad itu dijadikan
bahan pembicaraan.

"Kalian berdusta," kata Abu Bakr.

"Sungguh," kata mereka. "Dia di mesjid sedang bicara dengan
orang banyak."

"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakr lagi,
"tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku,
bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu
malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu
herankan."

Abu Bakr lalu mendatangi Nabi dan mendengarkan ia melukiskan
Bait'l-Maqdis. Abu Bakr sudah pernah berkunjung ke kota itu.

Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakr berkata:

"Rasulullah, saya percaya."

Sejak itu Muhammad memanggil Abu Bakr dengan "AshShiddiq."9

Alasan mereka yang berpendapat bahwa isra' itu dengan jasad
ialah karena ketika Quraisy mendengar tentang kejadian Suraqa
mereka menanyakannya dan mereka yang sudah beriman juga
menanyakan tentang peristiwa yang luar biasa itu. Mereka
memang belum pernah mendengar hal semacam itu. Lalu
diceritakannya tentang adanya kafilah yang pernah dilaluinya
di tengah jalan. Ketika ada seekor unta dari kafilah tersesat,
dialah yang menunjukkan. Pernah ia minum dari sebuah kafilah
lain dan sesudah minum lalu ditutupnya bejana itu. Pihak
Quraisy menanyakan hal tersebut. Kedua kafilah itupun
membenarkan apa yang telah diceritakan Muhammad itu.

Saya kira, kalau dalam hal ini orang bertanya kepada mereka
yang berpendapat tentang isra' dengan ruh itu, tentu mereka
tidak akan merasa heran sesudah ternyata ilmu masa kita
sekarang ini dapat mengetahui mungkinnya hypnotisma
menceritakan hal-hal yang terjadi di tempat-tempat yang jauh.
Apalagi dengan ruh yang dapat menghimpun kehidupan rohani
dalam seluruh alam ini. Dengan tenaga yang diberikan Tuhan
kepadanya ia dapat mengadakan komunikasi dengan rahasia hidup
ini dari awal alam azali sampai pada akhirnya yang abadi.

Catatan kaki:

1 Biasanya tempat ini dinamai 'Syi'b Abi Talib' (A).

2 At-Ta'if sebuah kota dan pusat musim panas dengan
ketinggian 1520 m, dari permukaan laut, lebih kurang 60
km timur laut Mekah (A).

3 Doa ini dikenal dengan nama "Doa Ta'if" (A).

4 Sebuah Kabilah Arab dari bagian Selatan (A).

5 Kabilah Arab yang berdekatan dengah Suria (A).

6 Kabilah Arab di dekat Irak (A).

7 Kabilah Arab yang terpencar-pencar (A).

8 Asra, sura dan isra', harfiah berarti "perjalanan
malam hari" (LA). 'Araja berarti naik atau memanjat.
Mi'raj harfiah tangga (N) (A).

9 Yang tulus hati, yang sangat jujur (A)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan