Sabtu, 29 Januari 2011

DEKATKAN DIRI DENGANNYA....BERTAKWA SERTA BERTAUBAT.....DAN BBESYUKURLAH DENGAN LIMPAH KURNIANYA.....

Mendekatkan Diri Kepada Allah

Bagi setiap muslim, apalagi dai, berkewajiban untuk mendekatkan diri kepada Allah agar meraih kecintaan-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan: “Pendekatan diri hamba-Ku yang paling Aku cintai adalah dengan sesuatu yang Aku wajibkan padanya. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan nafilah (ibadah tambahan), sehingga Aku mencintainya.” (Bukhari)

Dalam hadits ini menunjukkan bahwa ibadah yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah melaksanakan kewajiban. Kewajiban terdiri dari Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah. Fardhu Ain yaitu kewajiban yang mengikat setiap individu muslim, seperti sholat lima waktu, zakat, puasa, haji jika mampu, berbakti kepada orang tua, memberi nafkah pada anak istri dan lain-lain. Sedangkan Fardhu Kifayah yaitu kewajiban kolektif jika sudah dilakukan oleh orang lain maka gugurlah kewajiban tersebut, seperti menyelenggarakan jenazah, menuntut sebagian ilmu tertentu, dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, berjihad dan lain-lain. Pada saat tertentu Fardhu Kifayah dapat berubah menjadi Fardhu Ain, seperti dakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan jihad.

Fardhu adalah pokok sedangkan nafilah adalah cabang. Nafilah dapat melengkapi ibadah fardhu dan dapat menutupi kekurangannya. Seseorang tidak dapat disebut mengerjakan ibadah nafilah jika meninggalkan yang fardhu. Oleh karena itu jika orang beriman melaksanakan yang fardhu kemudian diteruskan dengan ibadah tambahan, maka Allah akan mencintainya. Sehingga sangat salah orang yang menyibukkan pada ibadah yang sunnah sementara meninggalkan yang wajib.

Jadi, secara umum pendekatan diri kepada Allah dilakukan dengan cara beribadah kepada Allah.

IBADAH

Ibnu Taimiyah berkata, ibadah adalah kata yang mencakup semua kebaikan, yaitu segala perkataan dan perbuatan baik lahir maupun batin yang diridhai dan dicintai Allah. Ibadah adalah risalah dan misi besar manusia. Hanya untuk inilah Allah menciptakan manusia dan jin (lihat Adz-Dzariyat: 56). Dan hanya untuk ini pula Allah mengutus para nabi dan rasul (lihat An-Nahl: 36). Rasulullah saw. bertanya pada Muadz bin Jabal, “Wahai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba-Nya dan hak hamba atas Allah?” Saya berkata, “Allah dan rasul-Nya yang paling tahu.” Rasul saw. bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya; dan hak hamba atas Allah adalah tidak mengadzab orang yang tidak menyekutukan Allah.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Tetapi sangat disayangkan, jika kita melihat realitas manusia, mayoritas mereka musyrik atau menyekutukan Allah dengan mahluk-Nya. Bangsa-bangsa besar yang menempati bumi ini mayoritasnya musyrik kepada Allah, mayoritas manusia yang menempati benua Amerika, Eropa, Australia dan juga Asia adalah orang-orang yang mensyekutukan Allah. Sekitar 6 milyar penduduk dunia, hanya ¼ nya saja yang mengakui muslim. Dan umat Islam pun masih banyak yang belum menyembah Allah, minimal dengan menegakkan sholat. Melihat realitas ini, maka kewajiban yang paling utama bagi orang-orang beriman adalah berdakwah mengajak manusia agar beriman dan beribadah kepada Allah saja.

Orang-orang beriman yang mengenal Allah dengan sebenarnya, mengenal hakekat dirinya dan mengetahui risalahnya, maka akan melaksanakan ibadah seoptimal mungkin, tetapi pada saat yang sama mereka sangat takut pada Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Mu’minun: 57-61, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab) Tuhan mereka, Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.

SYARAT IBADAH

Dalam beribadah dan melakukan pendekatan diri kepada Allah, sangat terkait dengan syarat-syaratnya agar ibadahnya diterima. Dan syaratnya hanya dua yaitu ikhlas dan mengikuti sunnah Rasul saw. atau Syariah Islam. Inilah inti dari makna syahadat yang kita ucapkan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.” Berkata Fudhail bin Iyadh mengomentari surat Al-Mulk: 2, “Ahsanu ‘amala (Amal yang paling baik) adalah akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar).” Berkata, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima sehingga amal itu harus ikhlas dan benar.” Iyadh berkata, “Ikhlas dilakukan karena Allah Azza wa Jalla, dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.”

Ibadah yang dilakukan umat Islam harus selalu mengacu pada dua syarat tersebut; jika tidak, maka amalnya sia-sia bahkan dapat mengarah pada dosa. Rasul saw. bersabda, “Siapa yang mengada-ada pada urusan agama ini, sesuatu yang sebelumnya tidak ada, maka tertolak.” (Bukhari dan Muslim). Banyak sekali tradisi yang berkembang di tengah umat Islam, dan mereka melakukannya seolah-olah ibadah yang diajarkan Rasulullah saw. padahal tidak ada landasannya sama sekali. Di sinilah pentingnya para ulama dan para dai yang mengajarkan Islam kepada umatnya dengan penuh hikmah dan kesabaran, sehingga umat terhindar dari segala macam syirik, khurofat, takhayyul dan bid’ah.

HUKUM TAKLIFI

Dalam melaksanakan ibadah, para ulama usul menetapkan hukum taklifi yang mengikat bagi para mukallaf atau muslim yang sudah dewasa. Dengan memahami status hukum dalam setiap perbuatan, maka setiap muslim berada dalam kejelasan dalam setiap urusannya. Para ulama mendefinisikan hukum taklifi atau hukum yang terkait dengan perbuatan yang dilakukan setiap muslim yaitu arahan Syariah (khitab syari’i) yang terkait dengan perbuatan setiap muslim yang mukallaf (baligh), baik bersifat permintaan untuk melaksanakan, permintaan untuk meninggalkan maupun pilihan antara melaksanakan atau meninggalakan. Permintaan yang bersifat mengikat atau harus disebut wajib, sedangkan yang tidak mengikat disebut mandub atau sunnah. Sedangkan permintaan untuk meninggalkan yang bersifat harus disebut haram dan yang tidak bersifat harus disebut makruh. Adapun pilihan antara melaksanakan dan meninggalakan disebut mubah. Oleh karena itu hukum dalam Fiqih Islam terbagi menjadi lima, yaitu wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.

Setiap muslim yang beriman pada hukum Islam dan memahami status hukum suatu perbuatan dapat mengetahui prioritas kerja atau amal yang harus dilakukan. Sehingga baginya segala sesuatu yang harus dilakukan dalam kehiduan dunia menjadi sangat jelas dan tegas. Tetapi manakala seorang muslim tidak memahami status hukum maka semuanya akan mejadi kabur dan samar, yang pada akhirnya dia akan mengalami kebingunagan dan kekacauan dalam hidupnya karena tidak ada arahan dan prioritas kerja yang harus dia lakukan dalam kehidupannya di dunia.

Wajib adalah suatu perintah Syariat yang harus dilakukan dan bersifat mengikat, jika ditinggalakan maka akan mendapat sanksi atau dosa dan jika dilaksanakan akan mendapat pahala atau balasan dari sisi Allah. Wajib terbagi menjadi dua; wajib aini, yaitu kewajiban yang mengikat atas setiap individu muslim, seperti shalat lima waktu, zakat, puasa, haji. Dan wajib kifayah, yaitu kewajiban yang mengikat atas sekelompok umat Islam.

Mandub adalah perintah Syariat yang sebaiknya dilaksanakan dan tidak bersifat mengikat, atau sesuatu yang jika dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak terkena sanksi. Mandub disebut juga sunnah, tatowwu’, mustahab, nafilah dan ihsan. Mandub memiliki beberapa tingkatan; Sunnah Muakkadah, yaitu sesuatu yang senantiasa dilakukan oleh Rasul saw. tetapi tidak sampai wajib, seperti sholat witir, sholat rawatib dan lain-lain. Sunnah ghairu Muakkadah, yaitu sunnah yang tidak selalu dilakukan oleh Rasul saw. seperti sedekah secara umum. Sunnah yang lain adalah mencontoh Rasul saw. pada masalah tradisi yang tidak terkait langsung dengan Syariat seperti makan, minum dan berpakaian ala Rasul saw.

Haram adalah perintah Syariat untuk meninggalkannya dan bersifat harus atau mengikat dan jika tidak maka akan mendapat sanksi atau dosa. Haram terbagi menjadi dua, yaitu haram li dzatihi dan haram li ghairihi. Haram li dzatihi diharamkan karena jelas-jelas menimbulkan bahaya langsung seperti makan bangkai, berzina, minum khomr, mencuri dll. Sedangkan haram li ghairihi, pengharamanannya karena tidak menimbulkan bahaya secara langsung seperti melihat aurat wanita, hukumnya tetap haram karena mengarahkan pada perzinahan. Haram li ghairihi disebabkan juga karena terkait dengan momentum atau kasus tertentu seperti berdagang saat adzan shalat Jum’at bagi lelaki, atau shalat bagi wanita yang haidh.

Haram Li Dzatihi dan Haram Li Ghairihi memiliki perbedaan pada dua hal, pertama pada transaksi atau akad. Haram li dzatihi membatalkan akad sedangkan haram li ghairihi tidak. Kedua, haram li dzatihi tidak dapat menjadi mubah kecuali karena darurat. Sedangkan haram li ghairihi menjadi mubah cukup karena hajat.

Makruh adalah perintah Syariat untuk meninggalkannya yang tidak harus atau mengikat. Apabila pekerjaan itu ditinggalkan maka akan mendapat imbalan pahala dan jika dilakukan tidak mendapatkan apa-apa.

Adapun mubah adalah pilihan Syariat untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Mubah dapat diketahui dari tiga hal, yaitu jika melakukan atau meninggalkan tidak ada dampak sanksinya, nash tidak menunjukkan haram dan nash menunjukkan halal.

Namun demikian, seorang muslim yang baik berupaya untuk mengharap kebaikan dan pahala pada amal-amal yang mubah, yaitu dengan niat yang baik dan mengarahkan yang mubah untuk sarana taat pada Allah. Begitu juga dia berusaha meninggalkan sebagian yang mubah karena khawatir jatuh pada yang diharamkan.

KONDISI MUKALLAF (MUSLIM)

Setiap muslim yang mukallaf tidak terlepas dari 3 kondisi. Ketika muslim dalam kondisi mendapatkan ni’mat Allah, maka mereka harus bersyukur. Dalam kondisi mendapat ujian atau cobaan, mereka harus bersabar. Dan dalam kondisi berbuat dosa, mereka harus beristighfar dan bertaubat. Ketika ketiga pensikapan tersebut terus dilakukan oleh setiap muslim dalam menghadapi kondisinya, maka dia akan mendapatkan puncak kebahagiaan.

Bukankah setiap muslim hidup dalam limpahan nikmat Allah? Allah telah menciptakannya sebagai manusia, makhluk yang paling mulia. Kemudian diberinya rezeki yang baik-baik. Lahir ke dunia dalam kondisi tidak memiliki apa-apa, dan sekarang banyak mendapatkan fasilitas dari Allah. Selanjutnya Allah memberikan nikmat yang paling besar yaitu nikmat hidayah dan keimanan. Dengan nikmat itu setiap muslim dapat berjalan di muka bumi dengan arahan yang jelas. Inilah kondisi yang dialami setiap muslim, oleh karenannya mereka harus sentiasa bersyukur kepada Allah dengan sepenuh syukur. Mengakui bahwa seluruh nikmat datang dari Allah, mengungkapkannya lewat lisan dan membuktikannya dengan ketaatan dan pengabdian kepada Allah.

Kondisi kedua yang tidak akan lepas dari setiap muslim juga adalah ujian. “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Dalam ayat ini Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar ketika menghadapi ujian. Dan sejatinya setiap muslim akan mendapat ujian sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas.

Dan kondisi ketiga, yang tidal lepas dari setiap muslim adalah khilaf dan melakukan dosa. Inilah ciri khas manusia secara umum, karena mereka adalah anak-cucu Adam dan Hawa yang pernah melakukan dosa. Tetapi sebaik-baiknya orang yang melakukan dosa adalah beristighfar dan bertaubat. Dan diantara banyak bentuk istighfar ada tuannya istighfar atau Sayyidul Istighfaar, setiap muslim harus dapat menghafal dan membacanya secara rutin, ” Ya, Allah Engkaulah Rabbku tiada ilah kecuali Engkau. Engkau telah menciptakanku, aku adalah hamba-Mu, dan aku akan berusaha tetap komitmen dijalan-Mu sekuat tenagaku. Aku mengakui segala ni’mat-Mu padaku, dan aku mengakui dosaku, ampunilah aku. Karena tidak Dzat yang dapat mengampuni kecuali Engkau”.

Ketika muslim dan muslimah senatiasa dalam sikap seperti ini, niscaya mereka akan mendapatkan kebahagiaan, bukan hanya di dunia, tetapi di dunia dan akhirat. Semoga Allah memberikan istiqomah pada kita. Amin.




Adab Terhadap Tetangga

Jiran tetanggaMemilih Tetangga Sebelum Memilih Rumah (جارقبل دار)

dakwatuna.com - Tetangga pada zaman kita sekarang ini, memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap tetangga di sebelahnya. Karena saling berdekatannya rumah-rumah dan berkumpulnya mereka dalam flat-flat, kondominium atau apartemen.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, empat hal termasuk kebahagiaan, di antaranya tetangga yang baik. Beliau juga menyebutkan empat hal termasuk kesengsaraan, di antaranya tetangga yang jahat. Karena bahayanya tetangga yang jahat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung kepada Allah daripadanya dengan berdoa:

“Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari tetangga yang jahat di rumah tempat tinggal, karena tetangga nomaden akan pindah”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umat Islam untuk berlindung pula daripadanya dengan mengatakan:

“Berlindunglah kalian kepada Allah dari tetangga yang jahat di rumah tempat tinggal, karena tetangga yang nomaden akan berpindah daripadamu”.

Dalam buku kecil ini, tentu tak memadai untuk menjelaskan secara rinci tentang pengaruh tetangga jahat terhadap suami istri dan anak-anak, berbagai gangguan menyakitkan daripadanya, serta kesusahan hidup bersebelahan dengannya. Akan tetapi dengan mempraktekkan hadits-hadits yang telah lalu (dalam masalah bertetangga) sudah cukup bagi orang yang mau mengambil pelajaran.

Mungkin di antara jalan pemecahannya yang kongkret, yaitu seperti yang dipraktekkan oleh sebagian orang dengan menyewakan rumah yang bersebelahan dengan tetangga jahat tersebut kepada orang-orang yang sekeluarga dengan mereka, meski untuk itu harus merugi dari sisi materi, karena sesungguhnya tetangga yang baik tak bisa dihargai dengan materi, berapa pun besarnya.

Memuliakan Tetangga

Berbuat baik kepada tetangga juga menjadi perhatian serius dalam ajaran Islam. Perhatikan firman Allah Taala:

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“…Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,.” (An-Nisa:36)

Nabi SAW dalam beberapa hadits mengingatkan kita agar selalu berbuat baik kepada tetangga, di antaranya adalah:

Ibnu Umar dan Aisyah ra berkata keduanya, “Jibril selalu menasihatiku untuk berlaku dermawan terhadap para tetangga, hingga rasanya aku ingin memasukkan tetangga-tetangga tersebut ke dalam kelompok ahli waris seorang muslim”. (H.R. Bukhari-Muslim)

Abu Dzarr ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Hai Abu Dzarr jika engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, dan perhatikan (bagilah) tetanggamu (H.R. Muslim)

Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya Rasulullah? Jawab Nabi, “Ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya” (H.R. Bukhari-Muslim)

Abu Hurairah berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah memuliakan tetangganya. (H.R. Bukhari-Muslim)

Hak-hak ketetanggaan tidak ditujukan bagi tetangga kalangan muslim saja. Tentu saja tetangga yang muslim mempunyai hak tambahan lain lagi yaitu juga sebagai saudara (ukhuwah Islamiyah). Tetapi dalam hubungan dengan hak-hak ketetanggaan semuanya sejajar:

Berbuat baik dan memuliakan tetangga adalah pilar terciptanya kehidupan sosial yang harmonis. Apabila seluruh kaum muslimin menerapkan perintah Allah Taala dan Nabi SAW ini, sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi kerusuhan, tawuran ataupun konflik di kampung-kampung dan di desa-desa.

Beberapa kiat praktis memuliakan tetangga adalah:

1. Sering bertegur sapa, tanyailah keadaan kesehatan mereka.
2. Berikanlah kepada mereka sebagian makanan
3. Berikan oleh-oleh buat mereka, apabila kita bepergian jauh.
4. Bantulah mereka apabila sedang mengalami musibah ataupun menyelenggarakan hajatan.
5. Berikanlah anak-anak mereka sesuatu yang menyenangkan, berupa makanan ataupun mainan.
6. Sesekali undanglah mereka makan bersama di rumah.
7. Berikanlah hadiah kaset, buku bacaan yang mendorong mereka untuk lebih memahami Islam.
8. Ajaklah mereka sesekali ke dalam suatu acara pengajian atau majelis ta’lim, atau pergilah bersama memenuhi suatu undangan walimah (apabila mereka juga diundang)

Memuliakan Teman

Memuliakan teman berarti menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam Tarbiyatul ‘aulad fil Islam menyebutkan bahwa hak-hak tersebut adalah:

1. Mengucapkan salam ketika bertemu.

Rasulullah saw. yaitu, “Kalian tidak akan masuk surga sebelum kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan kepada sesuatu yang apabila kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian”. (H.R. Bukhari-Muslim)

2. Menjenguk Teman Ketika Sakit

Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jenguklah orang yang sakit; beri makanlah orang yang lapar dan lepaskanlah orang yang dipenjara”.

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Hak seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”.

3. Mendoakan Ketika Bersin

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kamu bersin, hendaklah ia mengucapkan, Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), dan saudaranya atau temannya hendaknya mengucapkan untuknya, Yarhamukallah (semoga Allah mengasihimu)’ Apabila teman atau saudaranya tersebut mengatakan, Yarhamukallah (semoga Allah mengasihimu), kepadanya, maka hendaklah ia mengucapkan, Yahdikumullah wa yushlihu balakum.

4. Menziarahi karena Allah

Ibnu Majah dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa menjenguk orang sakit atau berziarah kepada seorang saudara di jalan Allah, maka ia akan diseru oleh seorang penyeru “Hendaklah engkau berbuat baik, dan baiklah perjalananmu, (karenanya) engkau akan menempati suatu tempat di surga”.

5. Menolong ketika kesempitan

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh berbuat zhalim kepadanya dan tidak boleh menyia-nyiakannya (membiarkan, tidak menolongnya). Barang siapa menolong kebutuhan saudaranya maka Allah akan menolong kebutuhannya, barang siapa menyingkirkan suatu kesusahan dari seorang muslim, niscaya Allah akan menyingkirkan darinya suatu kesusahan di antara kesusahan-kesusahan hari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat”

6. Memenuhi undangannya apabila ia mengundang

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra , bahwa Rasulullah saw. bersabda; Hak seseorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima; Menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin”

7. Memberikan ucapan selamat

Ad-Dailami meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, “Barang siapa bertemu saudaranya ketika bubar dari shalat Jum’at, maka hendaklah ia mengucapkan “Semoga (Allah) menerima (amal dan doa) kami dan kamu.

8. Saling memberi hadiah

At-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Ausath dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”

Ad-Dailami meriwayatkan dari Anas secara marfu’, “Hendaklah kalian saling memberi hadiah karena hal itu dapat mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian”

Imam Malik di dalam Al-Muwaththa’ meriwayatkan, “Saling bermaaf-maafkanlah, niscaya kedengkian akan hilang. Dan saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai dan hilanglah permusuhan.”

Wasiat Tentang Tetangga

عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه. رواه البخاري ومسلم وأبو داود وابن ماجه الترمذي

Dari Aisyah ra, dari Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.” (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi)

Penjelasan:

الوصاءة Wawu dibaca fathah, bersama dengan shad tanpa titik dan dibaca panjang, lalu hamzah sesudahnya, adalah bentuk kata lain dari الوصية wasiat, demikian juga dengan الوصاية mengganti ya’ pada posisi hamzah

يوصيني بالجار Berwasiat kepadaku tentang tetangga, tanpa dibedakan kafir atau muslim, ahli ibadah atau ahli maksiat, setia atau memusuhi, kenal baik atau masing asing, menguntungkan atau merugikan, keluarga dekat atau orang lain, dekat rumah atau jauh.

حتى ظننت أنه سيورثه Sehingga aku menyangka bahwa ia akan mewarisi, ia menyuruhku -berdasarkan perintah Allah-, bahwa tetangga itu mewarisi tetangga lainnya, dengan menjadikannya bersama-sama dalam harta, sesuai dengan bagian yang ditentukan dalam pembagian waris.

Imam Bukhari meriwayatkan juga hadits ini dari Jabir ra, dari Rasulullah saw dengan kalimat:

ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه يجعل له ميراثاً

Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menyangka ia menjadikan warisan harta tertentu baginya.

At-Thabrani meriwayatkan dari Jabir ra dari Nabi Muhammad saw bersabda:

الجيران ثلاثة: جار له حق وهو المشرك: له حق الجوار، وجار له حقان وهو المسلم: له حق الجوار وحق الإسلام، وجار له ثلاثة حقوق: جار مسلم له رحم له حق الجوار والإسلام والرحم

Tetangga itu ada tiga macam: Tetangga yang hanya memiliki satu hak, yaitu orang musyrik, ia hanya memiliki hak tetangga. Tetangga yang memiliki dua hak, yaitu seorang muslim: ia memiliki hak tetangga dan hak Islam. Dan tetangga yang memiliki tiga hak, yaitu tetangga, muslim memiliki hubungan kerabat; ia memiliki hak tetangga, hak Islam dan hak silaturahim.

Aisyah ra, meriwayatkan tentang batasan tetangga, yaitu empat puluh rumah dari semua arah.

At-Thabrani meriwayatkan dengan sanad dhaif/lemah dari Ka’ab bin Malik ra, dari Nabi Muhammad saw:

ألا إن أَربَعينَ دَار جار

“Ingatlah bahwa empat puluh rumah itu adalah tetangga”

Pelaksanaan wasiat kepada tetangga ini adalah dengan berbuat baik semaksimal mungkin, sesuai kemampuan, seperti memberikan hadiah, memberi salam, berwajah lepas/cerah ketika berjumpa, mencari tahu jika tidak kelihatan, membantunya ketika memerlukan bantuan, mencegah berbagai macam gangguan, material maupun inmaterial, menghendaki kebaikannya, memberikan nasihat terbaik, mendoakannya semoga mendapatkan hidayah Allah, bermuamalah dengan santun, menutupi kekurangan dan kesalahannya dari orang lain, mencegahnya berbuat salah dengan santun –jika masih memungkinkan- jika tidak maka dengan cara menjauhinya dengan tujuan mendidik, disertai dengan mengkomunikasikan hal ini agar tidak melakukan kesalahan.

Hadits ini dengan tegas menunjukkan tentang besarnya hak tetangga. Dan bahwa mengganggu tetangga termasuk di antara dosa besar.

Dosa Orang Yang Tetangganya Tidak Aman Dari Gangguannya

عَنْ أبي شُرَيْحٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قالَ: وَاللهِ لا يُؤْمِنُ وَاللهِ لا يُؤْمِنُ وَاللهِ لا يُؤْمِنُ. قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قالَ: الَّذِي لا يَأمَنُ جَارُهُ بَوَائِقُهُ. رواه البخاري

Dari Abu Syuraih ra, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman, Demi Allah seseorang tidak beriman.” Ada yang bertanya, “Siapa itu Ya Rasulullah?” Jawab Nabi, “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (H.R. Bukhari)

Penjelasan:

بوائقه Bentuk jama’ dari kata بائقة –ba’ dan qaf- berarti: bencana, pencurian, kejahatan, hal-hal yang membahayakan, hal-hal yang menjadi pelampiasan kebenciannya.

عن أبي شريح Syin dibaca dhammah, ra’ dibaca fathah, diakhiri dengan ha’ tanpa titik. Khuwailid Al-Khuza’iy as-Shahabiy.

والله لا يؤمن Diulang tiga kali, artinya tidak sempurna imannya, atau hilang iman sama sekali bagi yang menganggapnya halal, atau ia tidak mendapatkan balasan seorang mukmin sehingga dapat masuk surga sejak awal, atau pengulangan ini untuk menegaskan dan memberatkan larangan.

قِيْلَ: مَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ Dalam Fathul Bari, Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa dialah yang bertanya. Rasulullah saw menjawab:

الَّذِي لا يَأمَن جَارُهُ بَوَائِقُهُ

Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran tentang pentingnya hak tetangga. Sehingga Rasulullah saw harus bersumpah tiga kali, menafikan iman orang yang mengganggu tetangganya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

Larangan Meremehkan Hadiah Dari Tetangga

عن أبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
يَا نِسَاءَ المُسْلِمَاتِ لا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسَنَ شَاةٍ. رواه البخاري ومسلم

Dari Abu Haurairah ra berkata: Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Wahai para wanita muslimah, janganlah ada seorang tetangga yag meremehkan hadiah tetangganya meskipun kikil (kaki) kambing. (H.R. Bukhari-Muslim)

Penjelasan:

حقر أي استصغار Meremehkan, seperti kata: احتقار والاستحقار

يا نساء المسلمات Wahai wanita-wanita muslimah, bentuk إضافة الموصوف إلى صفته /idhafah (penyandaran) maushuf (yang diterangkan) kepada sifat.

Atau bermakna lain: يا فاضلات المسلمات Wahai para pemuka muslimah, seperti ungkapan Arab يا رجال القوم: أي يا أفضلهم wahai para pemimpin kaum, artinya para pemuka mereka.

لا تحقرن Qaf dibaca kasrah, artinya jangan meremehkan, menganggap kecil.

” جارة ” هديةً ” لجارتها ” tetangga memberikan hadiah pada tetangga lainnya. Atau meremehkan hadiah dari tetangganya –Lam- bermakna –min- sehingga kemungkinan makna larangan itu pada pemberi atau penerima,

” ولو ” كانت الهدية meskipun hadiah itu berupa kaki kambing ” فرسن شاة ” fa’ dibaca kasrah, ra’ dibaca sukun/mati, adalah bagian kaki di atas telapak/tumit. Larangan bagi tetangga meremehkan hadiah tetangganya, meskipun hadiah itu pada umumnya kurang berguna, atau tidak berkenan dan tidak bernilai di hati. Dari itulah tetangga dapat memberikan dan menerima hadiah yang ada meskipun kecil nilainya. Hal ini lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dengan ini pula kebiasaan memberikan hadiah dapat terus berlangsung antara tetangga, karena dengan sesuatu yang murah dan mudah, dapat dilakukan dalam keadaan miskin maupun kaya, dapat membuahkan rasa cinta dan kasih sayang. Dengan ini pula tidak diperbolehkan bagi laki-laki meremehkan hadiah antara mereka. Penyebutan larangan secara khusus pada wanita karena merekalah yang lebih cepat bereaksi dalam cinta dan benci, sehingga mereka lebih berhak mendapatkan perhatian, agar dapat menghindarkan diri dari larangan itu, menghilangkan kebenciaan antara mereka dan mempertahankan rasa cinta antar mereka.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa tidak diperbolehkan meremehkan hadiah untuk mempertahankan rasa cinta antara mereka.

Barang Siapa Beriman Kepada Allah Dan Hari Akhir Maka Jangan Menyakiti Tetangga

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يؤذ جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت. رواه البخاري ومسلم وابن ماجه

Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah menghormati tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam.” (H.R. Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah)

Penjelasan:

ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر” أي إيمانا كاملاً Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir. Artinya: iman yang sempurna.

Penyebutan hanya pada iman kepada Allah dan hari akhir, tidak dengan kewajiban lainnya, karena keduanya merupakan permualaan dan penghabisan. Maksudnya: Beriman dengan Penciptanya dan hari mendapatkan balasan amal baik dan buruknya.

فلا يؤذ جاره Maka jangan menyakiti tetangganya.

Tidak menyakiti tetangga itu bisa diaktualkan dengan mengulurkan kebaikan kepadanya, mencegah hal-hal yang membahayakannya.

فليكرم ضيفه Hendaklah memuliakan tamunya, dengan menampakkan rasa senang, menyuguhkan hidangan yang tersedia dan terjangkau.

فليقل خيراً أو ليصمت Hendaklah berkata baik atau diam dari ucapan buruk. Sebab perkataan itu hanya dapat digolongkan menjadi dua golongan, baik atau buruk.

Hadits ini berisi tiga hal penting yang menjadi kemuliaan akhlak dalam perbuatan atau perkataan. Dua pertama yang perbuatan itu adalah yang pertama berisi takhalliy (pengosongan diri) dari sifat tercela, dan yang kedua tahalliy (berhias diri) dengan akhlak mulia. Sedangkan yang ketiga berisi akhlaq qauliyah (ucapan).

Kesimpulannya bahwa kesempurnaan iman seseorang diukur dari kebaikannya kepada sesama makhluk Allah, baik dalam tutur kata kebaikan maupun diam dari kalimat buruk, dan melakukan apa yang sepatutnya dilakukan dan meninggalkan apa yang membahayakan; antara lain adalah dengan tidak menyakiti tetangga.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa tidak menyakiti tetangga adalah bukti kesempurnaan iman seseorang kepada Allah dan hari akhir.

Hak Tetangga Yang Lebih Dekat Pintunya

عن عائشة رضي الله عنها قالت: يا رسول الله إن لي جارين فإلى أيهما أُهدي؟ قال: إلى أقربهما منك باباً. رواه البخاري

Dari Aisyah r.a. ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki dua tetangga, kepada tetangga yang manakah aku berikan hadiah?” Jawab Nabi, “Kepada tetangga yang pintu rumahnya lebih dekat denganmu.” (H.R. Bukhari)

Penjelasan:

باب حق الجوار في قرب الأبواب Bab: hak tetangga yang lebih dekat pintunya, artinya barangsiapa yang pintunya lebih dekat maka ia yang lebih berhak. Karena ia yang melihat apa yang keluar masuk dari rumah tetangganya; berupa hadiah dan lain sebagainya, sehingga kemungkinan ada harapan dan keinginan, berbeda dengan yang jauh pintunya.

أهدى Hamzah dibaca dhammah dari kata al-ihda’

Rasulullah saw menjawab: إلى أقربهما منك باباً Kepada yang lebih dekat pintunya. Karena ia melihat keadaan tetangga dan keperluannya. Tetangga yang lebih dekat yang lebih cepat menyahut jika dipanggil, ketika tetangga sebelah memerlukan, terutama ketika terlena.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa hak tetangga mengikuti kedekatan pintunya, yang lebih dekat pintunya yang lebih diprioritaskan dari sebelahnya, demikian seterusnya.


(dakwatuna.com)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan